Pov Aisyah
Rencana yang telah disusun kini berubah. Holiday yang di-planing tidak lagi sama seperti awal. Dua minggu setelah menunda waktu. Kepergiaan mbok Darsih secara mendadak membuat kami harus lebih menjaga perasaan.
Kini, tenaga dan sedikit kekuatan perlahan menyatu. Kondisi Kuwat juga sudah stabil. Dia bisa ceria bersama Bilal. Dua anak selalu bermain bersama dan saling menyayangi. Dari lubuk hati kecilku, aku tidak ingin Kuwat merasa kahilangan kasih sayang.
Selesai Subuh, sudah kupastikan bawaan yang harus dibawa sudah siap. Sementara Rahman masih menyelesaikan pekerjaan terakhir yang harus diselesaikan hari ini supaya tidak mengganggu waktu liburan di Singapura.
&ldquo
Rahman memijat pelan kelopak matanya. Dari depan pintu, Aisyah memperhatikan. Bukan karena factor bertambahnya usia, keletihan yang terpancar dari mata Rahman. Lubuk hati kecil Aisyah sangat yakin, jika suaminya mempunyai rahasia yang tidak ingin diketahuinya. “Mas…” Aisyah berjalan pelan menghampiri suaminya. “Sayang, anak-anak mana?” “Katanya mau istirahat dulu. Ibu juga menyuruhku untuk istirahat dulu.” “Kamu pasti juga capek kan sayang?” Rahman menggapai tangan Aisyah dan memangkunya. Laki-laki blesteran itu memang sungguh romantis, pandai mengambil hati. Setiap
Dari jarak yang dekat bahkan sangat dekat sekali. Bayu menangkap senyum Aisyah lebih manis. Hatinya merasa sedikit berdebar. Bayu menjadi ingat akan pembicaraannya dengan majikannya. Rahman sudah merencanakan holiday ini dengan baik. “Cintai istriku dan anak-anakku.” “Maksud Tuan?” “Setelah aku pergi kamu akan paham.” Yah. Tentu saja tidak mungkin Rahman akan ikhlas jika ada laki-laki lain di hati Aisyah. Namun takdir adalah ketetapan Tuhan. Dan semua ini adalah jalan terbaik. Bayu mengalihkan pandangan melihat kedatangan ibu Reta. “Aisyah…” 
Keluarga Wijayanto sudah siap untuk makan malam bersama di sebuah restoran ternama yang telah dipesan oleh ibu Reta. Anak-anak tampak sangat gembira sekali. Bilal dan Kuwat berjalan bergandeng tangan. Bayu tak lengah untuk menjaga dua bocah itu supaya tidak terpisah dan tidak menyebabkan kerusuhan di tempat umum. Walau anak-anak sebenarnya dapat menyesuaikan diri tidak banyak pecicilan. Untuk kesekian harianya, Aisyah memperhatikan wajah suaminya yang perlahan dia rasakan mulai redup. Pancaran dari aura matanya tidak seperti dulu. Bahkan sekarang ini, Rahman lebih intens dengan Bayu. Seakan-akan sebuah rahasia penting dikantongi oleh Bayu. Di meja yang telah disiapkan pelayan, mereka menanti menu yang telah dipesan. Bilal dan Kuwat masih asik bercengkrama dengan Bayu. Kedekatan mereka dengan Bayu, tidak lazim. Aisyah takut jika kasih say
Malam sangat indah sekali. Kamar ber-AC menjadi lebih panas dengan gairah yang mulai menguasai jiwa. Aisyah memegang wajah suaminya. Napas yang sangat dekat dan menyatu dalam menghirup oksigen. Dipandangnya mata Rahman yang terus memancar gairah. Aisyah hanya mampu memejamkan mata saat Rahman mengambil oksigen dari mulutnya. Secara perlahan, Rahman memberikan sensasi untuk istrinya. Tidak diragukan lagi dengan kemampuan Rahman. Dua manusia yang telah sah dalam ikatan cinta, berada di dalam selimut untuk melepaskan calon-calon penerus anak-anak shaleh dan shalehah. Aisyah mengerang, sentuhan Rahman membuatnya tidak kuat untuk menahan. Akhirnya Rahman pun perlahan membuat istrinya tidak menunggu lagi. Seluruh kekuatannya dia keluarkan hingga akhirnya tubuh Rahman berada di atas tubuh Aisyah sambil membuang napasnya.&nbs
Awan putih berarak tampak sangat cerah sekali. Bilal dan Kuwat bersama-sama mengayuh sepeda bersama ayah dan kakeknya. Bayu yang baru saja sampai mengantar air putih langsung siap siaga. Liburan ke Singapura bukan menjadi impiannya. Namun takdir juga yang mengantarkan ke negeri orang ini. Angin laut bertiup sangat menyejukkan pikiran dan hati. Ada perasaan tenang dan damai memandang deru ombak yang bagaikan berlarian mengejar satu sama lain. Aisyah duduk di atas bebatuan yang tertata. Memandang jauh ke negeri seberang. “Aisyah…” “Iya, Mom.” Aisyah menolehkan wajahnya melihat ibu mertuanya duduk di sebelahnya. Bersama-sama
Suara yang tidak asing lagi di telinga Aisyah. Dia memanggil istrinya dengan sebutan sayang yang berkharismatik. “Sayang…” Aisyah yang sedang memikirkan Rahman dari tadi sedikit terobat. Kegelisahan tidak lagi bersarang di dalam hatinya. “Sudah pulang, Mas?” “Iya, anak-anak kemana?” “Tadi sama Bayu, mungkin sudah tidur.” Padahal Aisyah juga belum pasti, apakah anak-anak tertidur atau masih main. Jarum jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Terlihat letih di kelopak Rahman.
Di dalam kehangatan selimut, dua tubuh manusia masih mengumpukan kekuatan untuk bisa bangkit dari ketidakberdayaan. Rahman merentangkan tangan kanannya dan menjadikan sandaran kepala Aisyah. Kelopak mata yang sudah berat sebisa mungkin tetap terjaga. Rahman mengusulkan untuk membersihkan diri bersama. Namun Aisyah menolak halus. “Kamu dulu saja sayang, rambut kamu kan panjang…” “Kamu dulu Mas, aku masih lemes…” Nada suara Aisyah yang pelan membuat Rahman merasa geli untuk mengusilinya lagi. Aisyah buru-buru menepis tangan Rahman dan mengambil baju. Rahman juga tidak beranjak untuk pergi ke kamar mandi, Aisyah inisiatif membersihkan diri sendiri dulu.
Terik matahari sudah sangat menyengat. Namun belum ada tanda-tanda anak-anak keluar dari wahana roller coaster. Aisyah sudah mulai mengantuk. Sesekali dia menguap dan menutup mulutnya. “Sayang, apa keinginan terbesar kamu yang belum kamu raih?” Aisyah berpikir cukup lama. Jika di flashback kembali, tujuan dia nekad keluar dari penjara suci adalah untuk mencari orangtuanya. Namun setelah sekian tahun tidak bisa mencari keberadaan orangtuanya, membuat Aisyah merasa kalau keinginannya itu sia-sia belaka. Mungkin ada rencana lain yang Tuhan siapkan untuk dirinya. “Aku sudah tidak tahu keinginan apa lagi Mas. Semua takdir ini jalanin aja seperti air. Terus mengalir… kita bisa ap ajika Tuhan berkendak.”