Javas menarik hand brake dengan gerakan sedikit keras kemudian meninggalkan rumah Rosella. Selama beberapa menit pertama Javas mengunci mulut. Ia mencoba keras agar tidak berbicara dengan Zoia. Namun pertahanannya tidak lebih dari sepuluh menit. Rasa penasaran yang dalam membuatnya terdorong untuk bertanya.“Tadi Zach ngomong apa saja sama kamu?”Pertanyaan itu membuat Zoia memandang ke arah laki-laki itu.“Ngomong biasa aja.”“Bisa kamu ceritakan yang biasa itu apa saja?”Perkataan Javas membuat Zoia menegakkan duduknya. Terlalu banyak yang dibicarakannya dengan Zach tadi. Ia tidak tahu harus memulainya dari mana.“Kami cuma membicarakan kehidupan sehari-hari, nggak lebih.”“Ceritakan dengan detail, aku ingin tahu kehidupan sehari-hari mana yang kamu maksud.”“Ya banyak. Saya nggak bisa jelasin satu demi satu. Lagian kenapa sih kamu nanyanya seolah saya pelaku kriminal?” tanya Zoia penasaran. Sejak kapan memangnya Javas memedulikannya.“Mulai sekarang berhenti memanggil saya. Kita ti
Pagi itu berjalan seperti biasa. Sama seperti hari-hari sebelumnya rutinitas Zoia adalah melayani Javas.Javas duduk di kursi makan dengan kedua tangan terlipat di atas meja. Meski mulutnya terkatup rapat, namun sepasang matanya mengekori Zoia.“Ini kopinya.” Zoia meletakkan secangkir kopi hangat tepat di hadapan Javas.Pria itu memandang tanpa minat pada cairan berwarna hitam itu, lalu mengaduknya dengan ekspresi yang sama.Mengangkat cangkir kopi, Javas meniup perlahan uap panas yang masih mengepul sebelum menyesapnya.“Kurang manis, ganti lagi.”Zoia yang duduk di kursi berbeda mengernyit mendengarnya. Seingatnya, tadi Zoia membuatkan kopi dengan takaran yang sama seperti biasa. Baik itu gula maupun bubuk kopinya.Zoia akan meraih cangkir kopi untuk dibawa. Gerakannya tertahan karena Javas lebih dulu mencegah.“Mau dibawa ke mana?”“Mau ditambahin gula tapi kan?”“Ganti dengan yang baru.”“Ganti?” Zoia mengernyit lagi. Jika kurang manis seharusnya hanya ditambah gula. “Kenapa harus
Zoia baru saja turun dari taksi. Hari ini ia sengajak tidak memakai sepeda motornya karena gerimis mulai turun begitu ia keluar dari rumah. Sebenarnya Zoia memiliki mobil, hanya saja sejak pernah mengalami kecelakaan Zoia sedikit trauma untuk menyetir sendiri.“Suit … suit …”Zoia terperanjat ketika mendengar suara itu. Siulan tersebut menghentikan langkahnya. Zoia memandang ke belakang dan mendapati Zach baru saja turun dari mobilnya.Tanpa sadar Zoia tersenyum. Zach menyiulinya seakan Zoia adalah seorang remaja putri. Zoia menunggu sampai Zach mendekat dan mensejajarkan langkah dengannya.“Kamu naik taksi, Zoi?” Tadi Zach melihat dari mobilnya Zoia turun dari taksi.“Iya.”“Aku pikir kamu bawa mobil sendiri. Tahu begitu mending tadi kujemput aja kali ya? Eh, sorry, aku lupa. Kamu kan ada herdernya.”Zoia tertawa mendengar kata-kata Zach. Zoia tidak bisa membayangkan seperti apa reaksi Javas seandainya tahu julukan sang adik untuknya.“Kenapa berangkat sendiri? Nggak bareng dia?” tan
Taksi yang membawa Zoia menurunkannya tepat di depan kantor Javas. Zoia setengah berlari demi menghindari gerimis yang belum berhenti. Di sela langkahnya memasuki gedung Zoia teringat pada Zach serta Khanza. Mungkin saat ini mereka sudah tiba di pantai dan mandi gerimis di sana. Kliennya ingin foto pre wedding di pinggir pantai dalam keadaan gerimis agar lebih estetik. Begitu katanya.“Selamat pagi, Ibu Zoia!”Langkah Zoia terhenti tepat di sisi lobi ketika mendengar sapaan ramah yang ditujukan padanya. Ia tidak mengira jika ada yang mengenalinya di sini.Zoia memandang ke arah kiri dan mendapati seorang perempuan tersenyum padanya dari balik counter resepsionis.“Pagi, Mbak …” Zoia menjawab tidak kalah ramah.“Bapak Javas sudah menunggu Ibu dari tadi, mari saya antar Ibu ke ruangannya.”“Nggak usah, Mbak, saya bisa sendiri kok,” jawab Zoia menolak. Ia tidak terbiasa diperlakukan dengan istimewa.“Tidak apa-apa kok, Bu. Tadi Bapak berpesan pada saya agar mengantar Ibu ke ruangannya ka
Dari tadi entah sudah berapa kali Javas membuat jantung Zoia meloncat-loncat. Namun puncaknya adalah ketika Javas meminta agar Zoia tidur di kamarnya.Setelah membaringkan Zoia di ranjang Javas keluar dari sana. Untuk sesaat ia merasa bingung harus bagaimana. Masih ada yang harus dilakukannya di kantor, tapi ia juga tidak mungkin meninggalkan Zoia sendiri di rumah. Di saat-saat seperti ini Javas menyesali tindakannya yang telah memberhentikan semua pekerja di rumah itu.Alhasil setelah bergumul dengan pikiran panjang Javas memutuskan untuk tetap berada di rumah.Zoia tampak sedang berbicara di telepon dengan seseorang ketika Javas kembali ke kamar dan mencuri dengar dari balik pintu. Tapi Javas tidak tahu Zoia yang menelepon atau menerima telepon. Javas tetap berdiri di sana. Ia ingin tahu dengan siapa istrinya berbicara.“Kayaknya gue nggak bakal balik lagi deh, Ca. Kaki gue sakit banget. Javas juga nggak ngizinin gue ke mana-mana.” Terdengar suara Zoia.‘Ca? Siapa Ca itu?’ tanya Jav
Zoia tercenung.Jadi … mereka betul-betul akan berpisah. Ia akan kehilangan Javas sebentar lagi. Mereka akan kembali menjalani kehidupan masing-masing. Tiba- tiba saja Zoia merasa dadanya sangat sesak membayangkan semua itu.Zoia bangun dari berbaring lalu duduk sambil menyandarkan punggungnya ke headboard.Javas ikut bangun dan duduk memosisikan dirinya di sebelah Zoia. Pria itu tidak berkata apa-apa. Hanya bola matanya yang berekspresi menatap Zoia dengan tatapan sangat mesra, yang membuat Zoia menjadi salah tingkah.Zoia menundukkan kepala, menyembunyikan muka dari pesona Javas yang terasa sangat menyiksa. Di saat itulah kesadaran memberitahu Zoia, bahwa dirinya benar-benar sudah jatuh cinta pada seorang Javas Mahanta, suaminya sendiri.Javas mengangkat dagu Zoia dengan ujung telunjuknya sehingga wajah mereka saling bertatapan. Javas memamerkan senyum lembutnya yang membuat Zoia langsug lumer.“Aku nggak akan memaksa, itu bukan sifatku. Laki-laki sejati tidak akan pernah memaksa wa
Javas memandangi Zoia yang sudah terlelap dalam pelukannya. Perempuan itu betul-betul polos. Tingkahnya membuat Javas terharu sendiri. Zoia dengan patuhnya melakukan apa saja yang Javas suruh tanpa protes. Jauh berbeda dengan Prilly yang suka membantah dan sering berdebat dengan Javas.Andai saja Prilly bisa seperti Zoia …Javas menepis Zoia pelan-pelan dari dekapannya ketika ponselnya berbunyi. Seperti dugaannya, Rosella yang menelepon.“Halo, Mi …”“Kamu di mana, Jav? Dari tadi Mami tunggu!” Suara Rosella terdengar kesal.“Iya, Mi.”“Apanya yang iya?”“Iya, aku ke sana sekarang.”“Tadi kamu juga bilang begitu. Tapi sudah berjam-jam kamu masih belum datang. Sebenarnya kamu lagi di mana?”“Aku di rumah, Mi. Ini lagi siap-siap mau ke sana. Sudah ya, jangan marah-marah.”“Mami tunggu sekarang. Mami nggak bisa menjaga Prilly sendiri. Kamu ke sini gantiin Mami!”“Baik, Mi, siap. Udah ya, aku matiin dulu teleponnya. Aku udah mau berangkat nih.”Javas meletakkan ponselnya setelah selesai me
Javas kembali ke ruang rawat Prilly setelah adik dan ibunya pergi. Meskipun tadi Zach hanya bercanda tapi berhasil mengguncang emosinya.Begitu melihat Javas masuk, Prilly langsung mengembangkan tangan, isyarat agar Javas memeluknya.Javas tersenyum kemudian memeluk Prilly seperti keinginan perempuan itu lalu duduk di kursi yang berada di sisi ranjang.“Mami udah pergi?” “Udah,” jawab Javas pelan. “Gimana keadaan kamu? Masih sakit kepala?”“Masih,” jawab Prilly sambil cemberut. Lalu diambilnya tangan Javas dan diletakkannya di dada. “Kamu jangan pergi ya, Jav, jangan tinggalin aku sendiri …” Perempuan itu merengek manja.“Nggak, aku akan di sini nemenin kamu.”“Janji?”“Ya, janji. Sekarang kamu istirahat biar cepat sehat.”“Tapi kamu tidur di sini ya, di sebelah aku.” Prilly menarik tangan Javas dari kursi agar berbaring di ranjang bersamanya.“Nggak muat, aku di sini aja,” jawab Javas menolak.“Muat kok.” Prilly menggeser badannya memberi tempat untuk Javas.Javas terpaksa pindah da