Dia berdarah.Meskipun itu hanya berupa flek-flek, tapi Gita terus menemukannya setiap kali dia ke kamar mandi dan mengecek underwear-nya. Dan dia jelas khawatir. Sesuatu pasti sedang terjadi di dalam tubuhnya. Karena itulah, dia pergi untuk menemui dokter."Sudah berapa lama ini terjadi?" Dokter Belinda bertanya setelah Gita menceritakan masalahnya."Pagi ini. Aku baru selesai muntah dan saat ke kamar mandi dan melihat darah," jawab Gita lumayan cepat. Itu gabungan antara kegugupan, kekhawatiran dan ketakutannya. Seperti katanya, dia baru pertama kali mengalami hal ini. Semua orang tahu yang pertama kali akan selalu sulit."Gimana waktu kamu buang air kecil? Apakah kamu melihat banyak darah yang keluar?"Gita berpikir sejenak untuk mengingat-ingat paginya. "Sepertinya nggak ada, Dokter. Warnanya bukan merah." Maksud lain dari pernyataannya adalah air kencingnya tidak bercampur dengan darah.Dokter Belinda mengangguk lalu menuliskan sesuatu di kertas."Apakah sesuatu terjadi pada bay
"Mama." Itu kata pertama yang keluar dari bibir Gita begitu pintu itu terbuka dan dia melihat ibunya muncul dari baliknya."Gita!" Seru sang Ibu gembira sebelum bergerak maju untuk memeluk putrinya. Mereka saling berpelukan dan melepas rindu setelah lama tak berjumpa. "Mama kangen kamu.""Aku juga kangen Mama, Papa, dan Andin."Ibu Gita lalu mempererat pelukannya selama beberapa saat sebelum melepaskannya. Dia masih memancarkan kebahagiaan di kedua matanya. "Kenapa nggak bilang kalau mau pulang?""Nggak akan jadi kejutan dong kalau aku kasih kabar duluan," cengir Gita. Itu adalah jawaban jujurnya meski ada alasan di baliknya."Ayo masuk. Papa sama Andin pasti senang lihat kamu pulang."Dan menit-menit selanjutnya dihabiskan Gita dengan melepas kerinduan dengan keluarganya. Mereka saling bertukar kabar dan beberapa cerita selama mereka terpisah dan hidup di kota yang berbeda."Mama akan hangatkan ayamnya. Kamu pasti lapar."Ya, Gita pergi selepas jam makan siang yang menjadikannya samp
Gita tidak tahu mesti menyumpah atau apa pun dalam situasi ini. Dia benar-benar berharap dia tidak mengalami ini. Setidaknya, tidak selama dia berada di rumah.Itu adalah morning sickness-nya dan dia tidak berhenti merasa mual sejak dia membuka kedua matanya."Gita. Kamu masih di dalam? Apa yang terjadi?" Andin bertanya setelah mengetuk pintu kamar mandi sebab Gita menguncinya dari dalam.Gita tidak muntah tanpa henti, namun rasa mual itu begitu kuat sehingga dia memilih untuk masih mengunci dirinya di dalam kamar mandi. Dan walaupun dia berusaha keras untuk menutupinya dengan menyalakan keran wastafel setiap kali dia muntah, suara-suara itu tetap terdengar dari luar, terutama setelah dia tak keluar dari kamar mandi sejak setengah jam yang lalu. Mereka pasti bertanya-tanya apa yang terjadi kepadanya."Iya. Aku lagi merasa kurang enak badan. Maaf ya, kamu harus pakai kamar mandi lain," bohong Gita. Akankah Andin mempercayainya? Dia tidak akan memikirkannya sekarang. Yang lebih penting
"Gimana bisa?"Dan Gita tidak punya pilihan lain. Dia harus menceritakan kebenarannya.Karena itulah, dia melakukannya selama beberapa menit selanjutnya. Mulai dari pertemuan pertamanya dengan Rangga, insiden yang memicu pernikahan mereka, hari pernikahan mereka, penerimaan keluarga besar Rangga, dan terus berlanjut hingga insiden terbaru seperti pertengkaran dengan Dela, morning sickness, dan masalahnya dengan Rangga.Gita menceritakan segalanya dan merasa seperti batu besar terangkat dari kedua pundaknya."Oh, Sayang," panggil Ibu Gita sembari membelai punggung Gita yang ada dalam pelukannya. "Kamu nggak seharusnya merahasiakan ini. Kita akan selalu mendukungmu.""Aku tahu, Ma, dan aku minta maaf. Aku ceroboh waktu itu dan masih nggak siap melihat reaksi Mama dan yang lain. Aku juga nggak tahu gimana harus menjelaskan semua ini."Mereka berdua bertahan dalam posisi tersebut untuk beberapa saat sebelum Ibu Gita melepaskan putrinya. "Gimana kalau sekarang? Apakah kamu ada penyesalan?"
Gita seketika bangkit dari duduknya begitu melihat sosok suaminya. Itu benar-benar Rangga. Rangga-nya.Gita dapat mendengar Andin menahan napas di sebelahnya. Mungkin dari keterkejutan karena dia melihat seseorang yang baru saja kakaknya tunjukkan kepadanya. Jika Gita memberitahukannya melalui foto-foto biasa, Andin mungkin tidak akan sekaget ini. Tapi Gita mencarinya melalui internet dan saat Andin membaca cepat informasi mengenai pria tersebut, Rangga adalah seorang CEO dan milyuner."Kamu ngapain di sini?" Pertanyaan itu lolos dari bibir Gita. Tapi dia menyesal segera setelah mengujarkannya sebab dia menemukan luka di sorot mata Rangga. Dia pasti terdengar tidak menerima kehadiran suaminya dan itu melukai Rangga."Kamu nggak angkat teleponku." Rangga tersenyum saat mengatakannya meski Gita juga menemukan sakit di dalam suaranya."Jadi kamu ke sini karena nggak mendapat kabar darinya?" Itu Andin yang merespon Rangga."Iya. Aku perlu memastikan dia baik-baik saja.""Wow."Untuk ituka
Gita merasakan tangan Rangga yang sedikit meremas tangannya, seolah-olah memberikan dukungan untuk apa yang akan dia lakukan. Menghadapi seluruh keluarganya.Rangga menawarkan diri untuk mengambil alih peran tersebut dan menjelaskan semuanya kepada mereka. Namun Gita langsung menolak tawaran itu. Harus darinya, dan mereka harus mendengar langsung darinya.Jadi, Rangga hanya bisa memberikan dukungan sambil mempersiapkan diri untuk menjadi cadangan Gita kapan pun istrinya membutuhkan dirinya."Dia adalah laki-laki yang aku ceritakan sebelumnya. Namanya Rangga. Rangga Adiwijaya. Dia lebih dari sekedar pacar bagiku." Gita sengaja menggunakan kata-kata tertentu untuk mendeskripsikan hubungannya dengan Rangga sebelum beralih ke masalah yang sebenarnya.Gita mengambil waktu sejenak untuk memperhatikan keluarganya dan menunggu respon dari mereka."Apa maksudmu lebih dari seorang pacar? Apakah kalian berdua sudah bertunangan?"Bibir Gita tertarik membentuk senyuman saat mendengar pertanyaan A
“Jadi kamu sekarang tinggal di Jakarta?” Andin bertanya setelah makan malam baru saja dimulai.Ya, setelah drama sore ini, mereka akhirnya bisa duduk bersama dengan nyaman di meja yang sama untuk menikmati makan malam.“Ya. Aku memutuskan untuk pindah ke Jakarta setelah tahu Gita hamil. Aku nggak mungkin membiarkan dia tinggal sendiri di apartemennya dalam keadaan seperti itu.”Senyum terukir di bibir Gita saat mendengar itu. Jawaban Rangga membuatnya bertanya-tanya. Bagaimana hidupnya jika mereka masih tinggal terpisah? Dan kehamilannya? Bisakah dia menjalaninya sendiri?Tidak, itu tidak akan terjadi. Meskipun Rangga tidak ada secara fisik di sisinya, dia akan selalu memiliki suaminya.“Gimana dengan kehamilannya? Apakah dia baik-baik saja?” Itu adalah pertanyaan dari ibunya, dan Gita merasa itu lucu. Daripada bertanya langsung kepadanya, ibunya justru bertanya pada Rangga.“Aku nggak bisa bilang dia baik-baik saja, karena Gita mengalami morning sickness yang lumayan parah, dan dia j
"Apa?""Orang tuaku akan datang ke sini. Mereka sangat ingin bertemu dengan keluargamu."Ini adalah kali kedua Rangga mengatakan kata-kata itu. Tapi sepertinya, ucapannya tidak bisa masuk ke benak Gita dengan baik."Jangan terlalu banyak berpikir." Jari Rangga sudah menyentuh kening sang istri untuk mengusap kerutan di sana."Nggak kok." Gita mengerucutkan bibirnya dan aksinya itu membuatnya terlihat lebih menggoda, sehingga Rangga mendekatkan wajahnya untuk menciumnya.Seharusnya itu adalah ciuman yang singkat. Tapi Rangga mempertahankannya lebih lama, cukup lama untuk membangkitkan gairah mereka sebelum tangan Gita di dada Rangga perlahan mendorong tubuh suaminya menjauh."Kita nggak bisa bercinta sekarang." Tidak hanya Rangga yang harus menekan kebutuhannya, tapi juga Gita. Dia menginginkannya dan, pada saat yang sama, tahu itu tidak mungkin terjadi untuk saat ini."Yah. Kita nggak bisa bercinta sementara orang tuamu ada di luar. Apalagi di tempat tidur kecil ini." Rangga tertawa p