Rahman tidak diizinkan masuk. Dokter masih menangani Aisyah. Sekuat tenaga Aisyah merasa harus berjuang untuk bayinya. Pintu UGD terbuka Rahman langsung menghampiri dokter Anisa yang menangani Aisyah.
“Tuan Rahman, ada yang harus saya katakana kepada Anda.”
“Silakan dokter.”
“Nyonya Aisyah harus segera operasi untuk menyelamatkan keduanya dan kami butuh tanda tangan Anda.”
Rahman seperti salah mendengar. Kandungan Aisyah saja baru lewat tujuh bulan. Jika harus lahir secara premature untuk keselamatan keduanya, Rahman hanya bisa menyerahkan semua keputusan kepada dokter.
Di dalam rumah tangga bukan hanya tentang kesadaran tentang apa yang dilakukan di masa lalu, bagaimana bagian dari masa lalu itu bisa diterima atau tidaknya tanpa membuat masa lalu itu kembali terulang. Aisyah tidak ingin bersedih dalam lautan air mata. Terpenting Rahman sampai detik ini masih menjadi Ayah untuk anaknya. Hari yang terus berganti meskipun ada jeda dan jarak yang membuat langkah seperti tersekat dan hati masih belum sepenuhnya utuh menerima kejujuran masing-masing. Sore itu Aisyah tampak kelelahan setelah semalam bergadang menjaga Bilal Al Wijayanto. Orangtua Rahman dan adiknya yang baru datang pun takut untuk membangunkan Aisyah. Tampak jelas rasa lelah hingga tidak mendengar langkah kaki mereka. Shelin pun dengan gemasnya mengelus-ngelus pipi Bilal. Bibir mungil anak itu pun menguap. &nb
“Eheeem…” Barulah Rahman melepaskan tubuh Aisyah saat Bu Reta datang mendekati mereka dengan berdehem. Aisyah mengelap ekor matanya untuk menghilangkan jejak airmata. Sambil tersimpul malu Aisyah pun melakukan kesibukan diri melanjutkan memasukkan baju ke mesin cuci. “Aisyah…” “Iya, Bu.” “Biarkan diurus Rahman, kita masak yuk, sayang…” &n
Di sebuah club malam yang hingar bingar oleh lampu yang berdiskotik. Manusia-manusia dengan berbagai rupa tengan menikmati keenjoyan malam yang gelap. Seakan melepas penat di badan membuang perasaan takut kepada Tuhan, mereka larut dalam kemabukkan. Cindy menegak gelas kecil minuman beralkohol yang telah dipesannya. Sementara Denia disampingnya hanya sesekali tersenyum melihati saja. Mata Cindy mulai merah. Otak di dalam kepalanya perlahan mulai bereaksi. Pandangannya mulai tidak jelas. “Are you sure still can drink?” tanya Denia. Cindy hanya mengangguk, dia sendiri sebenarnya juga tidak percaya. Lalu muncul dua orang laki-laki yang memang mereka tunggu dari tadi. Setelah cipika-cipiki hangat, tangan Dimas dan Arfan meletakkan pantatnya di sofa. Pelayan
Aisyah ditemani Rahman menuju ke receptionist untuk mengecek kembali jadwal dengan dokter. Hari ini sudah ada janji temu. Rahman berdiri di samping Aisyah sambil mengisi formulir yang harus diisi. Tanpa sengaja ekor mata Aisyah melihat ke arah sekitar dan melihat laki-laki yang diduga sebagai Arfan. Aisyah sangat paham kalau wajah Arfan belum melakukan operasi plastic jadi tidak mungkin dia salah lihat. “Mas, tunggu sebentar yah…” “Mau ke mana sayang?” “Sebentar saja.” “Baiklah, jangan lama-lama.” Masih dengan menggendong bayinya, Aisyah berjalan menuju ke ruang kamar yang tadi Arfan masuk ke dalam. Aisyah mendekatkan telinganya ke pintu. “Bagaimana kabarmu Denia?” Terdengar suara Arfan. Aisyah merasa penasaran kenapa Arfan menanyakan kabar Denia. Tidak mungkin Aisyah salah dengar, dia belumlah tuli. “As you see. Aku fine kan?” jawab Denia dengan senyuman. “Kamu memang wanita kuat. Sudah tidak sakit lagi
Aisyah masih berdiri di bawah shower. Keduanya matanya terpejam cuku lama. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan berpikir untuk semenit ke depan dia saja tidak bisa. Kedua kakinya hingga merasakan lemas dan akhirnya bersender di tembok. Di depan pintu kamar mandi Rahman berdiri mondar-mandir. Tangannya ingin mengetuk pintu namun merasa tidak yakin. Rahman mengusap wajahnya untuk menghilangkan kebimbangan. “Sayang…” Akhirnya Rahman mengetuk pintu kamar mandi juga. Sampai tiga kali ketukan belum juga dibuka, Rahman semakin gelisah. Dia takut terjadi sesuatu di dalam. “Sayang…” Rahman kembali mengetuk pintu
Rahman yang sedang menggoda Aisyah pun harus menghentikan aksinya itu. Aisyah mangangkat baby Bilal dalam pangkuannya sambil memberikan ASI. Kedua mata Rahman mengamati anak laki-lakinya tersebut begitu lahap, mungkin sangat lapar. “Mas…” Aisyah menyingkirkan pandangan Rahman yang terus saja melihatinya menyusui. “Why?” “Coba ngaji di dekat Bilal, Mas…” Rahman pun tersenyum. Suara azan dulu di rumah sakit begitu menenangkan tangis Bilal. Aisyah sebenarnya masih menyimpan rasa penasaran terhadap sisi kelebihan Rahman yang lainnya. Selama menjadi istrinya, meski sudah salat berjamaah bersama, namun Aisyah masih jarang mendengarkan Rahman mengaji.
Shelin merapikan meja kerjanya dan siap-siap untuk pulang. Dia melihat pesan di layar hand phonenya. Meski sedikit menggerutu dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu pak Darto menjemputnya. Shelin menarik kedua tangannya ke belakang untuk mengurangi rasa nyeri di punggungnya. Ternyata hari pertama bekerja di kantor lumayan membuat energinya terkuras. Pekerjaan yang menumpuk setelah kepergiaan sekretaris Rahman tanpa kabar. Membunuh jenuh menunggu pak Darto datang menjemput, Shelin bermain game di hand phone, sampai-sampai dia tidak sadar ada OB yang sudah berdiri di depan mejanya. “Mba Shelin…” suara OB itu tidak sampai ke telinga Shelin karena terlalu asyik nge-game. “Mba Shelin…”
Rahman menghampiri Aisyah yang sedang mengganti popok Bilal. Ditatapnya wajah mungil anaknya itu. Hingga Rahman tidak kuasa untuk menahan rasa haru yang sangat berharga. “Mas, kamu kenapa?” tanya Aisyah bingung, tiba-tiba melihat suaminya bertambah murung. “Anak ini telah menyelamatkan hidupku…” ucap Rahman lirih. Mendengar ucapan suaminya, membuat Asiyah bertambah bingung. Memang dari kemarin Bilal rewel menangis terus jika jauh dari ayahnya. Tapi apa hubungannya dengan yang dikatakan oleh Rahman. Rahman mengangkat Bilal dan mencium pipinya berulang kali. “Jika kamu tidak nangis terus Nak, mungkin Ayah yang sudah