Matahari belum tampak, tapi dua pasang mata itu sudah terbuka.Dua insan saling mendekap di bawah selimut putih tanpa sehelai benang pun. Mereka masih menikmati sisa rasa cinta yang selama beradu hangat.Bara mengecup rambut istrinya berkali-kali. Akhirnya ... dia mendapatkan raga dan hati Alya."Terima kasih sudah menerima hatiku, Al.""Terima kasih telah mencintaiku, Mas."Bara semakin mengeratkan pelukannya. "Aku berharap di sini segera datang buah cinta kita, Sayang.""Amin," cicit Alya. Dia tersenyum di sandaran dada bidang suaminya. Rasanya sungguh bahagia, seorang pria dengan tingkat harta dan tahta tinggi menginginkan anak dari rahimnya."Aku ingin punya lima anak. Jika pria pasti akan tampan sepertiku, dan jika wanita pasti akan mewarisi kecantikanmu.""Lima?" Alya melipat bibirnya.Mereka terus tersenyum-senyum sendiri karena gejolak kebahagiaan yang terus meluap.Sekian saat.Seketika Alya teringat sesuatu. Dia lantas mendongak. "Bukankah Mas mau mengakui sesuatu? Sekarang
Kini, Alya telah berbalut dress muslimah elegan warna putih. Bara juga memakai setelan jas warna putih. "Aku nggak mau lagi kena prank kamu, Mas. Jujur kita mau ke mana sekarang? Pakaian couple seperti ini, nggak mungkin kan kalau kita mau jalan-jalan di jalan kota ini?" "Kita akan datang ke pesta dan aku akan mengenalkanmu pada beberapa temanku. Aku ingin mereka tahu seperti apa wajah cantik istriku." Alya tersenyum manis. "Nggak malu kalau mereka tahu kamu menikahi janda? Bukan anak pengusaha lagi." "Memangnya dosa apa aku menikahi janda? Aku hanya menikahi wanita yang kucintai. Janda atau perawan aku nggak buat standar dalam hal itu." "Jangan membual." Alya tersenyum lebar. Hatinya terus dibuat berbunga-bunga oleh suaminya. "Bukannya kamu bilang aku harus jujur?" --- Tiba di sebuah restoran mewah kota itu. Bara sengaja booking restoran itu jauh hari. Kini di tempat itu sudah sangat ramai di penuhi rekan pengusaha dan teman sekolah Bara. Ya, semua seperti yang tela
"Kamu panggil kami apa?" Mata Desi nyalang pada Alya. Alya meremas tautan tangannya. "Maaf, Tuan, Nyonya. Maaf, karena saya telah ada di tengah Anda berdua dan Mas Bara. Jika memang Anda berdua ingin Mas Bara bahagia, mohon Carikan wanita yang lebih dariku, tapi yang disukai Mas Bara." Dia menunduk menahan tangis. Desi memegang tangan Alya yang bertaut. "Panggil kami Papa dan Mama." Deg! Alya sontak mendongak. Dia menatap tak percaya pada dua paruh baya di depannya itu. Sedang Bara tersenyum dengan mata berkaca. Dia cepat mendekat pada kedua orang tuanya. "Papa dan Mama bilang apa pada istriku?" Bara ingin meyakinkan sekali lagi. "Istrimu adalah menantu kami, Bara." Yudha menepuk bahu anaknya. Bara lantas memeluk ayah dan ibunya bersamaan. "Makasih, Pa, Ma. Aku tahu kalian akan melakukan hal ini." Alya menutup mulutnya dengan dua tangan. Dia menangis, tangisan haru bahagia karena kesabarannya benar-benar terbayarkan. Ketulusannya benar-benar terbaca oleh mertuanya.
"Bayimu sudah pasti akan mati dan tidak mungkin bisa diselamatkan. Dokter sudah angkat tangan dan diperkirakan hanya bisa hidup kurang dari seminggu. Jadi dari pada kamu sedih, lebih baik aku beli bayi itu. Aku pasti akan memakankan dengan kayak."Orang tua bayi malang itu saling pandang. Dari keluarga sangat miskin yang tidak mungkin bisa mengupayakan pengobatan terbaik untuk anaknya. Apalagi dengan kondisi yang sangat jelas."Beberapa yang akan Anda bayar untuk bayi kami?" Dalam hati Ayah bayi itu tidak mau melewatkan kesempatan.Sedang ibu bayi hanya diam. Sedari tadi ingin bicara, tapi tak mampu. Bukan karena masih lemah setelah melahirkan, tapi karena suaminya mengancam dan menekan sedemikian rupa agar mau mengikutinya."300 juta. Sangat cukup besar untuk bayi sekaratn dan 100 juta untuk uang tutup mulut kalian," ucap Desi dengan senyum kecut."Baik, deal."Akhirnya Desi dan Yudha mendapat pion utama. Selama ini mereka berdua sudah cukup sabar. 1 tahun, mereka membiarkan Bara ana
"Ssstttt! Jangan bahas soal itu lagi. Aku takut ada yang dengar nanti dan kita pasti akan tendang dari sini. Jangan bahas yang nggak boleh kita bahas!""Aku tahu. Aku cuma kasihan aja sama istri Tuan Bara."Bara dan Ivan saling pandang dan saling angguk, lalu keduanya berpindah ke tempat lain.“Van, kamu dengar itu, kan?” Ivan mengangguk. “Mereka bilang, bayi Anda berbeda. Dari segi wajah dan kondisinya. Sepertinya ada yang tidak beres, Tuan.”Bara mengepalkan tangan, amarah dan kecewa bercampur di dadanya. “Cari tahu secepatnya. Aku ingin semuanya detail soal ini. Ingat, jangan sampai ada yang tahu soal ini.”“Baik, Tuan, akan saya selidiki.” Tatapan Bara kosong ke depan. “Menurutmu, siapa yang bisa melakukan ini? Rival bisnisku atau mungkin-” Dia ragu dengan kecurigaannya."Kalau rival bisnis, sepertinya terlalu jauh. Mereka tidak akan repot-repot mengurusi hal seperti ini, Tuan.""Jadi ... mungkinkah?" Bara menekan barisan giginya. Dia geram jika memang dugaannya benar.“Mungkin
"Hasil tes DNA-nya, Tuan. Silahkan Anda lihat sendiri." Bara menatap amplop itu.Di dalam mobil itu terasa makin mencekam. Hanya suara detak jam di dashboard yang samar-samar terdengar, seakan ikut menghitung mundur detik untuk Bara. Dada Bara naik turun, jantungnya berdegup cepat, sementara matanya terpaku pada tulisan kecil di atas lembaran hasil DNA yang perlahan dia tarik dari amplop itu.Diam. Pandangannya lurus menatap kertas itu, tetapi pikirannya berputar mencerna kenyataan yang baru saja terbaca.“Dia ... bukan anakku?” gumamnya hampir tanpa suara. Dia menghenpas nafas dalam-dalam yang tadi ditahan.Ivan yang duduk di sebelahnya masih diam memberi waktu Bara untuk menyerap kenyataan. Kabar itu berarti kekejaman yang terbungkus rapi oleh topeng kepura-puraan.Wajah Bara perlahan mengeras, sorot matanya menajam, seolah membidik bayangan kegelapan yang mulai tampak di baliknya. "Siapa dan kenapa melakukannya?!""Maaf, Tuan. Hasil penyelidikan saya seperti dugaan Anda."Bara t
"Siapa dia, Mas?" Tatapan Alya langsung terarah tajam pada wanita yang bergelayut manja di lengan suaminya. Wajahnya dibuat setenang mungkin, tapi terlalu sulit. Dadanya bergemuruh cemburu kesal.Bara membelalak, lidahnya kelu sambil menatap tangan Julia yang begitu erat di lengannya. "Ehm, Sayang. Dia temanku." Tersenyum kaku, dan gelisah tak karuan melihat wajah istrinya.Julia mengangkat dagu, menatap Alya dengan senyum kecil yang penuh arti. Dalam hati, dia justru menikmati situasi ini—mengharapkan Alya salah paham, berharap emosi wanita itu meledak. 'Ah, kenapa keberuntungan memang berpihak padaku. Pertemukan pertama yang sangat mengesankan dan akan kubuat sangat terkesan,' batin Julia.Julia semakin mengeratkan genggamannya di lengan Bara, lalu berbicara dengan nada manja, “Bara, tolong antar aku pulang, ya. Aku malas naik taksi. Aku juga lagi butuh teman hari ini. Dulu kamu selalu ada setiap aku butuh. Jangan karena kamu dah nikah, kedekatan kita jadi beda. Ayolah, kita lama n
“Apa maksud Mama soal makan malam sama Julia di rumah ini? Kenapa aku harus datang? Bukankah Mama yang undang Julia? Jadi Mama saja yang makan malam sama dia.” Bara mendesis kesal. Bayangan wajah Alya yang marah setiap kali Julia muncul kembali menghantui pikirannya. Dia tak ingin menambah luka pada hati istrinya.Desi melipat tangan di dada, menatap Bara tajam seperti memaksa. “Mama sudah bilang kamu akan datang. Julia itu teman masa kecilmu. Dulu hampir tiap hari dia datang ke rumah ini. Masa kamu bisa begitu saja lupa gitu aja? Kalian dulu sangat dekat dan jangan pakai alasan Alya buat nolak. Istrimu itu harus dikasih pengertian kalau kehidupan suaminya bukan kaya orang kampung. Kita itu sosialita.”Bara menggeleng dengan helaan nafas. “Nggak ada lagi kata ‘teman’ untuk lawan jenis, Ma. Masa lalu cukup jadi masa lalu, nggak mau aku ulangi. Apalagi untuk wanita seperti Julia.”Desi malah tersenyum tipis. “Kalau begitu, jadikan Julia lebih dari sekedar teman, Bara. Kalian sangat coco
"Kamu datang juga." Bara berdiri dengan senyum miring. Tatapannya tajam menghujam Ardi yang masih berdiri di ambang pintu."Saya nggak punya pilihan, Tuan Bara. Julia takkan membiarkanku hidup tenang kalau aku menolak." Ardi melangkah masuk, menutup pintu perlahan.Bara dan Ardi duduk berseberangan. Ada tiga orang di sana, Ivan datang mendampingi atasan."Julia." Bara menyebut nama itu dengan nada sinis. Seperti yang dia duga. "Apa lagi rencananya?"Ardi tersenyum tipis menatap Bara. "Dia ingin saya menghancurkan rumah tangga Anda."Mata Bara langsung memicing tajam. Dia menyeringai. "Lalu, kamu mau? Memangnya sudah lupa siapa aku? Selama ini aku membiarkanmu hidup tenang, karena kamu tidak muncul di depan istriku. Tapi sekarang, jangan harap kamu akan bisa melihat masa depan."Ardi menghela nafas. "Ibu mengambil uang dari Julia. Cukup banyak. Saat mereka datang, saya sudah langsung menolak. Tapi semua terjadi diluar kehendak saya. Jika saya tidak tunduk, dia akan menyeret kami ke pen
"Istriku kehilangan kebahagiaan dan lupa siapa dirinya karena kecelakaan hebat saat kami pulang dari rumah sakit pasca istriku melahirkan. Kami juga kehilangan bayi yang tampan. Namanya Zayn. Zayn ...." Benny tersenyum miris, sorot matanya ada luka yang sulit terobati.Pria itu belum pernah menceritakan kisah ini pada siapa pun. Tapi karena Bara memegang kartu As istrinya, dia harus bernegosiasi. Entah pakai cara apa pun.Bara diam, menahan emosi yang perlahan surut. Kata-kata Benny menembus pertahanannya. Dia juga punya istri yang sedang mulai bangkit dari keterpurukannya."Istriku tidak kuat menghadapi kenyataan. Dia tidak siap kehilangan." Benny melanjutkan. Suaranya lebih pelan. "Dia histeris setiap hari. Mencari anaknya, memanggil nama bayinya. Bayi itu anak pertama yang telah kami tunggu selama 5 tahun. Dia menangis tanpa henti, hingga aku tidak tega melihatnya. Hidupnya hancur dan aku tidak bisa hanya menyaksikan.""Lalu?" Bara menegakkan tubuhnya. Meski penasaran, wajahnya tet
"Mas, kamu menyuruhku bertemu dengan Mas Ardi di restoran? Jangan bercanda. Aku nggak mau." Alya melipat tangan di depan dada, raut wajahnya jelas penolakan."Sebenarnya aku kurang suka kamu menyebut pria itu 'Mas' bisakah kamu memanggil dengan sebutan lain?" Bara mengurai lipatan tangan istrinya, dan memegang dua tangan itu. Wajahnya menatap cemburu tak terima."Kayaknya sulit, Mas. Lagian aku panggil Mas bukan cuma sama Mas Ardi. Sama turir juga aku panggil Mas. Jangan berlebihan. Kita kembali ke pembahasan awal. Aku nggak mau ketemu dia.""Kamu nggak akan bertemu sama dia, Sayang. Kamu lihat saja nanti. Ikuti saja apa yang aku katakan.""Tapi jangan aneh-aneh, Mas." "Nggak akan."Bara mengeluarkan ponselnya, mengetik pesan cepat untuk Ardi.[Besok, jam 8 malam, Eleven Night Restaurant, private room.]Balasan dari Ardi datang hanya beberapa detik kemudian. [Dengan senang hati.]Alya memperhatikan suaminya. Terlihat tenang, tapi gerak-geriknya mengundang tanya. "Mas, jujur saja. Ada
"Nona Julia, Anda pasti akan suka dengan kabar ini. Alya menerima kedatanganku dan sudah tidak membahas soal kesalahan masa lalu. Kami bahkan bertukar nomor telepon." Ardi berdiri menatap Julia dengan senyum tipis, tapi tatapan tajam."Duduk!" Julia memainkan gelas berkakinya.Ardi memilih kursi di depan Julia. Tidak seperti yang lain menunduk di hadapannya, Ardi duduk dengan punggung tegak, ekspresi datar tenang."Bara adalah teman masa kecilku. Aku juga sangat dekat dengan keluarganya. Orang tua Bara sering mengeluh padaku tentang bagaimana anak mereka berubah menjadi durhaka sejak Alya datang. Kamu pasti paham. Mantan istrimu tidak pantas jadi istri seorang Bara."Ardi mendengarkan tanpa banyak reaksi. Hanya mengangguk pelan, mengiyakan apa yang dikatakan Julia."Lantas kenapa dulu merestui hubungan mereka?"Julia malah tertawa. "Karena pengaruh Alya yang begitu kuat, Bara bahkan sampai hampir kehilangan nyawanya. Orang tua mana yang sanggup melihat anaknya sekarat hanya demi seora
[Saya ingin bertemu dengan istri Anda atau Anda, Tuan Bara. Kapan dan di mana, saya yang menentukan. Ardi.] Mendapat pesan seperti itu, darah Bara mendidih. Tak sabar menanti besok atau lusa lagi, pria itu langsung menekan kontak Ardi dan .... Tersambung. Dan langsung diangkat Ardi. "Berani sekali kamu mengirim pesan seperti itu padaku! Memangnya siapa kamu, ha?!" sentak Bara, tepat setelah tersambung. "Saya? Bisa jadi saya yang akan menyelamatkan Alya saat ini, Tuan." Ardi terdengar tertawa kecil. Hingga Bara semakin marah. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan dari Alya sekarang?Aku tahu trik murahan seorang mantan sepertimu. Kamu datang berlagak peduli." Ardi kembali tertawa kecil, seakan puas pada sesuatu hal pada Bara. "Tuan Bara, lebih baik kita bertemu langsung. Bicara dengan kepala dingin. Tidak perlu emosi di telepon seperti ini." "Ok, besok kita akan bertemu. Dan aku pastikan kamu akan terima akibatnya setelah berani muncul di depan istriku!" Bara langsung memutus
"Aku terpaksa harus keluar kota beberapa hari, padahal ada yang harus segera kuselesaikan. Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal sebentar, Sayang?" Bara memeluk erat istrinya. Sungguh dia berat untuk meninggalkan Alya, tapi mau bagaimana lagi. Alya membalas pelukan itu dan mengangguk pelan. "Jangan lupa selalu kabari aku. Aku akan baik-baik saja kalau kamu juga baik-baik saja, Mas." Bara mengusap rambut pelan, dan menghirup aroma istrinya. "Aku pastikan mama nggak akan datang ke rumah selama aku pergi. Percayalah, aku akan selalu melindungimu. Tapi kalau sampai ada sesuatu yang membuatmu nggak nyaman, jangan menunda waktu langsung hubungi aku. Jangan buat aku cemas dan merasa bersalah karena kamu sedih dan terlambat datang." "Pasti. Aku pasti akan mengadukan padamu apa yang terjadi nanti." Alya melepas pelan pelukan itu. Lalu, dia tersenyum tipis, merasa tenang dengan jaminan suaminya. Bara bergegas meninggalkan rumah. ---- Keesokan harinya, di depan rumah mewah itu, seorang
"Kalau kamu tetap mau Alya di sini, jangan sampai orang tuamu menyakitinya. Kemarin ayah dan ibu melihat sendiri apa yang mereka lakukan pada anak kami. Sungguh kami tidak ridho. Kamu menikahi Alya bukan untuk direndahkan. Kalau seperti itu, ayah bisa saja membawa Alya darimu." Ayah Alya menatap tajam Bara, seolah menguliti niat di balik keteguhan menantunya.Bara merunduk sedikit, tangannya mengepal di atas lutut. "Aku minta maaf atas keteledoran itu, Yah. Sungguh tidak menyangka mama akan bertindak sejauh itu. Ini salahku dan menyesalkan sampai Alya harus menerima perlakuan tidak layak."Ibu Alya menghela nafas panjang, matanya sembab dan bengkak karena semalam banjir air mata. "Kami tahu kamu suaminya, Bara. Berhak menentukan di mana istrinya berada dan harus bagaimana. Tapi hati seorang ibu ini tidak bisa tenang setelah melihat anaknya diperlakukan seperti itu. Alya sudah kehilangan anaknya. Malah dihina seperti itu."Alya menyentuh lengan ibunya. "Bu, percaya sama Mas Bara. Dia n
Flash back saat Bara ada di panti asuhan."Tuan, ternyata bukan panti asuhan yang ini." Ivan menjelaskan setelah mendapat pesan dari bawahannya.Bara menggeram, tangannya mengepal hingga kukunya memutih. "Lantas, di mana anakku?"Baru saja mereka tiba di panti asuhan terdekat sesuai informasi awal. Mobil bahkan belum sempat berhenti sempurna ketika kabar baru datang. Tawanan pria yang sempat mereka bawa ternyata memberi informasi lain sebelum kehilangan kesadaran."Sebelum dia pingsan, dia menyebutkan lokasi lain," lanjut Ivan dan menunggu arahan lebih lanjut."Cepat ke sana sekarang. Tidak ada waktu untuk menunggu!" Bara menghentakkan punggungnya ke sandaran kursi, rahangnya mengeras. Dia dibuat frustrasi.Mobil melaju sangat cepat di bawah arahan sopir. Bara menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Dia melihat bayangan istrinya yang menangis di kuburan. Dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, mereka tiba di panti asuhan kedua."Ini panti asuhannya, Tuan."Begitu memastikan a
"Maksud Mama apa aku nggak bisa ketemu sama mas Bara lagi?" Alya berdiri gelisah, matanya tajam menatap Desi yang bersikap seolah tak punya rasa bersalah.Desi tersenyum culas. Tidak menjawab, malah melambaikan tangan pada dua pria berjas hitam yang berdiri di sudut ruangan. Dengan langkah cepat, mereka maju ke arah Alya."Apa ini, Mama? Jangan main-main!" Alya mundur, tubuhnya gemetar saat kedua pria itu mulai memegang lengannya. Dia berusaha berontak."Ikut saja. Kamu tidak punya pilihan lain kalau masih mau jadi menantuku." Desi terkekeh."Hey, Alya. Kamu itu harus didaur ulang biar layak pakai layak pajang. Kamu tahu sampah, kan? Nah harus masuk ke pabrik dulu biar jadi barang berguna." Julia tertawa kecil dengan menutup mulutnya.Alya menatap tajam Julia sambil terus memberontak, berusaha melepaskan diri dari genggaman mereka. "Mas Bara pasti akan marah dengan tindakan ini, Ma. Dia nggak akan tinggal diam.""Marah? Siapa yang peduli? Bara harus tahu apa yang terbaik untuknya. Di