Di dalam Kafe.Setelah Almara dan Fariz memesan minuman, Almara tanpa basa – basi langsung menyampaikan tujuannya mengajak Fariz bertemu.“Fariz, saat kamu mengantar saya ke rumah sakit, saya meminta kamu untuk menceritakan apa saja yang terjadi saat saya koma. Tapi hari ini saya mau bertanya beberapa detail ke kamu karena saya sangat membutuhkan informasi itu.”“Iya. Silahkan Bu.”“Bisa saya tahu tanggal dan jam tepatnya Rangga dapat kunci laci lemari saya?”“Sebentar saya ingat – ingat dulu Bu. Hmm...” Fariz berpikir keras untuk mengingat tanggal berapa tepatnya anak kecil itu datang ke rumah dan menyerahkan kunci itu.Dia membuka aplikasi perpesanan dalam ponselnya lalu berkata, “Saya ingat pagi harinya saya mendapat info dari kepolisian mengenai fakta baru pada kasus Bu Almara, lalu saya segera mendatangi Pak Rangga di rumah sakit. Kami lalu ke kantor polisi dan siangnya sekitar jam 2, anak itu datang ke rumah membawa bingkisan kunci untuk Pak Rangga,”“Kalau saya lihat riwayat pe
Almara pulang dengan pikiran kalut. Dia tidak menyangka, selain kunci lacinya yang entah oleh siapa telah dikirim ke Rangga, ada pula fitnah bahwa dirinya bermalam di hotel bersama Ardan. Semakin hari, bukannya melihat harapan, dia justru semakin berkecil hati, akankah dia bisa kembali bersama Rangga? Di tengah kekalutan pikirannya, dia tahu, bahwa dia harus menyelesaikan masalah ini satu persatu. Segera, Almara mengirim pesan kepada Julio untuk memberitahukan informasi yang dia dapat dari Fariz. [Rangga menerima paket berisi kunci laci saya pada tanggal 26 April siang hari. Saya barusan ketemu Fariz, dia gak ingat jamnya] [Ok terimakasih. Gak masalah soal jam. Yang penting tanggalnya sudah pasti kan?] [Fariz sih yakin itu tanggalnya] [Ok. Oya, pengajuan penangguhan penahanan Sharon disetujui, Sementara ini dia jadi tahanan rumah. Ardan penjaminnya.] [Syukurlah] Untungnya, ini adalah awal yang baik, pikir Almara. Setidaknya akan jadi lebih mudah baginya untuk berkomunikasi deng
Sharon tidak segera menjawab pertanyaan Almara, dia hanya menundukkan pandangannya dan sedikit tersenyum. “Maaf, kalau kamu gak mau jawab gak papa kok.” “Kenapa kamu tanya soal itu Al?” “Hmm... Aku cuma... melihat tatapan kamu ke Ardan. Aku merasa ada kasih sayang di dalamnya. Tapi mungkin aku cuma sok tahu aja. Maaf.” “Oya? Kamu bisa tahu hanya dari caraku menatap dia? Hm ... lucu ya. Kamu bukan orang pertama yang bilang gitu. Kenapa ya, semua orang bisa tahu kalau aku cinta sama Ardan, tapi Ardan sama sekali gak peka?” “Jadi bener?” Sharon mengangguk. Almara tidak tahu apa yang mendorongnya, namun, dia hanya ingin memeluk Sharon. Direngkuhnya Sharon ke dalam pelukannya. Sharon balas memeluknya namun dia tidak menangis. Justru Almara lah yang sudah nyaris menangis. Melihat Sharon, dia ingat bagaimana dulu Rangga juga sangat mencintainya. Dan dia pula dulu pernah menjadi seorang Ardan, yang tidak mencintai pasangan yang sangat mencintainya. Bedanya, Ardan masih lebih baik dari
Malam ini sebenarnya Rangga berniat untuk bekerja hingga larut malam, namun kejadian dengan Almara membuatnya kehilangan selera untuk bekerja. Saat ini, dia hanya ingin tidur.Setelah hampir setengah jam membolak - balikkan badannya, Rangga merasa putus asa karena dia tidak juga berhasil memejamkan mata. Maka dia berpikir untuk menyegarkan pikirannya di rooftop apartemennya. Dia mengambil sekaleng minuman bersoda dari dalam kulkasnya lalu bergegas menuju rooftop.Ada cafe dan bar di rooftop apartemennya, namun Rangga lebih menyukai sisi yang kosong dan sunyi di mana hanya ada dudukan semen yang mengarah ke jalan raya. Disitulah Rangga menghabiskan waktunya jika dia sedang ingin sendirian, melihat lalu lalang kendaraan di bawahnya, gemerlap lampu dari bangunan di sekitar dan juga bentangan langit luas yang kadang cerah berbintang kadang berawan.Saat dia sampai, ternyata sudah ada orang lain yang duduk di tempat dia biasa duduk. Rangga mengenal wanita itu sekalipun dia hanya menatapnya
Almara tidak bisa berhenti tersenyum. Pipinya terasa panas. Dia menepuk – nepuk wajahnya untuk meyakinkan dirinya bahwa ini bukan mimpi sekaligus untuk membuatnya tidak hilang kesadaran.Almara bahkan masih berada di rooftop setelah 15 menit kemudian. Sesekali dia tertawa dan merasa salah tingkah. Bukan semata – mata karena dia berciuman dengan Rangga, melainkan karena dia merasa Rangga telah memberinya kesempatan.Di masa lalu, tentu saja Almara sudah berulang kali melakukan yang lebih dari itu dengan Rangga. Namun, ini adalah pertama kalinya dia tidak hanya merasakan aliran gelombang biologis saat Rangga menyentuhnya, melainkan juga debaran cinta yang mengalirkan gairah ke seluruh pembuluh darahnya. Belum pernah dia begitu menginginkan Rangga hingga seperti ini.Almara tidak menyangka bahwa di malam pertama dia pindah ke apartemen ini, dia akan berani melakukan hal ekstrim seperti berinisiatif mencium Rangga terlebih dahulu. Bahkan dia tidak ingat apakah dulu dia pernah melakukannya
Almara juga nyaris ambruk ketika menahan beban tubuh Rangga, bagaimanapun, tubuhnya jauh lebih kecil daripada Rangga. Beruntungnya, Rangga belum sepenuhnya tak sadarkan diri, kedua kakinya masih bisa menopang tubuhnya agar tak sepenuhnya bersandar pada Almara.“Rangga, Ya Ampun, sini aku bantu jalan, pelan –pelan,” Almara mengalungkan lengan Rangga di bahunya untuk membantu Rangga berjalan.Almara menuntun Rangga sampai tiba di kamarnya. Dia membaringkan Rangga di ranjang. Disentuhnya dahi dan wajah Rangga yang ternyata bersuhu tinggi.“Rangga, badan kamu panas banget. Kamu udah minum penurun panas?”“Belum.”“Kamu udah makan?”“Belum.”“Ya Ampun, kamu bekerja terlalu keras. Kamu tunggu sini ya aku ambilkan makanan, habis itu minum obat.”Rangga hanya mengangguk. Dia hanya bisa meringkuk di ranjangnya sambil menunggu Almara membawa makanan.Sepuluh menit kemudian, Almara datang membawa dua potong pizza panas dan jeruk hangat.“Rangga, di dapur gak ada bahan apapun. Di kulkas kamu cum
Almara hanya mampu menelan ludahnya. Jantungnya sudah nyaris melompat dari dadanya saat Rangga mengucapkan kalimat yang menggoda itu. Sedikit lagi, bisa – bisa pertahanannya runtuh detik ini juga.“Mara,”“Ya?”“Kamu mau rujuk sama aku?”“Mau,” Tanpa berpikir barang sedetikpun, tentu saja, itu adalah jawaban yang Almara berikan.“Kalau gitu ayo kita batalkan pengajuan cerai kita.”“Oke.”Rangga membelai kening Almara. Dia menyisihkan helaian rambut Almara yang menutupi wajah lalu dengan tatapan nakalnya berkata, “Jadi, lebih baik kita juga lakukan ritual rujuknya sekarang.”“Hah? Apa itu ritual rujuk? Aku belum pernah dengar.”“Kamu mau tahu?”“Apa?”Bukannya menjawab, Rangga hanya tersenyum lalu mendaratkan bibirnya di bibir Almara. Almara menyambut ciuman itu dan melingkarkan lengannya di leher Rangga. Detik ini juga, Almara merasakan begitu banyak beban yang luruh dari atas pundaknya. Hatinya dipenuhi kelegaan setelah merasa diremukkan berkali – kali selama periode waktu yang dia t
“Kamu mau makan apa?” tanya Rangga sembari membantu Almara memasang sabuk pengamannya saat mereka sudah berada di mobil. “Hm ... Apa ya? Kalau kamu lagi pengen makan apa?” “Aku apa aja terserah.” “Masakan korea mau gak? Aku lagi pengen makan bulgogi sama kimchi nih.” “Oke, makan itu aja.” Rangga mengemudikan mobilnya menuju restoran korea yang dia tahu. Suasana di dalam mobil sangat tenang, mereka tidak banyak bicara ataupun memutar musik. Rangga berkendara dengan fokus. Tadinya dia berpikir bahwa Almara sedang fokus dengan ponselnya namun pada akhirnya dia sadar bahwa selama ini Almara hanya diam menatapnya sambil tersenyum. “Apa aku terlalu ganteng sampai kamu gak bisa berhenti menatap aku seperti itu?” tanyanya. “Iya, kamu terlalu ganteng. Tapi aku bodoh terlambat jatuh cinta sama kamu.” Rangga balas melirik Almara sambil tersenyum, “O ya? Lebih ganteng mana aku atau Ardan?” “Kamu,” jawab Almara tanpa berpikir dua kali. “Kamu lagi ngegombal ya?” tanya Rangga “Menurutmu?”