Tidak ada canda tawa. Karena memang sebelumnya juga tidak ada canda tawa yang mengisi ruangan. Namun seperti biasa menjalankan kewajiban sebagai seorang istri, Aisyah menyiapkan baju bekerja dan sarapan Rahman. Meski hatinya tidak ingin berbicara.
Sedangkan Rahman pun sangat dingin dan kaku. Untuk melihat wajah Aisyah saja saat ini dia kesulitan. Kerap kali Aisyah memalingkan wajahnya jika Rahman ingin mendekat. Bahkan tidak ada semangat lagi untuk bekerja dengan Rahman.
Tiba-tiba terdengar bunyi handphone Rahman. Aisyah pun acuh dan memilih meninggalkan kamar setelah meletakkan hanger ke posisi semula.
Rahman melihat siapa yang menelepon, ternyata orang kantor. Untuk sementara memang Rahman meminta bantuan Lisa sang receptionist untuk membantu urusan lainnya termasuk jadwal jika ada meeting.
“Hallo.”
“Selamat pagi Pak, sudah ditunggu Pak Johan di kantor.”
“Baiklah, katakana padanya aku segera sampai.”
“Baik Pak.”
Setel
Dear pembaca budiman, jangan lupa like, koment, dan votenya yah.
Rahman tidak diizinkan masuk. Dokter masih menangani Aisyah. Sekuat tenaga Aisyah merasa harus berjuang untuk bayinya. Pintu UGD terbuka Rahman langsung menghampiri dokter Anisa yang menangani Aisyah. “Tuan Rahman, ada yang harus saya katakana kepada Anda.” “Silakan dokter.” “Nyonya Aisyah harus segera operasi untuk menyelamatkan keduanya dan kami butuh tanda tangan Anda.” Rahman seperti salah mendengar. Kandungan Aisyah saja baru lewat tujuh bulan. Jika harus lahir secara premature untuk keselamatan keduanya, Rahman hanya bisa menyerahkan semua keputusan kepada dokter.
Di dalam rumah tangga bukan hanya tentang kesadaran tentang apa yang dilakukan di masa lalu, bagaimana bagian dari masa lalu itu bisa diterima atau tidaknya tanpa membuat masa lalu itu kembali terulang. Aisyah tidak ingin bersedih dalam lautan air mata. Terpenting Rahman sampai detik ini masih menjadi Ayah untuk anaknya. Hari yang terus berganti meskipun ada jeda dan jarak yang membuat langkah seperti tersekat dan hati masih belum sepenuhnya utuh menerima kejujuran masing-masing. Sore itu Aisyah tampak kelelahan setelah semalam bergadang menjaga Bilal Al Wijayanto. Orangtua Rahman dan adiknya yang baru datang pun takut untuk membangunkan Aisyah. Tampak jelas rasa lelah hingga tidak mendengar langkah kaki mereka. Shelin pun dengan gemasnya mengelus-ngelus pipi Bilal. Bibir mungil anak itu pun menguap. &nb
“Eheeem…” Barulah Rahman melepaskan tubuh Aisyah saat Bu Reta datang mendekati mereka dengan berdehem. Aisyah mengelap ekor matanya untuk menghilangkan jejak airmata. Sambil tersimpul malu Aisyah pun melakukan kesibukan diri melanjutkan memasukkan baju ke mesin cuci. “Aisyah…” “Iya, Bu.” “Biarkan diurus Rahman, kita masak yuk, sayang…” &n
Di sebuah club malam yang hingar bingar oleh lampu yang berdiskotik. Manusia-manusia dengan berbagai rupa tengan menikmati keenjoyan malam yang gelap. Seakan melepas penat di badan membuang perasaan takut kepada Tuhan, mereka larut dalam kemabukkan. Cindy menegak gelas kecil minuman beralkohol yang telah dipesannya. Sementara Denia disampingnya hanya sesekali tersenyum melihati saja. Mata Cindy mulai merah. Otak di dalam kepalanya perlahan mulai bereaksi. Pandangannya mulai tidak jelas. “Are you sure still can drink?” tanya Denia. Cindy hanya mengangguk, dia sendiri sebenarnya juga tidak percaya. Lalu muncul dua orang laki-laki yang memang mereka tunggu dari tadi. Setelah cipika-cipiki hangat, tangan Dimas dan Arfan meletakkan pantatnya di sofa. Pelayan
Aisyah ditemani Rahman menuju ke receptionist untuk mengecek kembali jadwal dengan dokter. Hari ini sudah ada janji temu. Rahman berdiri di samping Aisyah sambil mengisi formulir yang harus diisi. Tanpa sengaja ekor mata Aisyah melihat ke arah sekitar dan melihat laki-laki yang diduga sebagai Arfan. Aisyah sangat paham kalau wajah Arfan belum melakukan operasi plastic jadi tidak mungkin dia salah lihat. “Mas, tunggu sebentar yah…” “Mau ke mana sayang?” “Sebentar saja.” “Baiklah, jangan lama-lama.” Masih dengan menggendong bayinya, Aisyah berjalan menuju ke ruang kamar yang tadi Arfan masuk ke dalam. Aisyah mendekatkan telinganya ke pintu. “Bagaimana kabarmu Denia?” Terdengar suara Arfan. Aisyah merasa penasaran kenapa Arfan menanyakan kabar Denia. Tidak mungkin Aisyah salah dengar, dia belumlah tuli. “As you see. Aku fine kan?” jawab Denia dengan senyuman. “Kamu memang wanita kuat. Sudah tidak sakit lagi
Aisyah masih berdiri di bawah shower. Keduanya matanya terpejam cuku lama. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan berpikir untuk semenit ke depan dia saja tidak bisa. Kedua kakinya hingga merasakan lemas dan akhirnya bersender di tembok. Di depan pintu kamar mandi Rahman berdiri mondar-mandir. Tangannya ingin mengetuk pintu namun merasa tidak yakin. Rahman mengusap wajahnya untuk menghilangkan kebimbangan. “Sayang…” Akhirnya Rahman mengetuk pintu kamar mandi juga. Sampai tiga kali ketukan belum juga dibuka, Rahman semakin gelisah. Dia takut terjadi sesuatu di dalam. “Sayang…” Rahman kembali mengetuk pintu
Rahman yang sedang menggoda Aisyah pun harus menghentikan aksinya itu. Aisyah mangangkat baby Bilal dalam pangkuannya sambil memberikan ASI. Kedua mata Rahman mengamati anak laki-lakinya tersebut begitu lahap, mungkin sangat lapar. “Mas…” Aisyah menyingkirkan pandangan Rahman yang terus saja melihatinya menyusui. “Why?” “Coba ngaji di dekat Bilal, Mas…” Rahman pun tersenyum. Suara azan dulu di rumah sakit begitu menenangkan tangis Bilal. Aisyah sebenarnya masih menyimpan rasa penasaran terhadap sisi kelebihan Rahman yang lainnya. Selama menjadi istrinya, meski sudah salat berjamaah bersama, namun Aisyah masih jarang mendengarkan Rahman mengaji.
Shelin merapikan meja kerjanya dan siap-siap untuk pulang. Dia melihat pesan di layar hand phonenya. Meski sedikit menggerutu dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu pak Darto menjemputnya. Shelin menarik kedua tangannya ke belakang untuk mengurangi rasa nyeri di punggungnya. Ternyata hari pertama bekerja di kantor lumayan membuat energinya terkuras. Pekerjaan yang menumpuk setelah kepergiaan sekretaris Rahman tanpa kabar. Membunuh jenuh menunggu pak Darto datang menjemput, Shelin bermain game di hand phone, sampai-sampai dia tidak sadar ada OB yang sudah berdiri di depan mejanya. “Mba Shelin…” suara OB itu tidak sampai ke telinga Shelin karena terlalu asyik nge-game. “Mba Shelin…”
Pov Aisyah Dear Diary, Senyum ini menjadi saksi. Bahwa hati ini telah sepenuhnya merima dan menjalankan takdir yang Tuhan berikan. Bersanding denganmu di pelaminan, kuanggap sebagai baktiku sebagai seorang istri yang patuh terhadap wasiat terakhirmu. Bukan karena hasrat dunia yang sepi akan kesendirian setelah kepergianmu. Rahman Wijanto. Laki-laki yang hadir dalam napas langkah kaki ini. Di kota asing yang baru pertama kali kujajaki untuk mencari pencarian yang kini telah kusudahi karena pencarian panjang bagaikan langkah buntu yang tidak kutemukan titik pasti, meski aku belum menyerah hanya memilih pasrah. Penjara suc
Pov Aisyah Wajah itu perlahan mulai menghiasi hari-hariku. Semakin hari dunia ini seolah menuntunku untuk menemukan senyuman yang mulai memudar oleh kebimbangan. Saat ini, di sampingku masih setia sosok Bayu yang sigap membantu tanpa pamrih. Betapa khawatirnya hatiku saat mendengar dia ingin pergi. Bukan karena cinta itu tumbuh dalam hatiku, melainkan aku belum siap untuk memapah dunia ini sendirian. Menjaga anak-anak dan perusahaan. Ayah mertua sudah terbaring lemah dan tidak berdaya untuk mengurus semua perusahaan. Di tangan Bayu-lah kami menyerahkan semua kepercayaan. Sedangkan ibu Reta, ibu mertua yang selalu memberikanku keyakinan, akan pernikahan kedua membuat diri ini siap untuk membuka lembaran baru. Meski tidak mudah bagiku untuk membuka pint
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, angina sore masih memberikan nuansa kebimbangan di dalam hati Aisyah. Perut semakin membesar dan masih menyimpan kewajiban serta tanggung jawab yang dia simpan seorang diri. Alhamdulilah, Bilal dan Kuwat tumbuh menjadi anak yang tidak merepotkan. Dua jagoan itu dapat merasakan kebimbangan yang sedang Aisyah rasakan. “Mommy…” Bilal mendekati Aisyah yang tadi tampak menyimpan kesedihan. Sudah satu jam lebih, pena di jemarinya tidak bergerak sama sekali. “Iya, sayang…” “Kapan Adik lahir, Mommy?” “Inysa Allah sebentar lagi sayang. Oh yah
Perut Aisyah sudah tidak lagi menahan lapar. Dalam hati yang masih merintih dalam diam menyaksikan Rahman terbaring lemah. Andai saja dia bisa berbuat sesuatu yang menyembuhkan sakitnya pasti sudah diberikan. Kini hanya doa dan memohon mujizat Tuhan. Apa pun yang terjadi semua itu karena campur tangan-Nya. Bayu berdiri dan berpaling meningglkan Aisyah yang masih menunggu Rahman dengan melantunkan dzikir-dzikir penenang hati. Sudah tugasnya untuk menjemput anak-anak pulang sekolah. Rahman seperti melihat kabut-kabut putih yang sangat lebat. Dia melihat pandangan yang tidak bisa ditembus oleh mata. Betapa pekatnya kabut putih yang menghalangi arah mata pandangan Rahman. Masih berdiri, Rahman menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keberadaan posisi dirinya. Tid
Sudah satu jam tidak menemukan kata-kata mutiara. Aisyah tampak lelah dengan isi di dalam otaknya. Namun dia berusaha agar tidak membuat stress mengingat ada calon anak yang akan keluar ke dunia. Melihat betapa kehidupan ini tidaklah seindah harapan maupun senyaman dalam perut. Aisyah mengelus perutnya secara perlahan. Seakan menjajak calon bayinya berdialog antara hati ke hati. Langit sudah merona, buku diary di atas meja segera dia simpan dan membawanya kembali ke dalam laci. Anak-anak juga terlihat mengulet dengan perlahan matanya mencoba untuk bergerak. Namun muncul kepanikan saat melihat tubuh kekar Rahman seakan tidak merespon. Dia tampak tenang. Bahkan wajahnya kelihatan lebih pudar. Aisyah mencoba untuk tenang dan meminta anak-anak segera mandi. “Kali
Dari deretan bangku baris ketiga Rahman dan Aisyah duduk untuk menyaksikan persembahan pentas anak-anak. Bayu yang duduk di sebelah Rahman sesekali melirik melihat Rahman yang wajahnya sudah kelihatan pucat. Rahman juga merasakan jika tubuhnya sudah tidak sekuat dahulu. Demi jagoan tercinta, dia paksakan untuk menjadi kuat. Tidak ingin terlihat lemah di depan anak-anak. Bagaikan menghitung hari yang pasti akan datang waktunya. Aisyah menggenggam tangan Rahman sambil tersenyum. Di dalam relung hatinya juga merasakan kekhawatiran. Suara MC sedikit melegakan hati Rahman, itu tandanya pertunjukan segera dimulai. Acara tampak sangat megah dengan hiasan panggung yang artistic. Semua wali murid yang hadir juga kelihatan dari kalangan atas. Rahman menutup mulutnya supaya tidak terlihat menguap.&n
Akhirnya Bayu sampai di depan sekolah Bilal dan Kuwat. Di tempat tunggu sudah ramai para asisten rumah tangga dan sebagian ibu dari anak-anak yang menunggu. Bagi Bayu jika ikut menunggu dengan mereka rasanya malu. Hingga dia memilih menunggu di dalam mobil dengan membuka kaca jendela. Sambil membaca majalah dapat menghilangkan pikiran yang membayangkan apa saja yang dilakukan majikannya di kamar tadi. Hal itu sangat membuat hati kecil Bayu merasakan cemburu namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Tidak mungkin mengatakan kejujuran. Lima menit berlalu, Bayu mengarahkan pandangannya melihat ke gerbang sekolah. Satu persatu anak-anak keluar, mereka disambut oleh yang menjemput. Bayu pun bergegas turun dari mobil dan menuju ke depan gerbang. “Om Bayu…”
Di ruangan meeting sudah berkumpul dengan posisi genap. Ini adalah pertama kali Aisyah memimpin rapat. Dari Rahman, Aisyah belajar agar bisa seperti posisi suaminya walau itu tidak mudah. “Lalu anak cabang yang ada di Bali bagaimana proses untuk ke depannya Nyonya Aisyah? Resort itu harus dikelola ulang supaya lebih baik. Selama ini banyak laporan yang ternyata disalah gunakan oleh anak buah Robi.” “Soal resort di Bali, bukankah sudah menjadi tugas Anda Pak Johan untuk memantau? Lalu bagaimana bisa anak buah Robi bisa melakukan tindakan tersebut? Dimana tugas Anda?” “Oh, jadi Anda menyalahkan saya?” “Tidak!”
Jus yang dibuatkan oleh Aisyah telah habis. Tidak menyisakan sedikitpun di gelas. Rahman memang paling bisa menghargai Aisyah. Terkadang apa yang dibuat oleh istrinya untuk dimakan, walau tidak selalunya enak dan manis. Namun ada rasa getir yang membuat lidah merasa ngilu, Rahman tetap menghabiskannya. “Sayang…” Aisyah menghentikan langkah saat Rahman memanggilnya. Ada perasaan khawatir menjadi satu. Bola mata saling beradu menjadi satu ciptakan rasa kelu melanda kalbu. Antara gamam dan kaku lidah membuat mulut sukar mengeluarkan kata-kata. “Istirahatlah Mas…” Aisyah mendekati Rahman dan mengecup bibirnya. Meski Rahman sempat ingin menolak namun Aisyah me