Gita tidak tahu mesti menyumpah atau apa pun dalam situasi ini. Dia benar-benar berharap dia tidak mengalami ini. Setidaknya, tidak selama dia berada di rumah.Itu adalah morning sickness-nya dan dia tidak berhenti merasa mual sejak dia membuka kedua matanya."Gita. Kamu masih di dalam? Apa yang terjadi?" Andin bertanya setelah mengetuk pintu kamar mandi sebab Gita menguncinya dari dalam.Gita tidak muntah tanpa henti, namun rasa mual itu begitu kuat sehingga dia memilih untuk masih mengunci dirinya di dalam kamar mandi. Dan walaupun dia berusaha keras untuk menutupinya dengan menyalakan keran wastafel setiap kali dia muntah, suara-suara itu tetap terdengar dari luar, terutama setelah dia tak keluar dari kamar mandi sejak setengah jam yang lalu. Mereka pasti bertanya-tanya apa yang terjadi kepadanya."Iya. Aku lagi merasa kurang enak badan. Maaf ya, kamu harus pakai kamar mandi lain," bohong Gita. Akankah Andin mempercayainya? Dia tidak akan memikirkannya sekarang. Yang lebih penting
"Gimana bisa?"Dan Gita tidak punya pilihan lain. Dia harus menceritakan kebenarannya.Karena itulah, dia melakukannya selama beberapa menit selanjutnya. Mulai dari pertemuan pertamanya dengan Rangga, insiden yang memicu pernikahan mereka, hari pernikahan mereka, penerimaan keluarga besar Rangga, dan terus berlanjut hingga insiden terbaru seperti pertengkaran dengan Dela, morning sickness, dan masalahnya dengan Rangga.Gita menceritakan segalanya dan merasa seperti batu besar terangkat dari kedua pundaknya."Oh, Sayang," panggil Ibu Gita sembari membelai punggung Gita yang ada dalam pelukannya. "Kamu nggak seharusnya merahasiakan ini. Kita akan selalu mendukungmu.""Aku tahu, Ma, dan aku minta maaf. Aku ceroboh waktu itu dan masih nggak siap melihat reaksi Mama dan yang lain. Aku juga nggak tahu gimana harus menjelaskan semua ini."Mereka berdua bertahan dalam posisi tersebut untuk beberapa saat sebelum Ibu Gita melepaskan putrinya. "Gimana kalau sekarang? Apakah kamu ada penyesalan?"
Gita seketika bangkit dari duduknya begitu melihat sosok suaminya. Itu benar-benar Rangga. Rangga-nya.Gita dapat mendengar Andin menahan napas di sebelahnya. Mungkin dari keterkejutan karena dia melihat seseorang yang baru saja kakaknya tunjukkan kepadanya. Jika Gita memberitahukannya melalui foto-foto biasa, Andin mungkin tidak akan sekaget ini. Tapi Gita mencarinya melalui internet dan saat Andin membaca cepat informasi mengenai pria tersebut, Rangga adalah seorang CEO dan milyuner."Kamu ngapain di sini?" Pertanyaan itu lolos dari bibir Gita. Tapi dia menyesal segera setelah mengujarkannya sebab dia menemukan luka di sorot mata Rangga. Dia pasti terdengar tidak menerima kehadiran suaminya dan itu melukai Rangga."Kamu nggak angkat teleponku." Rangga tersenyum saat mengatakannya meski Gita juga menemukan sakit di dalam suaranya."Jadi kamu ke sini karena nggak mendapat kabar darinya?" Itu Andin yang merespon Rangga."Iya. Aku perlu memastikan dia baik-baik saja.""Wow."Untuk ituka
Gita merasakan tangan Rangga yang sedikit meremas tangannya, seolah-olah memberikan dukungan untuk apa yang akan dia lakukan. Menghadapi seluruh keluarganya.Rangga menawarkan diri untuk mengambil alih peran tersebut dan menjelaskan semuanya kepada mereka. Namun Gita langsung menolak tawaran itu. Harus darinya, dan mereka harus mendengar langsung darinya.Jadi, Rangga hanya bisa memberikan dukungan sambil mempersiapkan diri untuk menjadi cadangan Gita kapan pun istrinya membutuhkan dirinya."Dia adalah laki-laki yang aku ceritakan sebelumnya. Namanya Rangga. Rangga Adiwijaya. Dia lebih dari sekedar pacar bagiku." Gita sengaja menggunakan kata-kata tertentu untuk mendeskripsikan hubungannya dengan Rangga sebelum beralih ke masalah yang sebenarnya.Gita mengambil waktu sejenak untuk memperhatikan keluarganya dan menunggu respon dari mereka."Apa maksudmu lebih dari seorang pacar? Apakah kalian berdua sudah bertunangan?"Bibir Gita tertarik membentuk senyuman saat mendengar pertanyaan A
“Jadi kamu sekarang tinggal di Jakarta?” Andin bertanya setelah makan malam baru saja dimulai.Ya, setelah drama sore ini, mereka akhirnya bisa duduk bersama dengan nyaman di meja yang sama untuk menikmati makan malam.“Ya. Aku memutuskan untuk pindah ke Jakarta setelah tahu Gita hamil. Aku nggak mungkin membiarkan dia tinggal sendiri di apartemennya dalam keadaan seperti itu.”Senyum terukir di bibir Gita saat mendengar itu. Jawaban Rangga membuatnya bertanya-tanya. Bagaimana hidupnya jika mereka masih tinggal terpisah? Dan kehamilannya? Bisakah dia menjalaninya sendiri?Tidak, itu tidak akan terjadi. Meskipun Rangga tidak ada secara fisik di sisinya, dia akan selalu memiliki suaminya.“Gimana dengan kehamilannya? Apakah dia baik-baik saja?” Itu adalah pertanyaan dari ibunya, dan Gita merasa itu lucu. Daripada bertanya langsung kepadanya, ibunya justru bertanya pada Rangga.“Aku nggak bisa bilang dia baik-baik saja, karena Gita mengalami morning sickness yang lumayan parah, dan dia j
"Apa?""Orang tuaku akan datang ke sini. Mereka sangat ingin bertemu dengan keluargamu."Ini adalah kali kedua Rangga mengatakan kata-kata itu. Tapi sepertinya, ucapannya tidak bisa masuk ke benak Gita dengan baik."Jangan terlalu banyak berpikir." Jari Rangga sudah menyentuh kening sang istri untuk mengusap kerutan di sana."Nggak kok." Gita mengerucutkan bibirnya dan aksinya itu membuatnya terlihat lebih menggoda, sehingga Rangga mendekatkan wajahnya untuk menciumnya.Seharusnya itu adalah ciuman yang singkat. Tapi Rangga mempertahankannya lebih lama, cukup lama untuk membangkitkan gairah mereka sebelum tangan Gita di dada Rangga perlahan mendorong tubuh suaminya menjauh."Kita nggak bisa bercinta sekarang." Tidak hanya Rangga yang harus menekan kebutuhannya, tapi juga Gita. Dia menginginkannya dan, pada saat yang sama, tahu itu tidak mungkin terjadi untuk saat ini."Yah. Kita nggak bisa bercinta sementara orang tuamu ada di luar. Apalagi di tempat tidur kecil ini." Rangga tertawa p
"Well, aku memang menyukai Lukman, dan aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk melupakan dia karena, seperti yang kamu katakan, aku nggak akan punya kesempatan bersama dia. Aku sudah tahu itu sejak lama tapi aku nggak mau melepaskan dia dari hatiku. Aku masih menyimpan perasaanku saat kita menikah."Tapi, kamu tahu sesuatu yang aneh? Saat kamu tiba-tiba tanya sama aku di hari itu di perjalanan ke rumah mereka, perasaanku sudah berubah. Aku nggak bisa menjelaskan gimana, tapi aku nggak lagi merasa sakit setiap kali menyebutkan namanya di dalam pikiranku. Dan aku langsung tahu bahwa aku nggak lagi melihat Lukman dengan cara yang sama seperti sebelumnya."Mungkin aku cuma butuh sesuatu untuk benar-benar mengalihkan perhatianku darinya, jadi aku nggak memikirkan soal melupakan perasaanku padanya."Rangga tidak bisa menahan senyumnya mengingat kata-kata Gita semalam. Itu mungkin menjadi kalimat terpanjang yang istrinya ucapkan saat Gita berusaha sebaik mungkin menjelaskan segalanya kepadan
"Mama! Papa!" Gita berseru senang saat membuka pintu dan menemukan Ibu dan Ayah Rangga di sana."Hai, Sayang. Gimana kabarmu?" Ibu Rangga menjawab dengan sebuah pelukan hangat sebelum melepaskannya agar Gita bisa berbagi pelukan dengan suaminya."Aku baik-baik saja dan sangat senang kalian ada di sini.""Rangga di mana?""Dia di dalam, lagi bantu-bantu di dapur." Gita membuka lebar pintu dan mengundang mereka masuk."Apakah semuanya baik-baik saja saat kamu memperkenalkan Rangga pada keluargamu?" Ibu Rangga bertanya lagi, tapi dengan suara lebih rendah saat mereka berjalan ke ruang utama."Tentu saja. Tapi memang suasana sedikit tegang. Tapi setelah itu, semua berjalan dengan baik. Kita juga makan malam bareng." Gita sudah menceritakan hal itu kepada Ibu Rangga saat mereka mengobrol lewat telepon. Tapi mungkin Ibu Rangga ingin memastikannya sekali lagi."Baguslah kalau begitu. Mama takut Rangga masih kesal saat dia muncul di depan pintu rumahmu. Dia seperti itu selama beberapa hari se
Gita mengintip melalui pintu kamar mandi di lantai pertama sebelum melangkah keluar dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia berjalan melewati Rangga, yang sedang duduk di sofa di ruang tamu mereka dan membaca laporan di tablet, dengan Ardian merangkak di lantai."Ardian, sayang, kemari." Gita memanggil Ardian, yang perhatiannya selalu mudah didapatkannya. "Ayo bermain di luar."Dan reaksi Ardian dapat diprediksi. Dia berlari ke arah ibunya dengan penuh semangat. Senyumnya begitu lebar.Menjadi anak-anak tampaknya menyenangkan, bukan?Gita mengikuti Ardian yang berlari keluar rumah ke halaman tanpa alas kaki. Dia tidak bisa menahan senyum di wajahnya melihat putranya dan kebahagiaan lain yang baru saja dia temukan hari ini.Gita hamil dengan anak kedua mereka.Tapi ini masih rahasia. Gita ingin membuat kejutan untuk suaminya.Oh, dia tidak sabar ingin melihat reaksi Rangga!"Ardian, kemari. Mama ingin mengatakan sesuatu."Ardian menghentikan larinya untuk melihat ibunya d
Tiga tahun kemudian.Gita memperhatikan semuanya. Setiap gerakan, tawa, canda, teriakan, dan banyak lagi.Dia tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar melihat itu semua. Rasanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Tapi itulah yang terjadi karena memang itulah realitanya.Ardian kini berusia tiga tahun dan dalam masa aktifnya. Dia berlari ke setiap sudut rumah dan selalu bersemangat untuk berlari di halaman.Meskipun melelahkan tubuh mereka karena harus mengikuti pergerakan Ardian, mereka tidak mengeluh, terutama Rangga. Suaminya selalu punya energi untuk bermain dengan Ardian dan tidak pernah kehabisan ide. Rangga membesarkan anak mereka dengan sepenuh hati.Gita menggelengkan kepalanya untuk memaksa dirinya kembali ke tempatnya. Dia tidak bisa hanya mengamati mereka sepanjang waktu, karena dia perlu menyelesaikan adonan kuenya.Ardian memiliki selera yang sama dengannya mengenai makanan manis. Jadi dia mencoba menjadi ibu yang baik dengan memanggang kue sendiri daripada membelinya d
"Hai. Ayah senang kamu bangun, dan Ayah bisa memegangmu. Ibumu pasti merasakan hal yang sama. Tapi dia sedang beristirahat sekarang, jadi jangan ganggu dia dan bermain dengan Ayah saja." Suara Rangga dipenuhi kebahagiaan, begitu pun sorot matanya menunjukkan perasaan yang sama. Tidak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan saat ini ketika dia akhirnya bisa memegang bayi Ardian. Dan kenyataan bahwa Ardian lahir dengan sehat adalah hal yang terbaik. Semuanya akan bertambah sempurna saat pemulihan istrinya berjalan dengan baik.Bayi Ardian menggerakkan tangannya yang kecil dan berhasil menangkap jari Rangga. Dia menggenggamnya meskipun matanya masih tertutup. Bayi Ardian mungkin merasakan suasana yang akrab dan aman, sehingga dia tidak menangis, yang membuat hati Rangga terasa hangat dan bangga. Hanya sentuhan dari Rangga yang bisa melakukan itu, dan dia jelas bangga akan hal itu."Gimana pendapatmu tentang dunia ini? Menakjubkan, kan? Kamu punya Ayah, ibumu, dan seluruh keluargamu di
Beberapa bulan kemudian.Gita sedang menutup laci setelah memeriksa yang ada di dalamnya masih di tempatnya.Mungkin terdengar membingungkan. Intinya, Gita baru saja selesai memeriksa kebutuhan bayi mereka, seperti pakaian, popok, kaos kaki, selimut, dan lainnya. Dia ingin memastikan semuanya siap saat waktunya tiba, yang tidak akan lama lagi. Tanggal perkiraan kelahirannya harusnya minggu ini, dan dia sangat bersemangat untuk menyambut bayi mereka.Dia berpindah ke satu-satunya tempat tidur di ruangan tersebut. Tempat tidur itu besar dan memiliki dinding kayu di keempat sisinya untuk melindungi bayi mereka agar tak terjatuh. Dan itu adalah tempat tidur yang dikatakan Rangga bisa menampung tubuhnya saat menyusui bayi mereka. Dia bahkan bisa tidur di situ juga.Tangannya bergerak untuk menyentuh boneka di dekatnya dan meletakkannya dengan rapi di antara boneka-boneka lain dan bantal. Ada beberapa jenis boneka, terutama dengan karakter hewan yang lucu untuk menemani bayi mereka saat tid
"Aku lihat semuanya, Gita. Aku tahu apa yang kamu sembunyikan di belakang punggungmu." Alis Rangga terangkat seolah-olah menunggu Gita untuk mengungkapkannya sendiri. Tidak ada gunanya menyembunyikannya lagi karena itulah alasan dia menghampiri istrinya. Dia sudah melihat Gita menikmati es krim!"Apa maksudmu?"Jadi Gita memilih untuk bermain-main dengannya. Sayangnya, dia tidak ingin berpura-pura tidak melihatnya. "Mangkuknya. Es krim."Dan Gita hanya bisa memaksakan untuk tersenyum."Kemarilah." Tangan Rangga terjulur untuk meminta Gita mendekat."Nggak mau. Kamu akan memarahiku.""Artinya kamu tahu kamu melakukan kesalahan. Sudah berapa mangkuk es krim yang kamu habiskan?""Hmm. Lima?""Hitung dengan benar, Sayang.""Oke. Oke. Sembilan." Gita mengangkat kedua tangannya ke udara dan menyerah."Nggak, Sayang. Mangkuk di belakangmu itu yang kesebelas."Sebenarnya Rangga tidak masalah dengan Gita menikmati es krim. Tapi istrinya itu suka makan berlebihan, dan Gita mungkin akan makan le
Akhirnya, hari yang mereka tunggu-tunggu tiba. Hari itu begitu sibuk tapi juga menyenangkan. Teman-teman dan keluarga mereka berkumpul bersama untuk merayakan hari bahagia tersebut. Apa lagi yang lebih menyenangkan daripada itu?Akad mereka berjalan dengan baik. Meskipun Gita merasa lebih gugup, kali ini semuanya terasa sempurna dibandingkan dengan pernikahannya yang sebenarnya. Ayahnya menikahkannya dan menyerahkannya kepada Rangga, seperti yang seharusnya dilakukan dalam sebuah upacara pernikahan. Dan dia bersama suaminya mengucapkan janji mereka lagi dan menjadi suami istri sekali lagi.Dan untuk membuatnya semakin sempurna, Rangga mengunci janji mereka dengan sebuah ciuman di bibir Gita. Kemudian tepuk tangan dan sorakan mengisi aula yang penuh tersebut.Itu adalah momen yang hangat dan membahagiakan. Dan itu berlangsung hingga malam."Senang sekali akhirnya bertemu dengan Nyonya Adiwijaya yang baru." Irfan menyapa Gita seraya menjabat tangannya. "Namaku Irfan.""Oh!" Gita tidak b
Gita merasakan kehangatan di kulitnya. Sebuah angin sepoi-sepoi yang lembut dan hangat yang menyapu lehernya dan membawa getaran ke tubuhnya. Sedetik kemudian, dia merasakan sebuah kehangatan lain bergerak di perut buncitnya dan mengusapnya dengan sangat lembut seolah-olah takut untuk membangunkannya."Hmm." Gita terbangun dari tidurnya, tentu saja, akibat perbuatan tersebut. Barulah saat itu dia menyadari ada tangan yang melingkupinya, dan dia tahu itu milik siapa. "Rangga." Suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur."Maaf aku membangunkanmu." Rangga bergumam di lekukan leher istrinya.Gita mendengarnya tapi dia tidak ingin menjawab karena suaranya seperti tersangkut di tenggorokan. Tapi dia tidak bisa menahannya lagi ketika kedua matanya membuka dan kegelapan menyambutnya melalui dinding kaca yang memberikan pemandangan langit malam nan gelap. "Masih gelap ternyata.""Iya.""Jam berapa sekarang?""Lewat tengah malam.""Kenapa kamu nggak tidur?"Alih-alih menjawab, Rangga mem
"Semua persiapannya berjalan dengan baik, kan?" Rangga bertanya kepada Erik, Manajer Hotel Adiwijaya yang ada di Jakarta, saat mereka melihat-lihat aula yang akan digunakan untuk acara pernikahannya. Aula itu masih penuh dengan dekorasi lain, karena akan digunakan untuk acara seseorang malam ini."Iya. Kami sudah mempersiapkan semua yang diperlukan. Hadiah untuk tamu-tamu juga sudah tiba, dan kami sedang memasukkannya ke dalam goodie bag."Rangga mengangguk paham. "Persiapkan dengan baik dan pastikan itu sesuai untuk setiap acara. Jangan sampai salah."Sesuai rencana, mereka akan membagi acara menjadi dua, yaitu akad dan pesta. Karena itu, mereka akan menggunakan aula terpisah, begitu pun dekorasi, hadiah untuk tamu, makanan, dan lainnya. Mereka memiliki persiapan yang berbeda untuk setiap acara."Tentu saja. Kami sudah berpengalaman dengan hal-hal seperti ini. Saya jamin semuanya akan ditangani oleh tangan terbaik. Pak Rangga bisa menikmati waktu bersama istri Bapak.""Oke. Saya perc
"Aku seperti lumba-lumba!" Suara Gita bergema di seluruh ruangan. Dia berdiri di depan cermin dan sedang mengamati penampilannya dari pantulan kaca. Dia mengenakan gaun midi berbentuk A-line dan berwarna hitam, yang tampak jatuh dengan indah di tubuhnya. Tapi itu juga memperlihatkan perutnya yang mulai membesar."Siapa yang bilang begitu?" Rangga berjalan ke arah sang istri sambil mengancingkan kemejanya."Aku." Gita masih berfokus pada pantulannya tubuhnya sendiri, seolah-olah mencari sesuatu untuk memuaskan dirinya."Kalau begitu, kamu salah. Kamu sama sekali nggak terlihat seperti itu." Rangga melingkarkan lengannya di pinggang Gita. "Sebaliknya, kamu terlihat makin seksi." Dia mencium leher istrinya dan mulai mengelus perutnya dengan lembut. Sudah hampir enam bulan, dan perut Gita sudah cukup besar."Jangan bohong sama aku, Rangga. Lihat. Tubuhku membengkak sekarang. Bahkan pipiku kelihatan seperti bakpao.""Itulah yang bikin kamu seksi, Sayang. Aku suka tubuhmu sekarang."Gita me