Zoia keluar dari kamar menuju ruang depan menemui Zico yang sedang menantinya. Melihat Zoia muncul Zico langsung berdiri dan bersiap-siap untuk pergi.
“Co, sorry banget, kamu duluan ya, nanti aku nyusul ke sana,” kata Zoia tidak enak hati. Zico jauh-jauh menjemputnya.
“Kenapa begitu?” tanya Zico heran. Hari ini ia dan Zoia sudah berjanji akan menemui temannya yang akan memakai jasa wedding organizer milik Zoia.
“Aku berangkat sama suami dan harus ke kantor dulu. Setelah dari kantor aku baru ke sana. Nggak apa-apa kan?”
“Nggak apa-apa.” Zico tersenyum pengertian lalu masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan Zoia hanya bisa memandangi kepergian lelaki itu dengan perasaan bersalah.
Javas muncul tidak lama kemudian. Tanpa memedulikan Zoia ia masuk ke dalam mobilnya dan menyuruh supir agar segera berangkat.
Melihat mobil Javas sudah bergerak, Zoia terkejut. Kenapa Javas tidak menunggunya?
“Javas! Javas!” Zoia berteriak sekeras mungkin memanggil Javas, namun mobil yang membawa lelaki itu terus melaju semakin kencang.
Zoia termangu sendiri. Ia tidak habis pikir pada sikap Javas. Tadi pria itu meminta agar ikut bersamanya. Namun sekarang malah meninggalkannya. Apa coba maksudnya? Apa Javas ingin mengerjainya? Jangan-jangan dia memang psikopat seperti yang dikatakan Prilly.
‘Ini nggak seberapa. Setelah ini mungkin masih banyak kejutan lain dari pria aneh itu. Tapi aku pasti bisa menghadapi dia.’ Zoia mensugesti dirinya sendiri.
Akhirnya Zoia terpaksa berangkat sendiri dengan sepeda motornya. Zoia melihat banyak mobil terparkir di garasi namun tentu saja ia tidak berani memakainya. Zoia merasa tidak berhak. Lagi pula ia hanyalah seorang istri pengganti.
Setiba di kantor Zoia masuk ke ruangannya. Zoia membuka browser dan mengetikkan nama ‘Javas Mahanta’ di search engine. Zoia ingin tahu lebih jauh siapa pria aneh yang menjadi suaminya itu.
Hanya dalam hitungan detik muncul berbagai informasi mengenai pria itu. Dan seluruhnya adalah berita positif mengenai prestasi Javas serta kesuksesan perusahaannya. Tidak ada hal negatif atau gosip miring di sana.
Zoia terkesima sambil memandangi wajah Javas. Tanpa disadarinya, senyum terbit di bibirnya. Terlepas dari sikap menyebalkan dan keanehan lelaki itu, Javas begitu memesona. Dia memiliki wajah yang gagah dan tidak membosankan untuk dipandang. Andai saja sikapnya bisa sedikit lebih baik.
Ingatan Zoia terseret mundur pada kejadian kemarin malam, saat Javas menyentuhnya. Bahkan hingga saat ini Zoia masih merasakan bagaimana lembutnya sentuhan erotis laki-laki itu yang membuat Zoia jadi panas dingin.
***
Tanpa terasa sudah satu minggu Zoia dan Javas menikah. Sejauh ini Javas masih tidak berubah. Ia sering mengerjai Zoia. Lelaki itu seperti tidak kehabisan akal. Ia selalu menemukan cara untuk membuat Zoia kesal. Dan seperti biasa Zoia tidak berdaya karena sudah terlanjur menandatangani surat perjanjian pernikahan.
“Gimana, Zoi, lo udah hamil belum?” tanya Khanza. Saat itu mereka baru saja menginventaris properti Shannon Wedding Organizer.
Pertanyaan Khanza membuat Zoia terkejut dan memandang padanya. “Jangan ngadi-ngadi, mana ada orang baru satu minggu nikah udah langsung hamil.”
“Lo jangan salah. Banyak kok. Malah ada yang baru tiga hari nikah udah hamil.”
“Itu mereka, ya bedalah sama gue.”
Setelah seminggu menikah Zoia dan Javas masih tidur pisah kamar sesuai dengan kesepakatan mereka. Setelah malam saat Javas mabuk laki-laki itu tidak pernah lagi menyentuhnya. Alih-alih akan hamil.
Javas memang menyebalkan. Namun di sisi lain Zoia salut pada pria itu yang mampu menahan diri untuk tidak menyentuhnya. Jadi nanti ketika mereka bercerai, Zoia masih dalam keadaan utuh.
“Bentar ya, Ca.” Zoia beranjak dari tempatnya saat mendengar ponselnya berbunyi.
Zoia melihat nomor tidak dikenal tertera di layar yang membuatnya mengerutkan dahi. Mungkin dari klien, pikirnya.
Zoia menerima panggilan tersebut.
“Halo, selamat siang.”
“Halo, Zoia.” Si penelepon menjawab, yang ternyata adalah seorang perempuan.
“Iya, ini siapa?” tanya Zoia karena perempuan itu tahu namanya.
“Ini Prilly, calon istri Javas. Masih ingat aku?”
Zoia terkejut. Tubuhnya gemetar. Untuk apa Prilly menelepon? Kenapa dia muncul lagi?
***
“Prilly?” Zoia mengulangi dengan dahi berkerut penuh tanda tanya. “Jadi kamu mau pura-pura lupa siapa aku?” kata Prilly ketika mendengar nada heran dari suara Zoia. Zoia sama sekali tidak lupa, ia hanya terkejut atas telepon tidak terduga dari mantan calon istri suaminya. “Nggak lupa, aku masih ingat kok. Ada apa ya, Pril? Ada yang bisa dibantu?” tanya Zoia ingin tahu apa tujuan perempuan itu menghubunginya. “Aku dengar kamu menggantikan posisiku. Apa itu benar?” Entah mengapa Zoia mendengar ada nada tidak suka dari suara Prilly. “Kenapa nggak dijawab?” ucap Prilly lagi ketika tidak mendengar respon apa pun dari Zoia. “Benar, aku yang menggantikanmu.” “Selamat kalau begitu. Gimana? Udah disiksa sama Javas?” “Maksudmu apa?” Zoia ingin diperjelas. “Jangan pura-pura bego, Zoia. Bukankah sebelumnya aku sudah katakan kalau Javas adalah psikopat? Makanya aku nggak mau menikah dengan dia. Hanya perempuan bodoh yang mau menikah dengan laki-laki seperti Javas.” Prilly mengejek Zoia de
Mobil berbelok memasuki komplek sebuah butik. Zoia ikut turun disaat Javas membuka pintu. Setelah perdebatan mereka tadi Zoia mengunci mulut. Ia tidak ingin berdebat dengan pria itu karena hasilnya Zoia yang selalu kalah. “Silakan, Pak, mau cari baju untuk siapa?” Penjaga butik yang ramah menyambut kedatangan keduanya. “Saya mau cari gaun malam untuk istri saya,” jawab Javas sambil merengkuh Zoia agar berdiri lebih rapat dengannya. Penjaga butik memindai tubuh Zoia dari puncak kepala hingga bawah kaki seakan sedang memikirkan gaun model apa yang pantas untuk perempuan itu. “Kalau yang ini Ibu suka?” tanyanya pada Zoia sambil menyodorkan tube dress berwarna nude. Zoia hampir saja menganggukkan kepala ketika Javas lebih dulu menjawab. “Jangan yang itu. Tolong kasih warna yang agak terang soalnya acaranya malam. Ada warna merah?” Zoia sontak melebarkan matanya menatap Javas. “Saya nggak mau pakai warna merah.” Ia menolak sebelum penjaga butik mengambilkannya. “Kenapa?” Javas meman
“Kenapa? Sedang mencari apa?” Suara Prilly menghentikan Zoia yang sejak tadi menatap ke sekitarnya seakan sedang mencari pertolongan. Zoia mengalihkan pandangannya pada Prilly. “Ada apa ya? Kok kayaknya kebetulan banget kita bisa ketemu di sini?” “Aku juga nggak tahu.” Prilly mengangkat bahunya. “Kamu udah ketemu Javas? Kamu nggak takut muncul kayak gini? Gimana kalau Javas melaporkan kamu karena membawa kabur uangnya?” Prilly tertawa lepas seakan baru saja mendengar sebuah lelucon yang membuatnya geli. “Harus berapa kali sih aku bilang? Javas itu pembohong. Aku sama sekali nggak melarikan uangnya. Jadi kenapa harus takut?” jawabnya ringan sambil mengembangkan kedua tangannya. Cara perempuan itu meyakinkan membuat Zoia kembali meragukan Javas dan memercayai Prilly. Kalau benar Prilly menipu dan membawa lari uang Javas tidak akan mungkin ia berani berkeliaran seperti saat ini. Logikanya begitu kan? “Aku ke sini karena kasihan sama kamu, Zoi. Aku takut Javas menyiksa kamu. Sebagai
Javas melepaskan diri dari dekapan Prilly. Ia harus pulang sekarang. Sudah terlalu lama ia berada di mobil perempuan itu. Padahal tadi ia menjanjikan hanya lima menit saja.“Jav, kamu mau ke mana?” Prilly menahan tangan Javas agar tidak pergi darinya.“Aku mau pulang, sudah malam.” Javas ingat jika tadi ia datang bersama Zoia. Mungkin Zoia sudah keluar dari toilet dan saat ini sedang menunggunya.“Tapi aku masih kangen sama kamu, Jav,” ujar Prilly dengan suara manjanya.“Besok kita kan bisa ketemu lagi, sekarang aku harus pulang. Zoia sudah menungguku.”Prilly mendengkus mendengar nama itu disebut. Katanya hanya pernikahan sementara, tapi dari kata-kata Javas sepertinya perempuan itu begitu berharga sampai-sampai Javas memedulikannya.“Jadi sekarang aku udah nggak ada artinya lagi buat kamu? Padahal seharusnya aku yang menjadi istri kamu, Jav,” ucap Prilly sedih dengan suara yang lirih. Dan itu membuat Javas tidak tahan.“Dia nggak ada apa-apanya, Prilly. Buat aku kamu jauh lebih bera
Zoia memasukkan ponsel ke dalam saku setelah selesai menerima telepon dari Prilly. Meski Zoia mencoba untuk tenang dan tidak memedulikan Javas, tak ayal kata-kata Prilly tadi bersarang di benaknya.Apa benar saat ini Javas sedang bersama perempuan lain dan menginap di sana?Zoia berbaring gelisah di tempat tidur dan mencoba memejamkan matanya. Namun ternyata hal tersebut adalah hal yang paling mustahil dilakukannya saat ini.Tidak tahan lagi, Zoia bangkit dari ranjangnya lalu keluar dari kamar. Zoia tidak tahu harus ke mana dan melakukan apa tengah malam begini. Begitu melihat kamar Javas yang terletak di sebelah kamarnya, Zoia melangkahkan kaki ke sana. Ia termangu di depan pintu kamar itu bermenit-menit lamanya.Dengan perasaan ragu Zoia memutar knop. Setelah daun pintu terbuka Zoia melangkah masuk ke kamar itu. Zoia tidak tahu entah apa reaksi Javas jika tahu dirinya berada di sana tanpa sepengetahuan lelaki itu. Biasanya Zoia baru ke kamar Javas hanya untuk membersihkannya.Duduk
Pagi itu Javas terbangun lebih dulu. Sementara Prilly masih meringkuk di bawah selimut dan tampak pulas dalam tidurnya. Jika saja tidak ingat jika hari ini harus kerja, Javas masih ingin berlama-lama membagi kehangatan dengan perempuan itu.Javas bergerak sepelan mungkin agar tidak membangunkan Prilly. Akan tetapi, baru saja ia akan menyingkap selimut, Prilly menahan dengan melingkarkan tangannya ke tubuh Javas.“Mau ke mana, Jav?” Suara Prilly terdengar serak khas bangun tidur.“Kamu udah bangun?” balas Javas retoris. “Aku pulang ya? Hari ini harus ngantor.”Prilly menggelengkan kepalanya. “Jangan.”“Kenapa jangan?”“Aku masih kangen …”Javas tersenyum sambil membelai kepala Prilly. “Aku juga, tapi kita kan masih bisa ketemu.”“Janji ya?”“Iya, janji.”Barulah Prilly melepaskan Javas.Selagi Javas mandi Prilly bergerak ke belakang menyediakan sarapan bagi mereka berdua.Dua mangkuk oatmeal dengan taburan buah kering sudah tersedia begitu Javas selesai mandi. Makanan kesukaan mereka b
Zoia terkulai lemas di dalam pelukan Javas. Ia betul-betul tidak berdaya. Kepala pusing, pandangan berkunang-kunang serta beban berat yang ditanggungnya merupakan kombinasi yang membuat perempuan itu semakin lemah.Javas membaringkan Zoia di ranjang. Lalu dipanggilnya Reno dan meminta agar asistennya itu menghubungi dokter pribadi keluarga Mahanta.“Suruh dia datang sekarang. Cepat!” Entah mengapa melihat muka pucat Zoia membuat Javas menjadi khawatir. Hal yang sama sekali tidak direncanakannya.“Baik, Pak, saya akan telepon dokter Riki sekarang,” jawab Reno patuh, lalu mencari nomor dimaksud di dalam daftar kontak ponselnya. Ia memeng menyimpan nomor-nomor orang penting di sana, agar jika ada apa-apa bisa langsung dihubungi.Selagi Reno menelepon, Javas memandang Zoia dari jauh. Perempuan itu berbaring lemas dengan mata terpejam. Apa sekarang dia benar-benar pingsan?Javas kemudian mendekat dan duduk di pinggir ranjang. Ragu-ragu diulurkannya tangan untuk meraba dahi Zoia.Hangat.Te
Javas mengembuskan napas panjang setelah membaca pesan dari Prilly. Lalu bola matanya pindah pada sang Istri yang berbaring di ranjangnya. Zoia masih di posisi semula. Tidur tenang tanpa gangguan. Tapi tetap saja Javas tidak berani meninggalkannya."Iya, sebentar lagi aku ke sana. Sabar dulu ya!"Javas meletakkan ponselnya di meja setelah membalas pesan dari sang mantan. Ia bisa saja pergi sekarang dan meninggalkan istrinya sendiri. Sebelum sempat melaksanakan niat itu, sesuatu melintas di pikirannya. Bagaimana nanti kalau Zoia bangun? Bagaimana kalau perempuan itu pingsan lagi?Javas memutuskan untuk tetap menemani Zoia di rumah. Ia baru ingat tidak ada makanan apa pun untuk disantap. Padahal tadi kata dokter Zoia harus makan dulu sebelum minum obat.Meninggalkan kamar, Javas menuju ruang belakang. Barangkali ada sesuatu yang bisa dimakan tanpa perlu diolah.Javas berdecak pelan ketika mendapati semua bahan yang ada di sana hanyalah bahan-bahan mentah yang harus diolah lagi agar bisa