Farah tersenyum meremehkan mendengar ancaman Rangga. "Melaporkanku? Kamu pikir mereka akan percaya pada ceritamu bahwa aku menyerangnya?" Suaranya tak kalah mengejek. "Kenapa nggak? Aku tahu kamu punya image yang sangat bagus, tapi kamu bukan malaikat. Sifat aslimu akan tersebar cepat atau lambat." "Tapi kamu nggak punya bukti aku menyerangnya duluan. Mungkin, Gita-lah pelakunya." Ya. Tidak mungkin CCTV dipasang di dalam toilet. Itu merupakan area privat. "Nggak masalah. Aku akan pakai rekaman dari pesta. Aku sengaja menyimpannya." Rangga mungkin terdengar berlebihan. Tapi dia perlu mendapatkan bukti ketidakadilan atau kekerasan yang dialami istrinya jikalau kejadian serupa terulang. Meskipun Gita mengatakan tidak akan memperpanjang masalah tersebut, dia tetap menyimpannya sebagai pegangan. "Aku percaya hakim akan mengetahui mana yang benar dan salah." Wajah Farah memucat mendengarnya. "T-Tapi kamu nggak punya rekaman yang tadi." Dia berpura-pura tetap kuat meski suaranya sedikit
"Berhenti melakukannya. Kamu mungkin merusak ponselmu karena bolak-balik mengambil lalu meletakkannya di meja," kata Rangga setelah menangkap basah Gita mengambil ponselnya untuk yang kesekian kali. Dan yang dilakukan istrinya adalah sama. Membuka riwayat panggilan telepon dan pesannya. Gita, yang menyadari aksinya ketahuan, hanya merengut. Dia terpaksa kembali meletakkan ponselnya ke atas meja dengan bibir mengerucut. "Aku takut melewatkan panggilan atau pesan mereka," sungutnya. "Nggak akan. Ponselmu ada di depanmu dan kamu pasti kalau ada telepon atau pesan masuk." Gita merasakan beban di sampingnya saat Rangga mendudukkan dirinya di sofa yang sama dengannya. Dia tidak mau melihat suaminya karena telah mengomelinya. Tetapi Rangga tidak membiarkan hal tersebut dan justru menarik lembut dagunya untuk menatapnya sehingga mata mereka saling bertemu. "Aku benci kamu." Dia mengatakan kata-kata andalannya. Rangga hanya tertawa mendengarnya sebab dia tahu Gita tidak bersungguh-sungguh
Pagi ini, Rangga terbangun dengan sesuatu yang tak biasa. Dia mendengar seseorang muntah dan benaknya dapat menebak siapa. Gita. Jadi dia segera berlari ke kamar mandi untuk mengecek istrinya. Dan pemandangan yang didapatnya adalah Gita tengah duduk di lantai, di depan kloset dengan kepala menunduk saat istrinya memuntahkan isi perutnya. Rasanya tak tega hanya dengan melihat Gita demikian. "Apa yang terjadi?" tanya Rangga sembari menepuk pelan punggung Gita. Dia berjongkok di samping Gita dengan tatapan cemas di wajahnya. Gita menyelesaikan muntahnya, dan setelah merasa tak ada lagi yang dapat dikeluarkannya, dia menegakkan kepalanya seraya menggeleng. "Aku tiba-tiba ingin muntah begitu bangun tidur." Suaranya terdengar sangat lemah, begitu pun tubuhnya. Dia seolah-olah tak memiliki tenaga lagi dan baru tahu jika muntah akan menguras banyak energi. Tangan kiri Rangga bergerak ke dahi Gita untuk mengecek suhunya sementara tangan kanannya masih menepuk punggung wanitanya. "Kamu ngg
Muntah seolah hal yang mulai biasa terjadi di rumah mereka selama beberapa hari terakhir ini. Gejala itu terkadang berlangsung singkat namun pernah suatu hari Gita muntah hingga hampir makan siang. Itu membuat mereka frustasi, terutama Rangga yang melihat istrinya begitu. Rasanya sangat menyakitkan. Seperti hari ini. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan tapi Gita masih muntah di kamar mandi. Tunggu. Ke mana Rangga?"Yes, Jenny. Dia mual-mual dari pagi tadi jadi dia nggak bisa bertemu klien. Maaf karena kamu mesti mencari seseorang untuk menggantikannya." Rangga berbicara kepada Jenny melalui telepon seraya mengacak rambutnya frustasi. Dia ingin berada di samping istrinya dan membantu Gita melewati morning sickness-nya. Tapi di sinilah dia sekarang. Berdiri di dapur sembari menelepon Jenny setelah membuatkan air lemon hangat untuk sang istri. "Aku mengerti. Aku harap dia segera membaik." "Thanks." Selesai mengatakannya, Rangga kembali mendengar Gita muntah. Istrinya terdengar ber
"Jadi, gimana, Dok?" tanya Rangga setelah pengecekan menggunakan USG selesai dan kini mereka kembali duduk saling berhadapan. Dia siap mendengarkan hasilnya. "Well, hasilnya bagus. Dia tumbuh seperti yang diharapkan." Dokter Belinda memulai dengan mengatakan hal baiknya. "Tapi ada concern mengenai kondisi Bu Gita. Seperti yang pernah saya katakan, trimester pertama kehamilan adalah masa-masa rawan. Jadi dia perlu ekstra hati-hati untuk menjaga kehamilannya terutama setelah mengalami gejala-gejala ini. Saya sangat menyarankan Bu Gita untuk mengurangi aktivitas. Apakah memungkinkan Bu Gita untukn cuti?" Rangga menelan ludahnya dengan susah payah saat mendengar pertanyaan tersebut. Dia punya sedikit perasaan buruk tentang hal ini. "Apakah memang perlu cuti?" tanya Gita. "Saya sangat menyarankan untuk ambil cuti dan istirahat. Saat ini, bayinya sedang membutuhkan semua perhatian orang tuanya." Tangan Gita yang berada di atas pahanya menggenggam seiring kebingungan yang menderanya. Ak
"Kamu kenapa?" tanya Rangga setelah kesekian kali melirik kepada Gita di sela-sela fokusnya mengemudi. Istrinya hanya diam sejak mereka keluar dari rumah sakit dan selalu melihat keluar melalui jendela di sampingnya. "Nggak apa-apa." Jika bukan diam, Gita akan menjawab dengan sangat singkat, seperti yang baru saja dilakukannya. "Kamu yakin?" "Iya." "Lalu kenapa diam?" Ada jeda selama tiga detik sebelum Gita menjawab, "Aku cuma ingin melihat jalan." Yah, Gita terkadang melakukannya--duduk di dalan mobil dan menikmati pemdangan dalam perjalanan yang mereka lewati. Tetapi Gita tidak sediam ini dan dia merasa ada sesuatu yang lain menyebabkan istrinya begini. "Apakah aku melakukan kesalahan?" Dia tetap bertanya. "Nggak." "Kamu marah sama aku?" Lagi, Gita mengambil jeda selama tiga detik dan membalas, "Nggak." Sepertinya, Rangga mulai dapat memahami polanya. Jeda yang diambil Gita cukup sebagai petunjuk bahwa istrinya itu merasakan perasaan yang berkebalikan dari jawabannya. "A
Gita baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya dengan handuk yang membungkus tubuhnya. Dia merasa segar setelah lima belas menit berendam di bathtub dan mandi cepat untuk membersihkan dari sabun yang terasa seperti pijatan saat air menghantam tubuhnya. Kegiatan itu juga merilekskan otot juga benaknya. Sepertinya inilah alasan orang-orang menyukai air hangat untuk mandi. Jadi di mana dia melakukannya? Apakah di hotel seperti ide Rangga? Tidak. Gita bersikeras pada pilihannya jadi rumah adalah jawabannya. Lagi pula, kamar mandi di kamar mereka cukup luas dengan bathtub yang lumayan besar, berbeda dengan apartemennya dulu yang hanya memiliki shower. Karena itulah dia perlu memanfaatkannya selagi dia memiliki kesempatan menikmatinya. Gita membuka lemarinya untuk mencari pakaian ganti. Dia lebih suka kaos kebesaran dan celana pendek untuk tidur. Dia juga mengambil bra dan underwear. Yah, dia tahu lebih baik tidur tanpa bra tetapi dia ingin mengecek sesuatu. Dia merasa payudaranya s
Rangga melihat Gita dengan kecemasan tersirat di wajahnya. Meskipun mereka hanya terpisah dua meja dan dia masih dapat dengan jelas melihat istrinya, itu tetap tidak mampu membuatnya tenang. Dia bahkan sulit fokus pada pekerjaannya karenanya. Dia khawatir istrinya mendadak muntah karena ini masih pagi walaupun sudah lewat pukul sebelas.Mereka biasanya tinggal di rumah. Sayangnya, tidak untuk hari ini. Mereka pergi keluar keluar Gita mengatakan ingin berbicara pada Jenny. Jadi dia tidak memiliki pilihan lain selain menemani sang istri ke perusahaan lalu menyelesaikan pekerjaan terakhirnya. Ya, akhirnya Gita resmi berhenti dari pekerjaannya meski Gita bersikeras menemui klien terakhirnya. "Kalau kamu sangat khawatir begitu, samperin saja." Itu Satria yang berbicara. Mereka tengah bekerja, sama seperti Gita yang bertemu kliennya. Itu pun setelah Gita bersikeras tak ingin melihatnya menunggu sendirian dan tak melakukan apa-apa. Hembusan napas berat lolos dari bibir Rangga. Gita membuat
Gita mengintip melalui pintu kamar mandi di lantai pertama sebelum melangkah keluar dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia berjalan melewati Rangga, yang sedang duduk di sofa di ruang tamu mereka dan membaca laporan di tablet, dengan Ardian merangkak di lantai."Ardian, sayang, kemari." Gita memanggil Ardian, yang perhatiannya selalu mudah didapatkannya. "Ayo bermain di luar."Dan reaksi Ardian dapat diprediksi. Dia berlari ke arah ibunya dengan penuh semangat. Senyumnya begitu lebar.Menjadi anak-anak tampaknya menyenangkan, bukan?Gita mengikuti Ardian yang berlari keluar rumah ke halaman tanpa alas kaki. Dia tidak bisa menahan senyum di wajahnya melihat putranya dan kebahagiaan lain yang baru saja dia temukan hari ini.Gita hamil dengan anak kedua mereka.Tapi ini masih rahasia. Gita ingin membuat kejutan untuk suaminya.Oh, dia tidak sabar ingin melihat reaksi Rangga!"Ardian, kemari. Mama ingin mengatakan sesuatu."Ardian menghentikan larinya untuk melihat ibunya d
Tiga tahun kemudian.Gita memperhatikan semuanya. Setiap gerakan, tawa, canda, teriakan, dan banyak lagi.Dia tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar melihat itu semua. Rasanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Tapi itulah yang terjadi karena memang itulah realitanya.Ardian kini berusia tiga tahun dan dalam masa aktifnya. Dia berlari ke setiap sudut rumah dan selalu bersemangat untuk berlari di halaman.Meskipun melelahkan tubuh mereka karena harus mengikuti pergerakan Ardian, mereka tidak mengeluh, terutama Rangga. Suaminya selalu punya energi untuk bermain dengan Ardian dan tidak pernah kehabisan ide. Rangga membesarkan anak mereka dengan sepenuh hati.Gita menggelengkan kepalanya untuk memaksa dirinya kembali ke tempatnya. Dia tidak bisa hanya mengamati mereka sepanjang waktu, karena dia perlu menyelesaikan adonan kuenya.Ardian memiliki selera yang sama dengannya mengenai makanan manis. Jadi dia mencoba menjadi ibu yang baik dengan memanggang kue sendiri daripada membelinya d
"Hai. Ayah senang kamu bangun, dan Ayah bisa memegangmu. Ibumu pasti merasakan hal yang sama. Tapi dia sedang beristirahat sekarang, jadi jangan ganggu dia dan bermain dengan Ayah saja." Suara Rangga dipenuhi kebahagiaan, begitu pun sorot matanya menunjukkan perasaan yang sama. Tidak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan saat ini ketika dia akhirnya bisa memegang bayi Ardian. Dan kenyataan bahwa Ardian lahir dengan sehat adalah hal yang terbaik. Semuanya akan bertambah sempurna saat pemulihan istrinya berjalan dengan baik.Bayi Ardian menggerakkan tangannya yang kecil dan berhasil menangkap jari Rangga. Dia menggenggamnya meskipun matanya masih tertutup. Bayi Ardian mungkin merasakan suasana yang akrab dan aman, sehingga dia tidak menangis, yang membuat hati Rangga terasa hangat dan bangga. Hanya sentuhan dari Rangga yang bisa melakukan itu, dan dia jelas bangga akan hal itu."Gimana pendapatmu tentang dunia ini? Menakjubkan, kan? Kamu punya Ayah, ibumu, dan seluruh keluargamu di
Beberapa bulan kemudian.Gita sedang menutup laci setelah memeriksa yang ada di dalamnya masih di tempatnya.Mungkin terdengar membingungkan. Intinya, Gita baru saja selesai memeriksa kebutuhan bayi mereka, seperti pakaian, popok, kaos kaki, selimut, dan lainnya. Dia ingin memastikan semuanya siap saat waktunya tiba, yang tidak akan lama lagi. Tanggal perkiraan kelahirannya harusnya minggu ini, dan dia sangat bersemangat untuk menyambut bayi mereka.Dia berpindah ke satu-satunya tempat tidur di ruangan tersebut. Tempat tidur itu besar dan memiliki dinding kayu di keempat sisinya untuk melindungi bayi mereka agar tak terjatuh. Dan itu adalah tempat tidur yang dikatakan Rangga bisa menampung tubuhnya saat menyusui bayi mereka. Dia bahkan bisa tidur di situ juga.Tangannya bergerak untuk menyentuh boneka di dekatnya dan meletakkannya dengan rapi di antara boneka-boneka lain dan bantal. Ada beberapa jenis boneka, terutama dengan karakter hewan yang lucu untuk menemani bayi mereka saat tid
"Aku lihat semuanya, Gita. Aku tahu apa yang kamu sembunyikan di belakang punggungmu." Alis Rangga terangkat seolah-olah menunggu Gita untuk mengungkapkannya sendiri. Tidak ada gunanya menyembunyikannya lagi karena itulah alasan dia menghampiri istrinya. Dia sudah melihat Gita menikmati es krim!"Apa maksudmu?"Jadi Gita memilih untuk bermain-main dengannya. Sayangnya, dia tidak ingin berpura-pura tidak melihatnya. "Mangkuknya. Es krim."Dan Gita hanya bisa memaksakan untuk tersenyum."Kemarilah." Tangan Rangga terjulur untuk meminta Gita mendekat."Nggak mau. Kamu akan memarahiku.""Artinya kamu tahu kamu melakukan kesalahan. Sudah berapa mangkuk es krim yang kamu habiskan?""Hmm. Lima?""Hitung dengan benar, Sayang.""Oke. Oke. Sembilan." Gita mengangkat kedua tangannya ke udara dan menyerah."Nggak, Sayang. Mangkuk di belakangmu itu yang kesebelas."Sebenarnya Rangga tidak masalah dengan Gita menikmati es krim. Tapi istrinya itu suka makan berlebihan, dan Gita mungkin akan makan le
Akhirnya, hari yang mereka tunggu-tunggu tiba. Hari itu begitu sibuk tapi juga menyenangkan. Teman-teman dan keluarga mereka berkumpul bersama untuk merayakan hari bahagia tersebut. Apa lagi yang lebih menyenangkan daripada itu?Akad mereka berjalan dengan baik. Meskipun Gita merasa lebih gugup, kali ini semuanya terasa sempurna dibandingkan dengan pernikahannya yang sebenarnya. Ayahnya menikahkannya dan menyerahkannya kepada Rangga, seperti yang seharusnya dilakukan dalam sebuah upacara pernikahan. Dan dia bersama suaminya mengucapkan janji mereka lagi dan menjadi suami istri sekali lagi.Dan untuk membuatnya semakin sempurna, Rangga mengunci janji mereka dengan sebuah ciuman di bibir Gita. Kemudian tepuk tangan dan sorakan mengisi aula yang penuh tersebut.Itu adalah momen yang hangat dan membahagiakan. Dan itu berlangsung hingga malam."Senang sekali akhirnya bertemu dengan Nyonya Adiwijaya yang baru." Irfan menyapa Gita seraya menjabat tangannya. "Namaku Irfan.""Oh!" Gita tidak b
Gita merasakan kehangatan di kulitnya. Sebuah angin sepoi-sepoi yang lembut dan hangat yang menyapu lehernya dan membawa getaran ke tubuhnya. Sedetik kemudian, dia merasakan sebuah kehangatan lain bergerak di perut buncitnya dan mengusapnya dengan sangat lembut seolah-olah takut untuk membangunkannya."Hmm." Gita terbangun dari tidurnya, tentu saja, akibat perbuatan tersebut. Barulah saat itu dia menyadari ada tangan yang melingkupinya, dan dia tahu itu milik siapa. "Rangga." Suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur."Maaf aku membangunkanmu." Rangga bergumam di lekukan leher istrinya.Gita mendengarnya tapi dia tidak ingin menjawab karena suaranya seperti tersangkut di tenggorokan. Tapi dia tidak bisa menahannya lagi ketika kedua matanya membuka dan kegelapan menyambutnya melalui dinding kaca yang memberikan pemandangan langit malam nan gelap. "Masih gelap ternyata.""Iya.""Jam berapa sekarang?""Lewat tengah malam.""Kenapa kamu nggak tidur?"Alih-alih menjawab, Rangga mem
"Semua persiapannya berjalan dengan baik, kan?" Rangga bertanya kepada Erik, Manajer Hotel Adiwijaya yang ada di Jakarta, saat mereka melihat-lihat aula yang akan digunakan untuk acara pernikahannya. Aula itu masih penuh dengan dekorasi lain, karena akan digunakan untuk acara seseorang malam ini."Iya. Kami sudah mempersiapkan semua yang diperlukan. Hadiah untuk tamu-tamu juga sudah tiba, dan kami sedang memasukkannya ke dalam goodie bag."Rangga mengangguk paham. "Persiapkan dengan baik dan pastikan itu sesuai untuk setiap acara. Jangan sampai salah."Sesuai rencana, mereka akan membagi acara menjadi dua, yaitu akad dan pesta. Karena itu, mereka akan menggunakan aula terpisah, begitu pun dekorasi, hadiah untuk tamu, makanan, dan lainnya. Mereka memiliki persiapan yang berbeda untuk setiap acara."Tentu saja. Kami sudah berpengalaman dengan hal-hal seperti ini. Saya jamin semuanya akan ditangani oleh tangan terbaik. Pak Rangga bisa menikmati waktu bersama istri Bapak.""Oke. Saya perc
"Aku seperti lumba-lumba!" Suara Gita bergema di seluruh ruangan. Dia berdiri di depan cermin dan sedang mengamati penampilannya dari pantulan kaca. Dia mengenakan gaun midi berbentuk A-line dan berwarna hitam, yang tampak jatuh dengan indah di tubuhnya. Tapi itu juga memperlihatkan perutnya yang mulai membesar."Siapa yang bilang begitu?" Rangga berjalan ke arah sang istri sambil mengancingkan kemejanya."Aku." Gita masih berfokus pada pantulannya tubuhnya sendiri, seolah-olah mencari sesuatu untuk memuaskan dirinya."Kalau begitu, kamu salah. Kamu sama sekali nggak terlihat seperti itu." Rangga melingkarkan lengannya di pinggang Gita. "Sebaliknya, kamu terlihat makin seksi." Dia mencium leher istrinya dan mulai mengelus perutnya dengan lembut. Sudah hampir enam bulan, dan perut Gita sudah cukup besar."Jangan bohong sama aku, Rangga. Lihat. Tubuhku membengkak sekarang. Bahkan pipiku kelihatan seperti bakpao.""Itulah yang bikin kamu seksi, Sayang. Aku suka tubuhmu sekarang."Gita me