Pagi ini, Rangga terbangun dengan sesuatu yang tak biasa. Dia mendengar seseorang muntah dan benaknya dapat menebak siapa. Gita. Jadi dia segera berlari ke kamar mandi untuk mengecek istrinya. Dan pemandangan yang didapatnya adalah Gita tengah duduk di lantai, di depan kloset dengan kepala menunduk saat istrinya memuntahkan isi perutnya. Rasanya tak tega hanya dengan melihat Gita demikian. "Apa yang terjadi?" tanya Rangga sembari menepuk pelan punggung Gita. Dia berjongkok di samping Gita dengan tatapan cemas di wajahnya. Gita menyelesaikan muntahnya, dan setelah merasa tak ada lagi yang dapat dikeluarkannya, dia menegakkan kepalanya seraya menggeleng. "Aku tiba-tiba ingin muntah begitu bangun tidur." Suaranya terdengar sangat lemah, begitu pun tubuhnya. Dia seolah-olah tak memiliki tenaga lagi dan baru tahu jika muntah akan menguras banyak energi. Tangan kiri Rangga bergerak ke dahi Gita untuk mengecek suhunya sementara tangan kanannya masih menepuk punggung wanitanya. "Kamu ngg
Muntah seolah hal yang mulai biasa terjadi di rumah mereka selama beberapa hari terakhir ini. Gejala itu terkadang berlangsung singkat namun pernah suatu hari Gita muntah hingga hampir makan siang. Itu membuat mereka frustasi, terutama Rangga yang melihat istrinya begitu. Rasanya sangat menyakitkan. Seperti hari ini. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan tapi Gita masih muntah di kamar mandi. Tunggu. Ke mana Rangga?"Yes, Jenny. Dia mual-mual dari pagi tadi jadi dia nggak bisa bertemu klien. Maaf karena kamu mesti mencari seseorang untuk menggantikannya." Rangga berbicara kepada Jenny melalui telepon seraya mengacak rambutnya frustasi. Dia ingin berada di samping istrinya dan membantu Gita melewati morning sickness-nya. Tapi di sinilah dia sekarang. Berdiri di dapur sembari menelepon Jenny setelah membuatkan air lemon hangat untuk sang istri. "Aku mengerti. Aku harap dia segera membaik." "Thanks." Selesai mengatakannya, Rangga kembali mendengar Gita muntah. Istrinya terdengar ber
"Jadi, gimana, Dok?" tanya Rangga setelah pengecekan menggunakan USG selesai dan kini mereka kembali duduk saling berhadapan. Dia siap mendengarkan hasilnya. "Well, hasilnya bagus. Dia tumbuh seperti yang diharapkan." Dokter Belinda memulai dengan mengatakan hal baiknya. "Tapi ada concern mengenai kondisi Bu Gita. Seperti yang pernah saya katakan, trimester pertama kehamilan adalah masa-masa rawan. Jadi dia perlu ekstra hati-hati untuk menjaga kehamilannya terutama setelah mengalami gejala-gejala ini. Saya sangat menyarankan Bu Gita untuk mengurangi aktivitas. Apakah memungkinkan Bu Gita untukn cuti?" Rangga menelan ludahnya dengan susah payah saat mendengar pertanyaan tersebut. Dia punya sedikit perasaan buruk tentang hal ini. "Apakah memang perlu cuti?" tanya Gita. "Saya sangat menyarankan untuk ambil cuti dan istirahat. Saat ini, bayinya sedang membutuhkan semua perhatian orang tuanya." Tangan Gita yang berada di atas pahanya menggenggam seiring kebingungan yang menderanya. Ak
"Kamu kenapa?" tanya Rangga setelah kesekian kali melirik kepada Gita di sela-sela fokusnya mengemudi. Istrinya hanya diam sejak mereka keluar dari rumah sakit dan selalu melihat keluar melalui jendela di sampingnya. "Nggak apa-apa." Jika bukan diam, Gita akan menjawab dengan sangat singkat, seperti yang baru saja dilakukannya. "Kamu yakin?" "Iya." "Lalu kenapa diam?" Ada jeda selama tiga detik sebelum Gita menjawab, "Aku cuma ingin melihat jalan." Yah, Gita terkadang melakukannya--duduk di dalan mobil dan menikmati pemdangan dalam perjalanan yang mereka lewati. Tetapi Gita tidak sediam ini dan dia merasa ada sesuatu yang lain menyebabkan istrinya begini. "Apakah aku melakukan kesalahan?" Dia tetap bertanya. "Nggak." "Kamu marah sama aku?" Lagi, Gita mengambil jeda selama tiga detik dan membalas, "Nggak." Sepertinya, Rangga mulai dapat memahami polanya. Jeda yang diambil Gita cukup sebagai petunjuk bahwa istrinya itu merasakan perasaan yang berkebalikan dari jawabannya. "A
Gita baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya dengan handuk yang membungkus tubuhnya. Dia merasa segar setelah lima belas menit berendam di bathtub dan mandi cepat untuk membersihkan dari sabun yang terasa seperti pijatan saat air menghantam tubuhnya. Kegiatan itu juga merilekskan otot juga benaknya. Sepertinya inilah alasan orang-orang menyukai air hangat untuk mandi. Jadi di mana dia melakukannya? Apakah di hotel seperti ide Rangga? Tidak. Gita bersikeras pada pilihannya jadi rumah adalah jawabannya. Lagi pula, kamar mandi di kamar mereka cukup luas dengan bathtub yang lumayan besar, berbeda dengan apartemennya dulu yang hanya memiliki shower. Karena itulah dia perlu memanfaatkannya selagi dia memiliki kesempatan menikmatinya. Gita membuka lemarinya untuk mencari pakaian ganti. Dia lebih suka kaos kebesaran dan celana pendek untuk tidur. Dia juga mengambil bra dan underwear. Yah, dia tahu lebih baik tidur tanpa bra tetapi dia ingin mengecek sesuatu. Dia merasa payudaranya s
Rangga melihat Gita dengan kecemasan tersirat di wajahnya. Meskipun mereka hanya terpisah dua meja dan dia masih dapat dengan jelas melihat istrinya, itu tetap tidak mampu membuatnya tenang. Dia bahkan sulit fokus pada pekerjaannya karenanya. Dia khawatir istrinya mendadak muntah karena ini masih pagi walaupun sudah lewat pukul sebelas.Mereka biasanya tinggal di rumah. Sayangnya, tidak untuk hari ini. Mereka pergi keluar keluar Gita mengatakan ingin berbicara pada Jenny. Jadi dia tidak memiliki pilihan lain selain menemani sang istri ke perusahaan lalu menyelesaikan pekerjaan terakhirnya. Ya, akhirnya Gita resmi berhenti dari pekerjaannya meski Gita bersikeras menemui klien terakhirnya. "Kalau kamu sangat khawatir begitu, samperin saja." Itu Satria yang berbicara. Mereka tengah bekerja, sama seperti Gita yang bertemu kliennya. Itu pun setelah Gita bersikeras tak ingin melihatnya menunggu sendirian dan tak melakukan apa-apa. Hembusan napas berat lolos dari bibir Rangga. Gita membuat
"Gita." Kepala Gita otomatis menoleh pada sumber suara dan menemukan dua wajah yang familiar di sana. Oh, Gita seharusnya tidak melupakan fakta bahwa mereka berada di dekat kantor orang yang mereka kenal, Lukman and Dewa. Tapi dari semua cafe dan restoran di sekitar sini, kenapa Lukman dan Dewa memilih tempat ini? "Lukman." Gita mengucapkan nama Lukman dalam nada ceria dan itu lolos dari pendengaran Rangga. Seketika kekesalan membanjiri dadanya. Rangga tidak suka melihat Gita bereaksi demikian meski dia tahu dia tak punya hak untuk melakukan hal tersebut. Gita dan Lukman merupakan teman sejak lama, jadi normal bagi Gita untuk menunjukkan terlihat senang ketika melihat pria itu. Kecuali fakta Gita pernah mencintai Lukman. Atau dia mungkin masih mencintainya. Namun kemudian kegembiraan di mata Gita berganti dengan cepat menjadi kesedihan. Ini pertama kali dia melihat Lukman setelah insiden di hari itu. Ini juga menjadi interaksi pertama mereka karena baik Lukman maupun Dela belum me
"Jangan menggodanya. Dia lagi susah makan akhir-akhir ini." Gita akui. Dia bahagia mendengar Rangga mengatakannya saat Lukman menggodanya karena tingkah tak biasanya. Ya. Ya. Dia juga akan mengakuinya. Ini pertama kali dia menunjukkan sisi ini kepada sahabatnya. Dia selama ini dikenal sebagai wanita mandiri, jarang berkencan, tidak pernah bergantung pada pria, dan tiba-tiba dia menginginkan Rangga menyuapinya. Dia bahkan tidak bisa protes jika ada banyak pertanyaan dalam benak Lukman karenanya. Setidaknya, Gita akan berpikir dirinya seperti itu sebelum bayinya datang kepadanya. Hormon kehamilan mengubahnya 180 derajat menjadi seseorang yang tak pernah dibayangkannya. Seperti yang mereka katakan, dia adalah wanita membingungkan sekarang. Gita menarik napas panjang lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Jika siang hari tadi terasa menyenangkan, itu sedikit berbeda dengan malam harinya. Hening. Tidak ada suara lain selain dia dan TV. Ya, Gita sendirian. Rangga tidak berada di sisinya