Mengenai kisah si Hazel, nanti rencananya aku akan buat judul sendiri. Jadi untuk di judul ini gak terlalu aku munculkan, semoga aja bulan ini dah bisa terbit kisahnya si Hazel hehe
Empat jam telah berlalu.Luna tampak berseri, matanya memantulkan cahaya senja yang mulai turun pelan-pelan dari langit jingga. Ia menikmati setiap detik kebersamaan dengan Hazel, berdua saja, jauh dari tatapan tajam dan tekanan yang selama ini menghantuinya.Suara langkah kaki mereka berpadu dengan suara tawa kecil di antara percakapan ringan, kadang berhenti sejenak untuk sekadar memandangi etalase toko yang menggoda, atau mengomentari hal-hal sepele yang terasa menyenangkan hanya karena mereka membicarakannya bersama.“Kau mau kembali ke kapal atau masih mau keliling di sekitar sini?” tanya Hazel, tanpa benar-benar menatap Luna karena matanya sibuk mengejar deretan toko baru yang belum mereka jelajahi.Luna melirik kantong belanjaan yang tergantung di tangannya sudah cukup berat.“Aku rasa kita sebaiknya kembali, Hazel. Jangan sampai kapal berangkat tanpa kita,” katanya, separuh bercanda, tapi ada nada khawatir di ujung kalimatnya.Hazel tertawa, tawa khasnya yang renyah dan santai
Xavier berusaha mencari tahu apa yang dimaksud oleh Jacob sebelumnya, tapi sangat disayangkan karena internet di dalam kapal pesiar sangat terbatas, hal itu tentunya menghambat informasi yang harusnya ia terima.Mengabaikan hal itu, yang terpenting ia harus menyelesaikan pekerjaannya lebih dulu di kapal mewah tersebut sebelum mengetahui apa maksud Jacob sebenarnya.Pikirannya buyar saat suara jengkel menyentaknya dari sisi kanan.“Bisakah kau lepaskan tanganmu itu dariku?” Luna mendesis pelan, berusaha melepaskan pelukan Xavier yang erat di pinggangnya.Pria itu menoleh ke samping dimana perempuan yang lebih pendek darinya tengah berusaha melepaskan tangan yang merangkul pinggangnya.Xavier sengaja melakukan itu, jelas untuk memancing kecemburuan Jacob. Ia tau, Jacob sangat mencintai Luna, dan membuat Jacob marah dengan hal kecil seperti ini adalah sebuah kesenangan yang ingin Xavier lakukan.Alih-alih melepaskan tangannya dari Luna, Xavier justru lebih erat memeluk perempuan itu, tent
Sebuah keheningan yang tidak biasa. Dua hari telah berlalu sejak Luna pergi bersama Jacob dari pesta, namun tidak ada tanda-tanda Xavier mencarinya. Bahkan ketika anak buah Xavier sempat berpapasan dengannya di dek kapal, mereka hanya berlalu begitu saja tanpa reaksi sedikit pun. Tidak ada tatapan mencurigakan, tidak ada usaha untuk membawanya kembali. Sangat tidak seperti Xavier.Jika pria itu menginginkannya, seluruh kapal ini pasti sudah dipenuhi pencarian. Tapi kali ini… seolah dia tidak peduli.Dengan jantung yang berdegup gelisah, Luna mempercepat langkah menuju lounge tempat Jacob biasa bersantai. Ia menemukan pria itu tengah duduk sambil menatap laut lepas, pikirannya melayang entah ke mana."Hei, ini tidak masuk akal. Xavier… dia tidak mencariku sama sekali selama dua hari. Kau tidak merasa ini aneh?" ucap Luna cepat, nyaris panik.Jacob menoleh, wajahnya serius. "Hazel juga tak terlihat sejak kemarin. Biasanya dia selalu memeriksaku atau memberi kabar… tapi sekarang, tidak ad
Dengan langkah tergesa dan wajah penuh tanya, Xavier segera melajukan mobilnya menuju kediaman George. Ia bahkan tak sempat berpikir panjang saat memerintahkan anak buahnya untuk mengantar Luna pulang lebih awal ke apartemennya. Panggilan mendadak dari George terasa janggal, tidak biasanya George ingin bertemu dadakan seperti ini tanpa alasan yang jelas.Sementara itu, Luna justru merasa sedikit lega. Setidaknya, hari ini ia bisa pulang lebih cepat dan menikmati waktu tanpa perlu berurusan dengan Xavier. Begitu tiba di apartemen, ia mengganti pakaian dengan yang lebih nyaman, lalu menjatuhkan diri ke sofa sambil membawa beberapa camilan. Jari-jarinya meraih remote, dan dengan satu klik, televisi menyala.Ia penasaran, berita baru apa yang berkembang selama seminggu terakhir? Tapi baru beberapa detik menyaksikan siaran, tangan Luna yang hendak menyuapkan makanan mendadak terhenti di udara. Tatapannya terpaku ke layar melihat nama dan wajah ayahnya, Russel Calderon, muncul besar-besar d
Tiga hari telah berlalu sejak kekacauan itu semakin membesar. Sejak saat itu, tak ada kabar dari Xavier, pria itu seakan menghilang sejak mereka berpisah di dermaga. Dan kini, di tengah ketidakjelasan yang menyesakkan, sebuah panggilan dari Nico datang tiba-tiba.“Nanti malam ada pertemuan keluarga,” katanya singkat, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.Alih-alih bersama Xavier seperti biasanya, kali ini Nico sendiri yang datang menjemput. Sebuah hal yang cukup aneh, dan tentu saja menambah daftar panjang pertanyaan yang mengendap di kepala Luna.Saat itu, Nico sudah tiba di apartemen Xavier lebih awal dari yang seharusnya. Ia duduk di sofa dengan wajah lelah, fokus pada layar ponselnya sambil sesekali mengusap matanya. Sementara Luna masih sibuk memilih gaun di dalam kamar, pikirannya terus mengembara.Ketika akhirnya ia keluar untuk memeriksa jam, ia melihat waktu baru menunjukkan pukul enam sore. Masih dua jam lagi sebelum pertemuan dimulai. Dengan ragu, Luna bertanya,"Nico, tida
"Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja!" suara Russel meledak di tengah ruangan, penuh nada frustasi dan ketidakpercayaan. "Bukankah Anda sendiri yang setuju untuk menjalin hubungan keluarga setelah pernikahan mereka?"Namun George Davis tetap tenang, seperti air yang tak terusik oleh angin. Ia menoleh, tatapannya tajam dan penuh penghakiman."Russel," ucapnya datar namun tegas, "kau sudah tahu sejak awal kalau kedatanganku kemari bukan untuk memberi restu, melainkan untuk mencabutnya. Tidak ada lagi alasan untuk melanjutkan hubungan ini. Semua sudah selesai."Kata-katanya jatuh seperti vonis. Tapi Russel masih mencoba merangkak dari puing-puing egonya yang mulai runtuh."Keputusan ini terlalu sepihak!" serunya lagi, suaranya meninggi. "Bukankah Anda yang berjanji akan membantu membantu perusahaanku? Kita bahkan membicarakan proyek mega bisnis bersama...""Tapi kau gagal!" potong George tajam, suaranya kini meninggi, menggema keras di ruangan yang penuh ketegangan. "Kau gagal, R
Suasana terasa berbeda, ketika Luna membuka mata dengan kepala yang berdenyut, ia mendapati dirinya berada di sebuah kamar asing yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Barang-barang tidak terlalu banyak di dalam kamar tersebut, tapi jelas terlihat kalau kamar itu adalah milik seorang pria."Dimana aku?" gumamnya.Perlahan ia beranjak bangun dan duduk di tempat tidur, mencoba mengenali tempat tersebut, tapi tetap saja ia tidak tau kamar siapa yang ia tempati saat ini. Sementara, sebuah jam digital diatas meja nakas masih menunjukkan pukul enam pagi.Luna akhirnya keluar dari kamar dengan gerakan sangat pelan, ketika ia berada di luar, hal pertama yang menarik perhatiannya ada sosok orang menyebalkan yang kini tidur pulas di atas sofa.Tapi tidak, pria itu tidak lagi menyebalkan seperti sebelumnya. Luna berbalik, mengambil selimut yang sempat ia gunakan untuk menyelimuti tubuh Nico yang tidur di sofa dengan posisi tidak nyaman, tapi saat Luna baru selesai menyelimuti tubuh pria muda itu,
Kekacauan masih berlanjut, berita semakin panas dan kabarnya Russel terancam bangkrut kalau semua masalah ini tak segera dia selesaikan. Semua hal yang sempat dia banggakan bisa hangus dalam semalam, dan kejadian sepuluh tahun lalu mungkin saja akan terulang dimana membuatnya nyaris menjadi gelandangan.Luna duduk di sofa, memeluk lututnya. Ia bukan pebisnis. Bahkan cara membaca laporan keuangan pun tak ia pahami. Tapi setiap hari, jemarinya tak henti menyegarkan laman berita, menyaksikan nilai saham Zenith yang terus merosot, perlahan namun pasti, seolah menarik harapannya ke dasar.Tiba-tiba, rasa dingin menyentuh pipinya. Luna terlonjak kecil, menoleh cepat. Hazel berdiri di sampingnya, menempelkan kaleng minuman dingin ke wajahnya sambil menyunggingkan senyum tipis yang nyaris pahit.“Ayahmu benar-benar sedang sekarat sekarang,” ucap Hazel, seolah menyampaikan berita duka, padahal nada suaranya terdengar nyaris biasa.Luna menggenggam kaleng itu, menatap Hazel lekat-lekat. “Apa ti
Setelah melewati hari-hari panjang di rumah sakit, akhirnya Jacob bisa kembali pulang. Tapi kali ini, bukan ke apartemen lamanya di tengah kota, melainkan ke sebuah rumah yang selama ini hanya ia lihat dari kejauhan, rumah yang pernah ia beli, namun belum sempat ia tinggali. Lokasinya tenang, jauh dari hiruk pikuk kota, berdiri megah di tepi danau kecil dengan udara yang segar dan suasana yang mendamaikan.Mobil berhenti tepat di depan rumah. Dua penjaga pribadi segera sigap membantu Jacob turun dari kursi mobil dan membawanya ke kursi roda yang telah disiapkan. Tak ada pilihan lain, kakinya belum mampu menopang tubuhnya sendiri. Kali ini, Jacob benar-benar harus bergantung pada bantuan orang lain."Ini… di mana?" tanya Luna sambil menatap ke sekeliling, kagum oleh keindahan alam yang membingkai rumah tersebut.Jacob menoleh ke arahnya. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Ini rumahku. Aku membelinya bertahun-tahun lalu, tapi belum pernah tinggal di sini. Dulu kupikir, tempat ini akan m
Kabar bahwa Jacob telah siuman menyebar secepat cahaya dan sampai ke telinga Luna tepat saat senja menutup hari. Setelah lima belas hari penuh doa, penantian, dan ketidakpastian, akhirnya hari yang ia nantikan datang juga. Hari ketika dua kabar besar mengisi hatinya, kehamilannya... dan kembalinya Jacob dari ambang batas kesadaran.Namun, kebahagiaan itu tak bisa sepenuhnya ia ungkapkan. Hazel sempat menyarankan agar kabar tentang kehamilan Luna tidak langsung disampaikan kepada Jacob. Pria itu baru saja sadar, tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Rasa bahagia yang terlalu intens bisa saja menjadi tekanan baru. Maka, mereka sepakat untuk menunda dua hari saja. Dua hari sebelum kabar tentang dua jiwa kecil di dalam tubuh Luna sampai ke telinga Jacob.Luna duduk di sisi ranjang Jacob, jemarinya menggenggam tangan kekasihnya dengan lembut, seolah tak ingin melepaskannya lagi."Aku senang akhirnya kau sadar setelah tidur selama lima belas hari," bisiknya dengan suara penuh haru.Jacob tak bisa
"Wow!"Satu kata meluncur dari mulut Hazel, penuh kekaguman dan ketidakpercayaan.Luna masih terdiam. Detik-detik setelah dokter mengumumkan kabar itu seperti berhenti di sekitarnya. Bukan satu janin, tapi dua. Kehamilan pertamanya langsung menghadirkan sepasang kehidupan dalam rahimnya. Keajaiban, namun juga tanggung jawab yang terasa begitu besar menimpa pundaknya dalam sekejap.Ia menatap layar monitor yang kini telah dimatikan, namun bayangan dua bulatan mungil itu masih membekas di benaknya.Bisakah aku menjadi seorang ibu? Dua sekaligus? pikirnya, dilanda kekhawatiran. Ia bahkan belum tahu bagaimana cara merawat bayi, apalagi menghadapi kehamilan kembar.Sementara itu, dokter mulai menjelaskan hal-hal penting seputar kehamilan. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, makanan yang sebaiknya dihindari, sampai anjuran rutin kontrol kandungan. Hazel mendengarkan dengan saksama. Wajahnya serius, seolah menyimpan semua informasi untuk disampaikan kepada Jacob ketika pria itu akhirnya
Karena tak memungkinkan bagi Hazel menghilangkan bau daging dari apartemen Jacob dalam waktu singkat, alhasil ia membawa Luna datang ke apartemennya yang lokasinya tidak begitu jauh. Saat pertama kali melangkahkan kaki ke dalam apartemen yang sudah dua hari tidak Hazel datangi, perempuan itu mengerutkan dahi karena mencium sesuatu yang terasa asing di apartemen tersebut.Sepertinya, perbedaan di apartemen Hazel juga disadari oleh Luna saat perempuan itu berkata. "Sepertinya kau memindahkan beberapa barang-barang sebagian," katanya.Hazel mulai menaruh curiga, ia segera melihat lemari yang ada di dekat pintu masuk, ia memang memindahkan beberapa barang sebelumnya, tapi ia ingat betul kalau sebelumnya di atas lemari hiasan itu ada vas bunga yang tidak Hazel buang, tapi ... kemana perginya vas bunga itu?Agar tidak menimbulkan kecemasan terhadap Luna, Hazel masuk ke dalam kamarnya lalu keluar lagi. "Luna, aku minta maaf sekali. Sepertinya ada sedikit masalah di apartemenku, kita tinggal
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Hazel merasakan sesuatu yang selama ini dianggap tabu, ia senang mendengar kabar seseorang meninggal. Bukan karena ia kehilangan empati. Tapi karena orang yang selama ini menjadi ancaman terbesar bagi Luna, akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.Bagi Hazel, kabar itu seperti denting kebebasan. Seolah tirai ancaman yang selama ini menggantung gelap di atas kepala Luna… akhirnya robek, lenyap bersama dengan detak jantung terakhir Leah.Tidak ada lagi alasan untuk cemas. Tidak ada lagi bayang-bayang penculikan. Tidak ada lagi organ yang diincar dari tubuh Luna.Senyum samar muncul di bibir Hazel, senyum lega, bukan senang atas kematian. Tapi karena satu beban besar akhirnya sirna. Sementara itu, Luna tanpa sepatah kata pun melangkah masuk ke dalam ruangan, menahan nafas melihat tubuh Leah terbaring kaku. Di sekelilingnya, para perawat sedang melepaskan alat-alat medis satu per satu, mengakhiri seluruh proses perawatan yang selama ini hanya memperpa
"Sayang, coba lihat ini. Sepertinya cocok untukmu," ujar Elsa sambil mengangkat sebuah baju berwarna krem lembut dari deretan gantungan. Senyumnya hangat, penuh semangat seperti seorang ibu yang sedang mendandani putrinya sendiri. "Coba kamu pakai ya, Ibu ingin lihat kamu memakainya."Luna menerima baju itu dengan ragu. Pandangannya tertuju pada wajah Elsa, dan untuk sesaat, ada rasa hangat mengalir dalam dadanya. Aneh, pikirnya bagaimana bisa seseorang yang baru dikenalnya bisa membuatnya merasa seperti... seorang putri kesayangan?Seandainya wanita ini adalah ibu kandungnya. Entah kenapa, pikiran itu melintas begitu saja. Jika memang Elsa adalah ibunya, mungkin hidup akan terasa lebih ringan.Luna pun tersenyum kecil, mengangguk, dan berjalan menuju ruang ganti. Sementara itu, Elsa sibuk memilah-milah beberapa baju lain yang sekiranya cocok dan nyaman, terutama untuk wanita hamil, karena cepat atau lambat, Luna akan memerlukannya. Perutnya akan mulai membesar, dan Elsa ingin Luna te
Suasana ruang tamu terasa canggung bagi Luna. Dua pelayan berdiri tegak di sudut ruangan, seolah siap menyambut perintah sekecil apa pun. Sementara itu, Elsa duduk anggun di sofa besar, matanya terpaku pada headline berita di iPad-nya, tampak tenang seperti ratu di singgasana.Luna menggeliat kecil. Entah mengapa, keheningan seperti ini justru membuatnya haus. Ia pun bangkit perlahan, berniat menuju dapur untuk mengambil segelas air.Namun langkahnya belum sempat jauh, suara lembut namun tegas menghentikannya.“Sayang, mau ke mana?”Luna menoleh. Elsa menatapnya dengan senyum hangat yang entah kenapa terasa… terlalu hangat.“Aku cuma mau ambil air minum,” jawab Luna pelan.Elsa menggeleng halus dan melambaikan tangan pada salah satu pelayan.“Tak usah repot. Duduk saja, biar mereka yang ambilkan.”Tak lama kemudian, bukan hanya segelas air putih yang datang, tapi juga segelas jus buah segar di atas nampan perak. Pelayan itu membungkuk hormat saat menyajikannya di hadapan Luna.Luna me
Tubuh Hazel membeku di tempat. Bukan karena terkejut dengan kabar kehamilan Luna, justru sebaliknya, hatinya membuncah oleh rasa haru dan kebahagiaan yang sulit dijelaskan. Kabar ini seharusnya menjadi anugerah. Sebuah cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti hubungan Luna dan Jacob. Tapi kebahagiaan itu terhalang oleh kenyataan pahit, ayah dari bayi itu masih terbaring koma, antara hidup dan mati.Hazel menoleh pelan, suaranya terdengar berat saat bertanya, “Sudah berapa lama usia kandungannya?”Dokter menggeleng, penuh pertimbangan. “Untuk memastikan usia kandungan dengan akurat, sebaiknya pasien diperiksa langsung oleh dokter kandungan,” katanya lembut, sebelum meninggalkan ruangan.Kini, hanya keheningan yang tersisa di dalam ruangan itu. Hazel berdiri terpaku di sisi tempat tidur, menatap wajah Luna yang masih belum sadarkan diri. Seharusnya ini menjadi momen penuh sukacita. Tapi sekarang? Yang tersisa hanyalah kebingungan, kecemasan, dan kekhawatiran.“Aku harusnya bahagia...
Waktu terus berlalu, seolah tak peduli dengan kecemasan yang menggantung di udara. Lima hari telah berlalu sejak Jacob terbaring koma, dan hingga kini, kelopak matanya masih terpejam rapat, tak menampakkan tanda-tanda kehidupan selain detakan lemah dari monitor di samping ranjangnya.Luna duduk di sisi ranjang, dengan sabar dan lembut membersihkan tubuh Jacob menggunakan handuk basah. Gerakannya pelan dan penuh perhatian, seolah sentuhannya bisa membangunkan pria yang begitu ia cintai. Ia mengusap pipi Jacob yang pucat dengan ibu jarinya, lalu menarik nafas dalam, menahan getir yang terus mencengkram dadanya."Kau betah sekali tidur, Jacob. Lima hari... dan belum juga kau buka matamu," bisiknya lirih, mencoba tersenyum meski suaranya nyaris tenggelam oleh rasa rindu yang semakin menyesakkan.Tak ada jawaban, tak ada gerakan. Hanya keheningan yang kembali menyelimuti ruangan itu.Luna pun mulai membereskan perlengkapan yang ia gunakan. Saat ia hendak keluar, suara pintu terbuka membuatn