"Mama! Papa!" Gita berseru senang saat membuka pintu dan menemukan Ibu dan Ayah Rangga di sana."Hai, Sayang. Gimana kabarmu?" Ibu Rangga menjawab dengan sebuah pelukan hangat sebelum melepaskannya agar Gita bisa berbagi pelukan dengan suaminya."Aku baik-baik saja dan sangat senang kalian ada di sini.""Rangga di mana?""Dia di dalam, lagi bantu-bantu di dapur." Gita membuka lebar pintu dan mengundang mereka masuk."Apakah semuanya baik-baik saja saat kamu memperkenalkan Rangga pada keluargamu?" Ibu Rangga bertanya lagi, tapi dengan suara lebih rendah saat mereka berjalan ke ruang utama."Tentu saja. Tapi memang suasana sedikit tegang. Tapi setelah itu, semua berjalan dengan baik. Kita juga makan malam bareng." Gita sudah menceritakan hal itu kepada Ibu Rangga saat mereka mengobrol lewat telepon. Tapi mungkin Ibu Rangga ingin memastikannya sekali lagi."Baguslah kalau begitu. Mama takut Rangga masih kesal saat dia muncul di depan pintu rumahmu. Dia seperti itu selama beberapa hari se
Setelah menghabiskan hampir dua minggu di Yogyakarta, mereka akhirnya terbang kembali ke Jakarta. Tentu saja, setelah memastikan Gita dan kehamilannya baik-baik saja. Sekali lagi, Rangga tidak mau mengambil risiko. Itulah mengapa mereka tinggal di rumah orang tua Gita sembari menjaga kondisi sang istri.Selama itu, Rangga memutuskan untuk pergi bolak-balik dari Yogya ke Surabaya untuk bekerja. Dia lebih suka bekerja dari rumah jika kehadirannya tidak terlalu dibutuhkan di perusahaan.Dan sekarang mereka telah kembali di Jakarta, Rangga pun kembali ke mode bekerja dari rumah.Gita terus menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri seraya bibirnya menyenandungkan sebuah nada. Dia tidak tahu lagu apa itu. Tapi dia terus melakukannya sambil matanya tertuju pada pemandangan di depannya. Rangga berdiri di dapur dan menyiapkan steak untuk makan malam mereka. Sementara itu, dia duduk di area dapur, yang dirancang untuk makan, tepat setelah makanan dimasak."Tunggu. Jangan potong dagingnya." Gita
"Kamu sudah siap?"Gita menatap lurus ke depan dan tampak tengah tenggelam dalam lamunannya ketika tangan Rangga menyentuh tangannya. Itu membuatnya menyadari dia tidak sedang sendirian. Rangga selalu ada bersamanya.Gita membiarkan matanya menatap ke kedalaman matanya sejenak dan berusaha membangun keberanian yang perlahan menghilang saat mereka semakin dekat ke rumah orang tua Dela. Ya. Mereka akan mengunjungi keluarga Dela untuk menjelaskan segalanya dan memperbaiki kesalahpahaman di antara mereka."Aku siap."Tak lama kemudian, Gita melihat sebuah mobil mendekat, dan berhenti di belakang mobil mereka. Dia tahu mobil siapa itu. "Lukman sudah di sini."Sudah sebulan sejak kejadian itu, dan situasi mereka masih sama, terjebak dalam pertengkaran. Itulah mengapa mereka—Gita, Rangga, dan Lukman—memutuskan bahwa ini sudah waktunya untuk menyelesaikan segalanya. Mereka perlu berbicara secara langsung di satu meja yang sama."Aku siap kalau kamu siap," Rangga bertanya padanya untuk yang te
"Rangga, apakah kita benar-benar harus melakukan ini?" Rangga mengangkat kepalanya untuk melihat tirai besar di hadapannya yang sempurna menyembunyikan sosok Gita di baliknya. Namun, meskipun tidak melihat istrinya secara langsung, dia tahu Gita pasti sedang cemberut, karena suaranya terdengar ragu-ragu."Kamu yang setuju melakukan ini, Sayang. Kamu bilang ini kesempatanmu untuk mencoba banyak gaun." Gaun pengantin, untuk lebih tepatnya.Hari ini, mereka akhirnya mengunjungi Nisa, desainer mereka, untuk membahas gaun dan jas yang akan Gita dan Rangga kenakan untuk acara pernikahan dan pesta di malam harinya. Dan mereka telah sudah setuju dengan dua buah rancangan.Namun, sebelum mereka mengakhiri kunjungan tersebut, Nisa mengusulkan ide agar Gita mencoba koleksi gaun pengantinnya. Dan istrinya menerima dan sudah memilih beberapa untuk dicoba. Dia mengutip Gita, "Aku cumq bisa pakai satu gaun di hari pernikahan kita, jadi kenapa aku nggak mencoba saat kesempatan itu ada?""Aku tahu."
"Gimana pendapatmu soal ini?" tanya Rangga sambil menyerahkan tablet yang menampilkan gambar dan informasi mengenai tempat tidur bayi kepada Gita. Tempat tidur itu berukuran cukup besar dan memiliki dinding kayu di keempat sisi-sisinya. "Kita harus mempertimbangkan gerakan bayi, dan tempat tidur besar bisa membuatnya bebas bergerak. Selain itu, kamu bisa tidur di sebelahnya saat menyusui."Gita mengambil tablet dari tangan suaminya dan mulai menggulirkan jarinya untuk membaca informasi lebih lanjut. Memang itu merupakan tempat tidur yang bagus dan tampak nyaman. Dan ya, ruang yang luas memberikan lebih banyak kebebasan."Ini bagus. Kita bisa pakai sampai dia berusia tujuh tahun atau lebih.""Sepertinya, seleranya akan berubah pada saat itu.""Kenapa?" Tempat tidur itu berwarna cokelat kayu yang bisa cocok untuk siapa saja."Kalau dia perempuan, dia mungkin ingin menggantinya jadi pink dan menambahkan sentuhan feminin. Atau kalau dia laki-laki, dia mungkin ingin tempat tidur berbentuk
"Aku baru tahu kamu tinggal di tempat tinggal sebagus ini!" Itu komentar pertama Dela setelah Gita membawa mereka masuk lebih dalam ke rumah Gita. Pandangan matanya berkeliling untuk melihat sekitar."Hai, kalian berdua. Selamat datang di rumah kami." Rangga menyapa mereka dari ruang santai. Senyum lebar terukir di bibirnya dan wajahnya mengekspresikan keramahan. Mereka adalah tamu pertama mereka di luar keluarga, Satria, pekerja yang merawat rumah ini, dan para koki.Rangga dan Lukman berpelukan singkat sebelum melepaskan satu sama lain."Makasih, bro, sudah mengundang kami. Rumah ini bagus banget.""Iya. Itulah kenapa aku memilih rumah ini untuk keluarga kami." Rangga lalu melihat ke arah Dela dan Lukman secara bergantian. "Kalian ingin duduk, atau mungkin ingin berkeliling dulu?""Oh, ya."Lukman memutuskan untuk duduk dengan Rangga. Sementara itu, Dela memilih untuk melihat sekitar dulu, dengan Gita yang menemaninya."Rumah ini besar sekali dan punya halaman yang luas juga.""Iya,
Dua bulan kemudian.Semuanya berjalan dengan baik untuk Gita dan kehamilannya. Dia tidak memiliki gejala-gejala morning sickness lagi kecuali nafsu makannya yang meningkat—kebalikan total dari gejala di awal kehamilannya. Sementara itu, Rangga baik-baik saja dengan pekerjaannya dan tanggung jawabnya terhadap istrinya. Begitu pula hubungan mereka dengan keluarga dan teman-teman. Semua kesalahpahaman telah diselesaikan.Sebuah tangan tiba-tiba muncul entah dari mana dan mengambil piring Gita yang berisi kue di atas meja. Hal itu secara otomatis mengalihkan perhatiannya dari kata-kata yang sedang dia coba rangkai di layar laptopnya ke piring, yang sekarang berpindah dari tempatnya. Dan pelakunya tidak lain adalah suaminya, Rangga."Kueku." Gita berkata dengan putus asa seolah-olah tidak ingin kehilangan makanan yang tengah dia santap tersebut.Tangan Rangga berada di pinggang sementara yang lain memegang piring. Dia telah siap untuk menegur Gita. "Kamu sudah makan setengah dari sekotak k
"Aku seperti lumba-lumba!" Suara Gita bergema di seluruh ruangan. Dia berdiri di depan cermin dan sedang mengamati penampilannya dari pantulan kaca. Dia mengenakan gaun midi berbentuk A-line dan berwarna hitam, yang tampak jatuh dengan indah di tubuhnya. Tapi itu juga memperlihatkan perutnya yang mulai membesar."Siapa yang bilang begitu?" Rangga berjalan ke arah sang istri sambil mengancingkan kemejanya."Aku." Gita masih berfokus pada pantulannya tubuhnya sendiri, seolah-olah mencari sesuatu untuk memuaskan dirinya."Kalau begitu, kamu salah. Kamu sama sekali nggak terlihat seperti itu." Rangga melingkarkan lengannya di pinggang Gita. "Sebaliknya, kamu terlihat makin seksi." Dia mencium leher istrinya dan mulai mengelus perutnya dengan lembut. Sudah hampir enam bulan, dan perut Gita sudah cukup besar."Jangan bohong sama aku, Rangga. Lihat. Tubuhku membengkak sekarang. Bahkan pipiku kelihatan seperti bakpao.""Itulah yang bikin kamu seksi, Sayang. Aku suka tubuhmu sekarang."Gita me