Aisyah telah selesai urusan di dapur. Dia naik ke atas. Lampu kamar Bilal juga masih menyala. Aisyah melihat ke kamarnya, masih ada Rahman yang sedang membacakan dongeng di atas tempat tidur.
“Anak pintar belum tidur?”
“Mama, sini…”
Bilal menepuk kasur meminta Aisyah duduk di sampingnya. Rahman mengelus kepala Bilal sambil mengecup keningnya.
Bunyi suara handphone mengharuskan Rahman keluar dan menjawab panggilan. Aisyah tersenyum melihat suaminya yang mengelus pundaknya. Meski masih diam dalam membaca gestur gerak gerik Rahman.
Rahman berjalan ke teras kamar. Sambil memandang ke arah lang
Satpam kantor merasa keheranan melihat kedatangan Rahman dan Bayu mendadak malam-malam. Langkah tegak mereka membuat satpam yang bertugas langsung memberikan hormat. Rahman seperti biasa hanya mengangguk tidak banyak menyapa setiap satpam yang bertugas, kecuali jika memang ada yang perlu ditanyakan barulah Rahman akan membuka mulutnya. Lift terus naik ke atas gedung lantai tujuh. Bayu masih diam dan sigap di belakang Rahman. Meski terkadang matanya juga terasa berat sekali karena malam yang seharusnya bisa untuk istirahat tapi dia tetap setia bekerja untuk majikannya. Pintu lift terbuka, Rahman melangkah dengan kaki jenjanganya keluar dari dalam lift. Sementara Bayu masih sigap di belakang Rahman. &nb
Beberapa hari kuamati sikap dari suamiku. Bukan aku menuduh atau punya firasat kalau dia mempunyai wanita lain di luar sana. Karen hati kecilku sudah yakin, Rahman bukan orang yang dulu lagi. Perubahan secara fisiknya itulah aku bisa mengetahui apa yang sedang disembunyikan. Meskipun dia belum mau mengatakannya, tapi aku dapat merasakan sakit yang dia simpan. Saat itu di kantor sedang jam sibuk-sibuknya. Aku tetap memperhatikan sikap Rahman. Kerap sekali dia memalingkan wajahnya untuk menutupi lelah di matanya. Aku yakin itu bukan karena merasa mengantuk. Di rumah pun aku bersikap seperti biasa. Tidak ada yang kutunjukkan sikapku yang membuatnya merasa curiga. Perlakuan Rahman yang seolah dibuat baik-baik saja, masih bisa kumaklumi. Namun aku tetap mencari cara unt
Pov AisyahUjian datang bertubi-tubi di saat aku belum siap seutuhnya. Setelah kepergian mbok Darsih, waktu ini seakan berhenti sejenak. Masih kupandangi koper yang semalam sudah ditata rapi oleh suamiku.“Mommy…”“Iya, sayang…”Kupandang wajah polos buah hatiku dan Kuwat. Hati kecilku mengatakan untuk tetap strong karena mereka adalah tanggung jawab yang harus kuperhatikan.“Where is Daddy?”“With Om Bayu.” Jawab Bilal dan Kuwat.Kutinggalkan anak-anak di kamar dan pergi mencari Rahman. Di sebuah kamar yang jarang digunakan semenjak mertuaku belum lagi berkunjung ke Indonesia, terdengar suara yang tidak asing di telinga.Kutahan tangan untuk membuka pintu. Bukan bermaksud menguping namun hati kecilku merasa penasaran. Entah kenapa, jiwa kepo dalam hati ini gampang sekali untuk muncul di saat yang seharusnya tidak perlu.Suara itu tidak terlalu j
Pov Aisyah Rencana yang telah disusun kini berubah. Holiday yang di-planing tidak lagi sama seperti awal. Dua minggu setelah menunda waktu. Kepergiaan mbok Darsih secara mendadak membuat kami harus lebih menjaga perasaan. Kini, tenaga dan sedikit kekuatan perlahan menyatu. Kondisi Kuwat juga sudah stabil. Dia bisa ceria bersama Bilal. Dua anak selalu bermain bersama dan saling menyayangi. Dari lubuk hati kecilku, aku tidak ingin Kuwat merasa kahilangan kasih sayang. Selesai Subuh, sudah kupastikan bawaan yang harus dibawa sudah siap. Sementara Rahman masih menyelesaikan pekerjaan terakhir yang harus diselesaikan hari ini supaya tidak mengganggu waktu liburan di Singapura. &ldquo
Rahman memijat pelan kelopak matanya. Dari depan pintu, Aisyah memperhatikan. Bukan karena factor bertambahnya usia, keletihan yang terpancar dari mata Rahman. Lubuk hati kecil Aisyah sangat yakin, jika suaminya mempunyai rahasia yang tidak ingin diketahuinya. “Mas…” Aisyah berjalan pelan menghampiri suaminya. “Sayang, anak-anak mana?” “Katanya mau istirahat dulu. Ibu juga menyuruhku untuk istirahat dulu.” “Kamu pasti juga capek kan sayang?” Rahman menggapai tangan Aisyah dan memangkunya. Laki-laki blesteran itu memang sungguh romantis, pandai mengambil hati. Setiap
Dari jarak yang dekat bahkan sangat dekat sekali. Bayu menangkap senyum Aisyah lebih manis. Hatinya merasa sedikit berdebar. Bayu menjadi ingat akan pembicaraannya dengan majikannya. Rahman sudah merencanakan holiday ini dengan baik. “Cintai istriku dan anak-anakku.” “Maksud Tuan?” “Setelah aku pergi kamu akan paham.” Yah. Tentu saja tidak mungkin Rahman akan ikhlas jika ada laki-laki lain di hati Aisyah. Namun takdir adalah ketetapan Tuhan. Dan semua ini adalah jalan terbaik. Bayu mengalihkan pandangan melihat kedatangan ibu Reta. “Aisyah…” 
Keluarga Wijayanto sudah siap untuk makan malam bersama di sebuah restoran ternama yang telah dipesan oleh ibu Reta. Anak-anak tampak sangat gembira sekali. Bilal dan Kuwat berjalan bergandeng tangan. Bayu tak lengah untuk menjaga dua bocah itu supaya tidak terpisah dan tidak menyebabkan kerusuhan di tempat umum. Walau anak-anak sebenarnya dapat menyesuaikan diri tidak banyak pecicilan. Untuk kesekian harianya, Aisyah memperhatikan wajah suaminya yang perlahan dia rasakan mulai redup. Pancaran dari aura matanya tidak seperti dulu. Bahkan sekarang ini, Rahman lebih intens dengan Bayu. Seakan-akan sebuah rahasia penting dikantongi oleh Bayu. Di meja yang telah disiapkan pelayan, mereka menanti menu yang telah dipesan. Bilal dan Kuwat masih asik bercengkrama dengan Bayu. Kedekatan mereka dengan Bayu, tidak lazim. Aisyah takut jika kasih say
Malam sangat indah sekali. Kamar ber-AC menjadi lebih panas dengan gairah yang mulai menguasai jiwa. Aisyah memegang wajah suaminya. Napas yang sangat dekat dan menyatu dalam menghirup oksigen. Dipandangnya mata Rahman yang terus memancar gairah. Aisyah hanya mampu memejamkan mata saat Rahman mengambil oksigen dari mulutnya. Secara perlahan, Rahman memberikan sensasi untuk istrinya. Tidak diragukan lagi dengan kemampuan Rahman. Dua manusia yang telah sah dalam ikatan cinta, berada di dalam selimut untuk melepaskan calon-calon penerus anak-anak shaleh dan shalehah. Aisyah mengerang, sentuhan Rahman membuatnya tidak kuat untuk menahan. Akhirnya Rahman pun perlahan membuat istrinya tidak menunggu lagi. Seluruh kekuatannya dia keluarkan hingga akhirnya tubuh Rahman berada di atas tubuh Aisyah sambil membuang napasnya.&nbs
Pov Aisyah Dear Diary, Senyum ini menjadi saksi. Bahwa hati ini telah sepenuhnya merima dan menjalankan takdir yang Tuhan berikan. Bersanding denganmu di pelaminan, kuanggap sebagai baktiku sebagai seorang istri yang patuh terhadap wasiat terakhirmu. Bukan karena hasrat dunia yang sepi akan kesendirian setelah kepergianmu. Rahman Wijanto. Laki-laki yang hadir dalam napas langkah kaki ini. Di kota asing yang baru pertama kali kujajaki untuk mencari pencarian yang kini telah kusudahi karena pencarian panjang bagaikan langkah buntu yang tidak kutemukan titik pasti, meski aku belum menyerah hanya memilih pasrah. Penjara suc
Pov Aisyah Wajah itu perlahan mulai menghiasi hari-hariku. Semakin hari dunia ini seolah menuntunku untuk menemukan senyuman yang mulai memudar oleh kebimbangan. Saat ini, di sampingku masih setia sosok Bayu yang sigap membantu tanpa pamrih. Betapa khawatirnya hatiku saat mendengar dia ingin pergi. Bukan karena cinta itu tumbuh dalam hatiku, melainkan aku belum siap untuk memapah dunia ini sendirian. Menjaga anak-anak dan perusahaan. Ayah mertua sudah terbaring lemah dan tidak berdaya untuk mengurus semua perusahaan. Di tangan Bayu-lah kami menyerahkan semua kepercayaan. Sedangkan ibu Reta, ibu mertua yang selalu memberikanku keyakinan, akan pernikahan kedua membuat diri ini siap untuk membuka lembaran baru. Meski tidak mudah bagiku untuk membuka pint
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, angina sore masih memberikan nuansa kebimbangan di dalam hati Aisyah. Perut semakin membesar dan masih menyimpan kewajiban serta tanggung jawab yang dia simpan seorang diri. Alhamdulilah, Bilal dan Kuwat tumbuh menjadi anak yang tidak merepotkan. Dua jagoan itu dapat merasakan kebimbangan yang sedang Aisyah rasakan. “Mommy…” Bilal mendekati Aisyah yang tadi tampak menyimpan kesedihan. Sudah satu jam lebih, pena di jemarinya tidak bergerak sama sekali. “Iya, sayang…” “Kapan Adik lahir, Mommy?” “Inysa Allah sebentar lagi sayang. Oh yah
Perut Aisyah sudah tidak lagi menahan lapar. Dalam hati yang masih merintih dalam diam menyaksikan Rahman terbaring lemah. Andai saja dia bisa berbuat sesuatu yang menyembuhkan sakitnya pasti sudah diberikan. Kini hanya doa dan memohon mujizat Tuhan. Apa pun yang terjadi semua itu karena campur tangan-Nya. Bayu berdiri dan berpaling meningglkan Aisyah yang masih menunggu Rahman dengan melantunkan dzikir-dzikir penenang hati. Sudah tugasnya untuk menjemput anak-anak pulang sekolah. Rahman seperti melihat kabut-kabut putih yang sangat lebat. Dia melihat pandangan yang tidak bisa ditembus oleh mata. Betapa pekatnya kabut putih yang menghalangi arah mata pandangan Rahman. Masih berdiri, Rahman menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keberadaan posisi dirinya. Tid
Sudah satu jam tidak menemukan kata-kata mutiara. Aisyah tampak lelah dengan isi di dalam otaknya. Namun dia berusaha agar tidak membuat stress mengingat ada calon anak yang akan keluar ke dunia. Melihat betapa kehidupan ini tidaklah seindah harapan maupun senyaman dalam perut. Aisyah mengelus perutnya secara perlahan. Seakan menjajak calon bayinya berdialog antara hati ke hati. Langit sudah merona, buku diary di atas meja segera dia simpan dan membawanya kembali ke dalam laci. Anak-anak juga terlihat mengulet dengan perlahan matanya mencoba untuk bergerak. Namun muncul kepanikan saat melihat tubuh kekar Rahman seakan tidak merespon. Dia tampak tenang. Bahkan wajahnya kelihatan lebih pudar. Aisyah mencoba untuk tenang dan meminta anak-anak segera mandi. “Kali
Dari deretan bangku baris ketiga Rahman dan Aisyah duduk untuk menyaksikan persembahan pentas anak-anak. Bayu yang duduk di sebelah Rahman sesekali melirik melihat Rahman yang wajahnya sudah kelihatan pucat. Rahman juga merasakan jika tubuhnya sudah tidak sekuat dahulu. Demi jagoan tercinta, dia paksakan untuk menjadi kuat. Tidak ingin terlihat lemah di depan anak-anak. Bagaikan menghitung hari yang pasti akan datang waktunya. Aisyah menggenggam tangan Rahman sambil tersenyum. Di dalam relung hatinya juga merasakan kekhawatiran. Suara MC sedikit melegakan hati Rahman, itu tandanya pertunjukan segera dimulai. Acara tampak sangat megah dengan hiasan panggung yang artistic. Semua wali murid yang hadir juga kelihatan dari kalangan atas. Rahman menutup mulutnya supaya tidak terlihat menguap.&n
Akhirnya Bayu sampai di depan sekolah Bilal dan Kuwat. Di tempat tunggu sudah ramai para asisten rumah tangga dan sebagian ibu dari anak-anak yang menunggu. Bagi Bayu jika ikut menunggu dengan mereka rasanya malu. Hingga dia memilih menunggu di dalam mobil dengan membuka kaca jendela. Sambil membaca majalah dapat menghilangkan pikiran yang membayangkan apa saja yang dilakukan majikannya di kamar tadi. Hal itu sangat membuat hati kecil Bayu merasakan cemburu namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Tidak mungkin mengatakan kejujuran. Lima menit berlalu, Bayu mengarahkan pandangannya melihat ke gerbang sekolah. Satu persatu anak-anak keluar, mereka disambut oleh yang menjemput. Bayu pun bergegas turun dari mobil dan menuju ke depan gerbang. “Om Bayu…”
Di ruangan meeting sudah berkumpul dengan posisi genap. Ini adalah pertama kali Aisyah memimpin rapat. Dari Rahman, Aisyah belajar agar bisa seperti posisi suaminya walau itu tidak mudah. “Lalu anak cabang yang ada di Bali bagaimana proses untuk ke depannya Nyonya Aisyah? Resort itu harus dikelola ulang supaya lebih baik. Selama ini banyak laporan yang ternyata disalah gunakan oleh anak buah Robi.” “Soal resort di Bali, bukankah sudah menjadi tugas Anda Pak Johan untuk memantau? Lalu bagaimana bisa anak buah Robi bisa melakukan tindakan tersebut? Dimana tugas Anda?” “Oh, jadi Anda menyalahkan saya?” “Tidak!”
Jus yang dibuatkan oleh Aisyah telah habis. Tidak menyisakan sedikitpun di gelas. Rahman memang paling bisa menghargai Aisyah. Terkadang apa yang dibuat oleh istrinya untuk dimakan, walau tidak selalunya enak dan manis. Namun ada rasa getir yang membuat lidah merasa ngilu, Rahman tetap menghabiskannya. “Sayang…” Aisyah menghentikan langkah saat Rahman memanggilnya. Ada perasaan khawatir menjadi satu. Bola mata saling beradu menjadi satu ciptakan rasa kelu melanda kalbu. Antara gamam dan kaku lidah membuat mulut sukar mengeluarkan kata-kata. “Istirahatlah Mas…” Aisyah mendekati Rahman dan mengecup bibirnya. Meski Rahman sempat ingin menolak namun Aisyah me