"Terjadi sesuatu pada Tuan Bara di sana, Nyonya. Anda diharap segera menyusul. Tuan Bara sangat butuh dukungan Anda saat ini. Dia-" Deg! Alya terhuyung memegang sisi sofa. Dia yang sedang berdiri melangkah pelan duduk di sofa. Tangannya langsung bergetar. Pikirannya sudah merambah pada praduga negatif. Jantungnya berdetak sangat kencang. Buliran keringat bahkan membasahi kening."Mas ...." Sesak rasanya. Alya hanya bisa menangis tanpa suara."Anda baik-baik saja, Nyonya?"Alya mengangguk. "Suamiku. Ya, aku harus cepat menyusulnya. A-aku akan bersiap."Alya gegas bersiap untuk menyusul Bara. Pikirannya sudah berkecamuk banyak macam.Wanita itu tidak berani bertanya apa pun pada bawahan Bara. Kenapa suaminya? Apa dia masih bernafas? Alya tidak sanggup meluapkan rasa takutnya. Dia takut akan mendapat jawaban yang tidak kuat didengar.'Mas, jangan berani macam-macam di sana! Jangan berani tidak sembuh! Jangan berani membuatku sendirian lagi. Aku mencintaimu Mas. Aku mau bersabar sampai m
Matahari belum tampak, tapi dua pasang mata itu sudah terbuka.Dua insan saling mendekap di bawah selimut putih tanpa sehelai benang pun. Mereka masih menikmati sisa rasa cinta yang selama beradu hangat.Bara mengecup rambut istrinya berkali-kali. Akhirnya ... dia mendapatkan raga dan hati Alya."Terima kasih sudah menerima hatiku, Al.""Terima kasih telah mencintaiku, Mas."Bara semakin mengeratkan pelukannya. "Aku berharap di sini segera datang buah cinta kita, Sayang.""Amin," cicit Alya. Dia tersenyum di sandaran dada bidang suaminya. Rasanya sungguh bahagia, seorang pria dengan tingkat harta dan tahta tinggi menginginkan anak dari rahimnya."Aku ingin punya lima anak. Jika pria pasti akan tampan sepertiku, dan jika wanita pasti akan mewarisi kecantikanmu.""Lima?" Alya melipat bibirnya.Mereka terus tersenyum-senyum sendiri karena gejolak kebahagiaan yang terus meluap.Sekian saat.Seketika Alya teringat sesuatu. Dia lantas mendongak. "Bukankah Mas mau mengakui sesuatu? Sekarang
Kini, Alya telah berbalut dress muslimah elegan warna putih. Bara juga memakai setelan jas warna putih. "Aku nggak mau lagi kena prank kamu, Mas. Jujur kita mau ke mana sekarang? Pakaian couple seperti ini, nggak mungkin kan kalau kita mau jalan-jalan di jalan kota ini?" "Kita akan datang ke pesta dan aku akan mengenalkanmu pada beberapa temanku. Aku ingin mereka tahu seperti apa wajah cantik istriku." Alya tersenyum manis. "Nggak malu kalau mereka tahu kamu menikahi janda? Bukan anak pengusaha lagi." "Memangnya dosa apa aku menikahi janda? Aku hanya menikahi wanita yang kucintai. Janda atau perawan aku nggak buat standar dalam hal itu." "Jangan membual." Alya tersenyum lebar. Hatinya terus dibuat berbunga-bunga oleh suaminya. "Bukannya kamu bilang aku harus jujur?" --- Tiba di sebuah restoran mewah kota itu. Bara sengaja booking restoran itu jauh hari. Kini di tempat itu sudah sangat ramai di penuhi rekan pengusaha dan teman sekolah Bara. Ya, semua seperti yang tela
"Kamu panggil kami apa?" Mata Desi nyalang pada Alya. Alya meremas tautan tangannya. "Maaf, Tuan, Nyonya. Maaf, karena saya telah ada di tengah Anda berdua dan Mas Bara. Jika memang Anda berdua ingin Mas Bara bahagia, mohon Carikan wanita yang lebih dariku, tapi yang disukai Mas Bara." Dia menunduk menahan tangis. Desi memegang tangan Alya yang bertaut. "Panggil kami Papa dan Mama." Deg! Alya sontak mendongak. Dia menatap tak percaya pada dua paruh baya di depannya itu. Sedang Bara tersenyum dengan mata berkaca. Dia cepat mendekat pada kedua orang tuanya. "Papa dan Mama bilang apa pada istriku?" Bara ingin meyakinkan sekali lagi. "Istrimu adalah menantu kami, Bara." Yudha menepuk bahu anaknya. Bara lantas memeluk ayah dan ibunya bersamaan. "Makasih, Pa, Ma. Aku tahu kalian akan melakukan hal ini." Alya menutup mulutnya dengan dua tangan. Dia menangis, tangisan haru bahagia karena kesabarannya benar-benar terbayarkan. Ketulusannya benar-benar terbaca oleh mertuanya.
"Bayimu sudah pasti akan mati dan tidak mungkin bisa diselamatkan. Dokter sudah angkat tangan dan diperkirakan hanya bisa hidup kurang dari seminggu. Jadi dari pada kamu sedih, lebih baik aku beli bayi itu. Aku pasti akan memakankan dengan kayak."Orang tua bayi malang itu saling pandang. Dari keluarga sangat miskin yang tidak mungkin bisa mengupayakan pengobatan terbaik untuk anaknya. Apalagi dengan kondisi yang sangat jelas."Beberapa yang akan Anda bayar untuk bayi kami?" Dalam hati Ayah bayi itu tidak mau melewatkan kesempatan.Sedang ibu bayi hanya diam. Sedari tadi ingin bicara, tapi tak mampu. Bukan karena masih lemah setelah melahirkan, tapi karena suaminya mengancam dan menekan sedemikian rupa agar mau mengikutinya."300 juta. Sangat cukup besar untuk bayi sekaratn dan 100 juta untuk uang tutup mulut kalian," ucap Desi dengan senyum kecut."Baik, deal."Akhirnya Desi dan Yudha mendapat pion utama. Selama ini mereka berdua sudah cukup sabar. 1 tahun, mereka membiarkan Bara ana
"Ssstttt! Jangan bahas soal itu lagi. Aku takut ada yang dengar nanti dan kita pasti akan tendang dari sini. Jangan bahas yang nggak boleh kita bahas!""Aku tahu. Aku cuma kasihan aja sama istri Tuan Bara."Bara dan Ivan saling pandang dan saling angguk, lalu keduanya berpindah ke tempat lain.“Van, kamu dengar itu, kan?” Ivan mengangguk. “Mereka bilang, bayi Anda berbeda. Dari segi wajah dan kondisinya. Sepertinya ada yang tidak beres, Tuan.”Bara mengepalkan tangan, amarah dan kecewa bercampur di dadanya. “Cari tahu secepatnya. Aku ingin semuanya detail soal ini. Ingat, jangan sampai ada yang tahu soal ini.”“Baik, Tuan, akan saya selidiki.” Tatapan Bara kosong ke depan. “Menurutmu, siapa yang bisa melakukan ini? Rival bisnisku atau mungkin-” Dia ragu dengan kecurigaannya."Kalau rival bisnis, sepertinya terlalu jauh. Mereka tidak akan repot-repot mengurusi hal seperti ini, Tuan.""Jadi ... mungkinkah?" Bara menekan barisan giginya. Dia geram jika memang dugaannya benar.“Mungkin
"Hasil tes DNA-nya, Tuan. Silahkan Anda lihat sendiri." Bara menatap amplop itu.Di dalam mobil itu terasa makin mencekam. Hanya suara detak jam di dashboard yang samar-samar terdengar, seakan ikut menghitung mundur detik untuk Bara. Dada Bara naik turun, jantungnya berdegup cepat, sementara matanya terpaku pada tulisan kecil di atas lembaran hasil DNA yang perlahan dia tarik dari amplop itu.Diam. Pandangannya lurus menatap kertas itu, tetapi pikirannya berputar mencerna kenyataan yang baru saja terbaca.“Dia ... bukan anakku?” gumamnya hampir tanpa suara. Dia menghenpas nafas dalam-dalam yang tadi ditahan.Ivan yang duduk di sebelahnya masih diam memberi waktu Bara untuk menyerap kenyataan. Kabar itu berarti kekejaman yang terbungkus rapi oleh topeng kepura-puraan.Wajah Bara perlahan mengeras, sorot matanya menajam, seolah membidik bayangan kegelapan yang mulai tampak di baliknya. "Siapa dan kenapa melakukannya?!""Maaf, Tuan. Hasil penyelidikan saya seperti dugaan Anda."Bara t
"Mas! Mas Ardi! Siapa wanita itu, Mas? ... Mas! Mas Ardi jangan pergi! Mas Ardi jangan ... kumohon ...." Dia melihat sang suami melangkah tanpa ragu meninggalkanya. Suaminya menggendong bayi dan didampingi seorang wanita cantik. Tangisnya langsung pecah, dia luruh begitu saja di lantai. Wanita itu membekap mulutnya dengan gelengan tak percaya. Sakit ... bagai ada bilah pis4u taj4m meny4yat hati. Begitu miris, rasa cinta tulusnya ternyata terc4bik-cabik. Nyeri, ternyata kesetiaannya terkhianati. Padahal selama ini suaminya bersikap lembut dan mesra. Semakin nyeri saat suami bahkan tak menoleh lagi padanya. Keringat telah membasahi keningnya. Nafasnya tersengal berat dengan menggerakkan kepalanya tak karuan. "Mas!" Wanita itu terbangun duduk dengan nafas berat. Dia bergetar merangkup wajahnya. Katanya, firasat istri sangat kuat pada apa yang sedang dilakukan suaminya. Terutama soal berpalingnya hati. Wanita itu lantas menyambar ponselnya di nakas. Masih dengan tangan bergetar.