Hai... maaf ya updatenya lamaaa banget. Karena aku bener - bener memanfaatkan masa cuti lebaranku sepekan terakhir ini. Jangan lupa mampir ke igku ya lisandi.noera se you there
Sharon tidak segera menjawab pertanyaan Almara, dia hanya menundukkan pandangannya dan sedikit tersenyum. “Maaf, kalau kamu gak mau jawab gak papa kok.” “Kenapa kamu tanya soal itu Al?” “Hmm... Aku cuma... melihat tatapan kamu ke Ardan. Aku merasa ada kasih sayang di dalamnya. Tapi mungkin aku cuma sok tahu aja. Maaf.” “Oya? Kamu bisa tahu hanya dari caraku menatap dia? Hm ... lucu ya. Kamu bukan orang pertama yang bilang gitu. Kenapa ya, semua orang bisa tahu kalau aku cinta sama Ardan, tapi Ardan sama sekali gak peka?” “Jadi bener?” Sharon mengangguk. Almara tidak tahu apa yang mendorongnya, namun, dia hanya ingin memeluk Sharon. Direngkuhnya Sharon ke dalam pelukannya. Sharon balas memeluknya namun dia tidak menangis. Justru Almara lah yang sudah nyaris menangis. Melihat Sharon, dia ingat bagaimana dulu Rangga juga sangat mencintainya. Dan dia pula dulu pernah menjadi seorang Ardan, yang tidak mencintai pasangan yang sangat mencintainya. Bedanya, Ardan masih lebih baik dari
Malam ini sebenarnya Rangga berniat untuk bekerja hingga larut malam, namun kejadian dengan Almara membuatnya kehilangan selera untuk bekerja. Saat ini, dia hanya ingin tidur.Setelah hampir setengah jam membolak - balikkan badannya, Rangga merasa putus asa karena dia tidak juga berhasil memejamkan mata. Maka dia berpikir untuk menyegarkan pikirannya di rooftop apartemennya. Dia mengambil sekaleng minuman bersoda dari dalam kulkasnya lalu bergegas menuju rooftop.Ada cafe dan bar di rooftop apartemennya, namun Rangga lebih menyukai sisi yang kosong dan sunyi di mana hanya ada dudukan semen yang mengarah ke jalan raya. Disitulah Rangga menghabiskan waktunya jika dia sedang ingin sendirian, melihat lalu lalang kendaraan di bawahnya, gemerlap lampu dari bangunan di sekitar dan juga bentangan langit luas yang kadang cerah berbintang kadang berawan.Saat dia sampai, ternyata sudah ada orang lain yang duduk di tempat dia biasa duduk. Rangga mengenal wanita itu sekalipun dia hanya menatapnya
Almara tidak bisa berhenti tersenyum. Pipinya terasa panas. Dia menepuk – nepuk wajahnya untuk meyakinkan dirinya bahwa ini bukan mimpi sekaligus untuk membuatnya tidak hilang kesadaran.Almara bahkan masih berada di rooftop setelah 15 menit kemudian. Sesekali dia tertawa dan merasa salah tingkah. Bukan semata – mata karena dia berciuman dengan Rangga, melainkan karena dia merasa Rangga telah memberinya kesempatan.Di masa lalu, tentu saja Almara sudah berulang kali melakukan yang lebih dari itu dengan Rangga. Namun, ini adalah pertama kalinya dia tidak hanya merasakan aliran gelombang biologis saat Rangga menyentuhnya, melainkan juga debaran cinta yang mengalirkan gairah ke seluruh pembuluh darahnya. Belum pernah dia begitu menginginkan Rangga hingga seperti ini.Almara tidak menyangka bahwa di malam pertama dia pindah ke apartemen ini, dia akan berani melakukan hal ekstrim seperti berinisiatif mencium Rangga terlebih dahulu. Bahkan dia tidak ingat apakah dulu dia pernah melakukannya
Almara juga nyaris ambruk ketika menahan beban tubuh Rangga, bagaimanapun, tubuhnya jauh lebih kecil daripada Rangga. Beruntungnya, Rangga belum sepenuhnya tak sadarkan diri, kedua kakinya masih bisa menopang tubuhnya agar tak sepenuhnya bersandar pada Almara.“Rangga, Ya Ampun, sini aku bantu jalan, pelan –pelan,” Almara mengalungkan lengan Rangga di bahunya untuk membantu Rangga berjalan.Almara menuntun Rangga sampai tiba di kamarnya. Dia membaringkan Rangga di ranjang. Disentuhnya dahi dan wajah Rangga yang ternyata bersuhu tinggi.“Rangga, badan kamu panas banget. Kamu udah minum penurun panas?”“Belum.”“Kamu udah makan?”“Belum.”“Ya Ampun, kamu bekerja terlalu keras. Kamu tunggu sini ya aku ambilkan makanan, habis itu minum obat.”Rangga hanya mengangguk. Dia hanya bisa meringkuk di ranjangnya sambil menunggu Almara membawa makanan.Sepuluh menit kemudian, Almara datang membawa dua potong pizza panas dan jeruk hangat.“Rangga, di dapur gak ada bahan apapun. Di kulkas kamu cum
Almara hanya mampu menelan ludahnya. Jantungnya sudah nyaris melompat dari dadanya saat Rangga mengucapkan kalimat yang menggoda itu. Sedikit lagi, bisa – bisa pertahanannya runtuh detik ini juga.“Mara,”“Ya?”“Kamu mau rujuk sama aku?”“Mau,” Tanpa berpikir barang sedetikpun, tentu saja, itu adalah jawaban yang Almara berikan.“Kalau gitu ayo kita batalkan pengajuan cerai kita.”“Oke.”Rangga membelai kening Almara. Dia menyisihkan helaian rambut Almara yang menutupi wajah lalu dengan tatapan nakalnya berkata, “Jadi, lebih baik kita juga lakukan ritual rujuknya sekarang.”“Hah? Apa itu ritual rujuk? Aku belum pernah dengar.”“Kamu mau tahu?”“Apa?”Bukannya menjawab, Rangga hanya tersenyum lalu mendaratkan bibirnya di bibir Almara. Almara menyambut ciuman itu dan melingkarkan lengannya di leher Rangga. Detik ini juga, Almara merasakan begitu banyak beban yang luruh dari atas pundaknya. Hatinya dipenuhi kelegaan setelah merasa diremukkan berkali – kali selama periode waktu yang dia t
“Kamu mau makan apa?” tanya Rangga sembari membantu Almara memasang sabuk pengamannya saat mereka sudah berada di mobil. “Hm ... Apa ya? Kalau kamu lagi pengen makan apa?” “Aku apa aja terserah.” “Masakan korea mau gak? Aku lagi pengen makan bulgogi sama kimchi nih.” “Oke, makan itu aja.” Rangga mengemudikan mobilnya menuju restoran korea yang dia tahu. Suasana di dalam mobil sangat tenang, mereka tidak banyak bicara ataupun memutar musik. Rangga berkendara dengan fokus. Tadinya dia berpikir bahwa Almara sedang fokus dengan ponselnya namun pada akhirnya dia sadar bahwa selama ini Almara hanya diam menatapnya sambil tersenyum. “Apa aku terlalu ganteng sampai kamu gak bisa berhenti menatap aku seperti itu?” tanyanya. “Iya, kamu terlalu ganteng. Tapi aku bodoh terlambat jatuh cinta sama kamu.” Rangga balas melirik Almara sambil tersenyum, “O ya? Lebih ganteng mana aku atau Ardan?” “Kamu,” jawab Almara tanpa berpikir dua kali. “Kamu lagi ngegombal ya?” tanya Rangga “Menurutmu?”
“Sayang, gimana kalau kita jalan – jalan ke luar negeri? Kamu pengen ke negara mana?” ucap Rangga sembari mengecup kening Almara yang sedang berada dalam pelukannya dalam keadaan tanpa busana.Almara menatap Rangga, “Jalan – jalan? Emangnya kamu gak kerja? Bukannya kamu lagi launching produk baru dan lagi sibuk – sibuknya?”“Ck,” decak Rangga, “Apa kamu gak tau belakangan ini aku kerja keras bagai kuda? Aku jarang istirahat dan tetap kerja meskipun hari libur. Sekarang aku mau ambil jatah libur dan istirahatku dong. Dan aku mau menghabiskannya berdua sama kamu.”“Asyiiiik... berarti waktu senang – senang kita masih banyak dong?”“Masih banyak, mau kamu ambil semua waktuku juga boleh kok.”“Semua? Trus kapan kerjanya? Kalau kamu gak kerja nanti kamu miskin, aku gak mau jadi miskin,” Almara melirik suaminya dengan nakal, menunggu reaksi Rangga atas ucapannya.Rangga menarik satu pipi Almara dengan gemas, “Kamu mau tinggalkan aku kalau aku miskin?”“Hmm ... mung – kin.”“Hmm... gitu. Sem
“Hah? Kok tiba – tiba ngomongin Nayra sih?”“Jawab aja. Susah kah? Aku tanya, apa masih ada nayra di hati kamu?” Almara menatap suaminya. Ada harapan sekaligus rasa tidak percaya diri dalam dirinya.Dari apa yang Almara ketahui dalam mimpinya dan juga dari cara Rangga menceritakan Nayra saat mereka bertengkar beberapa waktu lalu, Almara merasa bahwa Nayra mungkin akan selamanya menempati ruang istimewa dalam hati Rangga.“Hmm... Ada sih, Nayra masih ada di hatiku,” ucap Rangga lirih.‘Tapi bukan ruang untuk cinta’ tambahnya dalam hati“Hmm...” Almara menundukkan kepalanya, dia sudah menduga. Ah, dirinya tetap kalah dengan wanita itu.“Tapi,” Rangga menyentuh dagu Almara, mengangkatnya hingga pandangan mereka bertemu, “Tapi ruang paling istimewa ditempati sama kamu. Yang paling indah, paling luas dan paling utama. Nayra cuma bagian dari masa laluku aja. Ruang dia di hatiku, bukan ruang untuk cinta.”Rangga menyibakkan rambut Almara yang menutupi sebagian wajah perempuan itu, “Kamu tahu