'Kalau aku bisa kembali ke masa itu, aku ingin merubah sesuatu.' (Yori Kristian Hirata)
***
Yori kini sedang duduk menatap hidangan makan malamnya yang tiba-tiba terasa hambar. Ia tidak mengerti dengan pembicaraan malam ini yang menurutnya tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin ayah dan ibunya semudah itu membicarakan hal yang menurutnya sangat penting dalam menjalani sebuah hubungan. Ia hampir saja tersedak karenanya.
Ia menjadi limbung, tangannya tak mampu lagi menopang sendok hingga lentingan suaranya yang terjatuh menimpa piring terdengar kasar.
"Apa! Menikah? Apa maksud Ayah dengan hadiah sebuah pertemuan dan pernikahan?" tanya Yori merasa butuh penjelasan.
Ia sangat terkejut dengan apa yang baru saja disampaikan ayahnya. Kedua bola matanya membulat sempurna, menatap kedua orang tuanya yang terlihat begitu tenang dalam menanggapi pertanyaannya.
"Kamu saja yang ngomong, Bun," lempar Harry kepada istrinya yang kini juga sedang menatap ke arahnya.
Wanita bernama lengkap Ayu Aning Hirata itu segera mengulas senyuman dan beralih menatap Yori. Wajah pucatnya sama sekali tidak memudarkan kecantikan wanita yang kini sudah menginjak usia yang kelima puluh tahun. Dengan suara pelan ia pun mulai menjelaskan apa yang menjadi rencananya.
"Jadi, bunda sama ayah setelah mempertimbangkan hal ini dengan matang, akhirnya kami memutuskan tahun ini akan mewujudkan impian kamu untuk punya rumah sendiri dan juga menikah dengan Hana," ungkap ibunya lembut membuat Yori membelalak mata.
"Apa!" pekiknya tidak percaya. Ingin sekali ia berjingkat dan mendengar sekali lagi ucapan ibunya yang sangat tidak ia mengerti. "Menikah dengan siapa?" tanya Yori menjadi bingung.
"Iya, bukankah itu bagian dari impianmu?" tanya ayahnya mengerutkan kening melihat anaknya malah terkejut, ia merasa aneh dengan reaksi tersebut.
Ayahnya tidak menyangka bukan sebuah senyuman sambil memeluk atau tertawa bahagia, tetapi kenapa terkejut yang mengisyaratkan hal lain? Apa ini sebuah kekeliruan? Harry merasa bingung dengan reaksi anaknya.
"Tunggu! Yori belum ngerti, Yah?" sela Yori menatap dengan wajah kebingungan kedua orang tuanya.
Pria yang kini sedang mengenakan t-shirt berwarna merah maroon dipadukan dengan celana jeans sobek di lutut itu segera menegakkan bahu seraya menatap serius ke arah ayah dan ibunya. Beberapa kali pula terlihat Yori mengacak rambutnya yang tidak gatal, ia mendadak pusing.
"Gimana, sih, Nak?" ucap ibunya juga bingung.
"Kenapa tiba-tiba bawa nama Hana? Dia siapa? Aku nggak kenal Hana." Yori berkilah, ia merasa tidak mengenal sama sekali seorang wanita bernama Hana. Bagaimana mungkin ia menjadikan wanita itu daftar impian untuk dinikahi? Ia merasa benar-benar terkejut mendengarnya.
"Ya nggak mungkin Yori nggak kenal, orang isinya nama Hana semua," lontar ibunya semakin membuat Yori merasa bingung.
"Sumpah, Yori beneran nggak ngerti, Bun. Hana siapa, coba? Aku nggak punya temen namanya Hana, Bun," tegas Yori membela diri.
Mereka bertiga saling memandang satu sama lain, saling menghela napas karena tidak menginginkan adanya sebuah perdebatan. Apalagi ditambah ibunya yang sedang kurang sehat, Yori tidak mau membebani orang tuanya.
"Sekarang Yori mau tanya sama Ayah dan Bunda, ini tentang kejutan setiap tahun yang jujur saja membuat Yori merasa sangat bersyukur mendapatkannya, tapi sekaligus penasaran. Sebenarnya apa yang membuat Bunda dan Ayah tahu apa saja yang Yori inginkan, padahal Yori nggak pernah kasih tahu kalian masalah ini? Kenapa Ayah dan Bunda bisa tahu? Dari mana?"
Yori memberi pertanyaan itu dengan wajah sangat serius. Ia merasa harus tahu tentang hal yang jujur saja membuatnya penasaran sejak kecil, sejak SMP tentu saja.
Kedua orang tuanya saling memandang satu sama lain. Saling memberi isyarat agar salah satu dari mereka menjawab pertanyaan anak semata wayang mereka itu. Yori masih diam menyimak dan memberi kesempatan keduanya untuk menjelaskan.
"Itu, sebelumnya bunda minta maaf, Yo. Itu … karena bunda menemukan buku harian Yori. Bunda sering membaca dan mencoba memperbaiki diri, introspeksi sebagai orang tua. Apa yang kamu sukai, kamu inginkan, yang kamu benci, semua perasaanmu, dan kehidupanmu," jawab ibunya sambil melipat bibirnya merasa bersalah. "Karena jujur saja, kami belajar menjadi orang tua itu dari kamu. Kamu anak yang cerdas, dan kami … mencoba untuk mengimbangi kecerdasan itu dengan memberi apresiasi atas pencapaianmu," tambah ibunya dengan suara yang sangat lembut penuh sesal.
"Apa? Tunggu … buku harian?" tanya Yori membelalak tidak percaya, ia mengerutkan dahi, dan mencoba mengingat kembali apa yang sering ia lakukan sebagai anak tunggal dari keluarga itu. Tidak memiliki saudara untuk berbagi kisah dan masalah dalam hidup. Hanya buku yang bisa ia jadikan tempat untuk menampung keluh kesah serta cerita harian kehidupannya.
"Iya, buku harian punya Yori." Ibunya mengangguk pasrah.
"Astaga, Bunda. Jangan dianggap serius, itu cuma bentuk tuangan uneg-uneg aja, nggak lebih. Lupakan saja, ya?" ucap Yori tertawa.
"Maksudnya, melupakan bagian apa?" tanya ayahnya menimpali.
“Kamu pasti tahu dan ingat dengan Hana yang sedang kita bicarakan ini, kan?" telisik Ayu ingin mendengar langsung tentang gadis itu dari anaknya.
"Ok, ok … Yori ingat, soal Hana … dia temen sekelas Yori sejak SMP, orangnya pemberani, suka bikin onar di kelas, gendut dan sedikit bodoh, apa yang ada di hidupnya adalah kecerobohan." Yori menceritakan wanita bernama Hana di dalam buku hariannya.
"Ayah merasa kamu menyukainya," ucap ayah tersenyum samar.
"Iya, bahkan sampai SMA kamu masih suka menulis tentang gadis bernama Hana itu," timpal ibunya menguatkan ucapan sang suami. Mereka berdua saling memandang dan mendukung rencana itu.
Yori mengusap rambutnya frustrasi. Apa yang dilontarkan orangtuanya sangat berlebihan. Ia mengingat kembali saat SMP dan SMA, gadis bernama Hana yang ceroboh, tukang usil, tidur di kelas dan yang membuatnya mengingat hal paling buruk adalah gadis itu gendut, berpenampilan acak-acakan, dan hampir saja di DO karena sering bolos sekolah.
Ia dulu memang sering diam-diam memperhatikannya karena merasa sangat penasaran juga bingung kenapa penampilan gadis itu terlihat carut marut.
"Ah, tidak!" teriaknya dalam hati. Ia tidak mau membayangkan wanita keras kepala itu masuk ke dalam hidupnya. Ia mendengus kesal sendiri.
"Nak, bunda nggak pernah meleset dengan apa yang bunda pikirkan. Hana itu cinta pertama kamu," ucap ibunya lagi.
"Ah, Bunda. Lupain, ya? Itu bukan impian Yori, ya. Cinta pertama? Astaga! Bunda sama Ayah salah paham, aku nggak pernah menulis kata cinta kok," tegas Yori tidak mau membahas masalah ini lebih lanjut.
Hana baginya manusia aneh yang sikapnya pernah ia kagumi saat masih SMP, sebelum gadis itu berubah menjadi anak rese saat sudah memasuki jenjang SMA.
"Masalahnya, ayah dan bunda sudah ngobrolin ini sama tante Mila dan om Irwan," ungkap ayahnya memandang Yori dengan helaan napas.
"Maksudnya? Siapa tante Mila dan om Irwan?"
"Mereka itu orang tuanya Hana, dan … mereka berdua setuju buat jodohin putri satu-satunya mereka itu sama kamu," terang ibunya menimpali ucapan ayah Yori.
"Hah?!" Yori membelalak mata dengan tegukan ludah pahit. Ia tidak menyangka perayaan ulang tahunnya sekitar dua minggu lagi akan mendapatkan kejutan yang tidak pernah ia bayangkan sama sekali.
Ia terduduk lemas di kursi sambil memandang bergantian ayah ibunya yang kini memberikan senyuman manis ke arahnya. Keduanya terlihat sangat bahagia, ia jadi ingin menertawai nasibnya sendiri.
"Benar-benar mimpi buruk," keluhnya dalam hati. Ia meraup wajah tampannya dengan kedua jemari tangan sambil memejamkan mata.
"Kami belum bertemu langsung dengan Hana sendiri, kamu bisa menemuinya sendiri dan merencanakan berdua konsep acara kalian mau seperti apa?" ungkap ayahnya memukul lembut pundaknya, memberikan dorongan semangat kepada anaknya untuk mengejar cinta yang terpendam.
"Wahh, tidak bisa kupercaya. Tidak mungkin cewek acak-adut dan rese itu jadi istriku." Yori menggerutu kesal sendiri.
****
******()******Aku lupa, kenapa dulu kamu begitu menarik perhatianku, aku rasa bukan cinta, tapi … sebuah simpati mungkin. (Yori Kristian Hirata)***Sayup-sayup suara ayam tetangga sudah terdengar. Alarm alami yang didengarkan setiap pagi oleh Yori sejak kecil, tentu saja koleksi ayam milik tetangganya. Ia pun menggeliat pelan, mengembus napas mengumpulkan seluruh nyawanya. Lelah sekali tubuhnya, rasanya malas untuk bangun, tetapi rugi juga kalau menghabiskan waktu hanya untuk rebahan."Kemarin mimpi bukan sih?" gumamnya pelan.Ia mengingat kembali, semalam kedua orang tuanya memberitahukan masalah hadiah ulang tahunnya. Setelah memastikan itu bukan mimpi, pria itu dengan kesal mengentak kaki kemudian bangun dan duduk di pinggiran ranjang.
******()******'Entah mengapa sampai saat ini pun, aku masih penasaran sama kamu.'(Yori Kristian Hirata)***"Apa dia kuper, ya?" ucap Alan bernada sewot.Yori dan Andi segera menoleh ke arah si gaul berambut kuning keemasan itu dengan senyuman samar. Yori mengakui, melacak nama Hana seperti mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Bagaimana tidak? Semua akun atas nama Hana ribuan jumlahnya. Bahkan sesekali mata nakalnya mengintip gambar wanita sexy yang diupload pemilik akun yang tidak diprivat."Gila! Nggak bisa gini caranya," lontar Andi meletakkan ponselnya di meja.Ia merasa lelah sekaligus penasaran dengan sosok Hana yang jujur saja tidak pernah sekelas dengannya. Jadi, ia tidak ada bayangan sedikit pun mengenai wajah gadis dengan nama Hana yang berarti 'Bunga' dalam Jepang itu. Apalagi
'Aku tidak pernah merasakan nervous seperti ini sebelumnya. Ah, aku harus banyak belajar untuk bersabar.'(Yori Kristian Hirata)***Yori duduk termangu di kursi kemudi mobil, memandang orang-orang yang berlalu-lalang di parkiran hendak meninggalkan area perkebunan. Terdengar embusan napasnya yang seolah menyiratkan sebuah rasa lelah dalam menunggu.Sudah lebih dari satu jam ia mengirimkan sebuah pesan. Itu pun lebih dari sepuluh kali pula setelah ia meyakinkan diri untuk melakukannya, tetapi entah mengapa si pemilik akun bernama 'Bunga Matahari' belum juga membalas pesannya. Ia menjadi kesal sendiri karena merasa sudah diabaikan."Cabut, ah!" putusnya kemudian.Yori segera memasukkan p
Bab 7 Kamu Bukan Hanaku'Kalau itu kamu, apakah tidak ada ingatan sedikit pun tentang aku?'(Yori Kristian Hirata)***Pria itu mematung menatap kedua wanita yang berada di hadapannya. Nama Hana yang terlontar seolah membuat dunianya seakan berhenti, ingin sekali ia menanyakan lebih jauh mengenai wanita jutek itu, tetapi urung. Ia merasa tidak siap melakukannya."Kenapa kamu terlihat terkejut begitu?" tanya Lusi si rambut pirang mengernyitkan dahinya, wanita itu merasa bingung kenapa pria berwajah tampan itu malah diam mematung."Ah, tidak. Ya sudah, lanjutkan perjalanan kalian. Aku permisi," sahut Yori kemudian sambil memutar kembali badannya dan membuka pintu mobil."Baiklah, terima kasih. Tapi …," ucap Lusi tertahan.Yori segera masuk ke dalam mobilnya seraya memandang Lusi dengan w
Bab 8 Berharap Kamu adalah Dia'Perasaan aneh ini menjalariku, rasanya seperti sepuluh tahun lalu hadir kembali, harusnya kamu Hanaku.'(Yori Kristian Hirata)***Yori meninggalkan restoran cepat saji dengan perasaan tidak menentu. Ada satu sisi menginginkan Hana yang jutek itu sebagai Hana yang ia kenal saat masih sekolah.Apa ada kemiripan?Yori lagi-lagi menggeleng pelan, ia tidak ingat. Melupakan wajah Hana saat masih abegeh, yang tentunya kini usia gadis itu sama dengannya yaitu dua puluh empat tahun. Dulunya teman sekolah yang diam-diam membuatnya selalu tertarik pada kesehariannya itu adalah sosok gadis yang gendut dan acak marut, tetapi Hana yang dia temui di restoran punya badan ramping, cekatan dalam bekerja dan memiliki struktur wajah yang sangat enak dipandang mata. Yori betah kalau harus memandangnya seumur hidup. Sambil mengembus n
Bab 9 Pertemuan Yori dan Hana'Hatiku mendadak lemah, ada sudut yang kosong di dalam sana. Aku tahu itu terjadi saat perasaan tidak menentu sedang melanda.'(Yori Kristian Hirata)***Yori mengembus napas pelan saat membuka kontak dan hendak menyimpannya. Menelisik terlebih dahulu detail nomor ponsel yang baru saja ia terima dari Lusi."Ahhh! Nggak sama," erangnya menepuk kasur dengan kesal.Ia teramat kecewa, kenapa Hana dan Bunga Matahari bukan orang yang sama, nomor ponsel mereka berbeda. Ia rebahkan tubuhnya ke kasur, memandang foto dua akun WhatsApp yang berbeda pula. Satu gambar Bunga Matahari dan yang satu gambar wajah Hana yang sedang menatap arah samping.
Bab 10 Kehidupan Hana'Aku tak menyangka semua hal berbalik begitu cepat. Saat kata yang terucap bertentangan dengan apa yang ada di dalam hati, aku benar-benar ingin mengulang semuanya dari awal.'(Yori Kristian Hirata)***Rintik hujan mulai terdengar, ukiran air yang menetes membuat pola garis vertikal di jendela kaca restoran hingga dua wajah yang saling beradu pandang itu menjadi buram ketika dilihat dari luar. Kedua insan manusia seumuran itu kini sedang mencoba untuk mengubah apa yang telah digariskan keluarga mereka. Mampukah?"Aku …."Yori menahan perasaannya, menahan suara yang seolah tertelan di tenggorokan. Ia tidak menyangka bahwa Hana adalah wanita yang berhasil mengusik perasaannya beberapa hari ini, mencuri hat
Bab 11 Di Luar Rencana'Aku tidak menyangka, bisa patah hati hanya karena telah jatuh hati.'(Yori Kristian Hirata)****Yori kembali pulang ke rumahnya. Bajunya terlihat kusut, dengan langkah gontai ia berjalan memasuki rumah. Sama saja rasanya, antara mendapat kabar rencana perjodohan dengan berhasil menemui Hana. Semua tidak sesuai dengan ekspektasi, sesak di dada.Rasanya ia sudah mengalami patah hati sebelum mengungkapkan perasaannya. Hana menolaknya, dan itu malah yang membuatnya sedih."Yori," panggil ibunya yang baru saja turun dari lantai atas."Bun," jawab Yori memandang sejenak dan beralih menuju ke sofa, mendaratkan tubuhnya di sana dan tiduran miring dengan mata terpejam."Kamu kok lesu? Katanya habis ketemu sama Hana, tadi ayah yang bilang," tanya ibunya merasa
Bab 64. Kebahagiaan Yang Sempurna'Virus cinta menginfeksi tubuh berpusat pada hati. Campuran dari rasa kagum, cemburu, egois, sayang, dan juga rindu. Ia kuat, tetapi mampu merapuhkan. Ia ramah, tetapi sanggup menghancurkan. Hitam putih warnanya tergantung pada siapakah kita letakkan biangnya.'(Syala Yaya)*****Delapan bulan sudah berlalu, hidup berjalan dengan indah. Saat ini pasangan itu sedang menunggu kelahiran buah cinta mereka yang akan terlahir dua minggu lagi. Keduanya disibukkan dengan persiapan untuk menyambut dengan mendesain ulang kamar. Hana sangat antusias, tidak kalah dengan keluarga Yori yang kini sering berkunjung ke rumahnya.Setelah m
Bab 63. Menikmati Kesabaran.'Tidak ada yang menang ketika memilih jalan untuk melepaskan genggaman silaturahmi. Keindahan saat kebersamaan terjalin harus pupus oleh keegoisan karena memaksakan keadaan untuk bisa memiliki.'(Syala Yaya)****Hana memandang Yori dalam diam. Ia lebih banyak menyimak obrolan mertuanya yang heboh dalam memilih nama yang kelak akan diberikan kepada calon anaknya kelak. Sebenarnya ia cukup bingung untuk ikut berkomentar. Ini bahkan terlalu cepat untuk membicarakan masalah itu berhubung kehamilannya baru menginjak enam minggu.“Cowok apa cewek, ya?” oceh Ayu belum berhenti berspekulasi.
Bab 62. Kabar Bahagia.'Kebahagiaan tidak bisa diukur dari materi. Setiap saat bisa memeluk, mencium, dan mengucapkan selamat pagi saja rasanya sudah cukup.'(Hana Aulia Divandra)****Hari-hari berlalu dengan begitu cepat. Minggu berganti bulan dan semua bahkan tidak menyadarinya.Hana lebih sering ke rumah sakit untuk menemani ayahnya. Sambil menunggu kemoterapi dan berbagai pengobatan sebelum mendapatkan donor hati yang cocok, Hana pun mengisi waktunya dengan membuat gambar desain. Iwan yang melihat begitu seriusnya Hana bekerja, mendadak menitikkan air mata diam-diam. Seorang anak yang sering ia maki dengan kata-kata tidak pantas hanya karena tidak ko
Bab 61. Hidup Dengan Perasaan Damai'Bila bibir masih mampu mengucapkan kata maaf dan sayang, maka lakukanlah. Sungguh, sebenci apa pun pada seseorang, dia masih memiliki hak untuk diberi kesempatan yang ke dua.'(Syala Yaya)****Hana mematung di ambang pintu. Ia tidak pernah dekat lagi dengan papahnya sejak mamah meninggal. Dunia mereka berdua seakan tersekat waktu dan keadaan. Hana merasa papah sudah membangun dunianya yang baru hingga sulit baginya untuk ikut masuk ke dalamnya.Hana menatap sekeliling ruang, tampak kosong. Perempuan itu pun sadar, Mila sama sekali tidak merawat papahnya. Kakinya pun kini melangkah maju untuk me
Bab 60. Mengakhiri perang dingin.'Memaafkan masa lalu adalah cara efektif untuk membuang bayangan kelam saat menatap masa depan.'(Syala Yaya)*****Begitu tiba di rumah, Hana segera bergegas menghubungi papahnya. Tubuhnya sebenarnya cukup letih, tetapi wajah Yori lagi-lagi membuatnya terus bertanya-tanya. Ada apa dengan papahnya? Sayang sekali, kemudian ia pun memutuskan hubungan sepihak saat terdengar dari seberang suara papahnya menyahut panggilan.“Aku pergi sebentar, ya. Istirahatlah,” pamit Yori kemudian bergegas pergi.Yori segera menerima
Bab 59. Bulan Madu 2'Jangan pernah lari dariku. Secepat apa pun kamu menghilang, aku akan tetap menemukanmu.'(Yori Kristian Hirata)*****Malam bertabur bintang. Cuaca sangat bagus untuk makan malam di teras yang terletak di samping area kamar dengan suasana terbuka dan menyatu dengan taman.Hana sudah siap, duduk berhadapan dengan Yori. Keduanya saling menautkan jemari tangan di atas meja. Saling memindai wajah satu sama lain diiringi senyuman. Mata berkabut asmara sangat terlihat jelas dari keduanya saat saling memandang.“Terima kasih sudah bersedia menjadi bagian dari hidup Yor
Bab 58. Bulan Madu'Cinta, kenapa bisa seindah ini. Bila aku tidak pernah merasakan sakitnya saat putus, sudah kupastikan akan menggenggam cinta selamanya.'(Hana Aulia Divandra)****Keesokan harinya Hana dan Yori berangkat ke Gili Trawangan. Memilih tempat destinasi wisata tersebut karena sang bunda sudah menyewakan sebuah resort khusus berada di pantai sangat terpencil. Yori sangat kagum dengan keromantisan ayah dan bundanya saat berlibur. Pria itu tidak menyangka mereka berdua memiliki selera yang sama uniknya.“Bunda kamu keren,” bisik Hana ketika mereka berdua sudah dijemput oleh pihak resort setelah menggunakan fast boat dari Pelabuhan
Bab 57. Resepsi Pernikahan'Izinkan aku sekali lagi untuk mengukuhkan, betapa berharganya kamu di dalam hidupku.'(Yori Kristian Hirata)*****Ballroom Hotel Santosa.Tidak seperti bulan lalu saat perayaan ulang tahun Yori yang ke-24. Kali ini acara digelar untuk resepsi pernikahan Yori dan Hana yang akadnya telah dilangsungkan bulan lalu di tempat yang sama.Yori dan Hana terlihat bahagia saat menyalami tamu yang hadir untuk memberikan ucapan selamat pada mereka. Sengaja tidak menerima kado maupun sumbangan. Dalam acara malam ini keluarga Hirata menggunakan momen itu dengan mengajak para tamu undanga
Bab 56. Posisiku Sangat Berarti'Saat cinta sudah mulai tumbuh, kumohon tidak akan ada lagi halangan yang bisa memisahkan kita. Aku dan kamu selamanya. Menunggu malaikat kecil yang akan menyempurnakan kisah perjalanan rumah tangga kita.'(Yori Kristian Hirata)****Hana memasukkan suapan besar ke dalam mulutnya. Merasai setiap sensasi kuah menyegarkan yang menggoyang lidah. Sangat menyenangkan dan membuatnya senang. Makanan kesukaan mamahnya.Kerinduan pada sang mamah yang tiba-tiba menyentuh kalbu Hana, bukan lagi kesedihan melainkan perasaan cinta yang menggebu. Yori pun ikut memesan menu sama seperti Hana, menatap bahagia perempuan itu. Hana malam ini makan dengan sangat lahap