"Kenapa dia bisa kenal kamu, sedang kamu tidak? Katanya dia ada di bimbingan yang sama dengan kamu, dan dia menganggap kamu sebagai seniornya."Senior? Dinda benar-benar tidak tahu siapa yang dimaksud oleh Sari."Dinda nggak paham deh, Ma. Siapa sih? " Dinda mulai penasaran. Perasaan, ketampanan teman-temannya di kampus berada di level standar semua. Tidak ada yang di atas rata-rata."Bener nggak ada yang ganteng di kampus kamu?" Sari mengulang pertanyaannya. Ia meragukan jawaban putrinya sendiri. Tidak mungkin'kan pria muda tadi berbohong padanya?Dengan yakin Dinda menggeleng. "Kalau ada yang ganteng, tampan dan rupawan, pasti udah Dinda deketin, Ma. Kenyataannya emang nggak ada kok."Sari masih belum menceritakan secara komplit tentang pertemuannya dengan Arya. Ia ingin melihat reaksi Dinda lebih dulu. Termasuk ponselnya yang sedang diservis. Mengapa putrinya itu tidak mengatakan yang sebenarnya?"Buruan selesaikan makannya. Papa keburu ngantuk nanti.""Kita bawa sopir aja, Ma. Nan
"Tunggu di sini?" Dinda mengulang perkataan Arya.*Iya. Tunggu di sana."Pak Arya mau datang kemari? Jangan deh, Pak. Sudah malam. Mending Pak Arya istirahat saja di rumah. Lagian saya nanti tidak sendiri. Ada mama juga nanti."*Ssst. Udah. Jangan banyak protes. Arya mematikan sambungan telponnya. Ia tidak mau mendengar penolakan Dinda. Arya sebenarnya sudah bersiap mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur, namun pesan singkat Dinda mengurungkan niatnya. Tiba-tiba saja, terlintas ide untuk menyusul Dinda ke rumah sakit. Mumpung ada kesempatan untuk mendekati gadis itu. Mungkin saja, kesempatan itu tidak akan datang untuk kedua kali.Arya meraih jaket kulit yang tergantung di balik pintu kamarnya. Ia bergegas keluar kamar dan menuruni anak tangga dengan sedikit terburu-buru.Saat itu, kebetulan Anggun baru saja keluar dari kamarnya, hendak mengisi termos air di dapur."Mau kemana? Sudah malam begini?" Anggun tampak keberatan."Ada teman Arya yang masuk rumah sakit, Ma.""Oh. Baru saja
"Berikan alamat rumah sekarang." Dinda tidak berkutik. Apakah ia harus mengabulkan permintaan pria di depannya? Memberikan alamat rumahnya atau ia gunakan saja ide Mita? Memberikan alamat palsu? Toh, Arya juga tidak mungkin akan benar-benar datang ke rumahnya."Jangan pernah memberikan keterangan yang tidak jujur. Bisa-bisa kamu kualat di belakang," ancam Arya.Dinda berjingkat. Apakah rencananya tertulis jelas di keningnya?"Baiklah. Saya akan memberikan alamat saya tapi tidak sekarang. Nanti saja kalau saya sudah di rumah lagi. Saya akan berbagi lokasi dengan Pak Arya.""Lokasi rumah. Bukan lokasi tempat kamu hang out.""Iya-Iya, Pak. Bapak bisa memegang kata-kata saya." Dinda akhirnya menyerah. Arya melihat ke arah jam dinding yang terletak tepat di atas tempat tidur Dani. Jarum pendek sudah berada tepat di angka dua belas. Dinda yang sejak pembicaraan terakhir fokus pada layar ponselnya, membuat Arya curiga. Apa yang menarik perhatian gadis itu?"Ini. Seharusnya jangan berpose se
"Calon suami? Spill dong wajah calon suami gua." Dinda menantang balik Dani. Mentang-mentang dirinya baru saja bangun dari mimpi indahnya, bukan berarti dia dengan seenaknya bisa dijadikan bahan olok-olokan. Terlebih lagi, di ruangan itu ada Arya, dosen pembimbingnya, meski pria itu tidak datang dengan statusnya sebagai dosen."Bukannya dia calon suami kamu?" Dani menunjuk ke arah Arya dengan lirikan matanya.Dinda terkejut. "Pak-Pak Arya tidak mengatakan yang tidak-tidak, bukan?""Issh. Berisik. Nggak usah ditutupi lagi. Besok pagi, kamu harus mengenalkannya pada mama dan papa. Nggak usah lama-lama. Bahaya.""Tsk. Berisik. Kalau belum tahu yang sebenarnya nggak usah ikut-ikutan.""Nggak tahu gimana? Orang jelas-jelas dia datang malam-malam begini, buat nemenin kamu tugas jaga di sini. Masa belum 'ngeh' juga?" Dani gemas bukan main dengan Dinda yang tulalit untuk urusan begini. Ia tidak bisa memarahi Dinda, karena adiknya itu memang tidak pernah menjalin hubungan dengan pria mana pun.
"Dua minggu lagi, saya akan datang menemui orang tua kamu."Dinda menggelengkan kepalanya. Kalimat itu terus saja terngiang di kepalanya. 'Pak Arya pasti bohong. Beliau pasti tidak akan datang. Itu hanya isapan jempol saja. Tidak perlu diambil pusing.' Dinda berbicara dengan dirinya sendiri.Dinda mulai merasa perasaannya tidak baik-baik saja, sejak Arya meminta alamat rumahnya tadi siang. Antara senang dan tidak percaya. Ia tidak sadar jika Sari dan Broto terus saja mengawasinya. Sari dan Broto datang saat Dinda dan Arya tengah sarapan di warung sebelah rumah sakit.Dani yang sudah kembali tidur, tidak mengetahui kedatangan Sari dan Broto. Tidak berselang lama, Dinda sudah kembali ke ruangan Dani. "Darimana?" Broto menatap Dinda yang masih menggelengkan kepalanya saat melangkah masuk ke dalam ruangan Dani."Loh?! Papa sudah sampai di sini. Mama juga." Dinda menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi terkejut. Akibat memikirkan Arya, Dinda tidak fokus dengan orang-orang di sekeliling
Dinda langsung membersihkan dirinya begitu tiba di rumah. Ia berendam sebentar, menghilangkan rasa penat dan capek yang mendera tubuhnya sejak kemarin malam. Ponsel sengaja ia bawa, untuk berjaga-jaga jika orang tuanya tiba-tiba menelpon. Disaat Dinda sedang menikmati harumnya aromaterapi yang membuat tubuhnya rileks, ponselnya berbunyi. Dinda membuka kedua netranya. Arya? Pak Arya? Dinda segera bangun dari posisinya yang setengah bersandar di bathup. "Iya, Pak?" *Sudah di rumah? "Baru saja sampai. Ini sedang mandi." *Sedang mandi? Arya mengulangi ucapan Dinda yang tidak sadar telah menceritakan keadaannya sekarang. 'Astaga! Salah ngomong lagi!' jerit Dinda panik. Arya terkekeh. Ia tahu jika Dinda secara tidak sadar mengatakan keadaan dirinya yang sedang mandi. Tsk. Arya justru membayangkan hal yang tidak-tidak. *Boleh vc nggak? "Astaga! Bapak mesum! Saya matikan!" Tut. Benar saja. Sambungan itu langsung diputus oleh Dinda. Gadis itu tidak tahan untuk tidak membayangkan
Anggun sedang menata ruang tengah saat Arya keluar dari kamarnya. Dermawan sendiri belum pulang dari kantor. Anggun memperhatikan Arya yang turun tergesa-gesa dari tangga. Wajah Arya pun terlihat tidak seperti biasanya. Ia khawatir jika putranya itu sakit. "Mau kemana lagi?" Anggun terus memperhatikan wajah Arya. "Mau ke kampus sebentar, Ma." Sebelum menyusul ke rumah sakit untuk menemani Dinda, Arya mampir ke kampus sebentar untuk memberi konsultasi pada beberapa mahasiwanya. Ia sudah terlanjur janji dengan beberapa mahasiswa untuk memberi mereka kesempatan berkonsultasi dengannya. Semula ia menjadwalkan bimbingan dan konsultasi akan berlangsung siang hari, akan tetapi, Arya merubah jamnya. Ia ingin tidur sebentar karena semalaman hanya tidur tiga puluh menit selama di rumah sakit. "Ma... Nanti Arya langsung ke rumah sakit. Nemenin teman yang kemarin masuk rumah sakit." "Lagi? Dia tidak punya saudara?" "Cuma satu, Ma." "Kalau bisa ya tetap pulang ke rumah, tapi kalau lebih b
"Pak? Kamu panggil pacar kamu apa barusan?" Dani menatap Dinda curiga. Arya tetap diam. Ia ingin melihat bagaimana Dinda meluruskan kebiasaannya itu. "Hmmm, Pak..." Dinda meragu dengan jawabannya sendiri. Dani terpingkal-pingkal. "Woiii! Kerenan dikit, napa? Jaman milenial begini, manggil pacar sendiri dengan panggilan 'Pak'...." Dani melanjutkan tawanya. Dinda melirik ke arah Arya. 'Kenapa dia diam aja? Bantuin kek,' sungut Dinda sambil terus melirik Arya yang juga menatap dirinya dengan tatapan penuh tanya. Dinda mencibir, lalu kembali menatap Dani, melihat kakaknya itu menyeka kedua matanya yang berair karena terpingkal-pingkal, hingga perutnya menjadi sakit. Ia lupa dengan pesan Broto untuk banyak beristirahat. "Panggillah pacarmu itu dengan panggilan yang romantis. Mas, kek. Sayang, Kek. Cinta, kek. Jangan Pak. Orang dia juga masih muda gitu, loh. Paling juga nggak jauh beda dengan kakak." Arya berdeham. "Biasanya kalau lagi berdua, Dinda suka panggil saya, mas." Dinda
"Semua sama. Tidak ada perlakuan yang beda." Kembali Arya menegaskan perihal penundaan rekrutmen tenaga dosen di kampusnya.Indra menggigit sedikit bagian dalam bibirnya. Aura rektor muda di depannya sangat mendikte dirinya. Ia yang baru empat bulan diterima sebagai asisten dosen, harus berulang kali menelan salivanya. "Menjadi asisten dosen di kampus-?" Arya kembali mengangkat wajahnya dari lembaran curriculum vitae milik Indra."Baru lima bulan, Pak.""Dapat informasi darimana?" "Dari teman, Pak. Pak Subagyo adalah teman sharing saya di lembaga pendidikan Bahasa Inggris EFC. Karena beliau sering keluar kota mengikuti training, sehingga beliau membutuhkan seorang asisten dosen. Dan kebetulan, mata kuliah yang diampu Pak Subagyo adalah jurusan saya, saya menyambut baik tawaran itu."Arya mengangguk paham. Mungkin ia perlu membicarakan hal ini dengan Subagyo suatu hari nanti.Kening Arya mendadak berkerut sesaat. Ada hal menarik yang ia temukan. Namun, ia segera menepis pikiran buruk
"Lu aman, Mit?" Keraguan Dinda kembali muncul. Ia khawatir."Amanlah. Kan udah gua bilang tadi? Don't worry. I am ok." Meski Mita memasang ekspresi sangat serius, DInda tetap saja dengan kecurigaannya."Ada apa, sih? Memangnya ada apa dengan Mita? Something happened?"Dinda tidak menjawab pertanyaan Fahri, melainkan kembali mengangkat kedua bahunya. "Nanti tanya Mita sendiri aja, deh. Entar saya salah.""Tsk Nggak ada apa-apa kok. Kita cuma mau bahas rencana bisnis kuliner. Itu aja. Aman karena Dinda kuatir jangan-jangan saya lupa dengan apa yang akan kami bahas nanti.""Bagus kalau begitu. Lebih cepat, lebih baik. Pekerjaan dan niat baik jangan ditunda-tunda, karena bisa saja itu menjadi penghambat kita untuk maju. Kalau bisa sekarang, mengapa tidak?" Arya akhirnya ikut bersuara. "Apakah ada perubahan rencana?" Fahri menarik piring berisi selat buah dari hadapan Mita dan mulai menikmati suapan demi suapan.Dinda berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan kakak iparnya."Gimana kasi
Meja makan sudah penuh dengan masakan hasil kerja keras kakak beradik Fahri dan Arya. Sebelumnya, kehadran Mita dan Dinda tidak disambut baik. Keduanya diusir dari area dapur.Fahri dan Arya justru menyuruh Mita dan Dinda membersihkan diri. Mereka diijinkan turun jika meja makan sudah tertata sempurna lengkap dengan makanan di atasnya.Dinda berdecak kagum. Masakan yang terhidang di meja makan berhasil menarik perhatiannya dan ia menjadi tidak sabar untuk menjadi juri dadakan."Boleh dicicipii nggak?" Mita menatap penuh harap Fahri yang sedang melipat apron. Keadaan dapur pun sudah bersih seperti sedia kala. Tidak ada piring kotor atau sampah sisa yang tergeletak di dapur. Semua rapi dan bersih."Nikmat mana lagi yang kami dustakan ya Tuhan, punya suami keren begini..." ucap Dinda sambil mengitari meja makan.Mita manggut-manggut tanda setuju. "Tampan. Cerdas. Cekatan. Pintar masak. Baik hati dan tidak sombong. Paket lengkap beneran. Sama sekali nggak ada diskon yang patur berlaku d
"Bad day?" Arya menghela napasnya. "Apa mungkin saya memang tidak seharusnya menjadi rektor, ya? Menjadi pebisnis mungkin lebih cocok."Dinda tidak paham dengan kalimat Arya. "Hmm. Kalau kalimatnya dibuat sederhana gimana? Saya nggak paham."Arya menatap Dinda. Ia sadar jika Dinda sedang tidak baik-baik saja sehingga ia memutuskan untuk tidak meneruskan kalimatnya. "Lapar. Ayo, kita makan.""Belum masak tapi.""Iya. Kali ini, biar saya yang jadi tukang masaknya. Kamu cukup duduk menemani saya."Arya menarik tangan Dinda. Keduanya berjalan ke dapur. Suara Brilian dan Fahriza sama sekali tidak terdengar. "Kemana anak-anak? Kok sepi sekali.""Sedang ikut mama jalan-jalan. Nggak tahu jalan-jalan kemana."Arya tidak mengganti pakaiannya lebih dulu melainkan langsung mengeluarkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak. Melihat suaminya yang langsung sibuk dengan perkakas dapur, membuat Dinda tidak tega. "Sudah-Sudah. Biar saya saja yang masak. Mas mandi dulu aja. Kecut!" Dinda mendoro
"Gimana kalau kita jodohin dengan Bu Mega?"Wajah Dinda langsung berubah kaku dan dingin. Sama sekali tidak enak dipandang dan membuat suasana di ruang keluarga kediaman Broto menjadi tegang."Lu kalau becanda jangan kelewatan ya, Mit! Denger nama dia aja gua emosi, gimana lagi dengan keluarga gua?"Mita menggigit bibir bawahnya. Mulutnya sangat lancang mengutarakan ide gila yang tiba-tiba saja melintas di otaknya, hanya karena geram dengan ancaman Dani."Sorry, Din. Gua nggak ada maksud buat -" Mita menjadi salah tingkah."Lu udah kenal gua lama'kan? Harusnya udah sangat tahu dong, kalau gua masih nyimpen dendam ma dia dan sakit hati gua ke itu orang belum kelar?"Mita mengangguk berulang. Penyesalan selalu datang terlambat. Padahal, jujur dia tidak ada niat untuk membuat Dinda naik pitam lagi karena teringat sosok musuh bebuyutannya."Kalaupun dijodohin sama dia, gua percaya Dani pasti menolak mentah-mentah. Orang yang pernah bikin adiknya hampir gila, dia jadikan istri? Dia pasti me
"Saya ingin berkonsultasi. Apakah Pak Arya ada waktu?" tanya Mega penuh harap.Arya tertegun sejenak. Ia masih belum menangkap maksud kedatangan wanita di depannya saat ini. Konsultasi apa yang dimaksud olehnya? Apakah dia mengambil program lanjutan? Atau konsultasi bimbingan yang artinya jika dia sudah lebih dulu mengambil program lanjutan? Jika memang sudah mengambil program lanjutan mengapa Rudy tidak memberitahunya?"Maaf. Saya tidak paham dengan maksud Bu Mega." Arya masih menganggap wanita itu sebagai rekan sesama pendidik, meski ia tidak lupa jika wanita di depannya ini adalah musuh bebuyutan sang istri. Arya secara diam-diam mengeluarkan ponsel yang baru saja ia masukkan ke dalam saku celana panjangnya. "Maaf, sebentar. Ada pesan yang masuk." Arya membuka ponselnya segera.Mega setia menanti. Ia tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Arya kembali ke mejanya dan membiarkan Mega tetap berdiri di depan pintu ruangannya. Sama sekali tidak memberi ijin agar wanita itu masuk ke rua
"Pak Arya."Suara itu kembali terdengar hingga Dinda meletakkan minumannya di meja. Suara itu mengingatkannya pada seseorang. Mita tidak kalah terkejut. Wajahnya tampak tegang dan sedikit panik. Pertanyaan besar muncul di benaknya. "Beneran itu doi?" tanya Mita pada Dinda yang bergeming dengan dahi berkerut. Arya berdeham sebelum membuka pintu ruangannya. Sosok Mega Sandrina berdiri kaku di depan pintu begitu mengetahui jika ada orang lain di ruangan itu."Maaf! Rupanya sedang ada tamu. Mungkin lain waktu saja saya datang lagi." Mega langsung putar haluan. Melihat Dinda yang menatap dirinya dengan begitu tajam, ditambah lagi Mita yang disertai wajah garangnya, Mega memilih langkah aman. Lebih baik ia menghindar daripada terlibat masalah dengan istri pemilik kampus. Arya tidak berkata apapun. Ia menatap kepergian Mega tanpa ekspresi, lalu menutup kembali pintu ruangannya. "Anggap saja itu intermezo. Iklan memang seringnya datang tanpa diundang.""Beneran'kan yang gua bilang kemarin,
"Mega Sandrina," gumam Arya pelan. "Apa yang dia lakukan di sini?"Arya terus mengamati gerakan Mega yang masih asyik berbicara dengan sekumpulan mahasiswa. Tidak lama kemudian, Mega berbalik kembali masuk ke mobil putihnya. Mobil itu berjalan pelan keluar dari area koperasi mahasiswa, lalu melesat ke arah fakultas ekonomiKening Arya kembali mengernyit. "Kenapa ke fakultas ekonomi? Jangan-jangan dugaan Dinda benar?"Sosok pria yang pernah dengan Arya sewaktu mereka di Inggris, ternyata tidak mengarah ke Arya. Pria itu masuk ke koperasi mahasiswa lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas untuk digandakan. Arya kembali menjalankan mobilnya. Pikirannya dipenuhi dengan nama Mega. Apa yang perempuan itu lakukan di kampus ini? Pertanyaan ini terus hilir mudik di kepala Arya, membuat dirinya tidak sabar untuk menghubungi Rudy."Ya. Selamat Siang, Pak Arya.""Ada Mega Sandrina di kampus. Apakah ada tujuan dirinya kembali kemari?"Rudy terkejut. "Bu Mega? Mega Sandrina maksud Pak Arya?""Betu
Arya mengusap lembut kepala Dinda. "Bagaimana ya mengatakannya?" Arya bersikap seolah dirinya berada dalam kebingungan yang sangat. Sayangnya, itu tidak berlangsung lama. Wajah panik Dinda membuatnya urung meneruskan drama dadakannya."Bukan soal siapa atau orang, melainkan mengapa perekrutan itu dilakukan ketika saya masih berada di luar negeri."Arya mengajak Dinda untuk duduk di sofa yang memang sengaja diletakkan di samping pintu balkon kamarnya."Siapa?" Dinda menjadi penasaran."Siapa lagi kalau bukan mereka yang ada di kampus."Dinda mencebikkan bibirnya. "Kalau nggak niat cerita ya udah nggak usah cerita. Saya kan jadi sebel." Dinda melepaskan pelukan Arya."Yaaa, kenapa marah?" Arya tidak mengerti dengan perubahan ekspresi di wajah Dinda yang begitu drastis. "Nggak marah, cuma kesel. Sebel." "Merasa kesel dan sebel pasti ada alasan di belakangnya. Apa itu tidak sesuai dengan tebakan kamu?"Dengan polosnya, Dinda mengangguk. "Saya kira dia yang malas saya sebutkan namany