“Kenapa? Sedang mencari apa?” Suara Prilly menghentikan Zoia yang sejak tadi menatap ke sekitarnya seakan sedang mencari pertolongan.
Zoia mengalihkan pandangannya pada Prilly. “Ada apa ya? Kok kayaknya kebetulan banget kita bisa ketemu di sini?”
“Aku juga nggak tahu.” Prilly mengangkat bahunya.
“Kamu udah ketemu Javas? Kamu nggak takut muncul kayak gini? Gimana kalau Javas melaporkan kamu karena membawa kabur uangnya?”
Prilly tertawa lepas seakan baru saja mendengar sebuah lelucon yang membuatnya geli. “Harus berapa kali sih aku bilang? Javas itu pembohong. Aku sama sekali nggak melarikan uangnya. Jadi kenapa harus takut?” jawabnya ringan sambil mengembangkan kedua tangannya.
Cara perempuan itu meyakinkan membuat Zoia kembali meragukan Javas dan memercayai Prilly. Kalau benar Prilly menipu dan membawa lari uang Javas tidak akan mungkin ia berani berkeliaran seperti saat ini. Logikanya begitu kan?
“Aku ke sini karena kasihan sama kamu, Zoi. Aku takut Javas menyiksa kamu. Sebagai sesama wanita aku nggak mau itu terjadi. Aku heran, kamu kok mau ya gantiin aku menikah dengan dia? Aku aja nggak mau. Atau … apa jangan-jangan kamu mau menikah dengan Javas karena dia kaya?” Prilly memandang Zoia dengan tatapan miring.
“Bukan!” Zoia menyahut cepat lalu menyanggah tudingan perempuan itu. “Aku menikah dengan dia karena terpaksa. Javas mengancam akan menuntut WO-ku kalau nggak mau bertanggung jawab dengan cara menggantikan kamu. Lagian pernikahan kami hanya sementara, bukan selamanya. “
“Oh ya? Atas dasar apa kamu bilang begitu?” Prilly merasa tertarik untuk mengetahuinya.
“Ada surat perjanjiannya. Disitu dinyatakan kalau pernikahanku dengan Javas hanya sementara.” Zoia yang baik dan sedikit naif tanpa sadar berucap dengan jujur. Apalagi Prilly berhasil meyakinkannya bahwa Javas bukanlah lelaki yang baik.
“Jadi pernikahan sementara kalian sampai berapa lama? Kapan kalian akan bercerai?” tanya Prilly antusias.
“Javas bilang sekitar satu tahun. Tapi aku kurang tahu tepatnya. Semua keputusan ada di tangan dia.”
Prilly manggut-manggut. "Tuh kan, kamu sudah buktikan sendiri betapa egoisnya dia. Masa kamu nggak dikasih kepastian. Aku yakin kalau Javas hanya ingin main-main menikahimu. Dia itu bajingan." Lalu perempuan itu menggenggam tangan Zoia dan menatapnya dengan lekat. “Zoia, sebaiknya kamu berhati-hati dengan Javas. Desak dia agar segera mengakhiri pernikahan kalian. Aku kasihan melihat kamu. Aku nggak mau sesuatu yang buruk terjadi padamu. Okay, Dear?”
“Tapi gimana caranya? Aku sudah tandatangani surat itu. Aku nggak mau Javas menuntut WO-ku.”
“Caranya gampang.” Prilly menjentikkan jarinya. “Kamu tinggal cari gara-gara, Javas pasti menceraikanmu karena dia nggak suka sama perempuan yang banyak tingkah.” Prilly menutup kalimatnya sambil membelai pipi Zoia. Perempuan itu lalu pergi dari toilet meninggalkan Zoia sendiri.
Zoia termangu. Kata-kata Prilly berhasil meracuninya.
***
Javas memandang arlojinya. Sudah sejak tadi laki-laki itu melakukan hal yang sama. Javas menunggu Zoia yang tidak kunjung muncul dari toilet, padahal acara sudah berakhir.
“Javas!” Sebuah tepukan di pundaknya serta suara seseorang yang menyebut namanya membuat Javas langsung memutar kepala, memandang ke belakang. Ia terkejut ketika menyaksikan sendiri dengan matanya siapa yang berdiri di sana. Prilly! Mantan calon istrinya yang telah menghancurkan hatinya.
“Prilly ...” Javas menggumam pelan.
Rasa rindu yang tiba-tiba membuncah membuat Javas ingin membawa perempuan itu ke dalam pelukannya. Namun akal sehatnya mengingatkan akan segala tingkah dan perbuatan buruk perempuan itu.
“Akhirnya kamu muncul juga. Udah lelah sembunyi?” Javas menahan emosinya meskipun saat ini ia ingin meluapkan segalanya.
“Jav, tolong jangan marah dulu. Aku akan jelaskan semuanya. Setelah itu kamu boleh melakukan apa saja.”
“Apa yang mau kamu jelaskan, hah? Kamu pergi di hari pernikahan kita, membuatku malu dan melarikan uangku. Itu yang mau kamu jelaskan?”
“Jav, aku punya penjelasan untuk semua itu. Aku mohon kasih aku waktu untuk menjelaskannya,” pinta Prilly dengan lirih sambil memasang wajah sedih agar Javas luluh.
Javas mendengkus. Awalnya ia menolak, namun Prilly tidak menyerah untuk meluluhkannya.
“Please, kasih aku sedikit waktu. Setelahnya terserah kamu mau percaya apa tidak.” Prilly menangkupkan kedua telapak tangannya di dada memohon pada Javas dengan tampang menyedihkan seperti tadi.
Javas pikir apa salahnya ia memberi sedikit kesempatan pada Prilly. Ia ingin tahu untuk apa perempuan itu melarikan uangnya. Jika Prilly butuh uang seharusnya bisa mengatakan langsung kepada Javas.
“Aku kasih waktu, tapi cuma lima menit,” ucap Javas tegas.
Prilly mengangguk dan tampak senang karena Javas mengabulkan permintaannya.
“Di mobilku tapi ya biar ngomongnya enak.”
Prilly membawa Javas ke dalam mobilnya yang terparkir di paling sudut area parkir kendaraan.
“Jav, aku minta maaf. Sebenarnya aku pergi waktu itu karena terpaksa. Aku diancam.” Prilly memulai penjelasannya.
“Diancam siapa?” tanya Javas dengan dahi berkerut.
“Debt collector.”
“Tapi kamu nggak pernah cerita. Memangnya kamu punya utang?” ujar Javas heran.
“Bukan aku, tapi orang tuaku dulu. Itu sebabnya aku pergi membawa uangmu.”
“Tapi kamu bisa mengatakannya tanpa harus kabur. Aku pasti membantu selagi bisa."
“Aku malu, Jav. Aku nggak mau kamu menganggapku matre. Dan akhirnya aku sadar ternyata caraku itu lebih salah. Aku jadi kehilangan kamu. Aku menyesal,” ucap Prilly dengan mata berkaca-kaca.
Javas membisu sambil memandangi Prilly yang menangis di dekatnya. Ia hampir tidak pernah melihat perempuan itu menangis. Dan jika sekarang dia menitikkan air mata bukankah artinya dia tidak berbohong?
Prilly mendekat lalu melingkarkan tangannya ke tubuh Javas serta menyandarkan kepala ke dada laki-laki itu.
“Aku menyesal pergi waktu itu. Aku memang bodoh. Dan sekarang aku sudah kehilangan kamu.” Perempuan itu menangis sesenggukan.
Javas menghela napas panjang. Sejujurnya ia masih mencintai Prilly. Setelah mendengar penjelasan Prilly tadi mengenai alasan kepergiannya Javas pun luluh. Lamat-lamat tangannya terangkat membalas dekapan Prilly di tubuhnya. Lalu dikecupnya puncak kepala perempuan itu dengan perasaan cinta yang masih tersisa.
***
Javas melepaskan diri dari dekapan Prilly. Ia harus pulang sekarang. Sudah terlalu lama ia berada di mobil perempuan itu. Padahal tadi ia menjanjikan hanya lima menit saja.“Jav, kamu mau ke mana?” Prilly menahan tangan Javas agar tidak pergi darinya.“Aku mau pulang, sudah malam.” Javas ingat jika tadi ia datang bersama Zoia. Mungkin Zoia sudah keluar dari toilet dan saat ini sedang menunggunya.“Tapi aku masih kangen sama kamu, Jav,” ujar Prilly dengan suara manjanya.“Besok kita kan bisa ketemu lagi, sekarang aku harus pulang. Zoia sudah menungguku.”Prilly mendengkus mendengar nama itu disebut. Katanya hanya pernikahan sementara, tapi dari kata-kata Javas sepertinya perempuan itu begitu berharga sampai-sampai Javas memedulikannya.“Jadi sekarang aku udah nggak ada artinya lagi buat kamu? Padahal seharusnya aku yang menjadi istri kamu, Jav,” ucap Prilly sedih dengan suara yang lirih. Dan itu membuat Javas tidak tahan.“Dia nggak ada apa-apanya, Prilly. Buat aku kamu jauh lebih bera
Zoia memasukkan ponsel ke dalam saku setelah selesai menerima telepon dari Prilly. Meski Zoia mencoba untuk tenang dan tidak memedulikan Javas, tak ayal kata-kata Prilly tadi bersarang di benaknya.Apa benar saat ini Javas sedang bersama perempuan lain dan menginap di sana?Zoia berbaring gelisah di tempat tidur dan mencoba memejamkan matanya. Namun ternyata hal tersebut adalah hal yang paling mustahil dilakukannya saat ini.Tidak tahan lagi, Zoia bangkit dari ranjangnya lalu keluar dari kamar. Zoia tidak tahu harus ke mana dan melakukan apa tengah malam begini. Begitu melihat kamar Javas yang terletak di sebelah kamarnya, Zoia melangkahkan kaki ke sana. Ia termangu di depan pintu kamar itu bermenit-menit lamanya.Dengan perasaan ragu Zoia memutar knop. Setelah daun pintu terbuka Zoia melangkah masuk ke kamar itu. Zoia tidak tahu entah apa reaksi Javas jika tahu dirinya berada di sana tanpa sepengetahuan lelaki itu. Biasanya Zoia baru ke kamar Javas hanya untuk membersihkannya.Duduk
Pagi itu Javas terbangun lebih dulu. Sementara Prilly masih meringkuk di bawah selimut dan tampak pulas dalam tidurnya. Jika saja tidak ingat jika hari ini harus kerja, Javas masih ingin berlama-lama membagi kehangatan dengan perempuan itu.Javas bergerak sepelan mungkin agar tidak membangunkan Prilly. Akan tetapi, baru saja ia akan menyingkap selimut, Prilly menahan dengan melingkarkan tangannya ke tubuh Javas.“Mau ke mana, Jav?” Suara Prilly terdengar serak khas bangun tidur.“Kamu udah bangun?” balas Javas retoris. “Aku pulang ya? Hari ini harus ngantor.”Prilly menggelengkan kepalanya. “Jangan.”“Kenapa jangan?”“Aku masih kangen …”Javas tersenyum sambil membelai kepala Prilly. “Aku juga, tapi kita kan masih bisa ketemu.”“Janji ya?”“Iya, janji.”Barulah Prilly melepaskan Javas.Selagi Javas mandi Prilly bergerak ke belakang menyediakan sarapan bagi mereka berdua.Dua mangkuk oatmeal dengan taburan buah kering sudah tersedia begitu Javas selesai mandi. Makanan kesukaan mereka b
Zoia terkulai lemas di dalam pelukan Javas. Ia betul-betul tidak berdaya. Kepala pusing, pandangan berkunang-kunang serta beban berat yang ditanggungnya merupakan kombinasi yang membuat perempuan itu semakin lemah.Javas membaringkan Zoia di ranjang. Lalu dipanggilnya Reno dan meminta agar asistennya itu menghubungi dokter pribadi keluarga Mahanta.“Suruh dia datang sekarang. Cepat!” Entah mengapa melihat muka pucat Zoia membuat Javas menjadi khawatir. Hal yang sama sekali tidak direncanakannya.“Baik, Pak, saya akan telepon dokter Riki sekarang,” jawab Reno patuh, lalu mencari nomor dimaksud di dalam daftar kontak ponselnya. Ia memeng menyimpan nomor-nomor orang penting di sana, agar jika ada apa-apa bisa langsung dihubungi.Selagi Reno menelepon, Javas memandang Zoia dari jauh. Perempuan itu berbaring lemas dengan mata terpejam. Apa sekarang dia benar-benar pingsan?Javas kemudian mendekat dan duduk di pinggir ranjang. Ragu-ragu diulurkannya tangan untuk meraba dahi Zoia.Hangat.Te
Javas mengembuskan napas panjang setelah membaca pesan dari Prilly. Lalu bola matanya pindah pada sang Istri yang berbaring di ranjangnya. Zoia masih di posisi semula. Tidur tenang tanpa gangguan. Tapi tetap saja Javas tidak berani meninggalkannya."Iya, sebentar lagi aku ke sana. Sabar dulu ya!"Javas meletakkan ponselnya di meja setelah membalas pesan dari sang mantan. Ia bisa saja pergi sekarang dan meninggalkan istrinya sendiri. Sebelum sempat melaksanakan niat itu, sesuatu melintas di pikirannya. Bagaimana nanti kalau Zoia bangun? Bagaimana kalau perempuan itu pingsan lagi?Javas memutuskan untuk tetap menemani Zoia di rumah. Ia baru ingat tidak ada makanan apa pun untuk disantap. Padahal tadi kata dokter Zoia harus makan dulu sebelum minum obat.Meninggalkan kamar, Javas menuju ruang belakang. Barangkali ada sesuatu yang bisa dimakan tanpa perlu diolah.Javas berdecak pelan ketika mendapati semua bahan yang ada di sana hanyalah bahan-bahan mentah yang harus diolah lagi agar bisa
Javas masih belum muncul setelah membalas pesan dari Prilly tadi. Hingga waktu berlalu lebih dari satu jam kemudian. Ketika Prilly menghubunginya Javas tidak menjawab sama sekali. Tentu saja Prilly jengkel lantaran diabaikan begitu saja. Perempuan itu memutuskan untuk langsung datang ke kantor Javas.“Prilly?!” Kinar terkejut ketika melihat mantan kekasih sang atasannya berada tepat di hadapannya.Prilly tersenyum masam sambil memindai sekretaris Javas itu dengan tatapan menilai. Dulu saat kerja di kantor Javas, Prilly dan Kinar sangat berlawanan dan sering bertengkar.Prilly kemudian mendengkus dan melenggang manja menuju ruangan Javas.Membuka ruang kerja sang mantan, Prilly mendapatinya dalam keadaan kosong melompong. Tidak ada Javas atau siapa pun di sana.Ketika memutar tubuh hendak keluar dari sana, ternyata Kinar sudah berada di dekatnya dan langsung mengomeli Prilly.“Kebiasaan banget masuk ruangan orang nggak minta izin. Lancang ya kamu!”“Lho, kenapa jadi situ yang sewot?” b
Zoia menelan saliva yang tiba-tiba terasa pahit setelah mendengar ucapan Javas.“Kalau memang kita harus berpisah kenapa bukan dari sekarang saja?” Zoia pikir untuk apa terlalu lama mengulur waktu. Mumpung hubungan mereka masih terlalu baru. Dan mumpung perasaan mereka belum sama-sama tumbuh.“Dengar, Zoia, saya ini pengusaha ternama. Orang-orang mengenal saya memiliki reputasi yang baik. Lalu jika tiba-tiba sekarang kita bercerai sedangkan kita baru menikah seumur jagung, apa menurutmu itu baik?”Zoia diam saja, akan tetapi di relung hati memikirkan kata-kata Javas. Lelaki itu tidak salah. Jika mereka berpisah di saat-saat sekarang tentu akan menimbulkan efek negatif.Tapi … jika terlalu lama hidup bersama lelaki itu di bawah satu atap, justru hatinya yang tidak akan baik-baik saja.Zoia akui jika perasaannya yang halus mudah tersentuh oleh sikap manis sekecil apa pun, termasuk yang dilakukan Javas padanya tadi.“Kira-kira berapa lama lagi waktunya kita akan bercerai?” Zoia ingin kep
Javas masih dengan wajah dingin ketika Zico berjalan menghampirinya. Langkah lelaki itu setegap badannya.“Siang, saya mau ketemu Zoia, katanya dia sakit,” kata Zico dengan sopan.“Dia memang sedang sakit dan butuh banyak istirahat,” jawab Javas datar. Ia harap setelah mendengarnya Zico akan langsung angkat kaki.Zico mengernyit. Javas sama sekali tidak mempersilakannya masuk.“Bisa bertemu Zoia sebentar? Saya mau kasih ini.” Zico menunjukkan kantong makanannya pada Javas.“Apa itu?” Javas melirik kantong tersebut dengan tatapan tidak suka.“Ini soto. Tadi Zoia minta beliin ini sama saya.”“Bawa saja pulang. Istri saya sedang sakit dan kata dokter nggak boleh makan makanan sembarangan, apalagi yang nggak higienis kayak gitu.”To be honest, Zico agak tersinggung mendengarnya. Ia juga tidak mungkin membelikan Zoia makanan sembarangan. Dan tolong, jangan ajarkan dia mengenai kebersihan. Ia lebih dari tahu akan hal tersebut.“Maaf, ini bukan makanan sembarangan. Saya juga peduli pada kese
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.