Shelin merapikan meja kerjanya dan siap-siap untuk pulang. Dia melihat pesan di layar hand phonenya. Meski sedikit menggerutu dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu pak Darto menjemputnya.
Shelin menarik kedua tangannya ke belakang untuk mengurangi rasa nyeri di punggungnya. Ternyata hari pertama bekerja di kantor lumayan membuat energinya terkuras. Pekerjaan yang menumpuk setelah kepergiaan sekretaris Rahman tanpa kabar.
Membunuh jenuh menunggu pak Darto datang menjemput, Shelin bermain game di hand phone, sampai-sampai dia tidak sadar ada OB yang sudah berdiri di depan mejanya.
“Mba Shelin…” suara OB itu tidak sampai ke telinga Shelin karena terlalu asyik nge-game.
“Mba Shelin…”
Jangan lupa, like, koment, dan votenya ya, dear pembaca yang budiman. Terima kasih.
Rahman menghampiri Aisyah yang sedang mengganti popok Bilal. Ditatapnya wajah mungil anaknya itu. Hingga Rahman tidak kuasa untuk menahan rasa haru yang sangat berharga. “Mas, kamu kenapa?” tanya Aisyah bingung, tiba-tiba melihat suaminya bertambah murung. “Anak ini telah menyelamatkan hidupku…” ucap Rahman lirih. Mendengar ucapan suaminya, membuat Asiyah bertambah bingung. Memang dari kemarin Bilal rewel menangis terus jika jauh dari ayahnya. Tapi apa hubungannya dengan yang dikatakan oleh Rahman. Rahman mengangkat Bilal dan mencium pipinya berulang kali. “Jika kamu tidak nangis terus Nak, mungkin Ayah yang sudah
Di kamar mandi, Aisyah mencuci wajahnya. Rahman tiba-tiba masuk dan mengagetkan istrinya. “Mas…” “Maaf sayang, tidak tahan.” Ucap Rahman. Efek setelah minum ramuan yang Aisyah buatkan memang keluar melalui air kencing. Rahman selesai membuang hajat kecilnya dan mencuci tangan membuat Aisyah harus bergeser. Rahman melihat wajahnya di cermin. Memandang wajahnya sendidi sekian lama. Aisyah tampak heran melihat suaminya itu. Tiba-tiba ucapan Rahman membuat Aisyah ingin tertawa. “Aku sudah kelihatan tua ya sayang?”&
Tanah pemakaman masih menunjukkan lambang kesedihan. Bunga segar ditabur di atas puntukkan tanah. Langit berarak awan hitam. Hanya orang-orang terdekat yang mengikuti proses pemakaman. Rahman memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Kacamata hitam yang dia kenakan bisa menutupi kesedihan yang tertahan. Satu persatu orang pergi meninggalkan Shelin sendirian. “Mas…” Aisyah mendekati suaminya. “Kita pulang, sayang…” Rahman mengelus lengan istrinya. Rumah masih dalam suasana berkabung. Ibu Reta sudah lebih membaik mengontrol emosinya. Kamar Shelin dirapikan untuk menurunkan semua kenangan anaknya itu. Meski tidak rela anaknya sudah tiada, namu
Tiga bulan berlalu. Rahman masih menyikapi kecelakaan Shelin dengan kepala dingin. Meski dalam hatinya ingin segera untuk melumpuhlan lawannya yang sembunyi di balik senyuman. Siang itu saat Rahman menghadiri rapat tertutup tanpa sengaja dia bertemu dengan Dimas. Keduanya saling pandang. Kedua mata saling beradu, Rahman menganggap bukan kebetulan bisa bertemu dengan Dimas. “Rahman, sudah kamu temukan dalam yang menyebabkan kecelakaan itu?” Langkah kaki Rahman pun berhenti saat mendengar Dimas bertanya seperti itu. Rahman membalikkan badan dan menatap Dimas penuh tanya. Rasa penasaran mulai mengganggu pikirannya. “Apa yang kamu ketahui?” Rahman balik tanya.
Pov Aisyah Satu tahun kemudian. Semua perjalanan hidup yang telah kulalui di ibukota ini tidaklah seindah impian.Lika-liku perjuangan untuk mempertahankan dengan apa yang telah dicapai ternyata tidak mudah. Mertuaku, kembali ke Singapura untuk melanjutkan kehidupannya di sana. Sedangkan aku terus belajar untuk mendampingi suamiku mengurus perusahaan dan juga rumah tangga, yang tentunya masih setia mbok Darsih. Kedua anak kami tumbuh dengan sehat tanpa kekurangan suatu hal apa pun. Bilal dan Kuat sama-sama mendapatkan kasih sayang yang rata. Aku dan Rahman, sudah berdiskusi untuk membicarakan masa depan Kuwat. Jika mbok Darsih sudah tidak lagi kuat bekerja, maka kami akan tetap merawat Kuwat dan juga mbok Darsih dengan baik. &nb
Pov Aisyah Ku atur napas setelah sampai di atas. Sambil berjalan menuju ke posisi dimana Bilal sedang duduk anteng bermain dengan mainannya. Kubalikkan badan sedikit melototi wajah suamiku yang kelihatan tidak berdosa. “Mas, kamu manggil aku ada apa?” tanyaku serius. “Ini sudah habis ya, sayang?” Rahman melihatkan botol minyak telon. Tatapannya juga begitu aneh atau hanya aku yang overreacting. Akupun menarik napas lebih panjang dan menghempaskan pelan. Aku kira terjadi sesuatu dengan Bilal. Botol yang kosong kuganti dengan yang baru. Kucium badan Bilal, sudah wangi minyak telon. An
Pov Aisyah Kusingkirkan wajah Rahman dari ciuman yang lekat tadi. Aku harus segera menyadarkannya. Jam sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Kami harus segera sampai di ruang meeting. Aku berjalan di samping Rahman layaknya seperti seorang sekretaris. Pintu lift terbuka, kami pun masuk dan menekan tombol angka tujuh. Di dalam lift Rahman memegang tanganku. Terasa hanyat sekaligus dingin. Entah perasaanku saja atau ini hanya karena di dalam lift memang dingin. “Mas, kamu siap kan untuk meeting?” “Kan ada kamu sayang…” “Tapi kamu CEO-nya, Mas.” &
Pov Rahman Ingin kukatakan pada istriku. Namun aku terlalu takut. Kebenaran ini belum juga bisa kuterima dengan ikhlas. Mungkin ini adalah hukuman untukku dari Tuhan. Aku terlalu belum siap untuk jujur. Selama ini Aisyah begitu tulus menerima setiap keburukanku. Dia ikhlas mencintaiku tanpa syarat. Meski awalnya dia ingin menyelematkan dirinya dari dosa. Aku yang membuatnya masuk ke lembah penuh dosa. Untuk menghindari itu semua, Aisyah rela untukku nikahi. Awalnya aku tidak yakin untuk menikahinya. Bagimana bisa aku hidup menjadi ikatan pernikahan jika anak saja tidak akan kumiliki. Rasanya percuma. Namun istriku memberikan kepercayaan untuk ikhtiar. Kami jalani bersama. Namun