Gita berjalan mondar-mandir di antara lemari dan ranjang selama lima belas menit terakhir. Dia akan mengambil baju dan benda-benda lain dari dalam lemari dan memikirkannya dengan baik sebelum memutuskan membawanya ke ranjang. Terkadang, dia membawanya kembali ketika merasa ada yang tidak pas. Tapi dia menambah lebih dibandingkan menguranginya sehingga ranjangnya penuh dengan pakaian. Gita dan Rangga hanya akan pergi selama seminggu namun kenapa Gita mengeluarkan hampir seluruh koleksi pakaiannya? Dia pasti tidak bisa memasukkan semuanya ke dalam koper. Itu terlalu banyak. "Kamu mau pindahan?" Pertanyaan Rangga seolah-olah menyuarakan benak Gita. Rangga datang untuk mengeceknya di sela-sela pekerjaannya. "Ini terlalu banyak, kan?" Pertanyaan yang sia-sia! Semua orang bisa menjawabnya dalam sekali lihat. "Kamu kan bisa pergi shopping, jadi nggak perlu membawa sebanyak ini." Gita memutar tubuhnya dan menghadap Rangga dengan antusiasme di wajahnya. "Kamu akan membiarkanku pergi shopp
Gita mendengar sebuah suara jadi dia pikir itu alarmnya yang mengganggu tidurnya. Tapi anehnya, kenapa suara itu terdengar jauh? Mungkin dia lupa meletakkannya di suatu tempat dan ponselnya kemudian berdering. Tapi kemudian, dia merasa asing dengan bunyi tersebut. Itu seperti bukan miliknya. Dengan pemikiran itu, mata Gita seketika membuka dan gelap langsung menyambutnya. Jam berapa ini? Namun Gita tidak punya waktu untuk memikirkan hal tersebut sebab bunyi itu kembali mengganggunya. Rupanya, suara itu berasal dari ponsel Rangga. "Rangga," panggilnya seraya mengguncang lengan sang suami yang melingkari perutnya. "Rangga. Ponselmu berbunyi," katanya lagi dalam volume suara yang lebih keras. Terdengar gumaman pelan diikuti sebuah pertanyaan. "Jam berapa sekarang?" Persis seperti apa yang Gita tanyakan. "Nggak tahu. Mungkin sekitar tengah malam," jawab Gita asal. Kemudian kepalanya bergerak ke jam di nakas di sisi ranjang mereka. "Jam satu lebih," ralatnya setelah melihat jam di sa
Rangga meraup wajahnya menggunakan telapak tangannya setelah memutuskan panggilan telepon dengan Satria. Ya, dia menyerahkan urusan Citra kepada asistennya itu daripada menambah masalah untuknya. Dan Gita. Rangga tahu Gita menangis. Dia bisa mendengar isakannya dari luar--dia duduk di ruang santai di lantai 2--dan kesunyian memperburuk hal tersebut. Rasanya seperti siksaan karena dia tidak bisa di sisi istrinya untuk menenangkannya. Tentu saja, dia mau melakukannya. Tapi dia perlu melakukan urusan soal Citra sebelum menyelesaikan masalahnya. Dan setelah yang satu selesai, dia masih bertahan di tempat yang sama dan hanya bisa mendengarkan isakan tertahan sang istri. Rangga tidak menginginkan hal ini terjadi. Membuat istrinya menangis tidak pernah menjadi keinginannya. Dia ingin membuat Gita bahagia bukan sebaliknya. Namun rupanya, dia tidak cukup baik untuk istrinya sehingga Gita masih menyimpan rahasia darinya. Oh, dia kesal Gita tidak mengatakan apa pun tentang hadiah Dewa. Dia c
Selamat pagi, Sayang. Jangan buru-buru dan berjanjilah untuk menarik napas dalam sebelum lanjut membaca.Karena itulah, Gita memejamkan kedua matanya dan menghirup napas dalam sebelum tatapannya kembali pada catatan di tangannya. Itu dari Rangga. Dia menemukan catatan tersebut di nakas di samping tempat tidurnya bersama sarapan yang tersaji di sana.Maaf karena nggak membangunkanmu dan meninggalkanmu sendirian. Kamu kelihatan sangat damai dalam tidurmu dan aku nggak mau mengganggunya. Kamu butuh banyak tidur.Aku janji nggak akan pergi lama dan kembali secepat mungkin. Jaga dirimu dan bayi kita dan kabari aku kalau ada apa-apa.Dan kita akan membahas masalah kita setelah aku kembali. Please, jangan overthinking.Milikmu,RanggaGita hanya bisa mengerjapkan matanya berulang kali, membacanya. Tapi kemudian sesuatu keluar dan mengalir melalui sudut-sudut matanya. Dia menangis. Lagi. Sebenarnya, dia telah menduga hal ini saat melihat matahari telah bersinar terik dan jam di kamar mereka.
Dela.Akhirnya mereka berdua pun bertemu.Gita dan Dela.Gita tertegun selama beberapa saat ketika matanya bertemu dengan manik cokelat milik sahabatnya. Dia terkejut. Tentu saja. Siapa yang menyangka mereka berdua akan bertemu dalam situasi seperti ini?Dela pun merasakan hal yang sama. Kedua matanya melebar dalam ketidakpercayaan."Dela." Panggilan itu meluncur begitu saja dari bibir Gita.Tetapi kemudian, reaksi Dela berubah 180 derajat dari sebelumnya. Kedua alisnya berkerut dengan sorot tajam kepada Gita. Kebencian terpancar dari mata cantik itu.Dela bergerak cepat. Dia membatalkan pesanannya dan segera beranjak dari antrian untuk menjauhi Gita.Apakah artinya Dela masih marah kepadanya?Mau tak mau, Gita pun merespon dengan hal yang sama. Dia berbicara kepada sang pelayan untuk membatalkan pesanannya dan mengikuti Dela. Dia mempercepat langkahnya saat Dela menjauh dan berlari ketika sosok sahabatnya mulai mengecil. "Dela, tunggu!" serunya dalam usahanya untuk menarik perhatian
"Kamu sebaiknya menelepon Rangga," saran Kirana saat dia meletakkan cokelat panas ke hadapan Gita. Mereka sudah berada di rumah setelah membatalkan rencana untuk menonton film. Tentu saja. Siapa yang mau menonton setelah melihat Gita menangis?Gita tidak langsung menjawab dan terus menatap ke depan. Dia mendengar Kirana tapi benaknya tidak benar-benar di sana. Atau iya?Mungkinz dia hanya malas memikirkan jawabannya.Tapi kemudian, Gita merasakan tangan Kirana yang menggenggamnya. "Jangan ditahan sendirian."Barulah saat itu, Gita menatap Kirana. Mereka saling bertukar pandangan seolah-olah membagi luka."Dia akan mendengarkanmu."Benarkah?Tapi Gita telah memutuskan. Dia tidak mau mengganggu Rangga. Jadi Gita menggelengkan kepalanya."Atau kamu mau aku meneleponnya untukmu?"Gita seketika mengeratkan genggamannya untuk mencegah Kirana. "Jangan.""Kenapa?"Kenapa?Gita tidak mau mengganggu Rangga.Ah, tidak. Sebenarnya, dia takut Rangga tidak mengangkat teleponnya atau lebih buruk, di
Dia berdarah.Meskipun itu hanya berupa flek-flek, tapi Gita terus menemukannya setiap kali dia ke kamar mandi dan mengecek underwear-nya. Dan dia jelas khawatir. Sesuatu pasti sedang terjadi di dalam tubuhnya. Karena itulah, dia pergi untuk menemui dokter."Sudah berapa lama ini terjadi?" Dokter Belinda bertanya setelah Gita menceritakan masalahnya."Pagi ini. Aku baru selesai muntah dan saat ke kamar mandi dan melihat darah," jawab Gita lumayan cepat. Itu gabungan antara kegugupan, kekhawatiran dan ketakutannya. Seperti katanya, dia baru pertama kali mengalami hal ini. Semua orang tahu yang pertama kali akan selalu sulit."Gimana waktu kamu buang air kecil? Apakah kamu melihat banyak darah yang keluar?"Gita berpikir sejenak untuk mengingat-ingat paginya. "Sepertinya nggak ada, Dokter. Warnanya bukan merah." Maksud lain dari pernyataannya adalah air kencingnya tidak bercampur dengan darah.Dokter Belinda mengangguk lalu menuliskan sesuatu di kertas."Apakah sesuatu terjadi pada bay
"Mama." Itu kata pertama yang keluar dari bibir Gita begitu pintu itu terbuka dan dia melihat ibunya muncul dari baliknya."Gita!" Seru sang Ibu gembira sebelum bergerak maju untuk memeluk putrinya. Mereka saling berpelukan dan melepas rindu setelah lama tak berjumpa. "Mama kangen kamu.""Aku juga kangen Mama, Papa, dan Andin."Ibu Gita lalu mempererat pelukannya selama beberapa saat sebelum melepaskannya. Dia masih memancarkan kebahagiaan di kedua matanya. "Kenapa nggak bilang kalau mau pulang?""Nggak akan jadi kejutan dong kalau aku kasih kabar duluan," cengir Gita. Itu adalah jawaban jujurnya meski ada alasan di baliknya."Ayo masuk. Papa sama Andin pasti senang lihat kamu pulang."Dan menit-menit selanjutnya dihabiskan Gita dengan melepas kerinduan dengan keluarganya. Mereka saling bertukar kabar dan beberapa cerita selama mereka terpisah dan hidup di kota yang berbeda."Mama akan hangatkan ayamnya. Kamu pasti lapar."Ya, Gita pergi selepas jam makan siang yang menjadikannya samp