"Siapa dia, Mas?" Tatapan Alya langsung terarah tajam pada wanita yang bergelayut manja di lengan suaminya. Wajahnya dibuat setenang mungkin, tapi terlalu sulit. Dadanya bergemuruh cemburu kesal.Bara membelalak, lidahnya kelu sambil menatap tangan Julia yang begitu erat di lengannya. "Ehm, Sayang. Dia temanku." Tersenyum kaku, dan gelisah tak karuan melihat wajah istrinya.Julia mengangkat dagu, menatap Alya dengan senyum kecil yang penuh arti. Dalam hati, dia justru menikmati situasi ini—mengharapkan Alya salah paham, berharap emosi wanita itu meledak. 'Ah, kenapa keberuntungan memang berpihak padaku. Pertemukan pertama yang sangat mengesankan dan akan kubuat sangat terkesan,' batin Julia.Julia semakin mengeratkan genggamannya di lengan Bara, lalu berbicara dengan nada manja, “Bara, tolong antar aku pulang, ya. Aku malas naik taksi. Aku juga lagi butuh teman hari ini. Dulu kamu selalu ada setiap aku butuh. Jangan karena kamu dah nikah, kedekatan kita jadi beda. Ayolah, kita lama n
“Apa maksud Mama soal makan malam sama Julia di rumah ini? Kenapa aku harus datang? Bukankah Mama yang undang Julia? Jadi Mama saja yang makan malam sama dia.” Bara mendesis kesal. Bayangan wajah Alya yang marah setiap kali Julia muncul kembali menghantui pikirannya. Dia tak ingin menambah luka pada hati istrinya.Desi melipat tangan di dada, menatap Bara tajam seperti memaksa. “Mama sudah bilang kamu akan datang. Julia itu teman masa kecilmu. Dulu hampir tiap hari dia datang ke rumah ini. Masa kamu bisa begitu saja lupa gitu aja? Kalian dulu sangat dekat dan jangan pakai alasan Alya buat nolak. Istrimu itu harus dikasih pengertian kalau kehidupan suaminya bukan kaya orang kampung. Kita itu sosialita.”Bara menggeleng dengan helaan nafas. “Nggak ada lagi kata ‘teman’ untuk lawan jenis, Ma. Masa lalu cukup jadi masa lalu, nggak mau aku ulangi. Apalagi untuk wanita seperti Julia.”Desi malah tersenyum tipis. “Kalau begitu, jadikan Julia lebih dari sekedar teman, Bara. Kalian sangat coco
"Mas! Mas Ardi! Siapa wanita itu, Mas? ... Mas! Mas Ardi jangan pergi! Mas Ardi jangan ... kumohon ...." Dia melihat sang suami melangkah tanpa ragu meninggalkanya. Suaminya menggendong bayi dan didampingi seorang wanita cantik. Tangisnya langsung pecah, dia luruh begitu saja di lantai. Wanita itu membekap mulutnya dengan gelengan tak percaya. Sakit ... bagai ada bilah pis4u taj4m meny4yat hati. Begitu miris, rasa cinta tulusnya ternyata terc4bik-cabik. Nyeri, ternyata kesetiaannya terkhianati. Padahal selama ini suaminya bersikap lembut dan mesra. Semakin nyeri saat suami bahkan tak menoleh lagi padanya. Keringat telah membasahi keningnya. Nafasnya tersengal berat dengan menggerakkan kepalanya tak karuan. "Mas!" Wanita itu terbangun duduk dengan nafas berat. Dia bergetar merangkup wajahnya. Katanya, firasat istri sangat kuat pada apa yang sedang dilakukan suaminya. Terutama soal berpalingnya hati. Wanita itu lantas menyambar ponselnya di nakas. Masih dengan tangan bergetar.
Suamiku menyebut nama wanita lain dengan sangat mesra. Memangnya dia mimpi apa?Gejolak emosi, beratnya pikiran, rasa gelisah bisa membentuk sebuah mimpi buruk.Mimpi buruk itu kini menganggu pikiran Alya. Dalam mimpi itu begitu jelas suaminya pergi dan kenapa bisa rasa sakit dalam mimpi terasa sangat nyata?"Mimpi itu pasti hanya karena aku tak mendapat kabar dan pikiranku jadi kacau. Mas Ardi nggak mungkin mengkhianatiku. Dia sangat menyayangiku, mana mungkin tega berpaling. Aku harus menjauhkan pikiran seperti itu." Alya menghembus nafas dari mulutnya sambil memegang dad4nya.Tangannya masih bergetar memegang kertas putih panjang itu. Dia memegang sangat kuat dan segera memasukkan pada kantong gamisnya. Wanita itu berniat mencari tahu kebenarannya.'Benar atau tidak semua pikiranku ini, harus aku cari tahu jawabannya. Aku nggak mau diam saja terjerat pikiran aneh-aneh. Meski selama ini tak ada tanda apa pun Mas Ardi berpaling, aku tetap harus mencari tahu kebenarannya, karena aku b
Saat seorang suami menunjukkan gelagat aneh dan sikap tak biasa, saat itulah rasa gelisah akan membawa pikiran istri pada banyak praduga.Alya menunjukkan wajah datar agar suaminya tidak waspada terhadapnya, sehingga dia bisa lebih mudah mencari pembuktian lain. "Mas, kamu sudah bangun? Memangnya ada hal penting apa sampai kamu mau bangun? Perasaan tadi kamu bilang mau tidur lagi karena masih capek. Habis makan saja langsung tidur lagi, padahal kamu selalu takut kalau punya perut buncit."Ardi mendekat dengan senyum kaku. "Sejak kapan kamu berdiri di situ, Al?" Jelas tampak wajah gusar. Pria itu menatap istrinya menunggu jawaban.Alya membalas tatapan itu sejenak, lantas menghela nafas. "Ehm, baru saja. Aku baru saja menyuruh Mbok Sari memandikan bayi itu karena aku belum berani."Ardi mengusap wajahnya kasar sambil mendes4h lega. "Oh, tadi panggilan dari direktur yang menyuruhku cepat meninjau proyek luar kota lagi.""Padahal kamu baru saja pulang, Mas. Direktur kamu itu pria atau wa
Jantung Alya berdetak kencang menunggu jawaban suaminya. Jika memang Ardi suami normal, pasti akan senang saat istrinya ikut ke luar kota. Apalagi kali ini hanya pulang sebentar tak sempat mengurai rindu. Mungkinkah suaminya tak lagi punya h4srat padanya, atau ada yang mengh4ngatkannya selama ini sampai dia sedingin itu padanya?"Aku ikut ke luar kota, ya Mas? Janji nggak akan ganggu kerja kamu. Aku cuma pengen dekat sama kamu saja. Soal Daffa aku bisa kok urus dia di sana? Please ... jangan tinggalin aku sendiri kali ini. Banyak kok suami yang bawa anak istri saat kerja di luar kota dalam durasi waktu lama." Sungguh, dada Alya takut merangkai kata itu. Dia takut karena takut mendapat penolakan suaminya. Masih posisi memeluk Ardi, Alya mengepalkan tangan kuat di belakang punggung suaminya. Kepalanya ditekan kuat pada d4da bid4ng Ardi. Dia memeluk semakin kuat.Ardi termangu belum menyahut, entah apa yang masih ada dalam pikirannya."Mas .... Apalagi kita belum sempat menghabiskan wak
"Apa ini? Kenapa ada yang mengirim pakaian bayi laki-laki ke rumah ini? Apa Mas Ardi sengaja memberi tahu temannya alamat ini? Tapi dia tidak mengatakan apa pun tadi. Bahkan dia berpesan agar jangan sampai ada yang tahu keberadaan bayi itu. Jangan sampai seorang pun. Lantas ini?" Alya menggeleng dengan dada sesak. [Titip anakku sebentar saja. Dan maaf, aku pinjam suamimu. Oh, maaf ini bukan pinjam.] Catatan dalam bungkusan itu juga tanpa nama. Hanya ada huruf 'R' di ujung paper note itu. "Bu." Pak Karto menehan Alya yang terhuyung. "Hah. Hah. Hah. Mas Ardi ...." Alya lemas dalam pegangan Pak Karto. "Pak, kita bawa Bu Alya masuk dulu." Mbok Sari sangat cemas lihat keadaan majikannya. Alya di dudukan di sofa ruang tengah. Wanita langsung tergeletak bersandar lemas dengan tatapan kosong ke depan. Dia masih memegang secarik note tadi. Pak Karto lantas membawa masuk pakaian bayi yang tadi terlepas dari pegangan Alya. "Istighfar, Bu. Ini semua belum pasti seperti apa. Misa jadi ini h
Kejutan? Jika itu kejutan manis, semua istri sangat menantikannya. Namun, ini kejutan pait yang Alya harus telan dengan isakan.Di sebuah restoran terdekat dengan perusahaan itu. Alya memilih private room agar bisa lebih leluasa bicara."Aku sudah memesan semuanya ini untukmu, Sind. Anggap ini traktiran karena lama kita nggak ketemu." Alya masih tersenyum dengan melihat bibirnya.Sindy menghela nafasnya. "Katakan saja, aku ada di pihakmu karena kita sama-sama wanita. Sebenarnya sudah lama aku ingin datang ke rumahmu, tapi aku terlalu sibuk karena ada pergantian CEO baru. Semua dirombak. Ini salah itu salah. Huh! Aku sampai hampir frustasi. Dan aku juga mengkhawatirkan suamimu. Dia libur terlalu lama. Ya, memang itu jatah cuti tahunan, tapi CEO baru ini nggak suka karyawan model seperti itu." "CEO baru? Ternyata aku salah dengar. Dia pasti laki-laki, jadi jauh dan keluar dari kecurigaanku." "Sebenarnya apa yang terjadi pada kamu dan Ardi? Kenapa bisa dia cuti dan sulit dihubungi sama