“Jadi kamu sekarang tinggal di Jakarta?” Andin bertanya setelah makan malam baru saja dimulai.Ya, setelah drama sore ini, mereka akhirnya bisa duduk bersama dengan nyaman di meja yang sama untuk menikmati makan malam.“Ya. Aku memutuskan untuk pindah ke Jakarta setelah tahu Gita hamil. Aku nggak mungkin membiarkan dia tinggal sendiri di apartemennya dalam keadaan seperti itu.”Senyum terukir di bibir Gita saat mendengar itu. Jawaban Rangga membuatnya bertanya-tanya. Bagaimana hidupnya jika mereka masih tinggal terpisah? Dan kehamilannya? Bisakah dia menjalaninya sendiri?Tidak, itu tidak akan terjadi. Meskipun Rangga tidak ada secara fisik di sisinya, dia akan selalu memiliki suaminya.“Gimana dengan kehamilannya? Apakah dia baik-baik saja?” Itu adalah pertanyaan dari ibunya, dan Gita merasa itu lucu. Daripada bertanya langsung kepadanya, ibunya justru bertanya pada Rangga.“Aku nggak bisa bilang dia baik-baik saja, karena Gita mengalami morning sickness yang lumayan parah, dan dia j
"Apa?""Orang tuaku akan datang ke sini. Mereka sangat ingin bertemu dengan keluargamu."Ini adalah kali kedua Rangga mengatakan kata-kata itu. Tapi sepertinya, ucapannya tidak bisa masuk ke benak Gita dengan baik."Jangan terlalu banyak berpikir." Jari Rangga sudah menyentuh kening sang istri untuk mengusap kerutan di sana."Nggak kok." Gita mengerucutkan bibirnya dan aksinya itu membuatnya terlihat lebih menggoda, sehingga Rangga mendekatkan wajahnya untuk menciumnya.Seharusnya itu adalah ciuman yang singkat. Tapi Rangga mempertahankannya lebih lama, cukup lama untuk membangkitkan gairah mereka sebelum tangan Gita di dada Rangga perlahan mendorong tubuh suaminya menjauh."Kita nggak bisa bercinta sekarang." Tidak hanya Rangga yang harus menekan kebutuhannya, tapi juga Gita. Dia menginginkannya dan, pada saat yang sama, tahu itu tidak mungkin terjadi untuk saat ini."Yah. Kita nggak bisa bercinta sementara orang tuamu ada di luar. Apalagi di tempat tidur kecil ini." Rangga tertawa p
"Well, aku memang menyukai Lukman, dan aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk melupakan dia karena, seperti yang kamu katakan, aku nggak akan punya kesempatan bersama dia. Aku sudah tahu itu sejak lama tapi aku nggak mau melepaskan dia dari hatiku. Aku masih menyimpan perasaanku saat kita menikah."Tapi, kamu tahu sesuatu yang aneh? Saat kamu tiba-tiba tanya sama aku di hari itu di perjalanan ke rumah mereka, perasaanku sudah berubah. Aku nggak bisa menjelaskan gimana, tapi aku nggak lagi merasa sakit setiap kali menyebutkan namanya di dalam pikiranku. Dan aku langsung tahu bahwa aku nggak lagi melihat Lukman dengan cara yang sama seperti sebelumnya."Mungkin aku cuma butuh sesuatu untuk benar-benar mengalihkan perhatianku darinya, jadi aku nggak memikirkan soal melupakan perasaanku padanya."Rangga tidak bisa menahan senyumnya mengingat kata-kata Gita semalam. Itu mungkin menjadi kalimat terpanjang yang istrinya ucapkan saat Gita berusaha sebaik mungkin menjelaskan segalanya kepadan
"Mama! Papa!" Gita berseru senang saat membuka pintu dan menemukan Ibu dan Ayah Rangga di sana."Hai, Sayang. Gimana kabarmu?" Ibu Rangga menjawab dengan sebuah pelukan hangat sebelum melepaskannya agar Gita bisa berbagi pelukan dengan suaminya."Aku baik-baik saja dan sangat senang kalian ada di sini.""Rangga di mana?""Dia di dalam, lagi bantu-bantu di dapur." Gita membuka lebar pintu dan mengundang mereka masuk."Apakah semuanya baik-baik saja saat kamu memperkenalkan Rangga pada keluargamu?" Ibu Rangga bertanya lagi, tapi dengan suara lebih rendah saat mereka berjalan ke ruang utama."Tentu saja. Tapi memang suasana sedikit tegang. Tapi setelah itu, semua berjalan dengan baik. Kita juga makan malam bareng." Gita sudah menceritakan hal itu kepada Ibu Rangga saat mereka mengobrol lewat telepon. Tapi mungkin Ibu Rangga ingin memastikannya sekali lagi."Baguslah kalau begitu. Mama takut Rangga masih kesal saat dia muncul di depan pintu rumahmu. Dia seperti itu selama beberapa hari se
Setelah menghabiskan hampir dua minggu di Yogyakarta, mereka akhirnya terbang kembali ke Jakarta. Tentu saja, setelah memastikan Gita dan kehamilannya baik-baik saja. Sekali lagi, Rangga tidak mau mengambil risiko. Itulah mengapa mereka tinggal di rumah orang tua Gita sembari menjaga kondisi sang istri.Selama itu, Rangga memutuskan untuk pergi bolak-balik dari Yogya ke Surabaya untuk bekerja. Dia lebih suka bekerja dari rumah jika kehadirannya tidak terlalu dibutuhkan di perusahaan.Dan sekarang mereka telah kembali di Jakarta, Rangga pun kembali ke mode bekerja dari rumah.Gita terus menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri seraya bibirnya menyenandungkan sebuah nada. Dia tidak tahu lagu apa itu. Tapi dia terus melakukannya sambil matanya tertuju pada pemandangan di depannya. Rangga berdiri di dapur dan menyiapkan steak untuk makan malam mereka. Sementara itu, dia duduk di area dapur, yang dirancang untuk makan, tepat setelah makanan dimasak."Tunggu. Jangan potong dagingnya." Gita
"Kamu sudah siap?"Gita menatap lurus ke depan dan tampak tengah tenggelam dalam lamunannya ketika tangan Rangga menyentuh tangannya. Itu membuatnya menyadari dia tidak sedang sendirian. Rangga selalu ada bersamanya.Gita membiarkan matanya menatap ke kedalaman matanya sejenak dan berusaha membangun keberanian yang perlahan menghilang saat mereka semakin dekat ke rumah orang tua Dela. Ya. Mereka akan mengunjungi keluarga Dela untuk menjelaskan segalanya dan memperbaiki kesalahpahaman di antara mereka."Aku siap."Tak lama kemudian, Gita melihat sebuah mobil mendekat, dan berhenti di belakang mobil mereka. Dia tahu mobil siapa itu. "Lukman sudah di sini."Sudah sebulan sejak kejadian itu, dan situasi mereka masih sama, terjebak dalam pertengkaran. Itulah mengapa mereka—Gita, Rangga, dan Lukman—memutuskan bahwa ini sudah waktunya untuk menyelesaikan segalanya. Mereka perlu berbicara secara langsung di satu meja yang sama."Aku siap kalau kamu siap," Rangga bertanya padanya untuk yang te
"Rangga, apakah kita benar-benar harus melakukan ini?" Rangga mengangkat kepalanya untuk melihat tirai besar di hadapannya yang sempurna menyembunyikan sosok Gita di baliknya. Namun, meskipun tidak melihat istrinya secara langsung, dia tahu Gita pasti sedang cemberut, karena suaranya terdengar ragu-ragu."Kamu yang setuju melakukan ini, Sayang. Kamu bilang ini kesempatanmu untuk mencoba banyak gaun." Gaun pengantin, untuk lebih tepatnya.Hari ini, mereka akhirnya mengunjungi Nisa, desainer mereka, untuk membahas gaun dan jas yang akan Gita dan Rangga kenakan untuk acara pernikahan dan pesta di malam harinya. Dan mereka telah sudah setuju dengan dua buah rancangan.Namun, sebelum mereka mengakhiri kunjungan tersebut, Nisa mengusulkan ide agar Gita mencoba koleksi gaun pengantinnya. Dan istrinya menerima dan sudah memilih beberapa untuk dicoba. Dia mengutip Gita, "Aku cumq bisa pakai satu gaun di hari pernikahan kita, jadi kenapa aku nggak mencoba saat kesempatan itu ada?""Aku tahu."
"Gimana pendapatmu soal ini?" tanya Rangga sambil menyerahkan tablet yang menampilkan gambar dan informasi mengenai tempat tidur bayi kepada Gita. Tempat tidur itu berukuran cukup besar dan memiliki dinding kayu di keempat sisi-sisinya. "Kita harus mempertimbangkan gerakan bayi, dan tempat tidur besar bisa membuatnya bebas bergerak. Selain itu, kamu bisa tidur di sebelahnya saat menyusui."Gita mengambil tablet dari tangan suaminya dan mulai menggulirkan jarinya untuk membaca informasi lebih lanjut. Memang itu merupakan tempat tidur yang bagus dan tampak nyaman. Dan ya, ruang yang luas memberikan lebih banyak kebebasan."Ini bagus. Kita bisa pakai sampai dia berusia tujuh tahun atau lebih.""Sepertinya, seleranya akan berubah pada saat itu.""Kenapa?" Tempat tidur itu berwarna cokelat kayu yang bisa cocok untuk siapa saja."Kalau dia perempuan, dia mungkin ingin menggantinya jadi pink dan menambahkan sentuhan feminin. Atau kalau dia laki-laki, dia mungkin ingin tempat tidur berbentuk