Aisyah ditemani Rahman menuju ke receptionist untuk mengecek kembali jadwal dengan dokter. Hari ini sudah ada janji temu. Rahman berdiri di samping Aisyah sambil mengisi formulir yang harus diisi.
Tanpa sengaja ekor mata Aisyah melihat ke arah sekitar dan melihat laki-laki yang diduga sebagai Arfan. Aisyah sangat paham kalau wajah Arfan belum melakukan operasi plastic jadi tidak mungkin dia salah lihat.
“Mas, tunggu sebentar yah…”
“Mau ke mana sayang?”
“Sebentar saja.”
“Baiklah, jangan lama-lama.”
Masih dengan menggendong bayinya, Aisyah berjalan menuju ke ruang kamar yang tadi Arfan masuk ke dalam. Aisyah mendekatkan telinganya ke pintu.
“Bagaimana kabarmu Denia?”
Terdengar suara Arfan. Aisyah merasa penasaran kenapa Arfan menanyakan kabar Denia. Tidak mungkin Aisyah salah dengar, dia belumlah tuli.
“As you see. Aku fine kan?” jawab Denia dengan senyuman.
“Kamu memang wanita kuat. Sudah tidak sakit lagi
Jangan lupa, like, koment, dan votenya yah, terima kasih.
Aisyah masih berdiri di bawah shower. Keduanya matanya terpejam cuku lama. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan berpikir untuk semenit ke depan dia saja tidak bisa. Kedua kakinya hingga merasakan lemas dan akhirnya bersender di tembok. Di depan pintu kamar mandi Rahman berdiri mondar-mandir. Tangannya ingin mengetuk pintu namun merasa tidak yakin. Rahman mengusap wajahnya untuk menghilangkan kebimbangan. “Sayang…” Akhirnya Rahman mengetuk pintu kamar mandi juga. Sampai tiga kali ketukan belum juga dibuka, Rahman semakin gelisah. Dia takut terjadi sesuatu di dalam. “Sayang…” Rahman kembali mengetuk pintu
Rahman yang sedang menggoda Aisyah pun harus menghentikan aksinya itu. Aisyah mangangkat baby Bilal dalam pangkuannya sambil memberikan ASI. Kedua mata Rahman mengamati anak laki-lakinya tersebut begitu lahap, mungkin sangat lapar. “Mas…” Aisyah menyingkirkan pandangan Rahman yang terus saja melihatinya menyusui. “Why?” “Coba ngaji di dekat Bilal, Mas…” Rahman pun tersenyum. Suara azan dulu di rumah sakit begitu menenangkan tangis Bilal. Aisyah sebenarnya masih menyimpan rasa penasaran terhadap sisi kelebihan Rahman yang lainnya. Selama menjadi istrinya, meski sudah salat berjamaah bersama, namun Aisyah masih jarang mendengarkan Rahman mengaji.
Shelin merapikan meja kerjanya dan siap-siap untuk pulang. Dia melihat pesan di layar hand phonenya. Meski sedikit menggerutu dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu pak Darto menjemputnya. Shelin menarik kedua tangannya ke belakang untuk mengurangi rasa nyeri di punggungnya. Ternyata hari pertama bekerja di kantor lumayan membuat energinya terkuras. Pekerjaan yang menumpuk setelah kepergiaan sekretaris Rahman tanpa kabar. Membunuh jenuh menunggu pak Darto datang menjemput, Shelin bermain game di hand phone, sampai-sampai dia tidak sadar ada OB yang sudah berdiri di depan mejanya. “Mba Shelin…” suara OB itu tidak sampai ke telinga Shelin karena terlalu asyik nge-game. “Mba Shelin…”
Rahman menghampiri Aisyah yang sedang mengganti popok Bilal. Ditatapnya wajah mungil anaknya itu. Hingga Rahman tidak kuasa untuk menahan rasa haru yang sangat berharga. “Mas, kamu kenapa?” tanya Aisyah bingung, tiba-tiba melihat suaminya bertambah murung. “Anak ini telah menyelamatkan hidupku…” ucap Rahman lirih. Mendengar ucapan suaminya, membuat Asiyah bertambah bingung. Memang dari kemarin Bilal rewel menangis terus jika jauh dari ayahnya. Tapi apa hubungannya dengan yang dikatakan oleh Rahman. Rahman mengangkat Bilal dan mencium pipinya berulang kali. “Jika kamu tidak nangis terus Nak, mungkin Ayah yang sudah
Di kamar mandi, Aisyah mencuci wajahnya. Rahman tiba-tiba masuk dan mengagetkan istrinya. “Mas…” “Maaf sayang, tidak tahan.” Ucap Rahman. Efek setelah minum ramuan yang Aisyah buatkan memang keluar melalui air kencing. Rahman selesai membuang hajat kecilnya dan mencuci tangan membuat Aisyah harus bergeser. Rahman melihat wajahnya di cermin. Memandang wajahnya sendidi sekian lama. Aisyah tampak heran melihat suaminya itu. Tiba-tiba ucapan Rahman membuat Aisyah ingin tertawa. “Aku sudah kelihatan tua ya sayang?”&
Tanah pemakaman masih menunjukkan lambang kesedihan. Bunga segar ditabur di atas puntukkan tanah. Langit berarak awan hitam. Hanya orang-orang terdekat yang mengikuti proses pemakaman. Rahman memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Kacamata hitam yang dia kenakan bisa menutupi kesedihan yang tertahan. Satu persatu orang pergi meninggalkan Shelin sendirian. “Mas…” Aisyah mendekati suaminya. “Kita pulang, sayang…” Rahman mengelus lengan istrinya. Rumah masih dalam suasana berkabung. Ibu Reta sudah lebih membaik mengontrol emosinya. Kamar Shelin dirapikan untuk menurunkan semua kenangan anaknya itu. Meski tidak rela anaknya sudah tiada, namu
Tiga bulan berlalu. Rahman masih menyikapi kecelakaan Shelin dengan kepala dingin. Meski dalam hatinya ingin segera untuk melumpuhlan lawannya yang sembunyi di balik senyuman. Siang itu saat Rahman menghadiri rapat tertutup tanpa sengaja dia bertemu dengan Dimas. Keduanya saling pandang. Kedua mata saling beradu, Rahman menganggap bukan kebetulan bisa bertemu dengan Dimas. “Rahman, sudah kamu temukan dalam yang menyebabkan kecelakaan itu?” Langkah kaki Rahman pun berhenti saat mendengar Dimas bertanya seperti itu. Rahman membalikkan badan dan menatap Dimas penuh tanya. Rasa penasaran mulai mengganggu pikirannya. “Apa yang kamu ketahui?” Rahman balik tanya.
Pov Aisyah Satu tahun kemudian. Semua perjalanan hidup yang telah kulalui di ibukota ini tidaklah seindah impian.Lika-liku perjuangan untuk mempertahankan dengan apa yang telah dicapai ternyata tidak mudah. Mertuaku, kembali ke Singapura untuk melanjutkan kehidupannya di sana. Sedangkan aku terus belajar untuk mendampingi suamiku mengurus perusahaan dan juga rumah tangga, yang tentunya masih setia mbok Darsih. Kedua anak kami tumbuh dengan sehat tanpa kekurangan suatu hal apa pun. Bilal dan Kuat sama-sama mendapatkan kasih sayang yang rata. Aku dan Rahman, sudah berdiskusi untuk membicarakan masa depan Kuwat. Jika mbok Darsih sudah tidak lagi kuat bekerja, maka kami akan tetap merawat Kuwat dan juga mbok Darsih dengan baik. &nb