Di tengah hutan rimba yang gelap, suara burung hantu menjadi begitu sunyi, saat hewan malam yang kerap berisik menjadi begitu senyap, aku memacu ke dua kaki untuk terus berlari, menerjang akar pohon, meloncati kayu yang tumbang sepanjang hutan, menepis dedaunan yang menghalangi jalan, sesekali rantingnya menggores kulit pipi, tetapi aku terus berlari. Suara napas yang ke luar masuk semakin cepat. Detak jantung yang berpacu semakin keras.
Suara gemeresik dedaunan beradu dengan ranting yang patah, merobek kulit kaki telanjang, menghasilkan darah segar yang terus mengalir sepanjang jalan. “Angkh!” Aku meringis, merasakan nyeri yang tak tertahankan.Suara tembakan di belakang sana terdengar tujuh kali beruntun membelah kesunyian, menembus jantung pohon. Aku kembali berlari tanpa arah, hingga tiba di ujung tebing, tepat di atas air terjun. Baik, tidak ada jalan lagi. Aku akan mati, benar-benar akan mati malam ini.Mereka pasti melacak sinyal tiga orang yang non-aktiv tiba-tiba dan menyusul dengan cepat. Para pembersih akan segera menemukanku dan ini semua akan berakhir. Apa yang kupikirkan dengan mengambil keputusan konyol ini? Sial, sial, sial!
Tepat saat bulan bersembunyi di balik kabut, suara petir yang menggelegar bersahutan dengan suara tembakan di belakang sana. Mereka semakin dekat dan aku kehabisan akal. Hujan mulai turun perlahan, menutup jejak kaki. Menciptakan atmosfer dingin dan mencekam, suara air terjun yang berdebum seperti seruling kematian yang menggiringku.
Darah terus mengalir di sekujur tubuh. Perlahan aku menyeret langkah mundur hingga ke ujung tebing. Batu kerikil jatuh memberikan sebuah reka adegan mengerikan yang menyambutku. Suara napas yang tersengal beradu dengan suara deras air hujan dan arus sungai di bawah sana.
Dor!
Suara tembakan menyusul terdengar semakin dekat dan aku sudah bersiap menyambut kematian. Aku menyeret langkah mundur, hingga benar-benar berada di tepi tebing.Kemudian ...Ujung tebing yang kuinjak retak, membawa tubuhku jatuh ke dalam air sungai dengan arus yang gila.Air perlahan menerobos masuk ke hidung, mulut, mengambil seluruh pasokan udara yang tersisa. Terhempas, terombang-ambing melawan arus yang setiap detik semakin keras menerjang. Bebatuan yang besar berkali-kali menghantam tubuh dan membuat tulang terasa retak dan patah. Tidak ada waktu untuk berpikir. Aku benar-benar terseret. Air masuk memenuhi rongga paru-paru, membuat sesak dan pengap. Berkali-kali terbatuk membuat air justru masuk dengan paksa melalui hidung dan mengalir ke otak.Sesekali tanganku berusaha meraih udara kosong hanya karena berharap sesuatu dapat kugapai dan menghentikan tubuh yang terus terseret di sepanjang sungai. Selama hampir lima belas menit aku bertahan, merasakan air terus menerobos masuk. Pada akhirnya, air sungai yang terlalu deras mustahil dilawan. Semakin banyak aku bergerak, tubuhku semakin terseret oleh alirannya.Perlahan semuanya hampa, berbatuan maupun kerikil yang kembali menghantam tubuh sudah tidak dapat kurasakan lagi. Pelan, suara bedebum mengambang ke udara menembus cakrawala dan semuanya menjadi gelap gulita.Kematian selalu menjadi hal yang menakutkan bagi sebagian orang.Bagiku, kematian itu seperti alarm di setiap dentingan jam berupa perintah. Sederhana. Saat telunjuk lentik itu naik ke arah jam 12 lalu mengetuk meja bundar, menyetel detik dan menit, menghitung berapa lama aku memiliki waktu untuk mencabut nyawa atau mempertahankannya. Kadang hanya berupa kode acak yang dengan mudah kumengerti. Biasanya aku akan menghitung berapa lama yang dibutuhkan untuk korban bertahan hidup, dan sekarang aku justru menghitung berapa lama aku akan mati.
Selama dua puluh tahun, yang kulakukan hanya mengikuti perintah, bersandiwara dan membunuh. Tidak ada yang kuketahui selain itu. Tidak terpikirkan olehku, bahwa akan ada satu kata baru yang masuk ke dalam kamus besar hidupku. Berkhianat! Lalu kata baru lain menyusul, seperti anak kecil yang baru belajar tentang frasa, aku mulai mengetahui dunia itu seperti apa.Gelap!
** **
Aku mengerjapkan mata, mencium bau aneh yang menyengat tepat dihidung, perpaduan bau daun dan minyak yang sangat-sangat keras. Lalu merasakan tubuh terasa hangat dan berat. Apa mereka menyediakan bau minyak yang seperti ini di neraka?
“Dia bangun!” Suara wanita terdengar berseru, menyusul suara langkah kaki yang ramai.“Bagaimana keadaannya?”
“Tidak parah. Tulangnya hanya keseleo dan aku sudah meluruskannya kembali. Dia tangguh bisa selamat di sungai Cipalu yang sedang banjir karena hujan lebat. Ditambah, ia juga tidak cedera parah. Hanya beberapa luka gores yang cukup parah di bagian tubuhnya. Luka luar yang cepat sembuh. Nona Lily menolongnya tepat waktu.”
Wanita bertubuh gempal dengan wanita berpakaian serba putih yang baru saja mengecek kondisi infus berhadapan, mendiskusikan sesuatu. Wajahnya tidak terlalu jelas, karena sinar lampu di atas kepala membuat pandanganku benar-benar silau.
“Bukankah Anda seharusnya membawa dia ke rumah sakit, Ane? Jika Nyonya tahu Lily membawa orang luar ke rumah, keadaan bisa kacau. Terlebih dia adalah orang yang tidak dikenal.”
“Aku tahu, Dokter. Tapi akan lebih berbahaya lagi jika kita membawanya ke rumah sakit. Kamu pasti paham maksudku. Kita tidak punya kondisi yang lebih menguntungkan di sini.”
Wanita yang dipanggil dokter mendengkus pasrah.
“Ngomong-ngomong, bagaimana dia bisa terseret oleh sungai, padahal itu pulau kosong. Itu adalah pertanyaan yang menggangguku sejak kemarin. Terlebih sungai itu terhubung pada air terjun, tidak pernah tenang dan airnya selalu deras. Jadi, sangat tidak mungkin jika ia hanya bermain di sana.”
“Kita akan segera tahu.”
Dokter itu mengeluh lagi.
“Baiklah, aku hanya khawatir dengan Aleta. Anda sekali lagi kecolongan dengan membiarkannya kembali ke pulau Athena. Beruntung dia kembali, jika tidak, Anda tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”
“Aku tahu, Dokter. Kemarin aku sempat ke kota menemui Nyonya. Ada masalah serius yang sedang terjadi di kota. Nyonya memintaku untuk menahannya di rumah sampai ia bisa berkunjung dan kondisinya membaik. Aku hanya meninggalkannya sehari dan keadaan mulai kacau.”
“Wanita itu sepertinya selalu sibuk, ya? Baiklah, aku akan pergi. Hubungi aku jika terjadi sesuatu.” Wanita berpakaian putih pergi meninggalkan ruangan dengan ekspresi menyesal, tetapi ia berhenti sebentar di depan pintu “Ingat, Ane, dia harus pergi secepat mungkin. Dan pastikan nyonya tidak tahu mengenai hal ini.”
“Tenang saja, Sofie, aku tahu apa yang harus aku lakukan.”
Akhirnya tubuh wanita berpakaian putih itu lenyap di belakang pintu. Sempat kuperhatikan sebentar.
Sementara wanita yang bertubuh gempal masih berdiri menatapku. Tidak berniat bertanya. Sedikit memeriksa kondisiku. Ia diam sebentar, lalu mendengkus kasar. Setelahnya ia ke luar dari ruangan. Meninggalkanku.
“Istirahatlah.” Itu adalah kalimat terakhir yang ia ucapkan.
Alih-alih memedulikannya, aku lebih tertarik membaca situasi dan mengenali di mana aku sekarang. Ini jelas bukan markas Taneba, karena kalau iya, aku tidak akan membuka mata dan bisa bernapas seperti sekarang. Lalu, di mana ini?
Ruangan ini cukup besar, dengan dinding berwarna hitam. Ada lampu berwarna white calm di sudut ruangan. Ornamennya terlihat klasik dengan banyak lukisan lawas di dinding. Bukan lukisan lawas sebenarnya, tetapi seperti coretan abstrak yang mungkin sedikit kuno.
Tepat ketika tubuhnya menghilang di belakang pintu, aku mencabut infus di pergelangan tangan, berusaha menggerakkan tubuh yang terasa berat. Bagaimana pun juga, di sini tidak akan aman. Aku harus pergi sejauh mungkin, sebelum para pembersih menemukanku.
Perlahan, aku berjalan terpincang menuju pintu dengan ukiran yang klasik, tetapi sedikit moderen. Saat membuka pintu yang terbuat dari logam berbentuk mawar ini, aroma bunga anggrek tercium begitu keras, padahal aku baru membuka beberapa senti.
Sepertinya ini tembus ke ruang tamu. Ada sofa yang berjejer di ruangan dengan meja bundar di tengahnya, dan sepertinya aroma anggrek yang kuhirup tadi berasal dari kayu aroma terapi yang dibakar di atasnya. Atmosfer dingin seketika menyergap tubuh yang telanjang dada, berasal dari AC yang cukup banyak di ruangan itu. Well, ini seperti Villa yang megah.
Perlahan aku menarik kaki ke luar, waspada, jika ada jebakan di sini. Tetapi ini begitu sepi. Wanita gemuk yang tadi juga menghilang begitu saja. Untuk ukuran rumah yang terlalu megah ini, bukankah mustahil jika tidak ada pekerja atau semacamnya?
Pandanganku beralih pada gadis yang duduk di pojok ruangan dekat jendela sendirian, mengenakan gaun putih yang menjuntai ke lantai. Ada lebih dari belasan lukisan berbeda di depannya. Ia duduk menghadap luar, sesekali memperhatikan objek yang sedang ia lukis.
Saat ini aku menyadari bahwa lukisan di dalam tadi adalah lukisannya, karena sebelumnya pun aku tidak pernah melihat lukisan semacam itu. Lukisan abstrak yang benar-benar gelap.
Aku berjalan mencari pintu ke luar tanpa memedulikannya, yang harus kulakukan adalah pergi sejauh mungkin agar tidak ditemukan. Tetapi rasa sakit yang seketika menghujam membuat tubuhku lemas dan menggerogoti setiap sel otak hingga semuanya seperti berputar melawan gravitasi. Sial! Aku terus menyeret langkah menuju pintu yang berada di dekat gadis Itu, ia juga tidak bereaksi, mungkin juga belum menyadari keberadaanku.
Dan tepat, ketika gagang pintu berwarna putih itu berhasil kugapai, pemandangan yang menyambutku di luar sana benar-benar membuatku tertegun dan tidak bergerak sama sekali.
Tenagaku belum pulih total. Detak jantung berpacu kian cepat. Napas yang ke luar masuk tidak lagi beraturan dan hanya butuh beberapa detik untuk membuat tubuhku ambruk di depan pintu.
“Ngkh! Fuck!”
Kulihat gadis yang tadinya sibuk melukis menghentikan gerakan tangannya yang membentuk garis lingkar, perlahan menaruh kuas di dekatnya dan terlihat menarik napas.
Siluet tubuh yang berjalan mendekat, serupa bayangan yang transparan. Rambut yang lurus panjang hingga ke pinggang. Ia menatapku dengan tatapan kosong. Poninya yang panjang menutupi mata sebelah kanan, kulit yang putih pucat dengan bibir tipis yang jika tersenyum akan sangat manis, seperti Alea.
Angin yang entah datang dari mana membuat poni sebelahnya terbuka, aku dapat melihat tompel besar di sana, berwarna cokelat dan samar. Sekuat tenaga yang tersisa, aku mati-matian mempertahankan kesadaran. Tetapi sayang, detik selanjutnya, semuanya kembali menjadi gelap.
Aku mendikte setiap kata yang pernah kupelajari dan kuhafal. Menyimpannya sebagai perisai untuk melindungi diri dari ketiadaan. Kadang kala kalimat-kalimat petuah yang bijak tidak ada gunanya kecuali kata penjahat yang menyenangkan. Coba dengarkan mereka, kamu akan tahu maksudnya. Setiap barisan not yang berjejer seperti tangga kehidupan, menaik dan menurun, berirama dan bersenandung. Tergantung bagaimana kamu menyusunnya agar terdengar indah, dan di sini, aku akan menceritakan semuanya, tentangku, tentang penjahat ini, dan tentang kebusukan dunia.Setelahnya kalian bisa menilai, siapa di antara kami yang jahat, siapa di antara kami yang lebih kejam. Kalian boleh menilai dari seluruh sudut pandang, kalian boleh menyangkal dengan membawa argumen bebas, tapi aku akan menunjukkan kehidupanku. Bagaimana dunia bersikap tidak adil pada orang sepertiku. Dan bagaimana ia bermain dengan orang-orang lemah seperti kalian.--... “Borneo ... lari!” Suara itu mengalun di udara seolah menembus ca
Laki-laki itu masih berdiri di sana, mengintip, tanpa bergerak sedikit pun. Sepertinya gadis ini juga melihatnya, karena sekarang, tatapan kami sama-sama tertuju pada pohon jambu air yang cukup besar di depan sana. Di mana laki-laki itu berdiri dengan gelagat yang mencurigakan. Bahkan saat aku melihatnya, ia tidak berniat untuk pergi.“Dia lagi.” Kalimat yang ke luar dari mulut gadis ini membuat perhatianku teralihkan. Dia? Siapa? Aku masih menunggu kalimat selanjutnya, karena sepertinya ia mengetahui sesuatu. Tapi tarikan napas panjang yang ke luar dari mulutnya membuatku makin penasaran.“Dia?” tanyaku akhirnya.Ia berjalan menuju pintu gerbang, sementara aku sedikit mundur, waspada, karena kemungkinan besar dia adalah salah satu para pembersih yang dikirim untuk membunuhku. Jika benar, maka bukankah aku seharusnya kabur?Gadis berambut panjang itu berjalan membuka gerbang dan meraih sesuatu yang sepertinya tergeletak di sana. Sebuah dus besar berwarna cokelat. Ia terlihat diam cu
Ia tertawa begitu keras. Tapi tawa itu tak terdengar menyenangkan, terdengar mengejek, seolah aku memberinya harapan mustahil. Sampai kemudian Ia berhenti dan tampak sesak.“Aku bahkan tidak mempercayaimu sepenuhnya. Kau adalah salah satu dari sekian banyak orang yang menatapku dengan tatapan itu. Aku membencinya, tapi kau berhutang budi dengan nyawamu. Aku meminta balasan.”Hening lagi. Aku menikmati proses tenggelamnya matahari yang turun begitu cepat. Menelan cahaya yang tadinya terhampar ke halaman Villa. Angin datang dengan lembut, menerbangkan rambut gadis ini. Aku tahu cara menjinakkan wanita. Aku tahu apa yang mereka suka. Aku tahu apa yang mereka mau. Tetapi yang ini? Ia terlalu banyak menderita, jadi aku tidak yakin apa tak tik lama akan bisa membantuku meluluhkannya.“Besok aku akan ke sekolah. Antar aku, lalu pulang. Setelah pulang sekolah, temani aku ke hutan di bawah sana. Ada yang harus aku lakukan. Kau tidak berpikir untuk kabur, kan?” Terdengar seperti perintah mut
Sesuai perjanjian, aku mengantar Lily ke sekolahnya. Sekolah elit yang terletak di tengah desa cukup unik. Awalnya kupikir desa ini tertinggal kuno, ternyata tehnologi di sini cukup maju. Hal ini kusadari setelah mengantarnya hingga gerbang sekolah. Gedung dengan dua tingkat yang cukup megah. “Kapan kau akan pulang?” tanyaku. Menatap ke samping. Kulihat wajahnya terus menunduk. Poninya masih menutupi wajahnya. “Jam dua.” Jawaban itu singkat. Ia langsung ke luar dari mobil tanpa melihat ke arahku.Aku memandangi punggungnya yang perlahan menghilang di balik gerbang. Tampaknya juga ia mendapat sambutan hangat dari beberapa gadis yang kupikir mungkin temannya.Ting!Suara pesan masuk dari ponsel membuatku segera menoleh.[Lo anterin dia ke sekolah, kan?]Itu adalah pesan dari Rian. Pria itu tampak begitu peduli dengan Lily, apalagi jika kupikir kembali alasan dia membantuku semalam karena gadis itu. Setelah kuberitahu alasanku berada di sana, aku memberikan ia nomor telponku agar mud
Suara gesekan besi dan dinding tembok beradu menjadi perpaduan suara yang menyenangkan. Warna merah darah yang mengalir di ujungnya yang lancip memiliki sebuah story yang menarik untuk didengar. Bau darah yang tidak pernah asing dan aura yang sama benar-benar kental. Lihatlah, dua tubuh yang terkapar di lantai bersimbah darah. Mereka mulanya adalah sepasang suami istri yang harmonis dan menyenangkan. Aku sudah baik sekali mengakhiri mereka secara bersamaan agar yang lain tidak kesepian.Mereka cukup baik padaku, tetapi itu hanya sesaat, sebelum aku mengetahui topeng asli mereka dan wajah manis itu langsung tampak ketakutan. Jadi, tanpa berbasa-basi aku menyelesaikan tugasku, tugas awal yang diberikan oleh Ibu saat pertama kali menemui keluarga ini. Aku beralih menatap seorang gadis yang meringkuk di ujung ruangan, memeluk tubuhnya ketakutan. Namanya Alea, anak tunggal suami istri itu. Wajahnya tampak pucat dan sama sekali tidak mau menatapku. Gadis yang sempat melemahkan langkahku
Dalam organisasi kami, ada satu yang tidak pernah dapat ditoleran, yaitu penghianat. Jika salah satu dari kami berkhianat, maka orang itu akan mati, tanpa jejak, seolah ia tidak pernah ada di dunia ini.Taneba, itu adalah organisasi bawah tanah yang dioperasikan oleh seorang ilmuan wanita jenius bernama Levale. Sebagian besar anggota organisasi diciptakan melalui pembenihan buatan, bayi tabung, dan sel sperma yang dibesarkan menggunakan rahim buatan di dalam kapsul kecil transparan. Terdengar tidak masuk akal, ‘kan? Benar, kami tidak pernah memiliki Ibu atau Ayah seperti manusia pada umumnya. Kami hanyalah manusia eksperimen yang diciptakan untuk mengelola organisasi. Ada satu prinsip dasar yang dimiliki oleh wanita tua itu, jika kamu ingin menjinakkan anak anjing, maka pastikan kamu menggenggamnya saat mereka baru lahir. Itulah alasan dasar mengapa kami tidak mengenal orang tua selain dirinya. Organisasi kami bekerja di bawah bayangan. Dikendalikan oleh seorang wanita tua berusia 5
Sesuai perjanjian, aku mengantar Lily ke sekolahnya. Sekolah elit yang terletak di tengah desa cukup unik. Awalnya kupikir desa ini tertinggal kuno, ternyata tehnologi di sini cukup maju. Hal ini kusadari setelah mengantarnya hingga gerbang sekolah. Gedung dengan dua tingkat yang cukup megah. “Kapan kau akan pulang?” tanyaku. Menatap ke samping. Kulihat wajahnya terus menunduk. Poninya masih menutupi wajahnya. “Jam dua.” Jawaban itu singkat. Ia langsung ke luar dari mobil tanpa melihat ke arahku.Aku memandangi punggungnya yang perlahan menghilang di balik gerbang. Tampaknya juga ia mendapat sambutan hangat dari beberapa gadis yang kupikir mungkin temannya.Ting!Suara pesan masuk dari ponsel membuatku segera menoleh.[Lo anterin dia ke sekolah, kan?]Itu adalah pesan dari Rian. Pria itu tampak begitu peduli dengan Lily, apalagi jika kupikir kembali alasan dia membantuku semalam karena gadis itu. Setelah kuberitahu alasanku berada di sana, aku memberikan ia nomor telponku agar mud
Ia tertawa begitu keras. Tapi tawa itu tak terdengar menyenangkan, terdengar mengejek, seolah aku memberinya harapan mustahil. Sampai kemudian Ia berhenti dan tampak sesak.“Aku bahkan tidak mempercayaimu sepenuhnya. Kau adalah salah satu dari sekian banyak orang yang menatapku dengan tatapan itu. Aku membencinya, tapi kau berhutang budi dengan nyawamu. Aku meminta balasan.”Hening lagi. Aku menikmati proses tenggelamnya matahari yang turun begitu cepat. Menelan cahaya yang tadinya terhampar ke halaman Villa. Angin datang dengan lembut, menerbangkan rambut gadis ini. Aku tahu cara menjinakkan wanita. Aku tahu apa yang mereka suka. Aku tahu apa yang mereka mau. Tetapi yang ini? Ia terlalu banyak menderita, jadi aku tidak yakin apa tak tik lama akan bisa membantuku meluluhkannya.“Besok aku akan ke sekolah. Antar aku, lalu pulang. Setelah pulang sekolah, temani aku ke hutan di bawah sana. Ada yang harus aku lakukan. Kau tidak berpikir untuk kabur, kan?” Terdengar seperti perintah mut
Laki-laki itu masih berdiri di sana, mengintip, tanpa bergerak sedikit pun. Sepertinya gadis ini juga melihatnya, karena sekarang, tatapan kami sama-sama tertuju pada pohon jambu air yang cukup besar di depan sana. Di mana laki-laki itu berdiri dengan gelagat yang mencurigakan. Bahkan saat aku melihatnya, ia tidak berniat untuk pergi.“Dia lagi.” Kalimat yang ke luar dari mulut gadis ini membuat perhatianku teralihkan. Dia? Siapa? Aku masih menunggu kalimat selanjutnya, karena sepertinya ia mengetahui sesuatu. Tapi tarikan napas panjang yang ke luar dari mulutnya membuatku makin penasaran.“Dia?” tanyaku akhirnya.Ia berjalan menuju pintu gerbang, sementara aku sedikit mundur, waspada, karena kemungkinan besar dia adalah salah satu para pembersih yang dikirim untuk membunuhku. Jika benar, maka bukankah aku seharusnya kabur?Gadis berambut panjang itu berjalan membuka gerbang dan meraih sesuatu yang sepertinya tergeletak di sana. Sebuah dus besar berwarna cokelat. Ia terlihat diam cu
Aku mendikte setiap kata yang pernah kupelajari dan kuhafal. Menyimpannya sebagai perisai untuk melindungi diri dari ketiadaan. Kadang kala kalimat-kalimat petuah yang bijak tidak ada gunanya kecuali kata penjahat yang menyenangkan. Coba dengarkan mereka, kamu akan tahu maksudnya. Setiap barisan not yang berjejer seperti tangga kehidupan, menaik dan menurun, berirama dan bersenandung. Tergantung bagaimana kamu menyusunnya agar terdengar indah, dan di sini, aku akan menceritakan semuanya, tentangku, tentang penjahat ini, dan tentang kebusukan dunia.Setelahnya kalian bisa menilai, siapa di antara kami yang jahat, siapa di antara kami yang lebih kejam. Kalian boleh menilai dari seluruh sudut pandang, kalian boleh menyangkal dengan membawa argumen bebas, tapi aku akan menunjukkan kehidupanku. Bagaimana dunia bersikap tidak adil pada orang sepertiku. Dan bagaimana ia bermain dengan orang-orang lemah seperti kalian.--... “Borneo ... lari!” Suara itu mengalun di udara seolah menembus ca
Di tengah hutan rimba yang gelap, suara burung hantu menjadi begitu sunyi, saat hewan malam yang kerap berisik menjadi begitu senyap, aku memacu ke dua kaki untuk terus berlari, menerjang akar pohon, meloncati kayu yang tumbang sepanjang hutan, menepis dedaunan yang menghalangi jalan, sesekali rantingnya menggores kulit pipi, tetapi aku terus berlari. Suara napas yang ke luar masuk semakin cepat. Detak jantung yang berpacu semakin keras.Suara gemeresik dedaunan beradu dengan ranting yang patah, merobek kulit kaki telanjang, menghasilkan darah segar yang terus mengalir sepanjang jalan. “Angkh!” Aku meringis, merasakan nyeri yang tak tertahankan.Suara tembakan di belakang sana terdengar tujuh kali beruntun membelah kesunyian, menembus jantung pohon. Aku kembali berlari tanpa arah, hingga tiba di ujung tebing, tepat di atas air terjun. Baik, tidak ada jalan lagi. Aku akan mati, benar-benar akan mati malam ini. Mereka pasti melacak sinyal tiga orang yang non-aktiv tiba-tiba dan menyu
Dalam organisasi kami, ada satu yang tidak pernah dapat ditoleran, yaitu penghianat. Jika salah satu dari kami berkhianat, maka orang itu akan mati, tanpa jejak, seolah ia tidak pernah ada di dunia ini.Taneba, itu adalah organisasi bawah tanah yang dioperasikan oleh seorang ilmuan wanita jenius bernama Levale. Sebagian besar anggota organisasi diciptakan melalui pembenihan buatan, bayi tabung, dan sel sperma yang dibesarkan menggunakan rahim buatan di dalam kapsul kecil transparan. Terdengar tidak masuk akal, ‘kan? Benar, kami tidak pernah memiliki Ibu atau Ayah seperti manusia pada umumnya. Kami hanyalah manusia eksperimen yang diciptakan untuk mengelola organisasi. Ada satu prinsip dasar yang dimiliki oleh wanita tua itu, jika kamu ingin menjinakkan anak anjing, maka pastikan kamu menggenggamnya saat mereka baru lahir. Itulah alasan dasar mengapa kami tidak mengenal orang tua selain dirinya. Organisasi kami bekerja di bawah bayangan. Dikendalikan oleh seorang wanita tua berusia 5
Suara gesekan besi dan dinding tembok beradu menjadi perpaduan suara yang menyenangkan. Warna merah darah yang mengalir di ujungnya yang lancip memiliki sebuah story yang menarik untuk didengar. Bau darah yang tidak pernah asing dan aura yang sama benar-benar kental. Lihatlah, dua tubuh yang terkapar di lantai bersimbah darah. Mereka mulanya adalah sepasang suami istri yang harmonis dan menyenangkan. Aku sudah baik sekali mengakhiri mereka secara bersamaan agar yang lain tidak kesepian.Mereka cukup baik padaku, tetapi itu hanya sesaat, sebelum aku mengetahui topeng asli mereka dan wajah manis itu langsung tampak ketakutan. Jadi, tanpa berbasa-basi aku menyelesaikan tugasku, tugas awal yang diberikan oleh Ibu saat pertama kali menemui keluarga ini. Aku beralih menatap seorang gadis yang meringkuk di ujung ruangan, memeluk tubuhnya ketakutan. Namanya Alea, anak tunggal suami istri itu. Wajahnya tampak pucat dan sama sekali tidak mau menatapku. Gadis yang sempat melemahkan langkahku