Almara hanya mampu menelan ludahnya. Jantungnya sudah nyaris melompat dari dadanya saat Rangga mengucapkan kalimat yang menggoda itu. Sedikit lagi, bisa – bisa pertahanannya runtuh detik ini juga.“Mara,”“Ya?”“Kamu mau rujuk sama aku?”“Mau,” Tanpa berpikir barang sedetikpun, tentu saja, itu adalah jawaban yang Almara berikan.“Kalau gitu ayo kita batalkan pengajuan cerai kita.”“Oke.”Rangga membelai kening Almara. Dia menyisihkan helaian rambut Almara yang menutupi wajah lalu dengan tatapan nakalnya berkata, “Jadi, lebih baik kita juga lakukan ritual rujuknya sekarang.”“Hah? Apa itu ritual rujuk? Aku belum pernah dengar.”“Kamu mau tahu?”“Apa?”Bukannya menjawab, Rangga hanya tersenyum lalu mendaratkan bibirnya di bibir Almara. Almara menyambut ciuman itu dan melingkarkan lengannya di leher Rangga. Detik ini juga, Almara merasakan begitu banyak beban yang luruh dari atas pundaknya. Hatinya dipenuhi kelegaan setelah merasa diremukkan berkali – kali selama periode waktu yang dia t
“Kamu mau makan apa?” tanya Rangga sembari membantu Almara memasang sabuk pengamannya saat mereka sudah berada di mobil. “Hm ... Apa ya? Kalau kamu lagi pengen makan apa?” “Aku apa aja terserah.” “Masakan korea mau gak? Aku lagi pengen makan bulgogi sama kimchi nih.” “Oke, makan itu aja.” Rangga mengemudikan mobilnya menuju restoran korea yang dia tahu. Suasana di dalam mobil sangat tenang, mereka tidak banyak bicara ataupun memutar musik. Rangga berkendara dengan fokus. Tadinya dia berpikir bahwa Almara sedang fokus dengan ponselnya namun pada akhirnya dia sadar bahwa selama ini Almara hanya diam menatapnya sambil tersenyum. “Apa aku terlalu ganteng sampai kamu gak bisa berhenti menatap aku seperti itu?” tanyanya. “Iya, kamu terlalu ganteng. Tapi aku bodoh terlambat jatuh cinta sama kamu.” Rangga balas melirik Almara sambil tersenyum, “O ya? Lebih ganteng mana aku atau Ardan?” “Kamu,” jawab Almara tanpa berpikir dua kali. “Kamu lagi ngegombal ya?” tanya Rangga “Menurutmu?”
“Sayang, gimana kalau kita jalan – jalan ke luar negeri? Kamu pengen ke negara mana?” ucap Rangga sembari mengecup kening Almara yang sedang berada dalam pelukannya dalam keadaan tanpa busana.Almara menatap Rangga, “Jalan – jalan? Emangnya kamu gak kerja? Bukannya kamu lagi launching produk baru dan lagi sibuk – sibuknya?”“Ck,” decak Rangga, “Apa kamu gak tau belakangan ini aku kerja keras bagai kuda? Aku jarang istirahat dan tetap kerja meskipun hari libur. Sekarang aku mau ambil jatah libur dan istirahatku dong. Dan aku mau menghabiskannya berdua sama kamu.”“Asyiiiik... berarti waktu senang – senang kita masih banyak dong?”“Masih banyak, mau kamu ambil semua waktuku juga boleh kok.”“Semua? Trus kapan kerjanya? Kalau kamu gak kerja nanti kamu miskin, aku gak mau jadi miskin,” Almara melirik suaminya dengan nakal, menunggu reaksi Rangga atas ucapannya.Rangga menarik satu pipi Almara dengan gemas, “Kamu mau tinggalkan aku kalau aku miskin?”“Hmm ... mung – kin.”“Hmm... gitu. Sem
“Hah? Kok tiba – tiba ngomongin Nayra sih?”“Jawab aja. Susah kah? Aku tanya, apa masih ada nayra di hati kamu?” Almara menatap suaminya. Ada harapan sekaligus rasa tidak percaya diri dalam dirinya.Dari apa yang Almara ketahui dalam mimpinya dan juga dari cara Rangga menceritakan Nayra saat mereka bertengkar beberapa waktu lalu, Almara merasa bahwa Nayra mungkin akan selamanya menempati ruang istimewa dalam hati Rangga.“Hmm... Ada sih, Nayra masih ada di hatiku,” ucap Rangga lirih.‘Tapi bukan ruang untuk cinta’ tambahnya dalam hati“Hmm...” Almara menundukkan kepalanya, dia sudah menduga. Ah, dirinya tetap kalah dengan wanita itu.“Tapi,” Rangga menyentuh dagu Almara, mengangkatnya hingga pandangan mereka bertemu, “Tapi ruang paling istimewa ditempati sama kamu. Yang paling indah, paling luas dan paling utama. Nayra cuma bagian dari masa laluku aja. Ruang dia di hatiku, bukan ruang untuk cinta.”Rangga menyibakkan rambut Almara yang menutupi sebagian wajah perempuan itu, “Kamu tahu
Keesokan harinya, Rangga dan Almara bangun dalam keadaan segar dan bersemangat, terutama Almara, yang baru pertama kalinya menginjakkan kaki di bumi Spanyol.Almara sudah membawa catatan agenda perjalanan mereka, mulai dari jam, destinasi wisata hingga nama restoran yang ingin dia kunjungi. Rangga hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat betapa detail dan bersemangatnya Almara.“Pagi ini kita kunjungi Montserrat dulu ya? Dari dulu aku penasaran banget pengen jalan – jalan di sana,” ucap Almara sembari menyeruput kopi susu paginya saat mereka sarapan di restoran hotel.“Anything you want baby,” Rangga melemparkan senyuman termanisnya kepada Almara. Membuat Almara tak tahan untuk mencubit pipinya sekencang mungkin.“Aww... sakit banget sih,” protes Rangga.“Siapa suruh kamu gemesin banget.”Rangga berdecak, “Kalau gemesin tuh dicium bukan dicubit kayak barusan,” ujarnya lalu tanpa meminta ijin menarik Almara ke arahnya kemudian melumat bibir wanita itu dengan penuh gairah.“Kayak gitu
“Iya boleh. Saya tahu kok siapa kamu. Kamu Nayra kan?”“Kamu tahu saya?” tanya Nayra memasang wajah terkejut namun mengubahnya menjadi senyum dalam waktu sekejap, “Oh maaf, kamu istrinya, pasti Rangga pernah cerita soal saya.”Almara hanya mengangguk, walaupun untuk saat ini Rangga adalah miliknya, hatinya tetap dipenuhi oleh perasaan asing yang tidak mengenakkan.“Ayo masuk,” Almara mempersilakan Nayra untuk masuk. Dia memandu Nayra ke ruang tamu, “Kamu tunggu sini ya, Rangga masih mandi.”“Ada siapa sayang?” tanya Rangga yang baru saja keluar dari kamar lalu mendengar Almara berbicara dengan seseorang.“Nayra?” Almara belum menjawab namun Rangga telah tiba di ruang tamu dan melihat Nayra yang terduduk di sofa ruang tamunya.“Hai Rangga, apa kabar?” Nayra bangkit dari sofa dan menghampiri Rangga. Dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Rangga.Rangga meraih uluran tangan Nayra. Serbuan rasa cemburu mendadak menyerang Almara. Mereka berdua hanya bersalaman, namun Almara tahu
“Kamu gak ada kerjaan lagi selain nonton drama korea dan ngemil?” tanya Ardan kepada Sharon yang sedang bermalas – malasan di ruang televisi.“Apa lagi yang bisa dilakukan sama tahanan rumah?” jawab wanita itu dengan nada tidak peduli.“Ya banyak lah. Kamu tuh bisa masak, kamu bisa baca buku, olahraga kek apa gitu.”“Ah, aku gak minat sama aktifitas begituan.”“Ck. Pemalas,”“Bodo amat. Weeek...” jawab Sharon sembara menjulurkan lidahnya.“O ya, progres kasus kamu gimana? Kok aku gak dapat kabar dari Julio sih? Kerja apa gak dia tuh?”“Eits, jangan salah. Progressnya banyak tahu. Kamu aja yang gak tau. Dia kerja dengan baik kok. Dia bahkan dapat saksi baru yang bisa jadi kunci buat kita menemukan pelaku sebenarnya. Keren kan? Dia emang top deh, my favorite lawyer pokoknya.”“Halah, favorite lawyer apa lelaki idaman? Ngomong aja naksir.”“Ya kalau naksir gak papa kan aku jadikan dia pengacara favorit juga? Dih, nyinyir amat.”“Jadi, apa progresnya? Trus? Saksi itu, siapa?” tanya Ardan.
Paginya, Ardan terbangun dalam keadaan linglung. Saat dia baru saja terjaga, dia sadar bahwa dia sedang berada di kamarnya sendiri. Dia melihat ke samping, tidak ada Sharon yang tertidur di ranjangnya.Dia bangun saat masih dini hari dan tidak bisa tidur lagi hingga langit benar – benar terang. Dia berpikir keras apakah yang dialaminya semalam adalah mimpi atau kenyataan.Dia ingat apa yang Sharon lakukan di dapur, tapi dia berada dalam keraguan apakah mereka melakukan lebih dari itu.Ardan ingin memastikan, dia ingin menemui Sharon, tapi dirinya diliputi keraguan. Jantungnya berdebar amat kencang, dia malu mengapa dia tak mencegah Sharon melakukannya semalam dan justru menikmatinya.Tapi, apa yang terjadi semalam mau tidak mau akan mempengaruhi hubungan mereka setelah ini. Mereka tidak akan lagi bisa bersikap sepenuhnya sebagai teman biasa seperti sebelumnya. Karena teman biasa tak melakukan apa yang mereka lakukan semalam.Ardan memberanikan dirinya untuk keluar kamar. Tentu saja, d