Gita seketika bangkit dari duduknya begitu melihat sosok suaminya. Itu benar-benar Rangga. Rangga-nya.Gita dapat mendengar Andin menahan napas di sebelahnya. Mungkin dari keterkejutan karena dia melihat seseorang yang baru saja kakaknya tunjukkan kepadanya. Jika Gita memberitahukannya melalui foto-foto biasa, Andin mungkin tidak akan sekaget ini. Tapi Gita mencarinya melalui internet dan saat Andin membaca cepat informasi mengenai pria tersebut, Rangga adalah seorang CEO dan milyuner."Kamu ngapain di sini?" Pertanyaan itu lolos dari bibir Gita. Tapi dia menyesal segera setelah mengujarkannya sebab dia menemukan luka di sorot mata Rangga. Dia pasti terdengar tidak menerima kehadiran suaminya dan itu melukai Rangga."Kamu nggak angkat teleponku." Rangga tersenyum saat mengatakannya meski Gita juga menemukan sakit di dalam suaranya."Jadi kamu ke sini karena nggak mendapat kabar darinya?" Itu Andin yang merespon Rangga."Iya. Aku perlu memastikan dia baik-baik saja.""Wow."Untuk ituka
Gita merasakan tangan Rangga yang sedikit meremas tangannya, seolah-olah memberikan dukungan untuk apa yang akan dia lakukan. Menghadapi seluruh keluarganya.Rangga menawarkan diri untuk mengambil alih peran tersebut dan menjelaskan semuanya kepada mereka. Namun Gita langsung menolak tawaran itu. Harus darinya, dan mereka harus mendengar langsung darinya.Jadi, Rangga hanya bisa memberikan dukungan sambil mempersiapkan diri untuk menjadi cadangan Gita kapan pun istrinya membutuhkan dirinya."Dia adalah laki-laki yang aku ceritakan sebelumnya. Namanya Rangga. Rangga Adiwijaya. Dia lebih dari sekedar pacar bagiku." Gita sengaja menggunakan kata-kata tertentu untuk mendeskripsikan hubungannya dengan Rangga sebelum beralih ke masalah yang sebenarnya.Gita mengambil waktu sejenak untuk memperhatikan keluarganya dan menunggu respon dari mereka."Apa maksudmu lebih dari seorang pacar? Apakah kalian berdua sudah bertunangan?"Bibir Gita tertarik membentuk senyuman saat mendengar pertanyaan A
“Jadi kamu sekarang tinggal di Jakarta?” Andin bertanya setelah makan malam baru saja dimulai.Ya, setelah drama sore ini, mereka akhirnya bisa duduk bersama dengan nyaman di meja yang sama untuk menikmati makan malam.“Ya. Aku memutuskan untuk pindah ke Jakarta setelah tahu Gita hamil. Aku nggak mungkin membiarkan dia tinggal sendiri di apartemennya dalam keadaan seperti itu.”Senyum terukir di bibir Gita saat mendengar itu. Jawaban Rangga membuatnya bertanya-tanya. Bagaimana hidupnya jika mereka masih tinggal terpisah? Dan kehamilannya? Bisakah dia menjalaninya sendiri?Tidak, itu tidak akan terjadi. Meskipun Rangga tidak ada secara fisik di sisinya, dia akan selalu memiliki suaminya.“Gimana dengan kehamilannya? Apakah dia baik-baik saja?” Itu adalah pertanyaan dari ibunya, dan Gita merasa itu lucu. Daripada bertanya langsung kepadanya, ibunya justru bertanya pada Rangga.“Aku nggak bisa bilang dia baik-baik saja, karena Gita mengalami morning sickness yang lumayan parah, dan dia j
"Apa?""Orang tuaku akan datang ke sini. Mereka sangat ingin bertemu dengan keluargamu."Ini adalah kali kedua Rangga mengatakan kata-kata itu. Tapi sepertinya, ucapannya tidak bisa masuk ke benak Gita dengan baik."Jangan terlalu banyak berpikir." Jari Rangga sudah menyentuh kening sang istri untuk mengusap kerutan di sana."Nggak kok." Gita mengerucutkan bibirnya dan aksinya itu membuatnya terlihat lebih menggoda, sehingga Rangga mendekatkan wajahnya untuk menciumnya.Seharusnya itu adalah ciuman yang singkat. Tapi Rangga mempertahankannya lebih lama, cukup lama untuk membangkitkan gairah mereka sebelum tangan Gita di dada Rangga perlahan mendorong tubuh suaminya menjauh."Kita nggak bisa bercinta sekarang." Tidak hanya Rangga yang harus menekan kebutuhannya, tapi juga Gita. Dia menginginkannya dan, pada saat yang sama, tahu itu tidak mungkin terjadi untuk saat ini."Yah. Kita nggak bisa bercinta sementara orang tuamu ada di luar. Apalagi di tempat tidur kecil ini." Rangga tertawa p
"Well, aku memang menyukai Lukman, dan aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk melupakan dia karena, seperti yang kamu katakan, aku nggak akan punya kesempatan bersama dia. Aku sudah tahu itu sejak lama tapi aku nggak mau melepaskan dia dari hatiku. Aku masih menyimpan perasaanku saat kita menikah."Tapi, kamu tahu sesuatu yang aneh? Saat kamu tiba-tiba tanya sama aku di hari itu di perjalanan ke rumah mereka, perasaanku sudah berubah. Aku nggak bisa menjelaskan gimana, tapi aku nggak lagi merasa sakit setiap kali menyebutkan namanya di dalam pikiranku. Dan aku langsung tahu bahwa aku nggak lagi melihat Lukman dengan cara yang sama seperti sebelumnya."Mungkin aku cuma butuh sesuatu untuk benar-benar mengalihkan perhatianku darinya, jadi aku nggak memikirkan soal melupakan perasaanku padanya."Rangga tidak bisa menahan senyumnya mengingat kata-kata Gita semalam. Itu mungkin menjadi kalimat terpanjang yang istrinya ucapkan saat Gita berusaha sebaik mungkin menjelaskan segalanya kepadan
"Mama! Papa!" Gita berseru senang saat membuka pintu dan menemukan Ibu dan Ayah Rangga di sana."Hai, Sayang. Gimana kabarmu?" Ibu Rangga menjawab dengan sebuah pelukan hangat sebelum melepaskannya agar Gita bisa berbagi pelukan dengan suaminya."Aku baik-baik saja dan sangat senang kalian ada di sini.""Rangga di mana?""Dia di dalam, lagi bantu-bantu di dapur." Gita membuka lebar pintu dan mengundang mereka masuk."Apakah semuanya baik-baik saja saat kamu memperkenalkan Rangga pada keluargamu?" Ibu Rangga bertanya lagi, tapi dengan suara lebih rendah saat mereka berjalan ke ruang utama."Tentu saja. Tapi memang suasana sedikit tegang. Tapi setelah itu, semua berjalan dengan baik. Kita juga makan malam bareng." Gita sudah menceritakan hal itu kepada Ibu Rangga saat mereka mengobrol lewat telepon. Tapi mungkin Ibu Rangga ingin memastikannya sekali lagi."Baguslah kalau begitu. Mama takut Rangga masih kesal saat dia muncul di depan pintu rumahmu. Dia seperti itu selama beberapa hari se
Setelah menghabiskan hampir dua minggu di Yogyakarta, mereka akhirnya terbang kembali ke Jakarta. Tentu saja, setelah memastikan Gita dan kehamilannya baik-baik saja. Sekali lagi, Rangga tidak mau mengambil risiko. Itulah mengapa mereka tinggal di rumah orang tua Gita sembari menjaga kondisi sang istri.Selama itu, Rangga memutuskan untuk pergi bolak-balik dari Yogya ke Surabaya untuk bekerja. Dia lebih suka bekerja dari rumah jika kehadirannya tidak terlalu dibutuhkan di perusahaan.Dan sekarang mereka telah kembali di Jakarta, Rangga pun kembali ke mode bekerja dari rumah.Gita terus menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri seraya bibirnya menyenandungkan sebuah nada. Dia tidak tahu lagu apa itu. Tapi dia terus melakukannya sambil matanya tertuju pada pemandangan di depannya. Rangga berdiri di dapur dan menyiapkan steak untuk makan malam mereka. Sementara itu, dia duduk di area dapur, yang dirancang untuk makan, tepat setelah makanan dimasak."Tunggu. Jangan potong dagingnya." Gita
"Kamu sudah siap?"Gita menatap lurus ke depan dan tampak tengah tenggelam dalam lamunannya ketika tangan Rangga menyentuh tangannya. Itu membuatnya menyadari dia tidak sedang sendirian. Rangga selalu ada bersamanya.Gita membiarkan matanya menatap ke kedalaman matanya sejenak dan berusaha membangun keberanian yang perlahan menghilang saat mereka semakin dekat ke rumah orang tua Dela. Ya. Mereka akan mengunjungi keluarga Dela untuk menjelaskan segalanya dan memperbaiki kesalahpahaman di antara mereka."Aku siap."Tak lama kemudian, Gita melihat sebuah mobil mendekat, dan berhenti di belakang mobil mereka. Dia tahu mobil siapa itu. "Lukman sudah di sini."Sudah sebulan sejak kejadian itu, dan situasi mereka masih sama, terjebak dalam pertengkaran. Itulah mengapa mereka—Gita, Rangga, dan Lukman—memutuskan bahwa ini sudah waktunya untuk menyelesaikan segalanya. Mereka perlu berbicara secara langsung di satu meja yang sama."Aku siap kalau kamu siap," Rangga bertanya padanya untuk yang te