"Gita." Kepala Gita otomatis menoleh pada sumber suara dan menemukan dua wajah yang familiar di sana. Oh, Gita seharusnya tidak melupakan fakta bahwa mereka berada di dekat kantor orang yang mereka kenal, Lukman and Dewa. Tapi dari semua cafe dan restoran di sekitar sini, kenapa Lukman dan Dewa memilih tempat ini? "Lukman." Gita mengucapkan nama Lukman dalam nada ceria dan itu lolos dari pendengaran Rangga. Seketika kekesalan membanjiri dadanya. Rangga tidak suka melihat Gita bereaksi demikian meski dia tahu dia tak punya hak untuk melakukan hal tersebut. Gita dan Lukman merupakan teman sejak lama, jadi normal bagi Gita untuk menunjukkan terlihat senang ketika melihat pria itu. Kecuali fakta Gita pernah mencintai Lukman. Atau dia mungkin masih mencintainya. Namun kemudian kegembiraan di mata Gita berganti dengan cepat menjadi kesedihan. Ini pertama kali dia melihat Lukman setelah insiden di hari itu. Ini juga menjadi interaksi pertama mereka karena baik Lukman maupun Dela belum me
"Jangan menggodanya. Dia lagi susah makan akhir-akhir ini." Gita akui. Dia bahagia mendengar Rangga mengatakannya saat Lukman menggodanya karena tingkah tak biasanya. Ya. Ya. Dia juga akan mengakuinya. Ini pertama kali dia menunjukkan sisi ini kepada sahabatnya. Dia selama ini dikenal sebagai wanita mandiri, jarang berkencan, tidak pernah bergantung pada pria, dan tiba-tiba dia menginginkan Rangga menyuapinya. Dia bahkan tidak bisa protes jika ada banyak pertanyaan dalam benak Lukman karenanya. Setidaknya, Gita akan berpikir dirinya seperti itu sebelum bayinya datang kepadanya. Hormon kehamilan mengubahnya 180 derajat menjadi seseorang yang tak pernah dibayangkannya. Seperti yang mereka katakan, dia adalah wanita membingungkan sekarang. Gita menarik napas panjang lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Jika siang hari tadi terasa menyenangkan, itu sedikit berbeda dengan malam harinya. Hening. Tidak ada suara lain selain dia dan TV. Ya, Gita sendirian. Rangga tidak berada di sisinya
Gita berjalan mondar-mandir di antara lemari dan ranjang selama lima belas menit terakhir. Dia akan mengambil baju dan benda-benda lain dari dalam lemari dan memikirkannya dengan baik sebelum memutuskan membawanya ke ranjang. Terkadang, dia membawanya kembali ketika merasa ada yang tidak pas. Tapi dia menambah lebih dibandingkan menguranginya sehingga ranjangnya penuh dengan pakaian. Gita dan Rangga hanya akan pergi selama seminggu namun kenapa Gita mengeluarkan hampir seluruh koleksi pakaiannya? Dia pasti tidak bisa memasukkan semuanya ke dalam koper. Itu terlalu banyak. "Kamu mau pindahan?" Pertanyaan Rangga seolah-olah menyuarakan benak Gita. Rangga datang untuk mengeceknya di sela-sela pekerjaannya. "Ini terlalu banyak, kan?" Pertanyaan yang sia-sia! Semua orang bisa menjawabnya dalam sekali lihat. "Kamu kan bisa pergi shopping, jadi nggak perlu membawa sebanyak ini." Gita memutar tubuhnya dan menghadap Rangga dengan antusiasme di wajahnya. "Kamu akan membiarkanku pergi shopp
Gita mendengar sebuah suara jadi dia pikir itu alarmnya yang mengganggu tidurnya. Tapi anehnya, kenapa suara itu terdengar jauh? Mungkin dia lupa meletakkannya di suatu tempat dan ponselnya kemudian berdering. Tapi kemudian, dia merasa asing dengan bunyi tersebut. Itu seperti bukan miliknya. Dengan pemikiran itu, mata Gita seketika membuka dan gelap langsung menyambutnya. Jam berapa ini? Namun Gita tidak punya waktu untuk memikirkan hal tersebut sebab bunyi itu kembali mengganggunya. Rupanya, suara itu berasal dari ponsel Rangga. "Rangga," panggilnya seraya mengguncang lengan sang suami yang melingkari perutnya. "Rangga. Ponselmu berbunyi," katanya lagi dalam volume suara yang lebih keras. Terdengar gumaman pelan diikuti sebuah pertanyaan. "Jam berapa sekarang?" Persis seperti apa yang Gita tanyakan. "Nggak tahu. Mungkin sekitar tengah malam," jawab Gita asal. Kemudian kepalanya bergerak ke jam di nakas di sisi ranjang mereka. "Jam satu lebih," ralatnya setelah melihat jam di sa
Rangga meraup wajahnya menggunakan telapak tangannya setelah memutuskan panggilan telepon dengan Satria. Ya, dia menyerahkan urusan Citra kepada asistennya itu daripada menambah masalah untuknya. Dan Gita. Rangga tahu Gita menangis. Dia bisa mendengar isakannya dari luar--dia duduk di ruang santai di lantai 2--dan kesunyian memperburuk hal tersebut. Rasanya seperti siksaan karena dia tidak bisa di sisi istrinya untuk menenangkannya. Tentu saja, dia mau melakukannya. Tapi dia perlu melakukan urusan soal Citra sebelum menyelesaikan masalahnya. Dan setelah yang satu selesai, dia masih bertahan di tempat yang sama dan hanya bisa mendengarkan isakan tertahan sang istri. Rangga tidak menginginkan hal ini terjadi. Membuat istrinya menangis tidak pernah menjadi keinginannya. Dia ingin membuat Gita bahagia bukan sebaliknya. Namun rupanya, dia tidak cukup baik untuk istrinya sehingga Gita masih menyimpan rahasia darinya. Oh, dia kesal Gita tidak mengatakan apa pun tentang hadiah Dewa. Dia c
Selamat pagi, Sayang. Jangan buru-buru dan berjanjilah untuk menarik napas dalam sebelum lanjut membaca.Karena itulah, Gita memejamkan kedua matanya dan menghirup napas dalam sebelum tatapannya kembali pada catatan di tangannya. Itu dari Rangga. Dia menemukan catatan tersebut di nakas di samping tempat tidurnya bersama sarapan yang tersaji di sana.Maaf karena nggak membangunkanmu dan meninggalkanmu sendirian. Kamu kelihatan sangat damai dalam tidurmu dan aku nggak mau mengganggunya. Kamu butuh banyak tidur.Aku janji nggak akan pergi lama dan kembali secepat mungkin. Jaga dirimu dan bayi kita dan kabari aku kalau ada apa-apa.Dan kita akan membahas masalah kita setelah aku kembali. Please, jangan overthinking.Milikmu,RanggaGita hanya bisa mengerjapkan matanya berulang kali, membacanya. Tapi kemudian sesuatu keluar dan mengalir melalui sudut-sudut matanya. Dia menangis. Lagi. Sebenarnya, dia telah menduga hal ini saat melihat matahari telah bersinar terik dan jam di kamar mereka.
Dela.Akhirnya mereka berdua pun bertemu.Gita dan Dela.Gita tertegun selama beberapa saat ketika matanya bertemu dengan manik cokelat milik sahabatnya. Dia terkejut. Tentu saja. Siapa yang menyangka mereka berdua akan bertemu dalam situasi seperti ini?Dela pun merasakan hal yang sama. Kedua matanya melebar dalam ketidakpercayaan."Dela." Panggilan itu meluncur begitu saja dari bibir Gita.Tetapi kemudian, reaksi Dela berubah 180 derajat dari sebelumnya. Kedua alisnya berkerut dengan sorot tajam kepada Gita. Kebencian terpancar dari mata cantik itu.Dela bergerak cepat. Dia membatalkan pesanannya dan segera beranjak dari antrian untuk menjauhi Gita.Apakah artinya Dela masih marah kepadanya?Mau tak mau, Gita pun merespon dengan hal yang sama. Dia berbicara kepada sang pelayan untuk membatalkan pesanannya dan mengikuti Dela. Dia mempercepat langkahnya saat Dela menjauh dan berlari ketika sosok sahabatnya mulai mengecil. "Dela, tunggu!" serunya dalam usahanya untuk menarik perhatian
"Kamu sebaiknya menelepon Rangga," saran Kirana saat dia meletakkan cokelat panas ke hadapan Gita. Mereka sudah berada di rumah setelah membatalkan rencana untuk menonton film. Tentu saja. Siapa yang mau menonton setelah melihat Gita menangis?Gita tidak langsung menjawab dan terus menatap ke depan. Dia mendengar Kirana tapi benaknya tidak benar-benar di sana. Atau iya?Mungkinz dia hanya malas memikirkan jawabannya.Tapi kemudian, Gita merasakan tangan Kirana yang menggenggamnya. "Jangan ditahan sendirian."Barulah saat itu, Gita menatap Kirana. Mereka saling bertukar pandangan seolah-olah membagi luka."Dia akan mendengarkanmu."Benarkah?Tapi Gita telah memutuskan. Dia tidak mau mengganggu Rangga. Jadi Gita menggelengkan kepalanya."Atau kamu mau aku meneleponnya untukmu?"Gita seketika mengeratkan genggamannya untuk mencegah Kirana. "Jangan.""Kenapa?"Kenapa?Gita tidak mau mengganggu Rangga.Ah, tidak. Sebenarnya, dia takut Rangga tidak mengangkat teleponnya atau lebih buruk, di