Suara yang tidak asing lagi di telinga Aisyah. Dia memanggil istrinya dengan sebutan sayang yang berkharismatik.
“Sayang…”
Aisyah yang sedang memikirkan Rahman dari tadi sedikit terobat. Kegelisahan tidak lagi bersarang di dalam hatinya.
“Sudah pulang, Mas?”
“Iya, anak-anak kemana?”
“Tadi sama Bayu, mungkin sudah tidur.”
Padahal Aisyah juga belum pasti, apakah anak-anak tertidur atau masih main. Jarum jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Terlihat letih di kelopak Rahman.
Di dalam kehangatan selimut, dua tubuh manusia masih mengumpukan kekuatan untuk bisa bangkit dari ketidakberdayaan. Rahman merentangkan tangan kanannya dan menjadikan sandaran kepala Aisyah. Kelopak mata yang sudah berat sebisa mungkin tetap terjaga. Rahman mengusulkan untuk membersihkan diri bersama. Namun Aisyah menolak halus. “Kamu dulu saja sayang, rambut kamu kan panjang…” “Kamu dulu Mas, aku masih lemes…” Nada suara Aisyah yang pelan membuat Rahman merasa geli untuk mengusilinya lagi. Aisyah buru-buru menepis tangan Rahman dan mengambil baju. Rahman juga tidak beranjak untuk pergi ke kamar mandi, Aisyah inisiatif membersihkan diri sendiri dulu.
Terik matahari sudah sangat menyengat. Namun belum ada tanda-tanda anak-anak keluar dari wahana roller coaster. Aisyah sudah mulai mengantuk. Sesekali dia menguap dan menutup mulutnya. “Sayang, apa keinginan terbesar kamu yang belum kamu raih?” Aisyah berpikir cukup lama. Jika di flashback kembali, tujuan dia nekad keluar dari penjara suci adalah untuk mencari orangtuanya. Namun setelah sekian tahun tidak bisa mencari keberadaan orangtuanya, membuat Aisyah merasa kalau keinginannya itu sia-sia belaka. Mungkin ada rencana lain yang Tuhan siapkan untuk dirinya. “Aku sudah tidak tahu keinginan apa lagi Mas. Semua takdir ini jalanin aja seperti air. Terus mengalir… kita bisa ap ajika Tuhan berkendak.”
Rahman merebahkan tubuh Aisyah ke kasur. Tangan kekarnya masih memainkan jari jemarinya. Aisyah sedikit tidak berdaya dengan permainan suaminya itu. “Mas… ah…” Selama ini Rahman jarang mendengar suara Aisyah mengerang saat bercinta. Tapi akhir-akhir ini, suara Aisyah saat bercinta membuatnya ketagihan. Bahkan rasa lelah di telapak kaki tidak dirasakan sama sekali. Rahman terus mengunci bibir Aisyah dan bermain di dalam. Pertukaran oksigen yang nikmat. “Ahhh… Mas…” Rahman langsung mengambil selimut dan melepas bajunya satu persatu. Geliat tubuh Aisyah sudah membuatnya semakin tidak sabar. Bibir ranum Aisyah mengigit lengan Rahman.&nbs
Pov Aisyah Setelah kami sampai di rumah, yang bagiku seperti istana itu. Kulihat suamiku langsung menuju ke kamar. Kupinta anak-anak juga beristirahat. Tidak lupa juga, kupinta Bayu untuk menjaga anak-anak. Saat langkah kaki ini sampai di depan pintu kamar, telingaku mendengar suara. Kutempelkan telingaku ke pintu dan mendengar suara samar-samar, entah dengan siapa Rahman mengobrol lewat hand phone. Kuraih gagang pintu karena tidak enak dilihat oleh Bayu yang mungkin sengaja atau tidak lewat. Rahman langsung mematikan panggilan telepon dan tersenyum melihatku. Namun kuartikan senyum itu sebagai kamuflase belaka. Aku pura-pura tidak tahu dan memang belum ingin tahu. Saat ini tubuhku butuh istirahat dan tenang memikirkan ke dunia nyata. Yah, setelah sat
Pov Aisyah Jadi selama ini suamiku telah menyembunyikan sakit yang tidak ringan menurutku. Sakit dia tahan sendiri. Aku masih merenungi kertas yang masing kupegang ini. Diagnosa dokter membuat hatiku sangat takut sekali. Belum siap dengan segala prediksi yang dokter perkirakan. Bagiku, waktu empat bulan itu sangatlah pendek. Entah bagaimana aku harus memberitahu mertuakau. Atau mereka juga sudah tahu. Tanpa terasa airmataku menetes dengan sendirinya. “Mommy, why are you crying?” Tanpa kusadari, suara Bilal menghampiriku. Sungguh tidak tega aku melihat anak itu apabila mengerti masalah orangtuanya.&nb
Tidak banyak aktivitas pergerakan selama di kantor. Rahman lebih banyak duduk di kursi empuknya. Sementara Aisyah lebih banyak menghandel semua berkas-berkas perusahaan. Perubahan sudah mulai tampak jelas. Raut wajah Rahman sudah perlahan kehilangan aura cerianya. Tatapannya banyak kosong dan kelihatan sayu. Tok tok! “Silakan…” Bayu datang bersama anak-anak sambil membawakan makan siang. Sekalian menjemput Bilal dan Kuwat dari sekolah. Kehadiran jagoan kecil membuat bibir Rahman tersungging. Dia tersenyum sambil menyambut jagoannya itu. “Daddy di sekolah akan ada pentas drama.” “Ohh
Jus yang dibuatkan oleh Aisyah telah habis. Tidak menyisakan sedikitpun di gelas. Rahman memang paling bisa menghargai Aisyah. Terkadang apa yang dibuat oleh istrinya untuk dimakan, walau tidak selalunya enak dan manis. Namun ada rasa getir yang membuat lidah merasa ngilu, Rahman tetap menghabiskannya. “Sayang…” Aisyah menghentikan langkah saat Rahman memanggilnya. Ada perasaan khawatir menjadi satu. Bola mata saling beradu menjadi satu ciptakan rasa kelu melanda kalbu. Antara gamam dan kaku lidah membuat mulut sukar mengeluarkan kata-kata. “Istirahatlah Mas…” Aisyah mendekati Rahman dan mengecup bibirnya. Meski Rahman sempat ingin menolak namun Aisyah me
Di ruangan meeting sudah berkumpul dengan posisi genap. Ini adalah pertama kali Aisyah memimpin rapat. Dari Rahman, Aisyah belajar agar bisa seperti posisi suaminya walau itu tidak mudah. “Lalu anak cabang yang ada di Bali bagaimana proses untuk ke depannya Nyonya Aisyah? Resort itu harus dikelola ulang supaya lebih baik. Selama ini banyak laporan yang ternyata disalah gunakan oleh anak buah Robi.” “Soal resort di Bali, bukankah sudah menjadi tugas Anda Pak Johan untuk memantau? Lalu bagaimana bisa anak buah Robi bisa melakukan tindakan tersebut? Dimana tugas Anda?” “Oh, jadi Anda menyalahkan saya?” “Tidak!”
Pov Aisyah Dear Diary, Senyum ini menjadi saksi. Bahwa hati ini telah sepenuhnya merima dan menjalankan takdir yang Tuhan berikan. Bersanding denganmu di pelaminan, kuanggap sebagai baktiku sebagai seorang istri yang patuh terhadap wasiat terakhirmu. Bukan karena hasrat dunia yang sepi akan kesendirian setelah kepergianmu. Rahman Wijanto. Laki-laki yang hadir dalam napas langkah kaki ini. Di kota asing yang baru pertama kali kujajaki untuk mencari pencarian yang kini telah kusudahi karena pencarian panjang bagaikan langkah buntu yang tidak kutemukan titik pasti, meski aku belum menyerah hanya memilih pasrah. Penjara suc
Pov Aisyah Wajah itu perlahan mulai menghiasi hari-hariku. Semakin hari dunia ini seolah menuntunku untuk menemukan senyuman yang mulai memudar oleh kebimbangan. Saat ini, di sampingku masih setia sosok Bayu yang sigap membantu tanpa pamrih. Betapa khawatirnya hatiku saat mendengar dia ingin pergi. Bukan karena cinta itu tumbuh dalam hatiku, melainkan aku belum siap untuk memapah dunia ini sendirian. Menjaga anak-anak dan perusahaan. Ayah mertua sudah terbaring lemah dan tidak berdaya untuk mengurus semua perusahaan. Di tangan Bayu-lah kami menyerahkan semua kepercayaan. Sedangkan ibu Reta, ibu mertua yang selalu memberikanku keyakinan, akan pernikahan kedua membuat diri ini siap untuk membuka lembaran baru. Meski tidak mudah bagiku untuk membuka pint
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, angina sore masih memberikan nuansa kebimbangan di dalam hati Aisyah. Perut semakin membesar dan masih menyimpan kewajiban serta tanggung jawab yang dia simpan seorang diri. Alhamdulilah, Bilal dan Kuwat tumbuh menjadi anak yang tidak merepotkan. Dua jagoan itu dapat merasakan kebimbangan yang sedang Aisyah rasakan. “Mommy…” Bilal mendekati Aisyah yang tadi tampak menyimpan kesedihan. Sudah satu jam lebih, pena di jemarinya tidak bergerak sama sekali. “Iya, sayang…” “Kapan Adik lahir, Mommy?” “Inysa Allah sebentar lagi sayang. Oh yah
Perut Aisyah sudah tidak lagi menahan lapar. Dalam hati yang masih merintih dalam diam menyaksikan Rahman terbaring lemah. Andai saja dia bisa berbuat sesuatu yang menyembuhkan sakitnya pasti sudah diberikan. Kini hanya doa dan memohon mujizat Tuhan. Apa pun yang terjadi semua itu karena campur tangan-Nya. Bayu berdiri dan berpaling meningglkan Aisyah yang masih menunggu Rahman dengan melantunkan dzikir-dzikir penenang hati. Sudah tugasnya untuk menjemput anak-anak pulang sekolah. Rahman seperti melihat kabut-kabut putih yang sangat lebat. Dia melihat pandangan yang tidak bisa ditembus oleh mata. Betapa pekatnya kabut putih yang menghalangi arah mata pandangan Rahman. Masih berdiri, Rahman menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keberadaan posisi dirinya. Tid
Sudah satu jam tidak menemukan kata-kata mutiara. Aisyah tampak lelah dengan isi di dalam otaknya. Namun dia berusaha agar tidak membuat stress mengingat ada calon anak yang akan keluar ke dunia. Melihat betapa kehidupan ini tidaklah seindah harapan maupun senyaman dalam perut. Aisyah mengelus perutnya secara perlahan. Seakan menjajak calon bayinya berdialog antara hati ke hati. Langit sudah merona, buku diary di atas meja segera dia simpan dan membawanya kembali ke dalam laci. Anak-anak juga terlihat mengulet dengan perlahan matanya mencoba untuk bergerak. Namun muncul kepanikan saat melihat tubuh kekar Rahman seakan tidak merespon. Dia tampak tenang. Bahkan wajahnya kelihatan lebih pudar. Aisyah mencoba untuk tenang dan meminta anak-anak segera mandi. “Kali
Dari deretan bangku baris ketiga Rahman dan Aisyah duduk untuk menyaksikan persembahan pentas anak-anak. Bayu yang duduk di sebelah Rahman sesekali melirik melihat Rahman yang wajahnya sudah kelihatan pucat. Rahman juga merasakan jika tubuhnya sudah tidak sekuat dahulu. Demi jagoan tercinta, dia paksakan untuk menjadi kuat. Tidak ingin terlihat lemah di depan anak-anak. Bagaikan menghitung hari yang pasti akan datang waktunya. Aisyah menggenggam tangan Rahman sambil tersenyum. Di dalam relung hatinya juga merasakan kekhawatiran. Suara MC sedikit melegakan hati Rahman, itu tandanya pertunjukan segera dimulai. Acara tampak sangat megah dengan hiasan panggung yang artistic. Semua wali murid yang hadir juga kelihatan dari kalangan atas. Rahman menutup mulutnya supaya tidak terlihat menguap.&n
Akhirnya Bayu sampai di depan sekolah Bilal dan Kuwat. Di tempat tunggu sudah ramai para asisten rumah tangga dan sebagian ibu dari anak-anak yang menunggu. Bagi Bayu jika ikut menunggu dengan mereka rasanya malu. Hingga dia memilih menunggu di dalam mobil dengan membuka kaca jendela. Sambil membaca majalah dapat menghilangkan pikiran yang membayangkan apa saja yang dilakukan majikannya di kamar tadi. Hal itu sangat membuat hati kecil Bayu merasakan cemburu namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Tidak mungkin mengatakan kejujuran. Lima menit berlalu, Bayu mengarahkan pandangannya melihat ke gerbang sekolah. Satu persatu anak-anak keluar, mereka disambut oleh yang menjemput. Bayu pun bergegas turun dari mobil dan menuju ke depan gerbang. “Om Bayu…”
Di ruangan meeting sudah berkumpul dengan posisi genap. Ini adalah pertama kali Aisyah memimpin rapat. Dari Rahman, Aisyah belajar agar bisa seperti posisi suaminya walau itu tidak mudah. “Lalu anak cabang yang ada di Bali bagaimana proses untuk ke depannya Nyonya Aisyah? Resort itu harus dikelola ulang supaya lebih baik. Selama ini banyak laporan yang ternyata disalah gunakan oleh anak buah Robi.” “Soal resort di Bali, bukankah sudah menjadi tugas Anda Pak Johan untuk memantau? Lalu bagaimana bisa anak buah Robi bisa melakukan tindakan tersebut? Dimana tugas Anda?” “Oh, jadi Anda menyalahkan saya?” “Tidak!”
Jus yang dibuatkan oleh Aisyah telah habis. Tidak menyisakan sedikitpun di gelas. Rahman memang paling bisa menghargai Aisyah. Terkadang apa yang dibuat oleh istrinya untuk dimakan, walau tidak selalunya enak dan manis. Namun ada rasa getir yang membuat lidah merasa ngilu, Rahman tetap menghabiskannya. “Sayang…” Aisyah menghentikan langkah saat Rahman memanggilnya. Ada perasaan khawatir menjadi satu. Bola mata saling beradu menjadi satu ciptakan rasa kelu melanda kalbu. Antara gamam dan kaku lidah membuat mulut sukar mengeluarkan kata-kata. “Istirahatlah Mas…” Aisyah mendekati Rahman dan mengecup bibirnya. Meski Rahman sempat ingin menolak namun Aisyah me