Zoia tercenung.Jadi … mereka betul-betul akan berpisah. Ia akan kehilangan Javas sebentar lagi. Mereka akan kembali menjalani kehidupan masing-masing. Tiba- tiba saja Zoia merasa dadanya sangat sesak membayangkan semua itu.Zoia bangun dari berbaring lalu duduk sambil menyandarkan punggungnya ke headboard.Javas ikut bangun dan duduk memosisikan dirinya di sebelah Zoia. Pria itu tidak berkata apa-apa. Hanya bola matanya yang berekspresi menatap Zoia dengan tatapan sangat mesra, yang membuat Zoia menjadi salah tingkah.Zoia menundukkan kepala, menyembunyikan muka dari pesona Javas yang terasa sangat menyiksa. Di saat itulah kesadaran memberitahu Zoia, bahwa dirinya benar-benar sudah jatuh cinta pada seorang Javas Mahanta, suaminya sendiri.Javas mengangkat dagu Zoia dengan ujung telunjuknya sehingga wajah mereka saling bertatapan. Javas memamerkan senyum lembutnya yang membuat Zoia langsug lumer.“Aku nggak akan memaksa, itu bukan sifatku. Laki-laki sejati tidak akan pernah memaksa wa
Javas memandangi Zoia yang sudah terlelap dalam pelukannya. Perempuan itu betul-betul polos. Tingkahnya membuat Javas terharu sendiri. Zoia dengan patuhnya melakukan apa saja yang Javas suruh tanpa protes. Jauh berbeda dengan Prilly yang suka membantah dan sering berdebat dengan Javas.Andai saja Prilly bisa seperti Zoia …Javas menepis Zoia pelan-pelan dari dekapannya ketika ponselnya berbunyi. Seperti dugaannya, Rosella yang menelepon.“Halo, Mi …”“Kamu di mana, Jav? Dari tadi Mami tunggu!” Suara Rosella terdengar kesal.“Iya, Mi.”“Apanya yang iya?”“Iya, aku ke sana sekarang.”“Tadi kamu juga bilang begitu. Tapi sudah berjam-jam kamu masih belum datang. Sebenarnya kamu lagi di mana?”“Aku di rumah, Mi. Ini lagi siap-siap mau ke sana. Sudah ya, jangan marah-marah.”“Mami tunggu sekarang. Mami nggak bisa menjaga Prilly sendiri. Kamu ke sini gantiin Mami!”“Baik, Mi, siap. Udah ya, aku matiin dulu teleponnya. Aku udah mau berangkat nih.”Javas meletakkan ponselnya setelah selesai me
Javas kembali ke ruang rawat Prilly setelah adik dan ibunya pergi. Meskipun tadi Zach hanya bercanda tapi berhasil mengguncang emosinya.Begitu melihat Javas masuk, Prilly langsung mengembangkan tangan, isyarat agar Javas memeluknya.Javas tersenyum kemudian memeluk Prilly seperti keinginan perempuan itu lalu duduk di kursi yang berada di sisi ranjang.“Mami udah pergi?” “Udah,” jawab Javas pelan. “Gimana keadaan kamu? Masih sakit kepala?”“Masih,” jawab Prilly sambil cemberut. Lalu diambilnya tangan Javas dan diletakkannya di dada. “Kamu jangan pergi ya, Jav, jangan tinggalin aku sendiri …” Perempuan itu merengek manja.“Nggak, aku akan di sini nemenin kamu.”“Janji?”“Ya, janji. Sekarang kamu istirahat biar cepat sehat.”“Tapi kamu tidur di sini ya, di sebelah aku.” Prilly menarik tangan Javas dari kursi agar berbaring di ranjang bersamanya.“Nggak muat, aku di sini aja,” jawab Javas menolak.“Muat kok.” Prilly menggeser badannya memberi tempat untuk Javas.Javas terpaksa pindah da
Suara alarm yang menjerit mengusik pendengaran Zoia. Membuatnya terbangun dari tidur yang lelap. Dengan mata yang masih tertutup ia tersenyum membayangkan kejadian semalam.Dirinya dan Javas sudah menyatu …Cara Javas menyentuhnya tidak akan pernah Zoia lupakan. Cara lelaki itu menatap, bagaimana bibirnya melengkungkan senyum mesra melekat selamanya di benak Zoia. Dan saat ini ia berada di dalam dekapan hangat lelaki itu. Ia tidur semalaman dengan nyaman karena Javas memeluknya dengan erat.Perlahan Zoia membuka matanya. Ia ingin menyaksikan sendiri wajah Javas saat lelap memeluknya. Dan begitu kelopak matanya terbuka, Zoia terperanjat, tidak ada Javas di sebelahnya. Yang ada hanya permukaan kasur yang kosong. Ternyata Zoia memeluk guling.‘Ke mana Javas?’ Zoia bertanya sendiri di dalam hati.Mata perempuan itu menyisir ke setiap sudut kamar mencari sosok yang dicintainya. Tapi ia tidak menemukan apa-apa. Hanya dirinya makhluk bernyawa di ruangan itu.‘Mungkin Javas sedang di kamar ma
"Jav, aku mau ke kantor.” Zoia menahan dada Javas agar tidak menyentuhnya.“Apa aku harus mengingatkanmu lagi kalau kita sama-sama owner?” balas Javas tidak ingin mengalah. “Jangan katakan kalau kamu ada janji sama klien lagi. Apa itu yang lebih penting?”“Tapi aku masih ngerasa sakit …”“Kan sudah aku bilang, pertama, kedua dan ketiga memang sakit. Biar sakitnya cepat hilang kita harus sering-sering melakukannya. Okay?”Zoia meneguk saliva menyadari ia tidak bisa membantah. Ia hanya bisa pasrah menuruti keinginan Javas. Bukankah tadi hatinya ingin mengukir kisah manis itu?Pada akhirnya Zoia mengizinkan Javas melakukannya. Meski masih terasa perih namun Zoia mencoba menikmatinya. Senyum lembut dan tatapan super mesra lelaki itu menjadi penawar rasa sakit yang dirasakannya.Zoia mendekap erat tubuh Javas ketika mereka sama-sama mencapai pelepasan. Namun ia mengendus aroma amber dari tengkuk Javas ketika pria itu merebahkan kepala di dadanya. Seketika Zoia menjauhkan hidung.“Kamu ken
Setelah mereka bicara dari hati ke hati atau lebih tepatnya setelah Javas bicara terbuka padanya, Zoia menjadi jauh lebih ringan. Ia merasa memiliki peluang untuk mempertahankan hubungannya lebih lama dengan Javas. Tapi Zoia tidak ingin berharap terlalu banyak. Walau bagaimanapun perempuan yang dicintai Javas adalah Prilly, bukan dirinya. Sedangkan ketika Zoia bertanya apa arti dirinya, Javas tidak mampu menjelaskan selain mengatakan bahwa statusnya hanyalah sekadar seorang istri. Tidak lebih. "Kamu nggak usah berharap apa-apa dari hubungan kita. Apa pun yang sudah kita lakukan, tapi aku nggak cinta sama kamu, aku nggak ada perasaan apa-apa." Itu yang dikatakan Javas tadi.Zoia mencatat di benaknya semua perkataan Javas agar ia tidak lupa diri dan terbuai oleh pesona lelaki itu.“Biar aku yang antar kamu ke kantor,” ucap Javas setelah mereka berdua selesai mandi.“Aku bisa sendiri,” jawab Zoia menolak.“Kenapa nggak mau? Kamu ada janji sama Zach? Dia yang bakal jemput kamu dan kalian
Zoia melangkah pelan di sepanjang jalan raya. Ia terkejut ketika mendengar suara klakson dari kendaraan yang melintas di dekatnya. Padahal Zoia berjalan di trotoar, bukan di badan jalan.Bulir keringat mulai mengalir di pelipisnya. Maklum saja, saat itu matahari hampir berada di puncak kepala. Zoia bisa saja memesan taksi. Tapi ia pikir tanggung memesannya, belum lagi menunggunya akan menghabiskan banyak waktu. Andai saja ada seseorang yang lewat di saat-saat seperti ini dan memberinya tumpangan. Entah itu teman atau hanya sekadar kenalan.“Ck!” Zoia berdecak kesal ketika mendengar rentetan suara klakson yang ditujukan padanya. Paling itu hanya orang usil yang mau mengganggu.“Zoia!”Zoia merotasi bola matanya. Bersama dengan itu langkah kakinya memelan. Siapa yang mengenalinya di sini dan memanggil namanya?Zoia memandang ke kanan. Tampak sebuah sepeda motor sport hitam berhenti di dekatnya. Zoia tidak tahu dia siapa. Sampai pengendaranya yang memakai jaket kulit hitam membuka kaca h
Javas merasa agak risi ketika Rosella berdiri mengawasi di sebelahnya. Namun ia tetap memilih menerima telepon di sana.“Halo, Kin, ada apa?”“Siang, Pak. Bapak di mana?” Terdengar suara Kinar.“Lagi di rumah sakit.”“Oh, maaf, Pak. Siapa yang sakit?” Kinar menunjukkan kepeduliannya.“Kamu menelepon saya kenapa?” Javas tidak ingin menjawab pertanyaan itu dan langsung menanyakan maksud dan tujuan sang sekretaris.“Ada dokumen yang harus ditandatangani, Pak.”“Salinan tanda tangan saya masih kamu simpan kan?”“Ada sih, Pak, tapi itu kan tanda tangan digital. Dokumen yang ini harus pakai tanda tangan asli, Pak.”“Oh, begitu. Nanti saya usahakan ke kantor.” Javas menjawab sambil memandang arloji di pergelangan tangannya.“Nggak bisa nanti, Pak. Dokumen ini harus dikirim sekarang.” “Ya sudah, kalau begitu sebentar lagi saya ke sana,” jawab Javas memutuskan. Javas bisa saja menyuruh Kinar datang atau menyuruh orang untuk mengantar dokumen tersebut. Tapi ia lebih memilih untuk langsung data