"Tidak, Sayang. Perkenalkan, ini Tuan Bram. Ayah Putri," ucap Amara memperkenalkan Bram kepada lelaki yang baru saja mendekati nya.
"Oh, perkenalkan. Saya Mario, teman dekat Amara!" Lelaki itu menekankan kata teman dekat, membuat Bram rasanya ingin meninju rahang lelaki itu.Bram mengabaikan tangan lelaki itu, dia beralih menatap Amara. "Ingat kesepakatan kita," ucapnya lalu berlalu pergi meninggalkan Amara dan Mario yang hanya bisa mematung melihat kepergian lelaki itu."Dia ternyata sangat angkuh, julukan orang-orang kepadanya sepertinya beralasan," gumam Mario, namun masih bisa di dengar oleh Amara."Dia ingin bertemu dengan Putri," ucap Amara. Mario beralih menatap Amara."Pekerjaan mu sudah selesai? Kalau begitu, ayo makan siang bersama," ajak Mario.Amara mengangguk, dia mengangkat sisa sampah yang akan di buangnya lalu mengikuti Mario yang lebih dahulu berjalan sambil mengangkat sampah-sampah yang akan di buang oleh Amara tadi.Mario adalah Supervisor di tempat kerja Amara, mereka sudah dekat sejak tiga bulan lalu. Amara menerima Mario, karena lelaki itu mau menerima Amara dan juga Putri, anak Amara dengan Bram. Sebelum memutuskan menjalin hubungan, Amara sudah menceritakan semuanya kepada Mario. Ajaibnya lelaki itu mau menerima Amara dan semua masa lalunya.Sekarang mereka sudah duduk di sebuah restoran cepat saji, Amara menceritakan tujuan Bram menemuinya. Awalnya Amara sedikit khawatir dengan penilaian Mario, namun ternyata dia salah, Mario malah setuju Amara memberi kesempatan kepada Bram untuk bertemu Putri."Apa yang kamu lakukan sudah benar, Putri berhak mendapatkan kasih sayang dari Bram," ucap Mario. Lelaki itu menyeruput Moca float yang ada di depannya.Amara menghela napas, walaupun hatinya masih keberatan. Tapi, memang dia tak bisa egois. Walaupun Putri baru berumur satu tahun, dia belum mengerti apa-apa. Tetapi, dia pasti mendambakan kasih sayang dari Bram."Aku sebenarnya takut kalau Bram punya niat tak baik di balik kedatangannya," ucap Amara."Niat apa maksud mu?""Aku takut dia akan memisahkan aku dengan Putri," jawab Amara.Mario menghembuskan napas pelan, dia mengerti ketakutan Amara. Tetapi, kalaupun memang Bram berpikir seperti itu, juga tak ada salahnya dia berhak atas Putri, walaupun keduanya tak ada ikatan pernikahan."Jangan berprasangka buruk dulu, lihat saja setelah mereka bertemu." Mario menenangkan Amara.Wanita itu tak berkata apa-apa, dia lalu melanjutkan makannya. Dalam hati dia bersyukur berkenalan dan dekat dengan Mario, lelaki itu sangat sabar dan dewasa menghadapi dirinya yang tidak sabaran."Bagaimana rencana akhir pekan kita?" Mario kembali bertanya."Jadi, Ana sudah bersedia menjaga Putri. Memangnya kita mau kemana?""Aku rasa ke pantai akan sangat cocok untuk menghabiskan akhir pekan," jawab Mario. Amara mengangguk, baginya selama itu tidak keluar kota dia tak masalah.*****Prang!Meja kaca pecah akibat Bram yang melempar hapenya tiba-tiba, bukan tanpa alasan. Dia baru saja mendapatkan sebuah chat yang menunjukkan foto Amara dan Mario yang sedang bermesraan di pantai.Amara yang menggunakan baju yang cukup seksi, terlihat sedang di peluk oleh Mario, ada pula foto ketika Mario mencium pipi Amara."Sialan, sepertinya dia memang berkencan dengan lelaki itu, dasar wanita murahan. Aku pikir setelah menjadi seorang ibu dia sudah bisa menutup diri terhadap lelaki. Kenyataannya dia dengan cepat bisa melupakan aku." Bram terbakar cemburu, rasanya dia segera ingin ketempat Amara dan menarik wanita itu pergi dan menjauh dari lelaki yang bernama Mario.Sepanjang hari dia tak fokus, bahkan semua pekerjaan yang harusnya dia selesaikan hari itu juga di undur menjadi hari Senin.Bram sudah tak sabar ingin bertemu dengan Putri dan tentunya bertemu dengan Amara juga, saat pulang ke rumah dia melihat sebuah toko mainan, hatinya terketuk untuk membelikan mainan untuk anaknya.Dia meminta sopir berhenti di toko mainan, penampilan Bram yang mencerminkan seorang bisnisman muda, membuat hampir seluruh penjaga toko yang kebanyakan masih ABG menatap kagum kepada sosoknya.Rahang yang tegas, mata yang tajam, serta alis hitam menjadi pesona tersendiri untuk menarik lawan jenis kagum kepadanya.Seorang penjaga toko menghampirinya dan menanyakan keperluan Bram."Ada yang bisa kami bantu, Tuan?" tanya wanita yang terlihat masih berumur dua puluhan tahun."Aku ingin mencari mainan untuk anak-anak," jawab Bram acuh, matanya mencari-cari benda apa yang sekiranya cocok untuk anaknya."Anaknya laki-laki atau perempuan, umurnya berapa tahun?" Bram menghentikan gerakan matanya.Dia menatap tak percaya kepada gadis yang ada di depannya. "Apakah umur dan jenis kelamin mempengaruhi pemilihan hadiah?" tanyanya.Bram memang tak ada pengalaman dengan anak-anak, bahkan seingatnya, ini kali pertama dia menginjakkan kaki di sebuah toko mainan.Di dalam keluarga besarnya, banyak sepupunya yang memiliki anak kecil, tapi dia sama sekali tak pernah berinteraksi dengan mereka. Bahkan, jika banyak anak kecil di rumahnya, maka dia akan segera masuk kedalam kamar atau pergi dari rumah."Anak-anak itu merepotkan," ucapnya kala dia di tanya oleh saudara-saudaranya, kenapa tidak pernah mau bermain dengan para keponakannya."Tentu saja, di sini banyak permainan yang di sesuaikan untuk jenis kelamin dan umur anak-anak. Contohnya, Boneka Barbie ini di peruntukan untuk bayi perempuan umur dua tahun keatas. Akan sangat aneh jika anak lelaki dengan usia dua tahun bermain Barbie." Gadis itu menjawab pertanyaan Bram.Biasanya tak ada yang berani membantah kata-kata Bram, tapi itu tidak berlaku di toko itu. Bahkan, penjelasan sepele seperti itu adalah sebuah pengetahuan baru untuk Bram."Kalau begitu Carikan aku mainan untuk anak perempuan yang umurnya kira-kira satu tahun," ucap Bram akhirnya.Gadis itu mengangguk, mengerti maksud kata-kata Bram. "Silahkan ikut saya," ajaknya. Bram mengekori kemana gadis itu pergi.Sampailah mereka di bagian bayi dengan usia satu tahun dan hampir semuanya berwarna pink ataupun warna cerah. Bram menggeleng, dia pikir dengan mengatakan hal tersebut, pilihannya akan berkurang. Nyatanya, dia semakin bingung melihat permainan yang begitu banyak.Mulai dari boneka, balon, hingga mainan yang Bram tidak tau apa namanya. "Pilihkan saja mainan yang umum di belikan oleh orang-orang," perintah Bram. Dia meninggalkan gadis itu yang masih bingung dengan perintah Bram.Setelah menunggu hampir lima belas menit, gadis itu datang dengan membawa dua buah mainan, satu mainan yang mengeluarkan musik, sedangkan yang lainnya sekotak benda-benda yang berbentuk macam-macam dan berbahan silikon.Gadis tersebut menjelaskan kegunaan kedua benda tersebut. Bram mengangguk, lalu segera meminta gadis itu membungkus keduanya."Terimakasih," ucap Bram setelah transaksi selesai."Sama-sama," jawab kasir.Bram mendekati gadis yang tadi membantunya, Bram menarik beberapa lembar uang di dalam saku bajunya dan menyerahkan benda tersebut ke tangan sang gadis."Ini karena kami telah membantu ku," ucapnya.Gadis itu hanya bisa mematung, dia tidak yakin kalau seorang lelaki baru saja memberi dia tip berupa sepuluh lembar uang berwarna merah.Sementara Bram melajukan mobilnya pulang, hari ini dia tak ingin kemana-mana, dia ingin segera tidur, karena besok adalah awal semua rencananya berjalan.Hari yang di tunggu Bram datang juga, hari di mana janji untuk bertemu dengan Putri anaknya."Kenapa kamu memberi nama Putri?" tanya Bram, saat ini dia sedang memangku bayi mungil tersebut."Sebenarnya aku tak tau harus memberi nama apa, makanya ku beri saja nama Putri," jawab Amara jujur. Saat dia melahirkan Putri adalah saat paling hancur baginya. Dia di kucilkan, di cemooh dan di usir dari tempatnya. Beruntung dia tak gila mendapatkan perlakuan tak baik dari warga tempat tinggalnya."Baiklah, kalau begitu aku akan memanggilnya Maura," ucap Bram.Amara hanya terdiam, dia tak ingin menanggapi ucapan Bram, saat ini hatinya tak tenang. Dia tau Bram tak mungkin datang begitu saja tanpa maksud terselubung, apalagi saat ini dia datang untuk melihat anaknya yang setahun lalu tak ingin dia akui."Rambutnya mirip rambutmu," kata Bram. Lelaki itu tersenyum melihat putri kecilnya."Iya, karena dia anakku," jawab Amara."Dia juga anakku," balas Bram."Tentu saja, apa kamu sudah lupa, kalau kamu
"Sepertinya Ayah membagikan warisan kita sekarang." Bramasta berucap sesaat setelah dirinya masuk ke ruang kerja ayahnya. Di dalam ruangan, ternyata sudah duduk dengan santai dua orang saudara tirinya. Maria dan Alfa, keduanya sedang asyik dengan ponselnya dan hanya menoleh sekilas ketika melihat kedatangan saudaranya yang paling tua."Aku malah berpikir dia mengumpulkan kita untuk membicarakan rencana pernikahannya yang ke empat," balas Maria. Seperti mereka ketahui, Ayah mereka adalah seorang miliarder yang terkenal sangat royal dan senang bermain wanita."Aku harap, wanitanya lebih tua darimu, aku tidak bisa membayangkan memiliki ibu tiri lagi yang ternyata usianya jauh di bawah usiaku dan usiamu," sela Alfa.Bram hanya terdiam mendengar lelucon kedua adiknya itu, walaupun mereka beda ibu, tapi ayah mereka memperlakukan ketiga anaknya dengan sangat baik, walaupun dirinya telah berpisah dengan semua wanita yang pernah dia nikahi."Iya, aku harap juga demikian. Tapi, aku sedikit rag
"Menikah! Apa Ayah sudah gila, memiliki anak saja sudah membuat hidupku seperti mendapatkan sial seumur hidup, apalagi jika aku harus menikah. Oh, tidak!" Bram menggeleng, dia tak habis pikir darimana ayahnya bisa memiliki pikiran konyol seperti itu.Pak Aldi menatap sedih ke arah Bram, dia tidak menyangka anaknya itu akan berpikir seperti itu."Kenapa kamu bisa berpikiran kalau itu sebuah kesialan?" tanya Pak Aldi, dia harus meluruskan cara berpikir anaknya yang salah."Apa yang bisa di harapkan dari pernikahan? Perceraian atau penghianatan? Aku bercermin dari pernikahan Ayah dan Mama, lalu pernikahan Ayah dan istri-istri Ayah yang lainnya, togh akhirnya Ayah sendiri juga sekarang!" Perkataan Bram yang kasar dan memohon hati pak Aldi membuat wajahnya berubah menjadi kelam, jelas sekali ada mendung bergelayut di wajah tuanya.Dia menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Dia sedang menyusun kata, agar apa yang akan di sampaikan ya tidak akan menghancurkan hati Bram untuk kesekia
Bram termenung, sudah dua Minggu sejak pertemuannya dengan sang ayah. Pernyataan lelaki itu membuatnya tidak bisa tenang hingga berhari-hari, dia tidak sepenuhnya menyalahkan sang ayah akan keputusan yang di ambil oleh lelaki tua tersebut."Aku harus bertindak, tidak mungkin aku merelakan semua hartaku jatuh ke tangan adik-adik ku hanya karena anak yang memang darah dagingku, lebih baik aku mengatur rencana. Amara pasti bisa ku taklukkan seperti dulu," gumam Bram pada dirinya sendiri.Dia lalu bangkit, rasa kantuk yang tadi menyerangnya kini hilang entah kemana, dia menghubungi pengacaranya, meminta lelaki itu menemuinya sekarang juga, dia ingin membahas langkah apa yang akan dia ambil untuk melindungi aset miliknya.*****Amara sedang membersihkan toilet wanita di sebuah pusat perbelanjaan ketika hapenya berdering, terlihat nama Ana, sahabat sekaligus teman tinggalnya saat ini. Ana adalah sahabat yang menemani saat Amara terpuruk, hamil, melahirkan dan sekarang dia yang membantu Ama
Hari yang di tunggu Bram datang juga, hari di mana janji untuk bertemu dengan Putri anaknya."Kenapa kamu memberi nama Putri?" tanya Bram, saat ini dia sedang memangku bayi mungil tersebut."Sebenarnya aku tak tau harus memberi nama apa, makanya ku beri saja nama Putri," jawab Amara jujur. Saat dia melahirkan Putri adalah saat paling hancur baginya. Dia di kucilkan, di cemooh dan di usir dari tempatnya. Beruntung dia tak gila mendapatkan perlakuan tak baik dari warga tempat tinggalnya."Baiklah, kalau begitu aku akan memanggilnya Maura," ucap Bram.Amara hanya terdiam, dia tak ingin menanggapi ucapan Bram, saat ini hatinya tak tenang. Dia tau Bram tak mungkin datang begitu saja tanpa maksud terselubung, apalagi saat ini dia datang untuk melihat anaknya yang setahun lalu tak ingin dia akui."Rambutnya mirip rambutmu," kata Bram. Lelaki itu tersenyum melihat putri kecilnya."Iya, karena dia anakku," jawab Amara."Dia juga anakku," balas Bram."Tentu saja, apa kamu sudah lupa, kalau kamu
"Tidak, Sayang. Perkenalkan, ini Tuan Bram. Ayah Putri," ucap Amara memperkenalkan Bram kepada lelaki yang baru saja mendekati nya."Oh, perkenalkan. Saya Mario, teman dekat Amara!" Lelaki itu menekankan kata teman dekat, membuat Bram rasanya ingin meninju rahang lelaki itu.Bram mengabaikan tangan lelaki itu, dia beralih menatap Amara. "Ingat kesepakatan kita," ucapnya lalu berlalu pergi meninggalkan Amara dan Mario yang hanya bisa mematung melihat kepergian lelaki itu."Dia ternyata sangat angkuh, julukan orang-orang kepadanya sepertinya beralasan," gumam Mario, namun masih bisa di dengar oleh Amara."Dia ingin bertemu dengan Putri," ucap Amara. Mario beralih menatap Amara."Pekerjaan mu sudah selesai? Kalau begitu, ayo makan siang bersama," ajak Mario.Amara mengangguk, dia mengangkat sisa sampah yang akan di buangnya lalu mengikuti Mario yang lebih dahulu berjalan sambil mengangkat sampah-sampah yang akan di buang oleh Amara tadi.Mario adalah Supervisor di tempat kerja Amara, mer
Bram termenung, sudah dua Minggu sejak pertemuannya dengan sang ayah. Pernyataan lelaki itu membuatnya tidak bisa tenang hingga berhari-hari, dia tidak sepenuhnya menyalahkan sang ayah akan keputusan yang di ambil oleh lelaki tua tersebut."Aku harus bertindak, tidak mungkin aku merelakan semua hartaku jatuh ke tangan adik-adik ku hanya karena anak yang memang darah dagingku, lebih baik aku mengatur rencana. Amara pasti bisa ku taklukkan seperti dulu," gumam Bram pada dirinya sendiri.Dia lalu bangkit, rasa kantuk yang tadi menyerangnya kini hilang entah kemana, dia menghubungi pengacaranya, meminta lelaki itu menemuinya sekarang juga, dia ingin membahas langkah apa yang akan dia ambil untuk melindungi aset miliknya.*****Amara sedang membersihkan toilet wanita di sebuah pusat perbelanjaan ketika hapenya berdering, terlihat nama Ana, sahabat sekaligus teman tinggalnya saat ini. Ana adalah sahabat yang menemani saat Amara terpuruk, hamil, melahirkan dan sekarang dia yang membantu Ama
"Menikah! Apa Ayah sudah gila, memiliki anak saja sudah membuat hidupku seperti mendapatkan sial seumur hidup, apalagi jika aku harus menikah. Oh, tidak!" Bram menggeleng, dia tak habis pikir darimana ayahnya bisa memiliki pikiran konyol seperti itu.Pak Aldi menatap sedih ke arah Bram, dia tidak menyangka anaknya itu akan berpikir seperti itu."Kenapa kamu bisa berpikiran kalau itu sebuah kesialan?" tanya Pak Aldi, dia harus meluruskan cara berpikir anaknya yang salah."Apa yang bisa di harapkan dari pernikahan? Perceraian atau penghianatan? Aku bercermin dari pernikahan Ayah dan Mama, lalu pernikahan Ayah dan istri-istri Ayah yang lainnya, togh akhirnya Ayah sendiri juga sekarang!" Perkataan Bram yang kasar dan memohon hati pak Aldi membuat wajahnya berubah menjadi kelam, jelas sekali ada mendung bergelayut di wajah tuanya.Dia menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Dia sedang menyusun kata, agar apa yang akan di sampaikan ya tidak akan menghancurkan hati Bram untuk kesekia
"Sepertinya Ayah membagikan warisan kita sekarang." Bramasta berucap sesaat setelah dirinya masuk ke ruang kerja ayahnya. Di dalam ruangan, ternyata sudah duduk dengan santai dua orang saudara tirinya. Maria dan Alfa, keduanya sedang asyik dengan ponselnya dan hanya menoleh sekilas ketika melihat kedatangan saudaranya yang paling tua."Aku malah berpikir dia mengumpulkan kita untuk membicarakan rencana pernikahannya yang ke empat," balas Maria. Seperti mereka ketahui, Ayah mereka adalah seorang miliarder yang terkenal sangat royal dan senang bermain wanita."Aku harap, wanitanya lebih tua darimu, aku tidak bisa membayangkan memiliki ibu tiri lagi yang ternyata usianya jauh di bawah usiaku dan usiamu," sela Alfa.Bram hanya terdiam mendengar lelucon kedua adiknya itu, walaupun mereka beda ibu, tapi ayah mereka memperlakukan ketiga anaknya dengan sangat baik, walaupun dirinya telah berpisah dengan semua wanita yang pernah dia nikahi."Iya, aku harap juga demikian. Tapi, aku sedikit rag