"Kamu sudah siap?"Gita menatap lurus ke depan dan tampak tengah tenggelam dalam lamunannya ketika tangan Rangga menyentuh tangannya. Itu membuatnya menyadari dia tidak sedang sendirian. Rangga selalu ada bersamanya.Gita membiarkan matanya menatap ke kedalaman matanya sejenak dan berusaha membangun keberanian yang perlahan menghilang saat mereka semakin dekat ke rumah orang tua Dela. Ya. Mereka akan mengunjungi keluarga Dela untuk menjelaskan segalanya dan memperbaiki kesalahpahaman di antara mereka."Aku siap."Tak lama kemudian, Gita melihat sebuah mobil mendekat, dan berhenti di belakang mobil mereka. Dia tahu mobil siapa itu. "Lukman sudah di sini."Sudah sebulan sejak kejadian itu, dan situasi mereka masih sama, terjebak dalam pertengkaran. Itulah mengapa mereka—Gita, Rangga, dan Lukman—memutuskan bahwa ini sudah waktunya untuk menyelesaikan segalanya. Mereka perlu berbicara secara langsung di satu meja yang sama."Aku siap kalau kamu siap," Rangga bertanya padanya untuk yang te
"Rangga, apakah kita benar-benar harus melakukan ini?" Rangga mengangkat kepalanya untuk melihat tirai besar di hadapannya yang sempurna menyembunyikan sosok Gita di baliknya. Namun, meskipun tidak melihat istrinya secara langsung, dia tahu Gita pasti sedang cemberut, karena suaranya terdengar ragu-ragu."Kamu yang setuju melakukan ini, Sayang. Kamu bilang ini kesempatanmu untuk mencoba banyak gaun." Gaun pengantin, untuk lebih tepatnya.Hari ini, mereka akhirnya mengunjungi Nisa, desainer mereka, untuk membahas gaun dan jas yang akan Gita dan Rangga kenakan untuk acara pernikahan dan pesta di malam harinya. Dan mereka telah sudah setuju dengan dua buah rancangan.Namun, sebelum mereka mengakhiri kunjungan tersebut, Nisa mengusulkan ide agar Gita mencoba koleksi gaun pengantinnya. Dan istrinya menerima dan sudah memilih beberapa untuk dicoba. Dia mengutip Gita, "Aku cumq bisa pakai satu gaun di hari pernikahan kita, jadi kenapa aku nggak mencoba saat kesempatan itu ada?""Aku tahu."
"Gimana pendapatmu soal ini?" tanya Rangga sambil menyerahkan tablet yang menampilkan gambar dan informasi mengenai tempat tidur bayi kepada Gita. Tempat tidur itu berukuran cukup besar dan memiliki dinding kayu di keempat sisi-sisinya. "Kita harus mempertimbangkan gerakan bayi, dan tempat tidur besar bisa membuatnya bebas bergerak. Selain itu, kamu bisa tidur di sebelahnya saat menyusui."Gita mengambil tablet dari tangan suaminya dan mulai menggulirkan jarinya untuk membaca informasi lebih lanjut. Memang itu merupakan tempat tidur yang bagus dan tampak nyaman. Dan ya, ruang yang luas memberikan lebih banyak kebebasan."Ini bagus. Kita bisa pakai sampai dia berusia tujuh tahun atau lebih.""Sepertinya, seleranya akan berubah pada saat itu.""Kenapa?" Tempat tidur itu berwarna cokelat kayu yang bisa cocok untuk siapa saja."Kalau dia perempuan, dia mungkin ingin menggantinya jadi pink dan menambahkan sentuhan feminin. Atau kalau dia laki-laki, dia mungkin ingin tempat tidur berbentuk
"Aku baru tahu kamu tinggal di tempat tinggal sebagus ini!" Itu komentar pertama Dela setelah Gita membawa mereka masuk lebih dalam ke rumah Gita. Pandangan matanya berkeliling untuk melihat sekitar."Hai, kalian berdua. Selamat datang di rumah kami." Rangga menyapa mereka dari ruang santai. Senyum lebar terukir di bibirnya dan wajahnya mengekspresikan keramahan. Mereka adalah tamu pertama mereka di luar keluarga, Satria, pekerja yang merawat rumah ini, dan para koki.Rangga dan Lukman berpelukan singkat sebelum melepaskan satu sama lain."Makasih, bro, sudah mengundang kami. Rumah ini bagus banget.""Iya. Itulah kenapa aku memilih rumah ini untuk keluarga kami." Rangga lalu melihat ke arah Dela dan Lukman secara bergantian. "Kalian ingin duduk, atau mungkin ingin berkeliling dulu?""Oh, ya."Lukman memutuskan untuk duduk dengan Rangga. Sementara itu, Dela memilih untuk melihat sekitar dulu, dengan Gita yang menemaninya."Rumah ini besar sekali dan punya halaman yang luas juga.""Iya,
Dua bulan kemudian.Semuanya berjalan dengan baik untuk Gita dan kehamilannya. Dia tidak memiliki gejala-gejala morning sickness lagi kecuali nafsu makannya yang meningkat—kebalikan total dari gejala di awal kehamilannya. Sementara itu, Rangga baik-baik saja dengan pekerjaannya dan tanggung jawabnya terhadap istrinya. Begitu pula hubungan mereka dengan keluarga dan teman-teman. Semua kesalahpahaman telah diselesaikan.Sebuah tangan tiba-tiba muncul entah dari mana dan mengambil piring Gita yang berisi kue di atas meja. Hal itu secara otomatis mengalihkan perhatiannya dari kata-kata yang sedang dia coba rangkai di layar laptopnya ke piring, yang sekarang berpindah dari tempatnya. Dan pelakunya tidak lain adalah suaminya, Rangga."Kueku." Gita berkata dengan putus asa seolah-olah tidak ingin kehilangan makanan yang tengah dia santap tersebut.Tangan Rangga berada di pinggang sementara yang lain memegang piring. Dia telah siap untuk menegur Gita. "Kamu sudah makan setengah dari sekotak k
"Aku seperti lumba-lumba!" Suara Gita bergema di seluruh ruangan. Dia berdiri di depan cermin dan sedang mengamati penampilannya dari pantulan kaca. Dia mengenakan gaun midi berbentuk A-line dan berwarna hitam, yang tampak jatuh dengan indah di tubuhnya. Tapi itu juga memperlihatkan perutnya yang mulai membesar."Siapa yang bilang begitu?" Rangga berjalan ke arah sang istri sambil mengancingkan kemejanya."Aku." Gita masih berfokus pada pantulannya tubuhnya sendiri, seolah-olah mencari sesuatu untuk memuaskan dirinya."Kalau begitu, kamu salah. Kamu sama sekali nggak terlihat seperti itu." Rangga melingkarkan lengannya di pinggang Gita. "Sebaliknya, kamu terlihat makin seksi." Dia mencium leher istrinya dan mulai mengelus perutnya dengan lembut. Sudah hampir enam bulan, dan perut Gita sudah cukup besar."Jangan bohong sama aku, Rangga. Lihat. Tubuhku membengkak sekarang. Bahkan pipiku kelihatan seperti bakpao.""Itulah yang bikin kamu seksi, Sayang. Aku suka tubuhmu sekarang."Gita me
"Semua persiapannya berjalan dengan baik, kan?" Rangga bertanya kepada Erik, Manajer Hotel Adiwijaya yang ada di Jakarta, saat mereka melihat-lihat aula yang akan digunakan untuk acara pernikahannya. Aula itu masih penuh dengan dekorasi lain, karena akan digunakan untuk acara seseorang malam ini."Iya. Kami sudah mempersiapkan semua yang diperlukan. Hadiah untuk tamu-tamu juga sudah tiba, dan kami sedang memasukkannya ke dalam goodie bag."Rangga mengangguk paham. "Persiapkan dengan baik dan pastikan itu sesuai untuk setiap acara. Jangan sampai salah."Sesuai rencana, mereka akan membagi acara menjadi dua, yaitu akad dan pesta. Karena itu, mereka akan menggunakan aula terpisah, begitu pun dekorasi, hadiah untuk tamu, makanan, dan lainnya. Mereka memiliki persiapan yang berbeda untuk setiap acara."Tentu saja. Kami sudah berpengalaman dengan hal-hal seperti ini. Saya jamin semuanya akan ditangani oleh tangan terbaik. Pak Rangga bisa menikmati waktu bersama istri Bapak.""Oke. Saya perc
Gita merasakan kehangatan di kulitnya. Sebuah angin sepoi-sepoi yang lembut dan hangat yang menyapu lehernya dan membawa getaran ke tubuhnya. Sedetik kemudian, dia merasakan sebuah kehangatan lain bergerak di perut buncitnya dan mengusapnya dengan sangat lembut seolah-olah takut untuk membangunkannya."Hmm." Gita terbangun dari tidurnya, tentu saja, akibat perbuatan tersebut. Barulah saat itu dia menyadari ada tangan yang melingkupinya, dan dia tahu itu milik siapa. "Rangga." Suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur."Maaf aku membangunkanmu." Rangga bergumam di lekukan leher istrinya.Gita mendengarnya tapi dia tidak ingin menjawab karena suaranya seperti tersangkut di tenggorokan. Tapi dia tidak bisa menahannya lagi ketika kedua matanya membuka dan kegelapan menyambutnya melalui dinding kaca yang memberikan pemandangan langit malam nan gelap. "Masih gelap ternyata.""Iya.""Jam berapa sekarang?""Lewat tengah malam.""Kenapa kamu nggak tidur?"Alih-alih menjawab, Rangga mem