Javas masih dengan wajah dingin ketika Zico berjalan menghampirinya. Langkah lelaki itu setegap badannya.“Siang, saya mau ketemu Zoia, katanya dia sakit,” kata Zico dengan sopan.“Dia memang sedang sakit dan butuh banyak istirahat,” jawab Javas datar. Ia harap setelah mendengarnya Zico akan langsung angkat kaki.Zico mengernyit. Javas sama sekali tidak mempersilakannya masuk.“Bisa bertemu Zoia sebentar? Saya mau kasih ini.” Zico menunjukkan kantong makanannya pada Javas.“Apa itu?” Javas melirik kantong tersebut dengan tatapan tidak suka.“Ini soto. Tadi Zoia minta beliin ini sama saya.”“Bawa saja pulang. Istri saya sedang sakit dan kata dokter nggak boleh makan makanan sembarangan, apalagi yang nggak higienis kayak gitu.”To be honest, Zico agak tersinggung mendengarnya. Ia juga tidak mungkin membelikan Zoia makanan sembarangan. Dan tolong, jangan ajarkan dia mengenai kebersihan. Ia lebih dari tahu akan hal tersebut.“Maaf, ini bukan makanan sembarangan. Saya juga peduli pada kese
Prilly yang sedang leyeh-leyeh di tempat tidur sambil main ponsel melirik ke arah pintu saat mendengar ketukan di sana.‘Dasar pembantu rese!” Ia mengumpat di dalam hati. Prilly pikir yang saat ini sedang mengetuk pintu kamar tersebut adalah asisten rumah tangga di rumah itu.Tok … tok … tok …Ketukan itu terdengar lagi. Suaranya menggema memenuhi kamar yang sepi.Sekali lagi Prilly menoleh ke arah pintu. Suara itu terasa menganggu ketenangannya dan membuat Prilly hampir saja mengomel. Belum ia melakukannya, terdengar suara perempuan dari arah luar.“Prilly! Buka pintunya!”Prilly terkesiap dan terduduk saat itu juga. Itu suara Rosella. Ternyata mantan calon mertuanya sudah pulang.Prilly segera turun dari tempat tidur dan berjalan tergesa untuk membuka pintu. Begitu daun pintu terbuka Prilly langsung memasang wajah sedihnya.“Sedang apa di sini, Prilly?” tanya Rosella dengan suaranya yang tegas. Ia tidak suka atas tindakan yang dilakukan Prilly. Setelah pergi di hari pernikahan menin
Zoia masuk ke kamarnya dan melakukan yang dikatakan Javas padanya tadi. Bersiap-siap dan mengenakan pakaian terbaiknya. Di dalam hati ia berpikir sendiri ke mana kali ini Javas akan membawanya. Semoga saja lelaki itu tidak akan mengerjainya lagi seperti dulu. Zoia tidak menghitung entah sudah berapa kali lelaki itu melakukan 'kejahatan' padanya.Membuka lemari, Zoia menyapukan mata pada aneka tumpukan pakaiannya. Zoia berpikir sejenak baju mana yang akan digunakannya. Seperti yang dikatakan Javas tadi ia tidak boleh berpenampilan sembarangan yang akan membuat lelaki itu malu.Zoia mengambil beberapa helai lalu mencoba satu demi satu. Setelah terpasang di badannya, Zoia mematut diri di cermin. Mulai dari midi dress motif floral, jeans serta blouse, hingga Zoia menjatuhkan pilihannya pada maxy dress warna broken white yang tertutup. Zoia tidak tahu Javas akan membawanya ke mana dan menghadiri acara apa. Jadi Zoia memilih aman dengan memakai pakaian yang cukup sopan.Zoia keluar dari kam
Zoia sadar ini semua hanya drama. Seharusnya ia tidak perlu memasukkan ke hati. Nyatanya ia benar-benar merasa tersentuh.Zoia menggelengkan kepala. Mencoba membantah perasaan aneh itu. Tapi ternyata sulit. Zico juga pernah mengusap pundaknya, tapi Zoia tidak merasa apa-apa. Tidak ada vibrasi atau efek kejut. Sedangkan saat Javas yang melakukannya, efeknya begitu dramatis. Sentuhan itu begitu magical.Saat Zoia sedang mati-matian mengenyahkan perasaan gugup akibat sikap manis Javas, seorang lelaki berbadan tegap, tinggi, dan gagah muncul ke ruang makan. Lelaki itu melirik Javas sekilas sebelum kemudian tatapannya menetap di wajah Zoia.Zoia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum sopan. Senyumannya berbalas. Setelah menelaah wajah lelaki itu, Zoia mengira pasti dia adalah kakak Javas. Zoia tahu dari struktur dan garis wajahnya yang terkesan matang. Zoia tidak akan mengingkari jika lelaki itu berwajah gagah. Hanya saja di mata Zoia Javas jauh lebih kharismatik. Yaaa … meskipun Javas s
Zoia membalas senyuman Zach padanya.“Maaf mengganggu, sedang apa?” tanyanya. Zoia tidak mau kehadirannya membuat Zach merasa terusik.“Lagi motret langit. Ayo duduk.” Zach menggeser posisinya, memberikan tempat untuk Zoia.Zoia lalu duduk di samping Zach dan terdiam selama beberapa detik ketika Zach kembali sibuk dengan kameranya. Zach terlihat sangat menikmati aktivitasnya itu.Zoia turut menengadah memandangi langit malam. Malam ini sangat indah. Bintang-bintang bertaburan dan berkerlip-kerlip kecil. Membuat pemandangan itu tampak begitu estetik.“Kamu suka?” Tiba-tiba Zach menurunkan kameranya dan bertanya pada Zoia.“Eh, apa?” Zoia tergagap. Ia terlalu fokus memandangi langit sehingga tidak sadar bahwa Zach sedang bicara padanya.“Kamu suka pemandangannya?” Zach mengulang pertanyaannya dengan lebih jelas.“Suka sekali.” Zoia menjawab.“Nih.” Zach memberikan kameranya pada Zoia agar perempuan itu bisa melihat hasil bidikannya tadi.Zoia mengamati dengan saksama satu demi satu foto
Javas menarik hand brake dengan gerakan sedikit keras kemudian meninggalkan rumah Rosella. Selama beberapa menit pertama Javas mengunci mulut. Ia mencoba keras agar tidak berbicara dengan Zoia. Namun pertahanannya tidak lebih dari sepuluh menit. Rasa penasaran yang dalam membuatnya terdorong untuk bertanya.“Tadi Zach ngomong apa saja sama kamu?”Pertanyaan itu membuat Zoia memandang ke arah laki-laki itu.“Ngomong biasa aja.”“Bisa kamu ceritakan yang biasa itu apa saja?”Perkataan Javas membuat Zoia menegakkan duduknya. Terlalu banyak yang dibicarakannya dengan Zach tadi. Ia tidak tahu harus memulainya dari mana.“Kami cuma membicarakan kehidupan sehari-hari, nggak lebih.”“Ceritakan dengan detail, aku ingin tahu kehidupan sehari-hari mana yang kamu maksud.”“Ya banyak. Saya nggak bisa jelasin satu demi satu. Lagian kenapa sih kamu nanyanya seolah saya pelaku kriminal?” tanya Zoia penasaran. Sejak kapan memangnya Javas memedulikannya.“Mulai sekarang berhenti memanggil saya. Kita ti
Pagi itu berjalan seperti biasa. Sama seperti hari-hari sebelumnya rutinitas Zoia adalah melayani Javas.Javas duduk di kursi makan dengan kedua tangan terlipat di atas meja. Meski mulutnya terkatup rapat, namun sepasang matanya mengekori Zoia.“Ini kopinya.” Zoia meletakkan secangkir kopi hangat tepat di hadapan Javas.Pria itu memandang tanpa minat pada cairan berwarna hitam itu, lalu mengaduknya dengan ekspresi yang sama.Mengangkat cangkir kopi, Javas meniup perlahan uap panas yang masih mengepul sebelum menyesapnya.“Kurang manis, ganti lagi.”Zoia yang duduk di kursi berbeda mengernyit mendengarnya. Seingatnya, tadi Zoia membuatkan kopi dengan takaran yang sama seperti biasa. Baik itu gula maupun bubuk kopinya.Zoia akan meraih cangkir kopi untuk dibawa. Gerakannya tertahan karena Javas lebih dulu mencegah.“Mau dibawa ke mana?”“Mau ditambahin gula tapi kan?”“Ganti dengan yang baru.”“Ganti?” Zoia mengernyit lagi. Jika kurang manis seharusnya hanya ditambah gula. “Kenapa harus
Zoia baru saja turun dari taksi. Hari ini ia sengajak tidak memakai sepeda motornya karena gerimis mulai turun begitu ia keluar dari rumah. Sebenarnya Zoia memiliki mobil, hanya saja sejak pernah mengalami kecelakaan Zoia sedikit trauma untuk menyetir sendiri.“Suit … suit …”Zoia terperanjat ketika mendengar suara itu. Siulan tersebut menghentikan langkahnya. Zoia memandang ke belakang dan mendapati Zach baru saja turun dari mobilnya.Tanpa sadar Zoia tersenyum. Zach menyiulinya seakan Zoia adalah seorang remaja putri. Zoia menunggu sampai Zach mendekat dan mensejajarkan langkah dengannya.“Kamu naik taksi, Zoi?” Tadi Zach melihat dari mobilnya Zoia turun dari taksi.“Iya.”“Aku pikir kamu bawa mobil sendiri. Tahu begitu mending tadi kujemput aja kali ya? Eh, sorry, aku lupa. Kamu kan ada herdernya.”Zoia tertawa mendengar kata-kata Zach. Zoia tidak bisa membayangkan seperti apa reaksi Javas seandainya tahu julukan sang adik untuknya.“Kenapa berangkat sendiri? Nggak bareng dia?” tan