“Hah? Kok tiba – tiba ngomongin Nayra sih?”“Jawab aja. Susah kah? Aku tanya, apa masih ada nayra di hati kamu?” Almara menatap suaminya. Ada harapan sekaligus rasa tidak percaya diri dalam dirinya.Dari apa yang Almara ketahui dalam mimpinya dan juga dari cara Rangga menceritakan Nayra saat mereka bertengkar beberapa waktu lalu, Almara merasa bahwa Nayra mungkin akan selamanya menempati ruang istimewa dalam hati Rangga.“Hmm... Ada sih, Nayra masih ada di hatiku,” ucap Rangga lirih.‘Tapi bukan ruang untuk cinta’ tambahnya dalam hati“Hmm...” Almara menundukkan kepalanya, dia sudah menduga. Ah, dirinya tetap kalah dengan wanita itu.“Tapi,” Rangga menyentuh dagu Almara, mengangkatnya hingga pandangan mereka bertemu, “Tapi ruang paling istimewa ditempati sama kamu. Yang paling indah, paling luas dan paling utama. Nayra cuma bagian dari masa laluku aja. Ruang dia di hatiku, bukan ruang untuk cinta.”Rangga menyibakkan rambut Almara yang menutupi sebagian wajah perempuan itu, “Kamu tahu
Keesokan harinya, Rangga dan Almara bangun dalam keadaan segar dan bersemangat, terutama Almara, yang baru pertama kalinya menginjakkan kaki di bumi Spanyol.Almara sudah membawa catatan agenda perjalanan mereka, mulai dari jam, destinasi wisata hingga nama restoran yang ingin dia kunjungi. Rangga hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat betapa detail dan bersemangatnya Almara.“Pagi ini kita kunjungi Montserrat dulu ya? Dari dulu aku penasaran banget pengen jalan – jalan di sana,” ucap Almara sembari menyeruput kopi susu paginya saat mereka sarapan di restoran hotel.“Anything you want baby,” Rangga melemparkan senyuman termanisnya kepada Almara. Membuat Almara tak tahan untuk mencubit pipinya sekencang mungkin.“Aww... sakit banget sih,” protes Rangga.“Siapa suruh kamu gemesin banget.”Rangga berdecak, “Kalau gemesin tuh dicium bukan dicubit kayak barusan,” ujarnya lalu tanpa meminta ijin menarik Almara ke arahnya kemudian melumat bibir wanita itu dengan penuh gairah.“Kayak gitu
“Iya boleh. Saya tahu kok siapa kamu. Kamu Nayra kan?”“Kamu tahu saya?” tanya Nayra memasang wajah terkejut namun mengubahnya menjadi senyum dalam waktu sekejap, “Oh maaf, kamu istrinya, pasti Rangga pernah cerita soal saya.”Almara hanya mengangguk, walaupun untuk saat ini Rangga adalah miliknya, hatinya tetap dipenuhi oleh perasaan asing yang tidak mengenakkan.“Ayo masuk,” Almara mempersilakan Nayra untuk masuk. Dia memandu Nayra ke ruang tamu, “Kamu tunggu sini ya, Rangga masih mandi.”“Ada siapa sayang?” tanya Rangga yang baru saja keluar dari kamar lalu mendengar Almara berbicara dengan seseorang.“Nayra?” Almara belum menjawab namun Rangga telah tiba di ruang tamu dan melihat Nayra yang terduduk di sofa ruang tamunya.“Hai Rangga, apa kabar?” Nayra bangkit dari sofa dan menghampiri Rangga. Dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Rangga.Rangga meraih uluran tangan Nayra. Serbuan rasa cemburu mendadak menyerang Almara. Mereka berdua hanya bersalaman, namun Almara tahu
“Kamu gak ada kerjaan lagi selain nonton drama korea dan ngemil?” tanya Ardan kepada Sharon yang sedang bermalas – malasan di ruang televisi.“Apa lagi yang bisa dilakukan sama tahanan rumah?” jawab wanita itu dengan nada tidak peduli.“Ya banyak lah. Kamu tuh bisa masak, kamu bisa baca buku, olahraga kek apa gitu.”“Ah, aku gak minat sama aktifitas begituan.”“Ck. Pemalas,”“Bodo amat. Weeek...” jawab Sharon sembara menjulurkan lidahnya.“O ya, progres kasus kamu gimana? Kok aku gak dapat kabar dari Julio sih? Kerja apa gak dia tuh?”“Eits, jangan salah. Progressnya banyak tahu. Kamu aja yang gak tau. Dia kerja dengan baik kok. Dia bahkan dapat saksi baru yang bisa jadi kunci buat kita menemukan pelaku sebenarnya. Keren kan? Dia emang top deh, my favorite lawyer pokoknya.”“Halah, favorite lawyer apa lelaki idaman? Ngomong aja naksir.”“Ya kalau naksir gak papa kan aku jadikan dia pengacara favorit juga? Dih, nyinyir amat.”“Jadi, apa progresnya? Trus? Saksi itu, siapa?” tanya Ardan.
Paginya, Ardan terbangun dalam keadaan linglung. Saat dia baru saja terjaga, dia sadar bahwa dia sedang berada di kamarnya sendiri. Dia melihat ke samping, tidak ada Sharon yang tertidur di ranjangnya.Dia bangun saat masih dini hari dan tidak bisa tidur lagi hingga langit benar – benar terang. Dia berpikir keras apakah yang dialaminya semalam adalah mimpi atau kenyataan.Dia ingat apa yang Sharon lakukan di dapur, tapi dia berada dalam keraguan apakah mereka melakukan lebih dari itu.Ardan ingin memastikan, dia ingin menemui Sharon, tapi dirinya diliputi keraguan. Jantungnya berdebar amat kencang, dia malu mengapa dia tak mencegah Sharon melakukannya semalam dan justru menikmatinya.Tapi, apa yang terjadi semalam mau tidak mau akan mempengaruhi hubungan mereka setelah ini. Mereka tidak akan lagi bisa bersikap sepenuhnya sebagai teman biasa seperti sebelumnya. Karena teman biasa tak melakukan apa yang mereka lakukan semalam.Ardan memberanikan dirinya untuk keluar kamar. Tentu saja, d
“Lho, hey, kamu kenapa? Kenapa nangis begini? Ayo masuk dulu,” Sharon merangkul dan menuntun Almara masuk ke dalam.Sharon mendudukkan Almara di sofa ruang tamunya, “Tunggu sini ya Al, aku bikinkan kamu minum anget dulu. Kayaknya kamu sedih dan syok banget ya.”Almara mengangguk sambil menyeka air matanya. Ardan duduk di sofa tepat di hadapan Almara. Sejenak, dia memperhatikan wajah mungil Almara yang saat ini sedang berhias air mata. Ardan merasa simpati kepada kesedihan apapun yang wanita itu alami. Bagaimanapun, lelaki sejati tak pernah suka melihat seorang wanita menangis.Namun, dia mencari – cari di dalam hatinya, kemana perginya rasa yang dulu membuatnya nyaris tak bisa bernafas setiap kali melihat wanita di hadapannya itu menangis? Kemana ribuan belati yang selalu berpesta menikam hatinya setiap kali kesedihan menghampiri Almara?Dia bertanya – tanya apakah tatapannya sekarang masih sehangat dulu, saat dia begitu menginginkan wanita itu dan amat takut kehilangannya. Dia mencar
Sepanjang perjalanan pulang, Almara terus berpikir apakah dia perlu sampai meletakkan kamera pengawas di kantor Rangga? Apakah dia tidak bisa percaya saja seperti janjinya kepada lelaki itu?***Nayra meletakkan berkas yang dia bawa masuk ke dalam ruangan Rangga. Pakaian kerja ala sekretarisnya membuat dia terlihat lebih anggun di banding saat dia berpakaian casual ketika dia mengunjungi apartemen Rangga.Nayra mendekati kursi tempat Rangga duduk, dia membelai sebelah pipi lelaki itu, tatapan mereka mau tidak mau bertemu, “Rangga, aku gak percaya kalau perasaan kamu ke aku bener – bener udah hilang 100%.”Rangga hanya diam, tatapannya teralih dari wajah Nayra menuju ke lantai.“Tatap aku Rangga, emangnya, kamu secinta itu sama Almara?”Rangga menatap mata Nayra kembali. Butuh hampir 10 detik untuk dia akhirnya menjawab, “Gak. Selama ini aku masih cinta sama kamu. Aku belum bener – bener lupa sama kamu.”Nayra tersenyum, merasa puas dengan jawaban yang dia terima.“I know, aku juga sam
Butuh waktu hampir 30 menit bagi Rangga hingga dia sampai di lokasi yang Nayra kirimkan padahal lalu lintas sudah amat lengang. Tempat tinggal Nayra berada di perkampungan yang berada di pinggiran Kota Surabaya.Rangga harus sedikit berputar – putar untuk mencari tempat parkir yang pas dan aman untuk mobilnya. Rumah yang menjadi tujuannya ternyata berada di dalam gang kecil yang hanya bisa dilalui oleh satu sepeda motor.Setelah turun dari mobilnya, Rangga berjalan ke dalam gang sesuai dengan panduan Nayra. Sebagian besar rumah sudah tertutup rapat karena penghuninya sudah tertidur. Namun ada beberapa pemuda yang berkumpul di beberapa titik lokasi, mereka terlihat sedang mabuk.Sesampainya di alamat rumah Nayra, Rangga sudah mendapati Nayra berdiri di pintu berbincang dengan seorang lelaki. Lelaki itu mengenakan pakaian yang agak berantakan, perawakannya pendek dan perutnya buncit. Penampilannya kusut dengan jenggot dan rambut yang sudah mulai memutih. Rangga menebak umurnya mungkin