Atas nama Yori K. Hirata
01 Agustus 2010'
'Jadinamamu Hana Aulia Divandra?'
07 Agustus 2011
'Aku cuma berani menatapmu dari jauh.'
27 April 2012
'Kamu membuatku merasa kesal, penampilanmu lihatlah? Menyakiti mataku.'
09 September 2013
'Hana, kamu sebenarnya kenapa? Kamu berubah menjadi sangat aneh.'
14 Februari 2014
'Aku nggak mau pacaran, biar nanti pas nikah aku bisa benar-benar menyayangi istriku. Dengan begitu nggak akan ada nama mantan yang masuk sebagai kenangan dan menjadi bahan perbandingan.'
08 Mei 2014
'Aku bener-bener nggak ngerti sama kamu, kamu berubah. Kamu nggak seperti yang dulu kukenal. Kalau aku bisa berbicara denganmu, membuang gengsiku dan berani menanyakannya, mungkin saja aku nggak akan sebingung ini.'
13 Juli 2014
'Hana, semoga kamu sukses nantinya. Pertemuan kita telah usai, nggak terasa sekarang kita sudah mau lulus sekolah. Aku harap kita berdua bisa bertemu lagi dengan situasi yang lebih baik. Jaga dirimu baik-baik, ya. Aku akan pergi ke Australia.'
***
Beberapa bagian dari isi tulisan yang terdapat di dalam buku harian milik Yori. Sebuah nama terselip yang membuat Ayu Aning, ibu yang melahirkannya tertarik dan mencari tahu tentang sosok gadis itu.
Ada bagian lain yang menegaskan bahwa anak tampan yang dilahirkannya itu tidak akan menjalin hubungan pacaran dan akan langsung menikah. Dan itu dibuktikan hingga saat ini Yori belum pernah memperkenalkan atau pun menceritakan apa saja mengenai seorang wanita yang dekat dengannya.
Sebenarnya itu pemikiran yang bagus, artinya anak kebanggaannya akan berhati-hati dalam bergaul. Apalagi saat ini Yori tengah berada di Australia untuk melanjutkan pendidikannya, dan kini malah sudah bekerja sebagai staf akuntan di sebuah perusahaan besar yang ada di sana. Namun, menentukan siapa wanita yang baik, dan bisa dijadikan sebagai pendamping hidup untuk anak tunggalnya itulah yang cukup menyita pikirannya.
Sosok Harry Eric Hirata, ayah Yori yang berasal dari garis keturunan Jepang-Kanada, tentu saja Ayu memahami budaya seperti apa yang diketahui anaknya selama ini. Sebuah kebebasan dalam bergaul, bersosialisasi dengan banyak kalangan dan itulah yang selalu menjadi bahan nasihatnya.
"Jangan seperti ayah, Nak. Dulu pacarnya banyak. Bunda sampai nangis-nangis tiap hari karena selalu diganggu mantan-mantan ayahmu. Bunda selalu cemburu." Ayu Aning ingat betul selalu memberi nasihat sekaligus membagi pengalaman masa mudanya pada setiap momen kebersamaan dengan anaknya, saat Yori sudah SMP dan SMA tentu saja.
"Tenang, Bun. Aku 'kan miripnya sama Bunda, aku tidak akan seperti ayah. Aku pasti akan menjaga wanitaku dengan baik," jawab Yori saat itu dengan tegas.
Sungguh kini kerinduannya sebagai seorang ibu kepada Yori kian mendalam, bahkan akhir-akhir ini kesehatannya mulai menurun, tubuhnya sering lemas tidak kuat beraktivitas banyak, juga merasakan sesak napas, dadanya terasa berat. Saat ini wanita berusia lima puluh tahun itu sangat menginginkan anaknya pulang dan berharap mau bekerja di rumah saja agar setiap hari bisa bertemu dengannya.
"Bun, kamu di mana?" panggil suaminya seraya turun dari lantai atas dan menyusuri tangga. Pria itu terlihat celingukan mencari Ayu.
Ayu menoleh ke arah suaminya, tetapi tidak menyahut. Saat ini ia berada di ruang keluarga yang terletak di bagian sisi kanan sebelah tangga rumahnya. Ia kembali termenung, sungguh hadiah ulang tahun dari suaminya berupa memberi akses pendidikan Yori ke luar negeri membuatnya sedikit menyesal sekaligus bahagia. Anak itu cerdas sehingga lulus tepat waktu, malah kini sudah bekerja dan itu sangat membanggakan, tetapi sayangnya Yori menjadi jarang pulang untuk sekadar menjenguk.
"Bun," panggil Harry lagi sambil berjalan melewati ruang tengah kemudian melirik ke arah sisi kanan dan menatap rambut kepala Ayu yang kelihatan menyembul duduk di sofa membelakanginya.
Pria yang memiliki tubuh tinggi, masih terlihat atletis dan terjaga itu segera mendekat dan memeluk Ayu dari belakang. Ia mengecup sesaat pucuk kepala itu serta ikut duduk di samping istri tercintanya.
"Dipanggil dari tadi kok nggak nyaut," ucapnya protes sambil meraih pundak Ayu. Istrinya hanya bisa menatapnya seraya memberi senyuman lembut.
"Ingat nggak, dua minggu lagi ada acara apa?" tanya Ayu membuat Harry menatap bingung istrinya. Ia sendiri belum melihat ke dalam jurnal dan menyusun ulang jadwalnya bulan ini.
"Ih! Masa lupa, jangan-jangan acaranya nggak masuk daftar prioritas Ayah, ya?" tanya Ayu merasa kesal.
Harry segera memindai seraya mengusap lembut wajah manja kesayangannya itu. Ia sangat menyukai sikap lembut perempuan berdarah Jawa itu karena sangat sesuai dengan wajah cantiknya. Bersyukur sekali ia mendapatkannya, setelah petualangan cinta yang sangat panjang sebelum akhirnya menemukan sosok Ayu di antara para wanita yang sempat singgah di dalam hatinya dan memutuskan menjadikan Ayu bagian terpenting dalam hidupnya.
"Ulang tahun putra kebanggan kita, kan?" tebak Harry mengecup kening istrinya.
Ayu mengangguk pelan, ia segera menunduk menatap buku harian bersampul coklat yang kini berada di atas pangkuannya dan membuka kembali pada bab-bab akhir.
"Ternyata hal yang menjadi impiannya saat masih remaja dan belum kita wujudkan tinggal tiga, Yah," ungkap Ayu sendu.
"Apa itu? Berarti kita masih bisa memberikannya hingga Yori berusia dua puluh enam, dong?" tanya Harry menegaskan.
"Bukan begitu, aku rasa kita malah harus segera mewujudkan semuanya saat ini juga, mengingat bunda sudah sering sakit. Bunda mau Yori pulang ke rumah dan bekerja di sini saja," jawab Ayu.
"Kok gitu? Maksud Bunda apa?" Harry mendadak gelisah.
"Iya, Yah. Jadi, itu … mewujudkan impian Yori untuk memiliki rumah sendiri, tentu bisa kita lakukan tahun ini karena Ayah sudah membelinya tahun lalu, tapi ini lain, Yah," ungkap Ayu membuat Harry menatapnya dengan serius.
Pria itu memberi kesempatan istrinya untuk menjelaskan. Ia menyimak dengan serius perkataan Ayu seraya menggenggam erat jemarinya dan menatap lekat wanita yang sudah menikah dengannya selama dua puluh lima tahun itu. Wanita itu selalu hati-hati setiap bertindak, dan ia sangat menyukai sifat itu.
"Jadi gini, ehm … aku menemukan sebuah kalimat ini," jelas Ayu memperlihatkan sebuah ungkapan yang berada di dalam buku harian Yori.
Harry segera mengembus napas sebelum akhirnya ikut membaca. Lelaki itu sangat mengenal anaknya, pikirannya sangat cerdas dan dewasa hingga semua kalimat yang tertulis membuatnya belajar banyak tentang arti harapan dari Yori. Begitu runut dan rapi, hidup yang sangat terukur.
"Jadi, Bunda mau memberikan Yori hadiah berupa sebuah pertemuan?" tanya Harry merasa sangat penasaran.
"Bukan hanya pertemuan, perjodohan, tapi pernikahan," jelas Ayu. "Yori ingin langsung menikah, tentu saja tanpa pacaran akan sulit menemukan gadis yang cocok untuknya."
Harry mengerutkan kening, ia tidak menyangka istrinya akan merencanakan hal besar seperti ini secara mendadak. Akan tetapi, ia tidak cukup tega untuk menolak permintaan itu mengingat pasti Ayu akan sangat kecewa dan sedih.
"Bunda yakin?" tanyanya pelan.
Harry kembali mengusap lembut wajah cantik itu dengan embusan napas bingung, ia tidak tahu apa reaksi Yori mengenai rencana kejutan ulang tahunnya kali ini.
"Iya, bunda sudah cari calonnya dan ketemu sama orangtuanya. Kami malah sudah saling menyetujui, keluarga gadis itu juga sangat senang," jelas Ayu.
"Bunda sudah ketemu sama mereka?" Harry merasa terkejut dengan pengakuan istrinya. Sejak kapan wanita yang sanggup membuatnya jatuh cinta itu merencanakan ini semua? Harry menggeleng tidak percaya.
"Iya," jawab Ayu sambil mengulas senyum. "Meski aku baru bisa ketemu sama ayah dan ibunya Hana, belum anaknya," terang Ayu menambahkan.
"Tapi, apa Yori akan baik-baik saja? Aku rasa kita harus menanyakan ini dulu padanya. Ini menyangkut hati dan masa depannya."
"Tentu saja Yori akan baik-baik saja, Sayang. Lagipula nama calon istri yang bunda berikan juga sering disebut di dalam buku harian Yori, kok." Ayu menatap Harry dengan wajah tegas, ia merasa yakin bahwa inilah yang diimpikan Yori selama ini, bertemu dengan gadis itu dan menikahinya tanpa melalui proses pacaran.
"Maksud, Bunda?"
Harry semakin menatap lekat istrinya, ia tidak menyangka Ayu mempunyai rencana yang ia sendiri tidak paham atau juga setuju. Ia hidup di tengah budaya barat yang tidak mengenalkan sebuah perjodohan di dalam keluarganya, semua orang bebas memilih pendamping hidup tentunya. Ia menjadi bingung sendiri dengan pemikiran istrinya saat ini.
"Ada satu nama, satu nama perempuan yang ditulis di buku ini, aku merasa penasaran sepanjang waktu, bahkan aku bisa merasakan sosok ini begitu mengganggu pikiran Yori selama sekolah."
"Siapa? Apa Bunda yakin dia gadis yang cocok untuk Yori?" tanya pria itu lagi dengan wajah penasaran.
"Tentu saja, tapi Ayah akan membantu, kan?" tanya Ayu sambil menggoda suaminya, matanya mengerling manja. "Lihat bagian ini, Hana Aulia Divandra, Ayah coba baca."
Ayu membuka halaman demi halaman yang menyelipkan nama Hana, juga ungkapan yang tentu saja Ayu yakin pasti ditujukan untuk gadis itu. Ia merasa sangat antusias.
"Ayah akan mendukung keputusan bunda, kan?" tanya wanita itu memandang penuh harap kepada suaminya.
Harry menghela napas. Pria lebih suka mencari wanita sendiri, lebih suka menikahi wanita yang memang sudah mematri di dalam hati, tetapi lagi-lagi ia merasa tidak tega untuk menolak rencana itu. Ia hanya bisa berharap Yori akan menerimanya dengan perasaan bahagia nantinya.
"Sayang?" panggil Ayu menatap suaminya yang malah diam memandang dirinya.
"Untuk Bunda dan Yori, tentu saja akan selalu menjadi prioritas utama ayah." Harry membelai lembut pipi istrinya. "Asal kamu cepat sehat dan tentu saja Yori harus tahu rencana ini terlebih dulu sebelum acara ulang tahunnya digelar, ayah pasti akan mendukung," tambahnya lagi seraya mengecup kening istrinya dengan lembut.
"Terima kasih, suamiku. Besok lusa anak ganteng kita pulang dari Australia, kita akan membicarakan ini dengannya," ucap Ayu sambil tersenyum senang, wajahnya mendadak cerah.
***
Australia, 10 Januari 2021'Selamat tinggal Negeri Kanguru, aku pasti akan merindukanmu. Dan kamu yang tinggal di kawasan Wyndham, maaf aku tidak sempat pamitan.'**Dua hari sudah berlalu, kini pria berusia dua puluh empat tahun itu sudah tiba di rumah. Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari tujuh setengah jam, akhirnya ia bisa bernapas lega menyaksikan sendiri wajah bahagia keluarga dalam menyambutnya pulang.Jelas terpancar kerinduan mendalam di mata bunda dan ayahnya, hingga Yori malu sendiri menjadi tontonan para assisten rumah tangga rumah karena sudah diperlakukan seperti anak kecil, dipeluk dan dijewer daun telinganya karena kesalahannya jarang memberi kabar.Yori segera memeluk wanita yang telah melahirkannya dengan ras
'Kalau aku bisa kembali ke masa itu, aku ingin merubah sesuatu.' (Yori Kristian Hirata)***Yori kini sedang duduk menatap hidangan makan malamnya yang tiba-tiba terasa hambar. Ia tidak mengerti dengan pembicaraan malam ini yang menurutnya tidak masuk akal.Bagaimana mungkin ayah dan ibunya semudah itu membicarakan hal yang menurutnya sangat penting dalam menjalani sebuah hubungan. Ia hampir saja tersedak karenanya.Ia menjadi limbung, tangannya tak mampu lagi menopang sendok hingga lentingan suaranya yang terjatuh menimpa piring terdengar kasar."Apa! Menikah? Apa maksud Ayah dengan hadiah sebuah pertemuan dan pernikahan?" tanya Yori merasa butuh penjelasan.Ia sangat terkejut dengan apa yang baru saja disampaikan ayahnya. Kedua bola matanya membulat sempurna, menatap kedua orang tuanya yang terl
******()******Aku lupa, kenapa dulu kamu begitu menarik perhatianku, aku rasa bukan cinta, tapi … sebuah simpati mungkin. (Yori Kristian Hirata)***Sayup-sayup suara ayam tetangga sudah terdengar. Alarm alami yang didengarkan setiap pagi oleh Yori sejak kecil, tentu saja koleksi ayam milik tetangganya. Ia pun menggeliat pelan, mengembus napas mengumpulkan seluruh nyawanya. Lelah sekali tubuhnya, rasanya malas untuk bangun, tetapi rugi juga kalau menghabiskan waktu hanya untuk rebahan."Kemarin mimpi bukan sih?" gumamnya pelan.Ia mengingat kembali, semalam kedua orang tuanya memberitahukan masalah hadiah ulang tahunnya. Setelah memastikan itu bukan mimpi, pria itu dengan kesal mengentak kaki kemudian bangun dan duduk di pinggiran ranjang.
******()******'Entah mengapa sampai saat ini pun, aku masih penasaran sama kamu.'(Yori Kristian Hirata)***"Apa dia kuper, ya?" ucap Alan bernada sewot.Yori dan Andi segera menoleh ke arah si gaul berambut kuning keemasan itu dengan senyuman samar. Yori mengakui, melacak nama Hana seperti mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Bagaimana tidak? Semua akun atas nama Hana ribuan jumlahnya. Bahkan sesekali mata nakalnya mengintip gambar wanita sexy yang diupload pemilik akun yang tidak diprivat."Gila! Nggak bisa gini caranya," lontar Andi meletakkan ponselnya di meja.Ia merasa lelah sekaligus penasaran dengan sosok Hana yang jujur saja tidak pernah sekelas dengannya. Jadi, ia tidak ada bayangan sedikit pun mengenai wajah gadis dengan nama Hana yang berarti 'Bunga' dalam Jepang itu. Apalagi
'Aku tidak pernah merasakan nervous seperti ini sebelumnya. Ah, aku harus banyak belajar untuk bersabar.'(Yori Kristian Hirata)***Yori duduk termangu di kursi kemudi mobil, memandang orang-orang yang berlalu-lalang di parkiran hendak meninggalkan area perkebunan. Terdengar embusan napasnya yang seolah menyiratkan sebuah rasa lelah dalam menunggu.Sudah lebih dari satu jam ia mengirimkan sebuah pesan. Itu pun lebih dari sepuluh kali pula setelah ia meyakinkan diri untuk melakukannya, tetapi entah mengapa si pemilik akun bernama 'Bunga Matahari' belum juga membalas pesannya. Ia menjadi kesal sendiri karena merasa sudah diabaikan."Cabut, ah!" putusnya kemudian.Yori segera memasukkan p
Bab 7 Kamu Bukan Hanaku'Kalau itu kamu, apakah tidak ada ingatan sedikit pun tentang aku?'(Yori Kristian Hirata)***Pria itu mematung menatap kedua wanita yang berada di hadapannya. Nama Hana yang terlontar seolah membuat dunianya seakan berhenti, ingin sekali ia menanyakan lebih jauh mengenai wanita jutek itu, tetapi urung. Ia merasa tidak siap melakukannya."Kenapa kamu terlihat terkejut begitu?" tanya Lusi si rambut pirang mengernyitkan dahinya, wanita itu merasa bingung kenapa pria berwajah tampan itu malah diam mematung."Ah, tidak. Ya sudah, lanjutkan perjalanan kalian. Aku permisi," sahut Yori kemudian sambil memutar kembali badannya dan membuka pintu mobil."Baiklah, terima kasih. Tapi …," ucap Lusi tertahan.Yori segera masuk ke dalam mobilnya seraya memandang Lusi dengan w
Bab 8 Berharap Kamu adalah Dia'Perasaan aneh ini menjalariku, rasanya seperti sepuluh tahun lalu hadir kembali, harusnya kamu Hanaku.'(Yori Kristian Hirata)***Yori meninggalkan restoran cepat saji dengan perasaan tidak menentu. Ada satu sisi menginginkan Hana yang jutek itu sebagai Hana yang ia kenal saat masih sekolah.Apa ada kemiripan?Yori lagi-lagi menggeleng pelan, ia tidak ingat. Melupakan wajah Hana saat masih abegeh, yang tentunya kini usia gadis itu sama dengannya yaitu dua puluh empat tahun. Dulunya teman sekolah yang diam-diam membuatnya selalu tertarik pada kesehariannya itu adalah sosok gadis yang gendut dan acak marut, tetapi Hana yang dia temui di restoran punya badan ramping, cekatan dalam bekerja dan memiliki struktur wajah yang sangat enak dipandang mata. Yori betah kalau harus memandangnya seumur hidup. Sambil mengembus n
Bab 9 Pertemuan Yori dan Hana'Hatiku mendadak lemah, ada sudut yang kosong di dalam sana. Aku tahu itu terjadi saat perasaan tidak menentu sedang melanda.'(Yori Kristian Hirata)***Yori mengembus napas pelan saat membuka kontak dan hendak menyimpannya. Menelisik terlebih dahulu detail nomor ponsel yang baru saja ia terima dari Lusi."Ahhh! Nggak sama," erangnya menepuk kasur dengan kesal.Ia teramat kecewa, kenapa Hana dan Bunga Matahari bukan orang yang sama, nomor ponsel mereka berbeda. Ia rebahkan tubuhnya ke kasur, memandang foto dua akun WhatsApp yang berbeda pula. Satu gambar Bunga Matahari dan yang satu gambar wajah Hana yang sedang menatap arah samping.