Rangga meraup wajahnya menggunakan telapak tangannya setelah memutuskan panggilan telepon dengan Satria. Ya, dia menyerahkan urusan Citra kepada asistennya itu daripada menambah masalah untuknya. Dan Gita. Rangga tahu Gita menangis. Dia bisa mendengar isakannya dari luar--dia duduk di ruang santai di lantai 2--dan kesunyian memperburuk hal tersebut. Rasanya seperti siksaan karena dia tidak bisa di sisi istrinya untuk menenangkannya. Tentu saja, dia mau melakukannya. Tapi dia perlu melakukan urusan soal Citra sebelum menyelesaikan masalahnya. Dan setelah yang satu selesai, dia masih bertahan di tempat yang sama dan hanya bisa mendengarkan isakan tertahan sang istri. Rangga tidak menginginkan hal ini terjadi. Membuat istrinya menangis tidak pernah menjadi keinginannya. Dia ingin membuat Gita bahagia bukan sebaliknya. Namun rupanya, dia tidak cukup baik untuk istrinya sehingga Gita masih menyimpan rahasia darinya. Oh, dia kesal Gita tidak mengatakan apa pun tentang hadiah Dewa. Dia c
Selamat pagi, Sayang. Jangan buru-buru dan berjanjilah untuk menarik napas dalam sebelum lanjut membaca.Karena itulah, Gita memejamkan kedua matanya dan menghirup napas dalam sebelum tatapannya kembali pada catatan di tangannya. Itu dari Rangga. Dia menemukan catatan tersebut di nakas di samping tempat tidurnya bersama sarapan yang tersaji di sana.Maaf karena nggak membangunkanmu dan meninggalkanmu sendirian. Kamu kelihatan sangat damai dalam tidurmu dan aku nggak mau mengganggunya. Kamu butuh banyak tidur.Aku janji nggak akan pergi lama dan kembali secepat mungkin. Jaga dirimu dan bayi kita dan kabari aku kalau ada apa-apa.Dan kita akan membahas masalah kita setelah aku kembali. Please, jangan overthinking.Milikmu,RanggaGita hanya bisa mengerjapkan matanya berulang kali, membacanya. Tapi kemudian sesuatu keluar dan mengalir melalui sudut-sudut matanya. Dia menangis. Lagi. Sebenarnya, dia telah menduga hal ini saat melihat matahari telah bersinar terik dan jam di kamar mereka.
Dela.Akhirnya mereka berdua pun bertemu.Gita dan Dela.Gita tertegun selama beberapa saat ketika matanya bertemu dengan manik cokelat milik sahabatnya. Dia terkejut. Tentu saja. Siapa yang menyangka mereka berdua akan bertemu dalam situasi seperti ini?Dela pun merasakan hal yang sama. Kedua matanya melebar dalam ketidakpercayaan."Dela." Panggilan itu meluncur begitu saja dari bibir Gita.Tetapi kemudian, reaksi Dela berubah 180 derajat dari sebelumnya. Kedua alisnya berkerut dengan sorot tajam kepada Gita. Kebencian terpancar dari mata cantik itu.Dela bergerak cepat. Dia membatalkan pesanannya dan segera beranjak dari antrian untuk menjauhi Gita.Apakah artinya Dela masih marah kepadanya?Mau tak mau, Gita pun merespon dengan hal yang sama. Dia berbicara kepada sang pelayan untuk membatalkan pesanannya dan mengikuti Dela. Dia mempercepat langkahnya saat Dela menjauh dan berlari ketika sosok sahabatnya mulai mengecil. "Dela, tunggu!" serunya dalam usahanya untuk menarik perhatian
"Kamu sebaiknya menelepon Rangga," saran Kirana saat dia meletakkan cokelat panas ke hadapan Gita. Mereka sudah berada di rumah setelah membatalkan rencana untuk menonton film. Tentu saja. Siapa yang mau menonton setelah melihat Gita menangis?Gita tidak langsung menjawab dan terus menatap ke depan. Dia mendengar Kirana tapi benaknya tidak benar-benar di sana. Atau iya?Mungkinz dia hanya malas memikirkan jawabannya.Tapi kemudian, Gita merasakan tangan Kirana yang menggenggamnya. "Jangan ditahan sendirian."Barulah saat itu, Gita menatap Kirana. Mereka saling bertukar pandangan seolah-olah membagi luka."Dia akan mendengarkanmu."Benarkah?Tapi Gita telah memutuskan. Dia tidak mau mengganggu Rangga. Jadi Gita menggelengkan kepalanya."Atau kamu mau aku meneleponnya untukmu?"Gita seketika mengeratkan genggamannya untuk mencegah Kirana. "Jangan.""Kenapa?"Kenapa?Gita tidak mau mengganggu Rangga.Ah, tidak. Sebenarnya, dia takut Rangga tidak mengangkat teleponnya atau lebih buruk, di
Dia berdarah.Meskipun itu hanya berupa flek-flek, tapi Gita terus menemukannya setiap kali dia ke kamar mandi dan mengecek underwear-nya. Dan dia jelas khawatir. Sesuatu pasti sedang terjadi di dalam tubuhnya. Karena itulah, dia pergi untuk menemui dokter."Sudah berapa lama ini terjadi?" Dokter Belinda bertanya setelah Gita menceritakan masalahnya."Pagi ini. Aku baru selesai muntah dan saat ke kamar mandi dan melihat darah," jawab Gita lumayan cepat. Itu gabungan antara kegugupan, kekhawatiran dan ketakutannya. Seperti katanya, dia baru pertama kali mengalami hal ini. Semua orang tahu yang pertama kali akan selalu sulit."Gimana waktu kamu buang air kecil? Apakah kamu melihat banyak darah yang keluar?"Gita berpikir sejenak untuk mengingat-ingat paginya. "Sepertinya nggak ada, Dokter. Warnanya bukan merah." Maksud lain dari pernyataannya adalah air kencingnya tidak bercampur dengan darah.Dokter Belinda mengangguk lalu menuliskan sesuatu di kertas."Apakah sesuatu terjadi pada bay
"Mama." Itu kata pertama yang keluar dari bibir Gita begitu pintu itu terbuka dan dia melihat ibunya muncul dari baliknya."Gita!" Seru sang Ibu gembira sebelum bergerak maju untuk memeluk putrinya. Mereka saling berpelukan dan melepas rindu setelah lama tak berjumpa. "Mama kangen kamu.""Aku juga kangen Mama, Papa, dan Andin."Ibu Gita lalu mempererat pelukannya selama beberapa saat sebelum melepaskannya. Dia masih memancarkan kebahagiaan di kedua matanya. "Kenapa nggak bilang kalau mau pulang?""Nggak akan jadi kejutan dong kalau aku kasih kabar duluan," cengir Gita. Itu adalah jawaban jujurnya meski ada alasan di baliknya."Ayo masuk. Papa sama Andin pasti senang lihat kamu pulang."Dan menit-menit selanjutnya dihabiskan Gita dengan melepas kerinduan dengan keluarganya. Mereka saling bertukar kabar dan beberapa cerita selama mereka terpisah dan hidup di kota yang berbeda."Mama akan hangatkan ayamnya. Kamu pasti lapar."Ya, Gita pergi selepas jam makan siang yang menjadikannya samp
Gita tidak tahu mesti menyumpah atau apa pun dalam situasi ini. Dia benar-benar berharap dia tidak mengalami ini. Setidaknya, tidak selama dia berada di rumah.Itu adalah morning sickness-nya dan dia tidak berhenti merasa mual sejak dia membuka kedua matanya."Gita. Kamu masih di dalam? Apa yang terjadi?" Andin bertanya setelah mengetuk pintu kamar mandi sebab Gita menguncinya dari dalam.Gita tidak muntah tanpa henti, namun rasa mual itu begitu kuat sehingga dia memilih untuk masih mengunci dirinya di dalam kamar mandi. Dan walaupun dia berusaha keras untuk menutupinya dengan menyalakan keran wastafel setiap kali dia muntah, suara-suara itu tetap terdengar dari luar, terutama setelah dia tak keluar dari kamar mandi sejak setengah jam yang lalu. Mereka pasti bertanya-tanya apa yang terjadi kepadanya."Iya. Aku lagi merasa kurang enak badan. Maaf ya, kamu harus pakai kamar mandi lain," bohong Gita. Akankah Andin mempercayainya? Dia tidak akan memikirkannya sekarang. Yang lebih penting
"Gimana bisa?"Dan Gita tidak punya pilihan lain. Dia harus menceritakan kebenarannya.Karena itulah, dia melakukannya selama beberapa menit selanjutnya. Mulai dari pertemuan pertamanya dengan Rangga, insiden yang memicu pernikahan mereka, hari pernikahan mereka, penerimaan keluarga besar Rangga, dan terus berlanjut hingga insiden terbaru seperti pertengkaran dengan Dela, morning sickness, dan masalahnya dengan Rangga.Gita menceritakan segalanya dan merasa seperti batu besar terangkat dari kedua pundaknya."Oh, Sayang," panggil Ibu Gita sembari membelai punggung Gita yang ada dalam pelukannya. "Kamu nggak seharusnya merahasiakan ini. Kita akan selalu mendukungmu.""Aku tahu, Ma, dan aku minta maaf. Aku ceroboh waktu itu dan masih nggak siap melihat reaksi Mama dan yang lain. Aku juga nggak tahu gimana harus menjelaskan semua ini."Mereka berdua bertahan dalam posisi tersebut untuk beberapa saat sebelum Ibu Gita melepaskan putrinya. "Gimana kalau sekarang? Apakah kamu ada penyesalan?"
Gita mengintip melalui pintu kamar mandi di lantai pertama sebelum melangkah keluar dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia berjalan melewati Rangga, yang sedang duduk di sofa di ruang tamu mereka dan membaca laporan di tablet, dengan Ardian merangkak di lantai."Ardian, sayang, kemari." Gita memanggil Ardian, yang perhatiannya selalu mudah didapatkannya. "Ayo bermain di luar."Dan reaksi Ardian dapat diprediksi. Dia berlari ke arah ibunya dengan penuh semangat. Senyumnya begitu lebar.Menjadi anak-anak tampaknya menyenangkan, bukan?Gita mengikuti Ardian yang berlari keluar rumah ke halaman tanpa alas kaki. Dia tidak bisa menahan senyum di wajahnya melihat putranya dan kebahagiaan lain yang baru saja dia temukan hari ini.Gita hamil dengan anak kedua mereka.Tapi ini masih rahasia. Gita ingin membuat kejutan untuk suaminya.Oh, dia tidak sabar ingin melihat reaksi Rangga!"Ardian, kemari. Mama ingin mengatakan sesuatu."Ardian menghentikan larinya untuk melihat ibunya d
Tiga tahun kemudian.Gita memperhatikan semuanya. Setiap gerakan, tawa, canda, teriakan, dan banyak lagi.Dia tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar melihat itu semua. Rasanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Tapi itulah yang terjadi karena memang itulah realitanya.Ardian kini berusia tiga tahun dan dalam masa aktifnya. Dia berlari ke setiap sudut rumah dan selalu bersemangat untuk berlari di halaman.Meskipun melelahkan tubuh mereka karena harus mengikuti pergerakan Ardian, mereka tidak mengeluh, terutama Rangga. Suaminya selalu punya energi untuk bermain dengan Ardian dan tidak pernah kehabisan ide. Rangga membesarkan anak mereka dengan sepenuh hati.Gita menggelengkan kepalanya untuk memaksa dirinya kembali ke tempatnya. Dia tidak bisa hanya mengamati mereka sepanjang waktu, karena dia perlu menyelesaikan adonan kuenya.Ardian memiliki selera yang sama dengannya mengenai makanan manis. Jadi dia mencoba menjadi ibu yang baik dengan memanggang kue sendiri daripada membelinya d
"Hai. Ayah senang kamu bangun, dan Ayah bisa memegangmu. Ibumu pasti merasakan hal yang sama. Tapi dia sedang beristirahat sekarang, jadi jangan ganggu dia dan bermain dengan Ayah saja." Suara Rangga dipenuhi kebahagiaan, begitu pun sorot matanya menunjukkan perasaan yang sama. Tidak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan saat ini ketika dia akhirnya bisa memegang bayi Ardian. Dan kenyataan bahwa Ardian lahir dengan sehat adalah hal yang terbaik. Semuanya akan bertambah sempurna saat pemulihan istrinya berjalan dengan baik.Bayi Ardian menggerakkan tangannya yang kecil dan berhasil menangkap jari Rangga. Dia menggenggamnya meskipun matanya masih tertutup. Bayi Ardian mungkin merasakan suasana yang akrab dan aman, sehingga dia tidak menangis, yang membuat hati Rangga terasa hangat dan bangga. Hanya sentuhan dari Rangga yang bisa melakukan itu, dan dia jelas bangga akan hal itu."Gimana pendapatmu tentang dunia ini? Menakjubkan, kan? Kamu punya Ayah, ibumu, dan seluruh keluargamu di
Beberapa bulan kemudian.Gita sedang menutup laci setelah memeriksa yang ada di dalamnya masih di tempatnya.Mungkin terdengar membingungkan. Intinya, Gita baru saja selesai memeriksa kebutuhan bayi mereka, seperti pakaian, popok, kaos kaki, selimut, dan lainnya. Dia ingin memastikan semuanya siap saat waktunya tiba, yang tidak akan lama lagi. Tanggal perkiraan kelahirannya harusnya minggu ini, dan dia sangat bersemangat untuk menyambut bayi mereka.Dia berpindah ke satu-satunya tempat tidur di ruangan tersebut. Tempat tidur itu besar dan memiliki dinding kayu di keempat sisinya untuk melindungi bayi mereka agar tak terjatuh. Dan itu adalah tempat tidur yang dikatakan Rangga bisa menampung tubuhnya saat menyusui bayi mereka. Dia bahkan bisa tidur di situ juga.Tangannya bergerak untuk menyentuh boneka di dekatnya dan meletakkannya dengan rapi di antara boneka-boneka lain dan bantal. Ada beberapa jenis boneka, terutama dengan karakter hewan yang lucu untuk menemani bayi mereka saat tid
"Aku lihat semuanya, Gita. Aku tahu apa yang kamu sembunyikan di belakang punggungmu." Alis Rangga terangkat seolah-olah menunggu Gita untuk mengungkapkannya sendiri. Tidak ada gunanya menyembunyikannya lagi karena itulah alasan dia menghampiri istrinya. Dia sudah melihat Gita menikmati es krim!"Apa maksudmu?"Jadi Gita memilih untuk bermain-main dengannya. Sayangnya, dia tidak ingin berpura-pura tidak melihatnya. "Mangkuknya. Es krim."Dan Gita hanya bisa memaksakan untuk tersenyum."Kemarilah." Tangan Rangga terjulur untuk meminta Gita mendekat."Nggak mau. Kamu akan memarahiku.""Artinya kamu tahu kamu melakukan kesalahan. Sudah berapa mangkuk es krim yang kamu habiskan?""Hmm. Lima?""Hitung dengan benar, Sayang.""Oke. Oke. Sembilan." Gita mengangkat kedua tangannya ke udara dan menyerah."Nggak, Sayang. Mangkuk di belakangmu itu yang kesebelas."Sebenarnya Rangga tidak masalah dengan Gita menikmati es krim. Tapi istrinya itu suka makan berlebihan, dan Gita mungkin akan makan le
Akhirnya, hari yang mereka tunggu-tunggu tiba. Hari itu begitu sibuk tapi juga menyenangkan. Teman-teman dan keluarga mereka berkumpul bersama untuk merayakan hari bahagia tersebut. Apa lagi yang lebih menyenangkan daripada itu?Akad mereka berjalan dengan baik. Meskipun Gita merasa lebih gugup, kali ini semuanya terasa sempurna dibandingkan dengan pernikahannya yang sebenarnya. Ayahnya menikahkannya dan menyerahkannya kepada Rangga, seperti yang seharusnya dilakukan dalam sebuah upacara pernikahan. Dan dia bersama suaminya mengucapkan janji mereka lagi dan menjadi suami istri sekali lagi.Dan untuk membuatnya semakin sempurna, Rangga mengunci janji mereka dengan sebuah ciuman di bibir Gita. Kemudian tepuk tangan dan sorakan mengisi aula yang penuh tersebut.Itu adalah momen yang hangat dan membahagiakan. Dan itu berlangsung hingga malam."Senang sekali akhirnya bertemu dengan Nyonya Adiwijaya yang baru." Irfan menyapa Gita seraya menjabat tangannya. "Namaku Irfan.""Oh!" Gita tidak b
Gita merasakan kehangatan di kulitnya. Sebuah angin sepoi-sepoi yang lembut dan hangat yang menyapu lehernya dan membawa getaran ke tubuhnya. Sedetik kemudian, dia merasakan sebuah kehangatan lain bergerak di perut buncitnya dan mengusapnya dengan sangat lembut seolah-olah takut untuk membangunkannya."Hmm." Gita terbangun dari tidurnya, tentu saja, akibat perbuatan tersebut. Barulah saat itu dia menyadari ada tangan yang melingkupinya, dan dia tahu itu milik siapa. "Rangga." Suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur."Maaf aku membangunkanmu." Rangga bergumam di lekukan leher istrinya.Gita mendengarnya tapi dia tidak ingin menjawab karena suaranya seperti tersangkut di tenggorokan. Tapi dia tidak bisa menahannya lagi ketika kedua matanya membuka dan kegelapan menyambutnya melalui dinding kaca yang memberikan pemandangan langit malam nan gelap. "Masih gelap ternyata.""Iya.""Jam berapa sekarang?""Lewat tengah malam.""Kenapa kamu nggak tidur?"Alih-alih menjawab, Rangga mem
"Semua persiapannya berjalan dengan baik, kan?" Rangga bertanya kepada Erik, Manajer Hotel Adiwijaya yang ada di Jakarta, saat mereka melihat-lihat aula yang akan digunakan untuk acara pernikahannya. Aula itu masih penuh dengan dekorasi lain, karena akan digunakan untuk acara seseorang malam ini."Iya. Kami sudah mempersiapkan semua yang diperlukan. Hadiah untuk tamu-tamu juga sudah tiba, dan kami sedang memasukkannya ke dalam goodie bag."Rangga mengangguk paham. "Persiapkan dengan baik dan pastikan itu sesuai untuk setiap acara. Jangan sampai salah."Sesuai rencana, mereka akan membagi acara menjadi dua, yaitu akad dan pesta. Karena itu, mereka akan menggunakan aula terpisah, begitu pun dekorasi, hadiah untuk tamu, makanan, dan lainnya. Mereka memiliki persiapan yang berbeda untuk setiap acara."Tentu saja. Kami sudah berpengalaman dengan hal-hal seperti ini. Saya jamin semuanya akan ditangani oleh tangan terbaik. Pak Rangga bisa menikmati waktu bersama istri Bapak.""Oke. Saya perc
"Aku seperti lumba-lumba!" Suara Gita bergema di seluruh ruangan. Dia berdiri di depan cermin dan sedang mengamati penampilannya dari pantulan kaca. Dia mengenakan gaun midi berbentuk A-line dan berwarna hitam, yang tampak jatuh dengan indah di tubuhnya. Tapi itu juga memperlihatkan perutnya yang mulai membesar."Siapa yang bilang begitu?" Rangga berjalan ke arah sang istri sambil mengancingkan kemejanya."Aku." Gita masih berfokus pada pantulannya tubuhnya sendiri, seolah-olah mencari sesuatu untuk memuaskan dirinya."Kalau begitu, kamu salah. Kamu sama sekali nggak terlihat seperti itu." Rangga melingkarkan lengannya di pinggang Gita. "Sebaliknya, kamu terlihat makin seksi." Dia mencium leher istrinya dan mulai mengelus perutnya dengan lembut. Sudah hampir enam bulan, dan perut Gita sudah cukup besar."Jangan bohong sama aku, Rangga. Lihat. Tubuhku membengkak sekarang. Bahkan pipiku kelihatan seperti bakpao.""Itulah yang bikin kamu seksi, Sayang. Aku suka tubuhmu sekarang."Gita me