Pov Rahman
Kuamati istriku yang sudah sibuk bersama mbok Darsih menyiapkan sarapan. Sementara kedua anak-anak aku yang menjaganya. Tetapi tentu saja dengan bantuan baby sitter yang hanya bertugas membantu saja. Sebagai seorang suami tentunya aku tidak mungkin tega untuk membiarkan istriku terlalu kecapean.
Bilal dan Kuwat yang hanya terpaut jarak tiga bulanan kelihatan tumbuh seimbang. Meski badan Bilal lebih kecil tapi aktifnya sama saja.
“Mas, makan dulu…” panggil Aisyah.
Aku pun membawa Bilal dan Kuwat ke meja makan.
“Mamamama makan…”
Kududukkan anak-anak ke kursi khusus untuk mereka. Dengan khidmat kami berdoa bersama. Saat sedang makan, Bayu masuk dari pintu dapur. Tatapan seperti penting namun dia urungkan melihat kami sedang makan. Sudah menjadi peraturan untuk pekerja di sini, di saat keluarga sedang makan jangan pernah diganggu.
Bayu berdiri tegap di dekat pintu keluar dapur
Langit biru membentang di cakrawala biru. Sepanjang jalan menampakkan pesonanya. Menjadikan decak kekaguman pada hati yang kosong oleh perasaan. Hanyut dalam lebur kebimbangan.Waktu berjalan beriringan terus mengisahkan penambahan persoalan hidup. Ragam hati yang mudah terbolak balik oleh waktu. Mencari titik temu untuk kita bisa menyikapi lebih bijak. Bukan tentang perasaan saja melainkan keinginan.Dari sudut pandang ekor mata Rahman memperhatikan Bayu, bahkan bukan sakadar memperhatikan saja. Melainkan pelan-pelan sambil membaca sifat yang dimiliki body guard yang terbilang masih muda.Semakin waktu, Bilal juga bisa akrab dengan Bayu. Sepanjang sore, Bayu mengajak bermain Bilal dan Kuwat yang kedua kakinya sudah kokoh berlarian mendendang bola. Dengan kesibukan yang Rahman lakukan di balik meja terkadang membuat jeda hubungan antara ayah dan anak. Namun untuk kasih sayang, Rahman tidak pernah mengurangi sedikit pun. Selalu ada waktu dan tempat untuk mendenga
Desiran deru napas semakin menyatu. Melekatkan dua tubuh menjadi selimut hangat malam. Sepertinya malam ini adalah benar-benar malam panjang yang telah dinantikan setelah sebulan menahan diri. Menahan diri dari keinginan yang akhirnya bisa tercurahkan. Decak jantung mengikuti irama napas. Saling mengunci dalam ikatan cinta. Terkulai lemas setelah peluncuran puncak cinta membara. Menuju muara cinta untuk disematkan bibit-bibit doa. Bibir mengucapkan syukur alhamdulilah. Aisyah mengambil baju dan menuju ke kamar mandi setelah kira-kira lima belas menit tadi membiarkan benih lebih menyatu dengan rahimnnya dan berharap bisa segera dibuahi. Di dalam kamar mandi, Aisyah membersihkan diri. Menatap cermin dan melihat sayu matunya yang dari tadi menahan kantuk. Deraan malam
Perputaran waktu seakan tidak sinkron. Perubahan yang mendadak membuat laju kaki terkendala. Pagi ini yang bagaikan rush hour menuju kantor. Rahman mempercayakan Bayu untuk menjadi supir pribadinya. Setelah trauma tentang pak Darto hilang secara perlahan. Waktu telah menyapu kenangan silam. Kecelakaan yang membuat Shelin, adiknya harus meninggal setelah perjuangannya di meja operasi tidak bisa berhasil. Aisyah focus melihatkan gambar-gambar binatang dari flashcard. Dengan cara melihat gambar Bilal akan lebih mudah menangkap setiap kosa kata baru. Itu juga sangat bagus untuk tumbuh kembang anak. Rahman focus dengan pandangan jalanan aspal hitam yang pekat. Kendaraan lain ada yang menyalip bahkan terkadang Bayu juga harus menyalip. Cara menjalankan mobil, Bayu lumayan diacungi jempol. &nb
Aisyah telah selesai urusan di dapur. Dia naik ke atas. Lampu kamar Bilal juga masih menyala. Aisyah melihat ke kamarnya, masih ada Rahman yang sedang membacakan dongeng di atas tempat tidur. “Anak pintar belum tidur?” “Mama, sini…” Bilal menepuk kasur meminta Aisyah duduk di sampingnya. Rahman mengelus kepala Bilal sambil mengecup keningnya. Bunyi suara handphone mengharuskan Rahman keluar dan menjawab panggilan. Aisyah tersenyum melihat suaminya yang mengelus pundaknya. Meski masih diam dalam membaca gestur gerak gerik Rahman. Rahman berjalan ke teras kamar. Sambil memandang ke arah lang
Satpam kantor merasa keheranan melihat kedatangan Rahman dan Bayu mendadak malam-malam. Langkah tegak mereka membuat satpam yang bertugas langsung memberikan hormat. Rahman seperti biasa hanya mengangguk tidak banyak menyapa setiap satpam yang bertugas, kecuali jika memang ada yang perlu ditanyakan barulah Rahman akan membuka mulutnya. Lift terus naik ke atas gedung lantai tujuh. Bayu masih diam dan sigap di belakang Rahman. Meski terkadang matanya juga terasa berat sekali karena malam yang seharusnya bisa untuk istirahat tapi dia tetap setia bekerja untuk majikannya. Pintu lift terbuka, Rahman melangkah dengan kaki jenjanganya keluar dari dalam lift. Sementara Bayu masih sigap di belakang Rahman. &nb
Beberapa hari kuamati sikap dari suamiku. Bukan aku menuduh atau punya firasat kalau dia mempunyai wanita lain di luar sana. Karen hati kecilku sudah yakin, Rahman bukan orang yang dulu lagi. Perubahan secara fisiknya itulah aku bisa mengetahui apa yang sedang disembunyikan. Meskipun dia belum mau mengatakannya, tapi aku dapat merasakan sakit yang dia simpan. Saat itu di kantor sedang jam sibuk-sibuknya. Aku tetap memperhatikan sikap Rahman. Kerap sekali dia memalingkan wajahnya untuk menutupi lelah di matanya. Aku yakin itu bukan karena merasa mengantuk. Di rumah pun aku bersikap seperti biasa. Tidak ada yang kutunjukkan sikapku yang membuatnya merasa curiga. Perlakuan Rahman yang seolah dibuat baik-baik saja, masih bisa kumaklumi. Namun aku tetap mencari cara unt
Pov AisyahUjian datang bertubi-tubi di saat aku belum siap seutuhnya. Setelah kepergian mbok Darsih, waktu ini seakan berhenti sejenak. Masih kupandangi koper yang semalam sudah ditata rapi oleh suamiku.“Mommy…”“Iya, sayang…”Kupandang wajah polos buah hatiku dan Kuwat. Hati kecilku mengatakan untuk tetap strong karena mereka adalah tanggung jawab yang harus kuperhatikan.“Where is Daddy?”“With Om Bayu.” Jawab Bilal dan Kuwat.Kutinggalkan anak-anak di kamar dan pergi mencari Rahman. Di sebuah kamar yang jarang digunakan semenjak mertuaku belum lagi berkunjung ke Indonesia, terdengar suara yang tidak asing di telinga.Kutahan tangan untuk membuka pintu. Bukan bermaksud menguping namun hati kecilku merasa penasaran. Entah kenapa, jiwa kepo dalam hati ini gampang sekali untuk muncul di saat yang seharusnya tidak perlu.Suara itu tidak terlalu j
Pov Aisyah Rencana yang telah disusun kini berubah. Holiday yang di-planing tidak lagi sama seperti awal. Dua minggu setelah menunda waktu. Kepergiaan mbok Darsih secara mendadak membuat kami harus lebih menjaga perasaan. Kini, tenaga dan sedikit kekuatan perlahan menyatu. Kondisi Kuwat juga sudah stabil. Dia bisa ceria bersama Bilal. Dua anak selalu bermain bersama dan saling menyayangi. Dari lubuk hati kecilku, aku tidak ingin Kuwat merasa kahilangan kasih sayang. Selesai Subuh, sudah kupastikan bawaan yang harus dibawa sudah siap. Sementara Rahman masih menyelesaikan pekerjaan terakhir yang harus diselesaikan hari ini supaya tidak mengganggu waktu liburan di Singapura. &ldquo