Di kamar mandi, Aisyah mencuci wajahnya. Rahman tiba-tiba masuk dan mengagetkan istrinya.
“Mas…”
“Maaf sayang, tidak tahan.” Ucap Rahman.
Efek setelah minum ramuan yang Aisyah buatkan memang keluar melalui air kencing. Rahman selesai membuang hajat kecilnya dan mencuci tangan membuat Aisyah harus bergeser.
Rahman melihat wajahnya di cermin. Memandang wajahnya sendidi sekian lama. Aisyah tampak heran melihat suaminya itu. Tiba-tiba ucapan Rahman membuat Aisyah ingin tertawa.
“Aku sudah kelihatan tua ya sayang?”
&
Dear pembaca, akan ada kejuatan apa yah, di hari pemakaman Shelin? Jangan lupa votenya yah. Terima kasih.
Tanah pemakaman masih menunjukkan lambang kesedihan. Bunga segar ditabur di atas puntukkan tanah. Langit berarak awan hitam. Hanya orang-orang terdekat yang mengikuti proses pemakaman. Rahman memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Kacamata hitam yang dia kenakan bisa menutupi kesedihan yang tertahan. Satu persatu orang pergi meninggalkan Shelin sendirian. “Mas…” Aisyah mendekati suaminya. “Kita pulang, sayang…” Rahman mengelus lengan istrinya. Rumah masih dalam suasana berkabung. Ibu Reta sudah lebih membaik mengontrol emosinya. Kamar Shelin dirapikan untuk menurunkan semua kenangan anaknya itu. Meski tidak rela anaknya sudah tiada, namu
Tiga bulan berlalu. Rahman masih menyikapi kecelakaan Shelin dengan kepala dingin. Meski dalam hatinya ingin segera untuk melumpuhlan lawannya yang sembunyi di balik senyuman. Siang itu saat Rahman menghadiri rapat tertutup tanpa sengaja dia bertemu dengan Dimas. Keduanya saling pandang. Kedua mata saling beradu, Rahman menganggap bukan kebetulan bisa bertemu dengan Dimas. “Rahman, sudah kamu temukan dalam yang menyebabkan kecelakaan itu?” Langkah kaki Rahman pun berhenti saat mendengar Dimas bertanya seperti itu. Rahman membalikkan badan dan menatap Dimas penuh tanya. Rasa penasaran mulai mengganggu pikirannya. “Apa yang kamu ketahui?” Rahman balik tanya.
Pov Aisyah Satu tahun kemudian. Semua perjalanan hidup yang telah kulalui di ibukota ini tidaklah seindah impian.Lika-liku perjuangan untuk mempertahankan dengan apa yang telah dicapai ternyata tidak mudah. Mertuaku, kembali ke Singapura untuk melanjutkan kehidupannya di sana. Sedangkan aku terus belajar untuk mendampingi suamiku mengurus perusahaan dan juga rumah tangga, yang tentunya masih setia mbok Darsih. Kedua anak kami tumbuh dengan sehat tanpa kekurangan suatu hal apa pun. Bilal dan Kuat sama-sama mendapatkan kasih sayang yang rata. Aku dan Rahman, sudah berdiskusi untuk membicarakan masa depan Kuwat. Jika mbok Darsih sudah tidak lagi kuat bekerja, maka kami akan tetap merawat Kuwat dan juga mbok Darsih dengan baik. &nb
Pov Aisyah Ku atur napas setelah sampai di atas. Sambil berjalan menuju ke posisi dimana Bilal sedang duduk anteng bermain dengan mainannya. Kubalikkan badan sedikit melototi wajah suamiku yang kelihatan tidak berdosa. “Mas, kamu manggil aku ada apa?” tanyaku serius. “Ini sudah habis ya, sayang?” Rahman melihatkan botol minyak telon. Tatapannya juga begitu aneh atau hanya aku yang overreacting. Akupun menarik napas lebih panjang dan menghempaskan pelan. Aku kira terjadi sesuatu dengan Bilal. Botol yang kosong kuganti dengan yang baru. Kucium badan Bilal, sudah wangi minyak telon. An
Pov Aisyah Kusingkirkan wajah Rahman dari ciuman yang lekat tadi. Aku harus segera menyadarkannya. Jam sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Kami harus segera sampai di ruang meeting. Aku berjalan di samping Rahman layaknya seperti seorang sekretaris. Pintu lift terbuka, kami pun masuk dan menekan tombol angka tujuh. Di dalam lift Rahman memegang tanganku. Terasa hanyat sekaligus dingin. Entah perasaanku saja atau ini hanya karena di dalam lift memang dingin. “Mas, kamu siap kan untuk meeting?” “Kan ada kamu sayang…” “Tapi kamu CEO-nya, Mas.” &
Pov Rahman Ingin kukatakan pada istriku. Namun aku terlalu takut. Kebenaran ini belum juga bisa kuterima dengan ikhlas. Mungkin ini adalah hukuman untukku dari Tuhan. Aku terlalu belum siap untuk jujur. Selama ini Aisyah begitu tulus menerima setiap keburukanku. Dia ikhlas mencintaiku tanpa syarat. Meski awalnya dia ingin menyelematkan dirinya dari dosa. Aku yang membuatnya masuk ke lembah penuh dosa. Untuk menghindari itu semua, Aisyah rela untukku nikahi. Awalnya aku tidak yakin untuk menikahinya. Bagimana bisa aku hidup menjadi ikatan pernikahan jika anak saja tidak akan kumiliki. Rasanya percuma. Namun istriku memberikan kepercayaan untuk ikhtiar. Kami jalani bersama. Namun
Pov RahmanKuamati istriku yang sudah sibuk bersama mbok Darsih menyiapkan sarapan. Sementara kedua anak-anak aku yang menjaganya. Tetapi tentu saja dengan bantuan baby sitter yang hanya bertugas membantu saja. Sebagai seorang suami tentunya aku tidak mungkin tega untuk membiarkan istriku terlalu kecapean.Bilal dan Kuwat yang hanya terpaut jarak tiga bulanan kelihatan tumbuh seimbang. Meski badan Bilal lebih kecil tapi aktifnya sama saja.“Mas, makan dulu…” panggil Aisyah.Aku pun membawa Bilal dan Kuwat ke meja makan.“Mamamama makan…”Kududukkan anak-anak ke kursi khusus untuk mereka. Dengan khidmat kami berdoa bersama. Saat sedang makan, Bayu masuk dari pintu dapur. Tatapan seperti penting namun dia urungkan melihat kami sedang makan. Sudah menjadi peraturan untuk pekerja di sini, di saat keluarga sedang makan jangan pernah diganggu.Bayu berdiri tegap di dekat pintu keluar dapur
Langit biru membentang di cakrawala biru. Sepanjang jalan menampakkan pesonanya. Menjadikan decak kekaguman pada hati yang kosong oleh perasaan. Hanyut dalam lebur kebimbangan.Waktu berjalan beriringan terus mengisahkan penambahan persoalan hidup. Ragam hati yang mudah terbolak balik oleh waktu. Mencari titik temu untuk kita bisa menyikapi lebih bijak. Bukan tentang perasaan saja melainkan keinginan.Dari sudut pandang ekor mata Rahman memperhatikan Bayu, bahkan bukan sakadar memperhatikan saja. Melainkan pelan-pelan sambil membaca sifat yang dimiliki body guard yang terbilang masih muda.Semakin waktu, Bilal juga bisa akrab dengan Bayu. Sepanjang sore, Bayu mengajak bermain Bilal dan Kuwat yang kedua kakinya sudah kokoh berlarian mendendang bola. Dengan kesibukan yang Rahman lakukan di balik meja terkadang membuat jeda hubungan antara ayah dan anak. Namun untuk kasih sayang, Rahman tidak pernah mengurangi sedikit pun. Selalu ada waktu dan tempat untuk mendenga
Pov Aisyah Dear Diary, Senyum ini menjadi saksi. Bahwa hati ini telah sepenuhnya merima dan menjalankan takdir yang Tuhan berikan. Bersanding denganmu di pelaminan, kuanggap sebagai baktiku sebagai seorang istri yang patuh terhadap wasiat terakhirmu. Bukan karena hasrat dunia yang sepi akan kesendirian setelah kepergianmu. Rahman Wijanto. Laki-laki yang hadir dalam napas langkah kaki ini. Di kota asing yang baru pertama kali kujajaki untuk mencari pencarian yang kini telah kusudahi karena pencarian panjang bagaikan langkah buntu yang tidak kutemukan titik pasti, meski aku belum menyerah hanya memilih pasrah. Penjara suc
Pov Aisyah Wajah itu perlahan mulai menghiasi hari-hariku. Semakin hari dunia ini seolah menuntunku untuk menemukan senyuman yang mulai memudar oleh kebimbangan. Saat ini, di sampingku masih setia sosok Bayu yang sigap membantu tanpa pamrih. Betapa khawatirnya hatiku saat mendengar dia ingin pergi. Bukan karena cinta itu tumbuh dalam hatiku, melainkan aku belum siap untuk memapah dunia ini sendirian. Menjaga anak-anak dan perusahaan. Ayah mertua sudah terbaring lemah dan tidak berdaya untuk mengurus semua perusahaan. Di tangan Bayu-lah kami menyerahkan semua kepercayaan. Sedangkan ibu Reta, ibu mertua yang selalu memberikanku keyakinan, akan pernikahan kedua membuat diri ini siap untuk membuka lembaran baru. Meski tidak mudah bagiku untuk membuka pint
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, angina sore masih memberikan nuansa kebimbangan di dalam hati Aisyah. Perut semakin membesar dan masih menyimpan kewajiban serta tanggung jawab yang dia simpan seorang diri. Alhamdulilah, Bilal dan Kuwat tumbuh menjadi anak yang tidak merepotkan. Dua jagoan itu dapat merasakan kebimbangan yang sedang Aisyah rasakan. “Mommy…” Bilal mendekati Aisyah yang tadi tampak menyimpan kesedihan. Sudah satu jam lebih, pena di jemarinya tidak bergerak sama sekali. “Iya, sayang…” “Kapan Adik lahir, Mommy?” “Inysa Allah sebentar lagi sayang. Oh yah
Perut Aisyah sudah tidak lagi menahan lapar. Dalam hati yang masih merintih dalam diam menyaksikan Rahman terbaring lemah. Andai saja dia bisa berbuat sesuatu yang menyembuhkan sakitnya pasti sudah diberikan. Kini hanya doa dan memohon mujizat Tuhan. Apa pun yang terjadi semua itu karena campur tangan-Nya. Bayu berdiri dan berpaling meningglkan Aisyah yang masih menunggu Rahman dengan melantunkan dzikir-dzikir penenang hati. Sudah tugasnya untuk menjemput anak-anak pulang sekolah. Rahman seperti melihat kabut-kabut putih yang sangat lebat. Dia melihat pandangan yang tidak bisa ditembus oleh mata. Betapa pekatnya kabut putih yang menghalangi arah mata pandangan Rahman. Masih berdiri, Rahman menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keberadaan posisi dirinya. Tid
Sudah satu jam tidak menemukan kata-kata mutiara. Aisyah tampak lelah dengan isi di dalam otaknya. Namun dia berusaha agar tidak membuat stress mengingat ada calon anak yang akan keluar ke dunia. Melihat betapa kehidupan ini tidaklah seindah harapan maupun senyaman dalam perut. Aisyah mengelus perutnya secara perlahan. Seakan menjajak calon bayinya berdialog antara hati ke hati. Langit sudah merona, buku diary di atas meja segera dia simpan dan membawanya kembali ke dalam laci. Anak-anak juga terlihat mengulet dengan perlahan matanya mencoba untuk bergerak. Namun muncul kepanikan saat melihat tubuh kekar Rahman seakan tidak merespon. Dia tampak tenang. Bahkan wajahnya kelihatan lebih pudar. Aisyah mencoba untuk tenang dan meminta anak-anak segera mandi. “Kali
Dari deretan bangku baris ketiga Rahman dan Aisyah duduk untuk menyaksikan persembahan pentas anak-anak. Bayu yang duduk di sebelah Rahman sesekali melirik melihat Rahman yang wajahnya sudah kelihatan pucat. Rahman juga merasakan jika tubuhnya sudah tidak sekuat dahulu. Demi jagoan tercinta, dia paksakan untuk menjadi kuat. Tidak ingin terlihat lemah di depan anak-anak. Bagaikan menghitung hari yang pasti akan datang waktunya. Aisyah menggenggam tangan Rahman sambil tersenyum. Di dalam relung hatinya juga merasakan kekhawatiran. Suara MC sedikit melegakan hati Rahman, itu tandanya pertunjukan segera dimulai. Acara tampak sangat megah dengan hiasan panggung yang artistic. Semua wali murid yang hadir juga kelihatan dari kalangan atas. Rahman menutup mulutnya supaya tidak terlihat menguap.&n
Akhirnya Bayu sampai di depan sekolah Bilal dan Kuwat. Di tempat tunggu sudah ramai para asisten rumah tangga dan sebagian ibu dari anak-anak yang menunggu. Bagi Bayu jika ikut menunggu dengan mereka rasanya malu. Hingga dia memilih menunggu di dalam mobil dengan membuka kaca jendela. Sambil membaca majalah dapat menghilangkan pikiran yang membayangkan apa saja yang dilakukan majikannya di kamar tadi. Hal itu sangat membuat hati kecil Bayu merasakan cemburu namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Tidak mungkin mengatakan kejujuran. Lima menit berlalu, Bayu mengarahkan pandangannya melihat ke gerbang sekolah. Satu persatu anak-anak keluar, mereka disambut oleh yang menjemput. Bayu pun bergegas turun dari mobil dan menuju ke depan gerbang. “Om Bayu…”
Di ruangan meeting sudah berkumpul dengan posisi genap. Ini adalah pertama kali Aisyah memimpin rapat. Dari Rahman, Aisyah belajar agar bisa seperti posisi suaminya walau itu tidak mudah. “Lalu anak cabang yang ada di Bali bagaimana proses untuk ke depannya Nyonya Aisyah? Resort itu harus dikelola ulang supaya lebih baik. Selama ini banyak laporan yang ternyata disalah gunakan oleh anak buah Robi.” “Soal resort di Bali, bukankah sudah menjadi tugas Anda Pak Johan untuk memantau? Lalu bagaimana bisa anak buah Robi bisa melakukan tindakan tersebut? Dimana tugas Anda?” “Oh, jadi Anda menyalahkan saya?” “Tidak!”
Jus yang dibuatkan oleh Aisyah telah habis. Tidak menyisakan sedikitpun di gelas. Rahman memang paling bisa menghargai Aisyah. Terkadang apa yang dibuat oleh istrinya untuk dimakan, walau tidak selalunya enak dan manis. Namun ada rasa getir yang membuat lidah merasa ngilu, Rahman tetap menghabiskannya. “Sayang…” Aisyah menghentikan langkah saat Rahman memanggilnya. Ada perasaan khawatir menjadi satu. Bola mata saling beradu menjadi satu ciptakan rasa kelu melanda kalbu. Antara gamam dan kaku lidah membuat mulut sukar mengeluarkan kata-kata. “Istirahatlah Mas…” Aisyah mendekati Rahman dan mengecup bibirnya. Meski Rahman sempat ingin menolak namun Aisyah me