"Kamu kenapa?" tanya Rangga setelah kesekian kali melirik kepada Gita di sela-sela fokusnya mengemudi. Istrinya hanya diam sejak mereka keluar dari rumah sakit dan selalu melihat keluar melalui jendela di sampingnya. "Nggak apa-apa." Jika bukan diam, Gita akan menjawab dengan sangat singkat, seperti yang baru saja dilakukannya. "Kamu yakin?" "Iya." "Lalu kenapa diam?" Ada jeda selama tiga detik sebelum Gita menjawab, "Aku cuma ingin melihat jalan." Yah, Gita terkadang melakukannya--duduk di dalan mobil dan menikmati pemdangan dalam perjalanan yang mereka lewati. Tetapi Gita tidak sediam ini dan dia merasa ada sesuatu yang lain menyebabkan istrinya begini. "Apakah aku melakukan kesalahan?" Dia tetap bertanya. "Nggak." "Kamu marah sama aku?" Lagi, Gita mengambil jeda selama tiga detik dan membalas, "Nggak." Sepertinya, Rangga mulai dapat memahami polanya. Jeda yang diambil Gita cukup sebagai petunjuk bahwa istrinya itu merasakan perasaan yang berkebalikan dari jawabannya. "A
Gita baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya dengan handuk yang membungkus tubuhnya. Dia merasa segar setelah lima belas menit berendam di bathtub dan mandi cepat untuk membersihkan dari sabun yang terasa seperti pijatan saat air menghantam tubuhnya. Kegiatan itu juga merilekskan otot juga benaknya. Sepertinya inilah alasan orang-orang menyukai air hangat untuk mandi. Jadi di mana dia melakukannya? Apakah di hotel seperti ide Rangga? Tidak. Gita bersikeras pada pilihannya jadi rumah adalah jawabannya. Lagi pula, kamar mandi di kamar mereka cukup luas dengan bathtub yang lumayan besar, berbeda dengan apartemennya dulu yang hanya memiliki shower. Karena itulah dia perlu memanfaatkannya selagi dia memiliki kesempatan menikmatinya. Gita membuka lemarinya untuk mencari pakaian ganti. Dia lebih suka kaos kebesaran dan celana pendek untuk tidur. Dia juga mengambil bra dan underwear. Yah, dia tahu lebih baik tidur tanpa bra tetapi dia ingin mengecek sesuatu. Dia merasa payudaranya s
Rangga melihat Gita dengan kecemasan tersirat di wajahnya. Meskipun mereka hanya terpisah dua meja dan dia masih dapat dengan jelas melihat istrinya, itu tetap tidak mampu membuatnya tenang. Dia bahkan sulit fokus pada pekerjaannya karenanya. Dia khawatir istrinya mendadak muntah karena ini masih pagi walaupun sudah lewat pukul sebelas.Mereka biasanya tinggal di rumah. Sayangnya, tidak untuk hari ini. Mereka pergi keluar keluar Gita mengatakan ingin berbicara pada Jenny. Jadi dia tidak memiliki pilihan lain selain menemani sang istri ke perusahaan lalu menyelesaikan pekerjaan terakhirnya. Ya, akhirnya Gita resmi berhenti dari pekerjaannya meski Gita bersikeras menemui klien terakhirnya. "Kalau kamu sangat khawatir begitu, samperin saja." Itu Satria yang berbicara. Mereka tengah bekerja, sama seperti Gita yang bertemu kliennya. Itu pun setelah Gita bersikeras tak ingin melihatnya menunggu sendirian dan tak melakukan apa-apa. Hembusan napas berat lolos dari bibir Rangga. Gita membuat
"Gita." Kepala Gita otomatis menoleh pada sumber suara dan menemukan dua wajah yang familiar di sana. Oh, Gita seharusnya tidak melupakan fakta bahwa mereka berada di dekat kantor orang yang mereka kenal, Lukman and Dewa. Tapi dari semua cafe dan restoran di sekitar sini, kenapa Lukman dan Dewa memilih tempat ini? "Lukman." Gita mengucapkan nama Lukman dalam nada ceria dan itu lolos dari pendengaran Rangga. Seketika kekesalan membanjiri dadanya. Rangga tidak suka melihat Gita bereaksi demikian meski dia tahu dia tak punya hak untuk melakukan hal tersebut. Gita dan Lukman merupakan teman sejak lama, jadi normal bagi Gita untuk menunjukkan terlihat senang ketika melihat pria itu. Kecuali fakta Gita pernah mencintai Lukman. Atau dia mungkin masih mencintainya. Namun kemudian kegembiraan di mata Gita berganti dengan cepat menjadi kesedihan. Ini pertama kali dia melihat Lukman setelah insiden di hari itu. Ini juga menjadi interaksi pertama mereka karena baik Lukman maupun Dela belum me
"Jangan menggodanya. Dia lagi susah makan akhir-akhir ini." Gita akui. Dia bahagia mendengar Rangga mengatakannya saat Lukman menggodanya karena tingkah tak biasanya. Ya. Ya. Dia juga akan mengakuinya. Ini pertama kali dia menunjukkan sisi ini kepada sahabatnya. Dia selama ini dikenal sebagai wanita mandiri, jarang berkencan, tidak pernah bergantung pada pria, dan tiba-tiba dia menginginkan Rangga menyuapinya. Dia bahkan tidak bisa protes jika ada banyak pertanyaan dalam benak Lukman karenanya. Setidaknya, Gita akan berpikir dirinya seperti itu sebelum bayinya datang kepadanya. Hormon kehamilan mengubahnya 180 derajat menjadi seseorang yang tak pernah dibayangkannya. Seperti yang mereka katakan, dia adalah wanita membingungkan sekarang. Gita menarik napas panjang lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Jika siang hari tadi terasa menyenangkan, itu sedikit berbeda dengan malam harinya. Hening. Tidak ada suara lain selain dia dan TV. Ya, Gita sendirian. Rangga tidak berada di sisinya
Gita berjalan mondar-mandir di antara lemari dan ranjang selama lima belas menit terakhir. Dia akan mengambil baju dan benda-benda lain dari dalam lemari dan memikirkannya dengan baik sebelum memutuskan membawanya ke ranjang. Terkadang, dia membawanya kembali ketika merasa ada yang tidak pas. Tapi dia menambah lebih dibandingkan menguranginya sehingga ranjangnya penuh dengan pakaian. Gita dan Rangga hanya akan pergi selama seminggu namun kenapa Gita mengeluarkan hampir seluruh koleksi pakaiannya? Dia pasti tidak bisa memasukkan semuanya ke dalam koper. Itu terlalu banyak. "Kamu mau pindahan?" Pertanyaan Rangga seolah-olah menyuarakan benak Gita. Rangga datang untuk mengeceknya di sela-sela pekerjaannya. "Ini terlalu banyak, kan?" Pertanyaan yang sia-sia! Semua orang bisa menjawabnya dalam sekali lihat. "Kamu kan bisa pergi shopping, jadi nggak perlu membawa sebanyak ini." Gita memutar tubuhnya dan menghadap Rangga dengan antusiasme di wajahnya. "Kamu akan membiarkanku pergi shopp
Gita mendengar sebuah suara jadi dia pikir itu alarmnya yang mengganggu tidurnya. Tapi anehnya, kenapa suara itu terdengar jauh? Mungkin dia lupa meletakkannya di suatu tempat dan ponselnya kemudian berdering. Tapi kemudian, dia merasa asing dengan bunyi tersebut. Itu seperti bukan miliknya. Dengan pemikiran itu, mata Gita seketika membuka dan gelap langsung menyambutnya. Jam berapa ini? Namun Gita tidak punya waktu untuk memikirkan hal tersebut sebab bunyi itu kembali mengganggunya. Rupanya, suara itu berasal dari ponsel Rangga. "Rangga," panggilnya seraya mengguncang lengan sang suami yang melingkari perutnya. "Rangga. Ponselmu berbunyi," katanya lagi dalam volume suara yang lebih keras. Terdengar gumaman pelan diikuti sebuah pertanyaan. "Jam berapa sekarang?" Persis seperti apa yang Gita tanyakan. "Nggak tahu. Mungkin sekitar tengah malam," jawab Gita asal. Kemudian kepalanya bergerak ke jam di nakas di sisi ranjang mereka. "Jam satu lebih," ralatnya setelah melihat jam di sa
Rangga meraup wajahnya menggunakan telapak tangannya setelah memutuskan panggilan telepon dengan Satria. Ya, dia menyerahkan urusan Citra kepada asistennya itu daripada menambah masalah untuknya. Dan Gita. Rangga tahu Gita menangis. Dia bisa mendengar isakannya dari luar--dia duduk di ruang santai di lantai 2--dan kesunyian memperburuk hal tersebut. Rasanya seperti siksaan karena dia tidak bisa di sisi istrinya untuk menenangkannya. Tentu saja, dia mau melakukannya. Tapi dia perlu melakukan urusan soal Citra sebelum menyelesaikan masalahnya. Dan setelah yang satu selesai, dia masih bertahan di tempat yang sama dan hanya bisa mendengarkan isakan tertahan sang istri. Rangga tidak menginginkan hal ini terjadi. Membuat istrinya menangis tidak pernah menjadi keinginannya. Dia ingin membuat Gita bahagia bukan sebaliknya. Namun rupanya, dia tidak cukup baik untuk istrinya sehingga Gita masih menyimpan rahasia darinya. Oh, dia kesal Gita tidak mengatakan apa pun tentang hadiah Dewa. Dia c