Zoia bergidik ngeri. Seringai lebar yang tercetak di wajah Javas membuatnya ketakutan. Apa laki-laki itu benar-benar menginginkannya?
Pria itu semakin dekat. Jarak wajahnya dan muka Zoia hanya terhitung beberapa sentimeter. Sedikit lagi maka kulitnya dan Javas benar-benar akan bersentuhan.
Sebelum itu terjadi, Zoia mendorong Javas dengan sekuat tenaga sehingga laki-laki itu tersingkir darinya. Begitu mendapat kesempatan untuk lepas, Zoia mengangkat diri dan menjauh dari Javas.
“Kamu jangan macam-macam. Jangan pernah menyentuh saya!” hardik Zoia dengan sorot mata ketakutan.
“Saya berhak melakukannya dan kamu nggak boleh menolak.” Javas membalas ucapan Zoia sambil turun dari ranjang dan berjalan mendekatinya.
“Tapi nggak pernah ada di dalam perjanjian kalau saya harus melayani kamu seperti ini.”
“Apa kamu amnesia? Di dalam surat itu tertera bahwa kamu harus melakukan apa saja yang saya perintahkan. Apa pun!”
Dengan tenaganya yang kuat Javas menarik tangan Zoia ke ranjang dan membaringkannya seperti tadi. Lalu lelaki itu menyapukan bibirnya di sekujur tubuh Zoia.
Zoia memejamkan matanya. Setiap inci kulitnya yang bersentuhan dengan Javas meremang sempurna. Javas adalah laki-laki pertama yang menyentuhnya.
“Jangan ...” Zoia berujar lirih ketika kecupan Javas tiba di pangkal pahanya. Zoia belum siap. Ia juga merasa malu dan takut melakukannya.
Javas tidak menggubris kata-kata Zoia. Karena perempuan itu sudah menghancurkannya maka ia berhak menuntut balas dengan mengambil satu-satunya hal paling berharga yang dimiliki Zoia.
Mengangkat wajahnya dari bawah sana, Javas menanggalkan satu demi satu penutup tubuh perempuan itu hingga lapis kain terakhir. Meskipun Zoia melakukan perlawanan akan tetapi tenaga Javas jauh lebih kuat. Ia berhasil membuat polos perempuan itu.
Javas melepas pakaiannya sendiri setelahnya. Matanya mulai nanar menyaksikan Zoia yang kini tampil seperti manekin tanpa busana. Bukan nanar karena hangover melainkan karena keindahan tubuh perempuan itu. Meskipun tadi minum alkohol dalam jumlah yang mengkhawatirkan, namun tingkat toleransi tubuh Javas terhadap alkohol cukup tinggi.
Zoia menutupi dadanya yang terbuka dengan menyilangkan kedua tangannya. Ia juga melakukan hal yang sama dengan menyilangkan kaki menutupi inti bawah tubuhnya.
Javas menelan salivanya dalam-dalam. Perempuan ini sangat menggiurkan. Sayangnya Javas tidak mencintainya. Tapi untuk berhubungan seks tidak perlu cinta kan? Ia bisa tidur dengan wanita mana saja tanpa perlu perasaan cinta.
Tapi … para wanita yang pernah ia tiduri bukan istrinya. Mereka adalah perempuan gampangan yang bersedia ditukar dengan rupiah. Sedangkan Zoia adalah istrinya. Dan entah mengapa ia tidak ingin menyamakan Zoia dengan para perempuan itu. Apalagi saat menyaksikan wajah pucat Zoia dan ketakutan saat melihatnya Javas menjadi kasihan.
Ini aneh dan sangat bertentangan dengan logikanya. Namun suara dalam dirinya meminta Javas untuk melepaskan Zoia.
Javas mengurungkan niatnya untuk menyentuh Zoia lalu memungut boxer-nya dari lantai dan kembali mengenakannya.
“Keluar kamu!” Javas menunjuk pintu dan meminta Zoia untuk pergi.
Zoia tercengang. Apa ia tidak salah dengar? Kenapa Javas memintanya pergi? Kenapa lelaki itu tidak jadi melakukannya?
“Saya bilang keluar kamu sekarang. Bisa dengar kan?”
“Bi—bisa ...,” jawab Zoia tergagap.
Zoia bangkit dari berbaring lalu turun dari ranjang sambil menutupi dadanya dan bergegas pergi dari kamar Javas. Karena terburu-buru Zoia lupa mengambil pakaiannya. Ia meninggalkannya di sana.
Setelah Zoia pergi, Javas menutup pintu kamar dengan membantingnya cukup keras. Ia mengusap mukanya sambil menghela napas panjang.
Duduk di tepi ranjang, matanya bertemu dengan bingkai foto di nakas. Di sana terpajang potretnya berdua dengan Prilly. Saat itu mereka sedang liburan berdua ke Santorini. Mereka mengabadikan kenangan itu tepat di depan cave house khas Santorini yang identik dengan warna putih. Ia dan Prilly saling merangkul dan tersenyum lebar. Mereka sangat bahagia saat itu.
Javas mengambil bingkai tersebut lalu mengusap wajah cantik Prilly. Rasa sakitnya muncul ketika ingat semua perbuatan buruk Prilly padanya. Dengan sekali bantingan Javas membuang bingkai itu ke lantai hingga pecah berkeping-keping.
***
Pagi ini Zoia bangun lebih awal. Sambil menyiapkan sarapan pagi Zoia berpikir tentang kejadian kemarin.
Apa yang terjadi sehingga Javas batal menyentuhnya? Padahal mereka sudah sama-sama tidak berbusana dan hanya tinggal melakukannya saja. Tapi apa pun yang sudah mengubah pikiran Javas Zoia bersyukur terbebas dari semua itu.
Zoia yang sibuk melamun tidak menyadari akan kehadiran Javas. Pria itu duduk di kursi ruang makan sambil mengawasinya.
Javas kemudian berdeham yang membuat Zoia menoleh dan berdiri dengan gugup. Setelah kejadian semalam Zoia merasa canggung, seakan Javas masih melihat bentuk asli tubuhnya saat ini.
“Saya siapin roti untuk kamu, kamu suka kan?” tanya Zoia. Ia khawatir kalau nanti ternyata Javas tidak menyukainya dan meminta ganti makanan baru.
Javas memandang dingin setangkup roti tawar dengan olesan selai coklat hazelnut yang diletakkan Zoia di hadapannya. “Bersihin kamar saya!"
Tanpa diperintahkan dua kali Zoia menuju kamar Javas dan menyaksikan sendiri bagaimana berantakannya ruangan lelaki itu. Zoia mengaduh saat tanpa sengaja kakinya menginjak pecahan kaca.
Ada selembar foto di sana di antara serpihan kaca dan patahan bingkai. Zoia memandang sesaat foto Javas dan Prilly. Mereka tampak serasi. Bahkan pada mulanya Zoia sempat kagum melihat kemesraan pasangan itu.
Selagi Zoia di kamar Javas, bel berbunyi. Javas membukanya dan langsung mendapati seorang laki-laki muda di sana. Lelaki itu tersenyum ramah.
“Pagi, saya Zico. Saya mau menjemput Zoia. Saya teman Zoia dan kami sudah ada janji. Saya dan Zoia akan pergi menemui teman saya yang akan memakai jasa Shannon Wedding Organizer.” Zico menjelaskan pada Javas maksud kedatangannya.
Javas memandang lelaki itu dengan tatapan datar. Belum ia bicara, Zoia sudah muncul ke ruang depan.
“Eh, udah datang? Bentar ya, aku ambil tas dulu.”
Zoia kembali ke kamar. Javas menyusulnya.
“Kamu mau ke mana?” tanya Javas menginterogasi.
“Saya mau bertemu klien. Dia teman Zico,” jelas Zoia sama seperti yang tadi dikatakan Zico pada Javas.
“Nggak boleh!” larang Javas tegas.
“Apa?”
“Nggak boleh. Apa kamu nggak dengar?”
Zoia menatap Javas dengan raut heran. “Kenapa nggak boleh?”
“Itu aturannya. Sebagai istri saya kamu dilarang berhubungan dengan lelaki manapun.”
“Tapi itu nggak ada di dalam surat perjanjian,” sanggah Zoia tidak setuju. Lelaki frustasi ini terlalu mengada-ngada.
“Memang nggak ada, tapi nanti akan saya tambahkan. Sekarang temui dia, katakan kalau kamu berangkat dengan saya. Suruh dia pergi sekarang."
"Saya nggak bisa. Saya dan Zico ada urusan penting. Ini menyangkut pekerjaan saya, tolong mengertilah,” pinta Zoia begitu memelas.
“Tapi saya suami kamu. Apa kamu lupa bahwa seorang istri wajib menghormati dan mematuhi suaminya?” Tentu saja Javas tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannnya. Ia hanya ingin membuat Zoia susah dan menyakiti perempuan itu dengan caranya.
“Saya tahu itu, tapi saya minta pengertian kamu. Tolong jangan kacaukan pekerjaan saya.”
Javas menyipit memandang Zoia. Ia tidak suka mendengarnya. “Bukan saya yang pengacau, tapi kamu. Kamu yang menghancurkan pernikahan saya sampai calon istri saya pergi. Nggak hanya itu, tapi dia juga membawa kabur uang saya, jadi kurang apa lagi kekacauan yang kamu buat?”
Zoia menahan napasnya. Javas selalu mengungkit-ungkit masalah tersebut, seakan pertanggungjawabannya tidak pernah cukup bagi laki-laki itu. Padahal pengorbanan Zoia juga tidak terhingga. Zoia bahkan merelakan dirinya untuk hidup bersama Javas.
"Saya ingatkan sekali lagi, di sini saya yang punya kuasa. Kamu nggak boleh membantah!” Javas memungkasi dengan nada suaranya yang tegas sembari menatap marah pada Zoia.
***
Zoia keluar dari kamar menuju ruang depan menemui Zico yang sedang menantinya. Melihat Zoia muncul Zico langsung berdiri dan bersiap-siap untuk pergi.“Co, sorry banget, kamu duluan ya, nanti aku nyusul ke sana,” kata Zoia tidak enak hati. Zico jauh-jauh menjemputnya.“Kenapa begitu?” tanya Zico heran. Hari ini ia dan Zoia sudah berjanji akan menemui temannya yang akan memakai jasa wedding organizer milik Zoia.“Aku berangkat sama suami dan harus ke kantor dulu. Setelah dari kantor aku baru ke sana. Nggak apa-apa kan?”“Nggak apa-apa.” Zico tersenyum pengertian lalu masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan Zoia hanya bisa memandangi kepergian lelaki itu dengan perasaan bersalah.Javas muncul tidak lama kemudian. Tanpa memedulikan Zoia ia masuk ke dalam mobilnya dan menyuruh supir agar segera berangkat.Melihat mobil Javas sudah bergerak, Zoia terkejut. Kenapa Javas tidak menunggunya?“Javas! Javas!” Zoia berteriak sekeras mungkin memanggil Javas, namun mobil yang membawa lelaki itu terus me
“Prilly?” Zoia mengulangi dengan dahi berkerut penuh tanda tanya. “Jadi kamu mau pura-pura lupa siapa aku?” kata Prilly ketika mendengar nada heran dari suara Zoia. Zoia sama sekali tidak lupa, ia hanya terkejut atas telepon tidak terduga dari mantan calon istri suaminya. “Nggak lupa, aku masih ingat kok. Ada apa ya, Pril? Ada yang bisa dibantu?” tanya Zoia ingin tahu apa tujuan perempuan itu menghubunginya. “Aku dengar kamu menggantikan posisiku. Apa itu benar?” Entah mengapa Zoia mendengar ada nada tidak suka dari suara Prilly. “Kenapa nggak dijawab?” ucap Prilly lagi ketika tidak mendengar respon apa pun dari Zoia. “Benar, aku yang menggantikanmu.” “Selamat kalau begitu. Gimana? Udah disiksa sama Javas?” “Maksudmu apa?” Zoia ingin diperjelas. “Jangan pura-pura bego, Zoia. Bukankah sebelumnya aku sudah katakan kalau Javas adalah psikopat? Makanya aku nggak mau menikah dengan dia. Hanya perempuan bodoh yang mau menikah dengan laki-laki seperti Javas.” Prilly mengejek Zoia de
Mobil berbelok memasuki komplek sebuah butik. Zoia ikut turun disaat Javas membuka pintu. Setelah perdebatan mereka tadi Zoia mengunci mulut. Ia tidak ingin berdebat dengan pria itu karena hasilnya Zoia yang selalu kalah. “Silakan, Pak, mau cari baju untuk siapa?” Penjaga butik yang ramah menyambut kedatangan keduanya. “Saya mau cari gaun malam untuk istri saya,” jawab Javas sambil merengkuh Zoia agar berdiri lebih rapat dengannya. Penjaga butik memindai tubuh Zoia dari puncak kepala hingga bawah kaki seakan sedang memikirkan gaun model apa yang pantas untuk perempuan itu. “Kalau yang ini Ibu suka?” tanyanya pada Zoia sambil menyodorkan tube dress berwarna nude. Zoia hampir saja menganggukkan kepala ketika Javas lebih dulu menjawab. “Jangan yang itu. Tolong kasih warna yang agak terang soalnya acaranya malam. Ada warna merah?” Zoia sontak melebarkan matanya menatap Javas. “Saya nggak mau pakai warna merah.” Ia menolak sebelum penjaga butik mengambilkannya. “Kenapa?” Javas meman
“Kenapa? Sedang mencari apa?” Suara Prilly menghentikan Zoia yang sejak tadi menatap ke sekitarnya seakan sedang mencari pertolongan. Zoia mengalihkan pandangannya pada Prilly. “Ada apa ya? Kok kayaknya kebetulan banget kita bisa ketemu di sini?” “Aku juga nggak tahu.” Prilly mengangkat bahunya. “Kamu udah ketemu Javas? Kamu nggak takut muncul kayak gini? Gimana kalau Javas melaporkan kamu karena membawa kabur uangnya?” Prilly tertawa lepas seakan baru saja mendengar sebuah lelucon yang membuatnya geli. “Harus berapa kali sih aku bilang? Javas itu pembohong. Aku sama sekali nggak melarikan uangnya. Jadi kenapa harus takut?” jawabnya ringan sambil mengembangkan kedua tangannya. Cara perempuan itu meyakinkan membuat Zoia kembali meragukan Javas dan memercayai Prilly. Kalau benar Prilly menipu dan membawa lari uang Javas tidak akan mungkin ia berani berkeliaran seperti saat ini. Logikanya begitu kan? “Aku ke sini karena kasihan sama kamu, Zoi. Aku takut Javas menyiksa kamu. Sebagai
Javas melepaskan diri dari dekapan Prilly. Ia harus pulang sekarang. Sudah terlalu lama ia berada di mobil perempuan itu. Padahal tadi ia menjanjikan hanya lima menit saja.“Jav, kamu mau ke mana?” Prilly menahan tangan Javas agar tidak pergi darinya.“Aku mau pulang, sudah malam.” Javas ingat jika tadi ia datang bersama Zoia. Mungkin Zoia sudah keluar dari toilet dan saat ini sedang menunggunya.“Tapi aku masih kangen sama kamu, Jav,” ujar Prilly dengan suara manjanya.“Besok kita kan bisa ketemu lagi, sekarang aku harus pulang. Zoia sudah menungguku.”Prilly mendengkus mendengar nama itu disebut. Katanya hanya pernikahan sementara, tapi dari kata-kata Javas sepertinya perempuan itu begitu berharga sampai-sampai Javas memedulikannya.“Jadi sekarang aku udah nggak ada artinya lagi buat kamu? Padahal seharusnya aku yang menjadi istri kamu, Jav,” ucap Prilly sedih dengan suara yang lirih. Dan itu membuat Javas tidak tahan.“Dia nggak ada apa-apanya, Prilly. Buat aku kamu jauh lebih bera
Zoia memasukkan ponsel ke dalam saku setelah selesai menerima telepon dari Prilly. Meski Zoia mencoba untuk tenang dan tidak memedulikan Javas, tak ayal kata-kata Prilly tadi bersarang di benaknya.Apa benar saat ini Javas sedang bersama perempuan lain dan menginap di sana?Zoia berbaring gelisah di tempat tidur dan mencoba memejamkan matanya. Namun ternyata hal tersebut adalah hal yang paling mustahil dilakukannya saat ini.Tidak tahan lagi, Zoia bangkit dari ranjangnya lalu keluar dari kamar. Zoia tidak tahu harus ke mana dan melakukan apa tengah malam begini. Begitu melihat kamar Javas yang terletak di sebelah kamarnya, Zoia melangkahkan kaki ke sana. Ia termangu di depan pintu kamar itu bermenit-menit lamanya.Dengan perasaan ragu Zoia memutar knop. Setelah daun pintu terbuka Zoia melangkah masuk ke kamar itu. Zoia tidak tahu entah apa reaksi Javas jika tahu dirinya berada di sana tanpa sepengetahuan lelaki itu. Biasanya Zoia baru ke kamar Javas hanya untuk membersihkannya.Duduk
Pagi itu Javas terbangun lebih dulu. Sementara Prilly masih meringkuk di bawah selimut dan tampak pulas dalam tidurnya. Jika saja tidak ingat jika hari ini harus kerja, Javas masih ingin berlama-lama membagi kehangatan dengan perempuan itu.Javas bergerak sepelan mungkin agar tidak membangunkan Prilly. Akan tetapi, baru saja ia akan menyingkap selimut, Prilly menahan dengan melingkarkan tangannya ke tubuh Javas.“Mau ke mana, Jav?” Suara Prilly terdengar serak khas bangun tidur.“Kamu udah bangun?” balas Javas retoris. “Aku pulang ya? Hari ini harus ngantor.”Prilly menggelengkan kepalanya. “Jangan.”“Kenapa jangan?”“Aku masih kangen …”Javas tersenyum sambil membelai kepala Prilly. “Aku juga, tapi kita kan masih bisa ketemu.”“Janji ya?”“Iya, janji.”Barulah Prilly melepaskan Javas.Selagi Javas mandi Prilly bergerak ke belakang menyediakan sarapan bagi mereka berdua.Dua mangkuk oatmeal dengan taburan buah kering sudah tersedia begitu Javas selesai mandi. Makanan kesukaan mereka b
Zoia terkulai lemas di dalam pelukan Javas. Ia betul-betul tidak berdaya. Kepala pusing, pandangan berkunang-kunang serta beban berat yang ditanggungnya merupakan kombinasi yang membuat perempuan itu semakin lemah.Javas membaringkan Zoia di ranjang. Lalu dipanggilnya Reno dan meminta agar asistennya itu menghubungi dokter pribadi keluarga Mahanta.“Suruh dia datang sekarang. Cepat!” Entah mengapa melihat muka pucat Zoia membuat Javas menjadi khawatir. Hal yang sama sekali tidak direncanakannya.“Baik, Pak, saya akan telepon dokter Riki sekarang,” jawab Reno patuh, lalu mencari nomor dimaksud di dalam daftar kontak ponselnya. Ia memeng menyimpan nomor-nomor orang penting di sana, agar jika ada apa-apa bisa langsung dihubungi.Selagi Reno menelepon, Javas memandang Zoia dari jauh. Perempuan itu berbaring lemas dengan mata terpejam. Apa sekarang dia benar-benar pingsan?Javas kemudian mendekat dan duduk di pinggir ranjang. Ragu-ragu diulurkannya tangan untuk meraba dahi Zoia.Hangat.Te