"Menikah! Apa Ayah sudah gila, memiliki anak saja sudah membuat hidupku seperti mendapatkan sial seumur hidup, apalagi jika aku harus menikah. Oh, tidak!" Bram menggeleng, dia tak habis pikir darimana ayahnya bisa memiliki pikiran konyol seperti itu.
Pak Aldi menatap sedih ke arah Bram, dia tidak menyangka anaknya itu akan berpikir seperti itu."Kenapa kamu bisa berpikiran kalau itu sebuah kesialan?" tanya Pak Aldi, dia harus meluruskan cara berpikir anaknya yang salah."Apa yang bisa di harapkan dari pernikahan? Perceraian atau penghianatan? Aku bercermin dari pernikahan Ayah dan Mama, lalu pernikahan Ayah dan istri-istri Ayah yang lainnya, togh akhirnya Ayah sendiri juga sekarang!"Perkataan Bram yang kasar dan memohon hati pak Aldi membuat wajahnya berubah menjadi kelam, jelas sekali ada mendung bergelayut di wajah tuanya.Dia menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Dia sedang menyusun kata, agar apa yang akan di sampaikan ya tidak akan menghancurkan hati Bram untuk kesekian kalinya."Nak, Ayah tak pernah menjelaskan kepada mu tentang pernikahan yang Mama mu dan Ayah jalani, itu semua karena Ayah tidak mau kamu membenci surgamu, orang yang telah bertaruh nyawa melahirkan mu ....""Maksud Ayah apa?" potong Bram."Mama mu sengaja menjebak Ayah, sehingga kami tidur bersama dan akhirnya dia hamil. Ayah terpaksa menikahinya karena dia sedang hamil, bukan karena Ayah mencintainya. Maaf!" ucap Pak Aldi lirih, dia bahkan menunduk, seolah meminta maaf kepada anaknya itu.Bram menggeleng, sebenarnya dia sudah lama mendengar desas-desus tentang dirinya, namun dia enggan percaya, apalagi melihat Mamanya yang begitu menyayanginya.Walaupun pengakuan sang Ayah membuatnya terkejut, namun tak cukup membuat lelaki itu terguncang. Dia tau betul bagaimana sikap egois sang Mama, dia wanita yang tak bisa menerima penolakan. Jadi, dia bisa mengerti ketika berada di posisi sang Ayah.Dia menatap Ayahnya, alisnya yang tebal terangkat sebelum akhirnya dia berkata. "Bukan itu intinya, Yah. Aku hanya melihat, kalau pernikahan Ayah tak berhasil, bersama Mama ataupun bersama istri Ayah yang lainnya. Apa itu yang Ayah harapkan dariku?" tanyanya menantang lelaki tua yang ada di depannya."Memang, pernikahan itu tak berhasil untuk kami, tapi berhasil untuk kamu, kamu bisa hidup dan tumbuh dengan limpahan kasih sayang, harta dan semua kemewahan yang membuat mu bisa menjadi seperti sekarang ini."Tapi anak itu, apakah kamu yakin wanita itu tak akan menyakiti anakmu? Apakah anakmu akan mendapatkan fasilitas dan semua kemewahan yang sama seperti yang kamu miliki? Kalau benar, berarti kamu sangat naif!"Bram mengepalkan tangannya lebih kuat, kata-kata serta pertanyaan ayahnya, membuat lelaki itu sekuat tenaga menjaga agar dirinya tak emosi."Apakah aku harus bersyukur kepada Ayah soal itu?" tanyanya kemudian."Tidak perlu, karena kamu sudah menjadi anak yang baik. Tapi aku harap kamu kali ini tidak gagal menjadi ayah yang baik," ucap pak Aldi. Dia sengaja berkata seperti itu untuk menasehati anaknya.Bram menunduk, hatinya tersentil oleh perkataan ayahnya, selama ini dia memang tidak memikirkan teny dirinya yang sudah menjadi seorang ayah."Ayah sebenarnya tidak menyalahkan mu tentang semua yang telah terjadi, ayah hanya menyayangkan kamu meminta pengacara dan orang kepercayaan untuk mengurusi semua masalah mu ini," ucap pak Aldi lagi."Memang mereka ku bayar untuk menyelesaikan semua masalahku," jawab Bram, terdengar rasa bangga dari kata-katanya."Hehehe." Pak Aldi terkekeh, dia menertawakan kebodohan anaknya."Mereka memang bekerja untuk menjilat mu agar kamu mengeluarkan uang yang banyak untuk mereka. Mereka tidak akan perduli bagaimana kedepannya. Sekarang, ayah mau tanya. Apakah kamu tidak penasaran untuk bertemu anakmu?"Pertanyaan pak Aldi lagi-lagi membuat sebuah gejolak terbit di dalam dada Bram, entah kenapa dia semakin malu dengan ayahnya itu."Bukannya aku tidak mau, tapi wanita yang menjadi ibunya melarangku untuk bertemu," ucap Bram membela diri."Itulah kebodohan mu, setelah kamu meminta pengacara dan orang kepercayaan mu mengurus semua masalah ini, tiba-tiba saja kamu menyalahkan wanita itu. Apa kamu tau bagaimana mereka menyelesaikan semua masalah mu sampai wanita itu tak lagi datang menemuimu?" Pak Aldi berkata dengan suara meninggi, dia rasanya ingin menampar anaknya yang berpura-pura bodoh itu."Memang apa pentingnya, setidaknya aku bebas dari wanita itu," jawab Bram tak mengerti."Tapi kamu kehilangan asetmu yang paling berharga, dia itu anakmu, darah daging mu, apa kamu tidak berharap jika dia besar, dia menjadi bagian dari keluarga kita? Kamu harusnya ingat, kalau di darahnya mengalir darahmu. Bisa-bisanya, kamu membiarkan pengacara kita bernegosiasi dan memberikan apapun yang di inginkan oleh wanita itu agar dia pergi dari hidupmu."Harusnya kamu bisa mengatur sebuah perjanjian yang tidak akan memberatkan mu untuk bertemu dan mengenal anakmu di kemudian hari," ucap pak Aldi."Aku tidak berpikir seperti itu, karena pada saat itu anak itu belum lahir, jadi aku mana tau kalau nanti aku ingin berkenalan atau melihat wajahnya." Lagi-lagi Bram memberi alasan.Dalam hati dia mengumpat, mengapa hanya persoalan anak, membuat ayah yang sangat menyayanginya berubah menjadi cerewet dan tukang mengintimidasi seperti sekarang ini."Kalau itu memang benar, mengapa kamu harus menyuruh pengacara bertemu wanita itu. Apa kamu banci?" Pertanyaan pak Aldi menohok sisi kelelakiannya, dia tak terima di katakan banci."Bukan begitu, tapi dia melarang ku untuk bertemu dengannya," bela Bram."Salah siapa?" tanya pak Aldi. Kali ini dia tak ingin memberi ampun kepada anak itu, dia bertekad agar Bram mengakui kesalahannya."Itu sepenuhnya bukan salahku, dia membawa pergi anak kami, dia lalu tinggal di sebuah perkampungan kumuh, dia hidup dan merawat anakku dengan menjadi cleaning service, aku tak mungkin mengakuinya," ucap Bram.Kepalanya rasanya hampir pecah ketika menjawab semua pertanyaan ayahnya yang begitu menguras pikiran."Harusnya kamu bersyukur, dia bukan cewek matre seperti kebanyakan wanita yang berusaha mendekati mu, dia lebih memilih mengasingkan diri demi menghidupi buah hati kalian, apa kamu tidak tersinggung?""Aku akui aku salah, tapi aku tidak sepenuhnya menyukai caranya yang seperti itu. Pengacara sudah memberikan kompensasi yang banyak, setidaknya dia tidak harus menjadi cleaning servis," ucap Bram."Jadi karena itu kamu semakin tidak ingin memperjuangkan hakmu?" tanya sang Ayah."Bukan begitu, aku hanya tak ingin menikah dengannya, dia terlalu egois. Dia bahkan mengatakan kepada orang kepercayaan ku bahwa dia tak akan membiarkan aku bertemu dengan anakku. Jadi, Ayah jangan berharap aku akan menikahi dia." Bram berkata dengan wajah memerah.Dia sudah muak dengan pembicaraan yang hanya akan menydutkannya."Ayah tak meminta mu untuk menikah, karena itu timbul dari hati, Ayah hanya ingin anakmu memiliki kehidupan yang lebih baik," ucap pak Aldi."Jadi, apa sebenarnya mau Ayah?""Ayah sudah mengatakan kalau Ayah tidak ingin anakmu tidak mendapatkan haknya, sekarang tinggal kamu yang mengartikan itu semua. Segera bawa anak itu pulang atau kamu tak akan mendapatkan apa-apa dari harta Ayah ataupun dari harta Mama mu."Pak Aldi bangkit, meninggalkan Bram yang membeku, lelaki itu masih mendengar suara benda-benda berjatuhan dan umpatan dari mulut Bram.Bram termenung, sudah dua Minggu sejak pertemuannya dengan sang ayah. Pernyataan lelaki itu membuatnya tidak bisa tenang hingga berhari-hari, dia tidak sepenuhnya menyalahkan sang ayah akan keputusan yang di ambil oleh lelaki tua tersebut."Aku harus bertindak, tidak mungkin aku merelakan semua hartaku jatuh ke tangan adik-adik ku hanya karena anak yang memang darah dagingku, lebih baik aku mengatur rencana. Amara pasti bisa ku taklukkan seperti dulu," gumam Bram pada dirinya sendiri.Dia lalu bangkit, rasa kantuk yang tadi menyerangnya kini hilang entah kemana, dia menghubungi pengacaranya, meminta lelaki itu menemuinya sekarang juga, dia ingin membahas langkah apa yang akan dia ambil untuk melindungi aset miliknya.*****Amara sedang membersihkan toilet wanita di sebuah pusat perbelanjaan ketika hapenya berdering, terlihat nama Ana, sahabat sekaligus teman tinggalnya saat ini. Ana adalah sahabat yang menemani saat Amara terpuruk, hamil, melahirkan dan sekarang dia yang membantu Ama
"Tidak, Sayang. Perkenalkan, ini Tuan Bram. Ayah Putri," ucap Amara memperkenalkan Bram kepada lelaki yang baru saja mendekati nya."Oh, perkenalkan. Saya Mario, teman dekat Amara!" Lelaki itu menekankan kata teman dekat, membuat Bram rasanya ingin meninju rahang lelaki itu.Bram mengabaikan tangan lelaki itu, dia beralih menatap Amara. "Ingat kesepakatan kita," ucapnya lalu berlalu pergi meninggalkan Amara dan Mario yang hanya bisa mematung melihat kepergian lelaki itu."Dia ternyata sangat angkuh, julukan orang-orang kepadanya sepertinya beralasan," gumam Mario, namun masih bisa di dengar oleh Amara."Dia ingin bertemu dengan Putri," ucap Amara. Mario beralih menatap Amara."Pekerjaan mu sudah selesai? Kalau begitu, ayo makan siang bersama," ajak Mario.Amara mengangguk, dia mengangkat sisa sampah yang akan di buangnya lalu mengikuti Mario yang lebih dahulu berjalan sambil mengangkat sampah-sampah yang akan di buang oleh Amara tadi.Mario adalah Supervisor di tempat kerja Amara, mer
Hari yang di tunggu Bram datang juga, hari di mana janji untuk bertemu dengan Putri anaknya."Kenapa kamu memberi nama Putri?" tanya Bram, saat ini dia sedang memangku bayi mungil tersebut."Sebenarnya aku tak tau harus memberi nama apa, makanya ku beri saja nama Putri," jawab Amara jujur. Saat dia melahirkan Putri adalah saat paling hancur baginya. Dia di kucilkan, di cemooh dan di usir dari tempatnya. Beruntung dia tak gila mendapatkan perlakuan tak baik dari warga tempat tinggalnya."Baiklah, kalau begitu aku akan memanggilnya Maura," ucap Bram.Amara hanya terdiam, dia tak ingin menanggapi ucapan Bram, saat ini hatinya tak tenang. Dia tau Bram tak mungkin datang begitu saja tanpa maksud terselubung, apalagi saat ini dia datang untuk melihat anaknya yang setahun lalu tak ingin dia akui."Rambutnya mirip rambutmu," kata Bram. Lelaki itu tersenyum melihat putri kecilnya."Iya, karena dia anakku," jawab Amara."Dia juga anakku," balas Bram."Tentu saja, apa kamu sudah lupa, kalau kamu
"Sepertinya Ayah membagikan warisan kita sekarang." Bramasta berucap sesaat setelah dirinya masuk ke ruang kerja ayahnya. Di dalam ruangan, ternyata sudah duduk dengan santai dua orang saudara tirinya. Maria dan Alfa, keduanya sedang asyik dengan ponselnya dan hanya menoleh sekilas ketika melihat kedatangan saudaranya yang paling tua."Aku malah berpikir dia mengumpulkan kita untuk membicarakan rencana pernikahannya yang ke empat," balas Maria. Seperti mereka ketahui, Ayah mereka adalah seorang miliarder yang terkenal sangat royal dan senang bermain wanita."Aku harap, wanitanya lebih tua darimu, aku tidak bisa membayangkan memiliki ibu tiri lagi yang ternyata usianya jauh di bawah usiaku dan usiamu," sela Alfa.Bram hanya terdiam mendengar lelucon kedua adiknya itu, walaupun mereka beda ibu, tapi ayah mereka memperlakukan ketiga anaknya dengan sangat baik, walaupun dirinya telah berpisah dengan semua wanita yang pernah dia nikahi."Iya, aku harap juga demikian. Tapi, aku sedikit rag
Hari yang di tunggu Bram datang juga, hari di mana janji untuk bertemu dengan Putri anaknya."Kenapa kamu memberi nama Putri?" tanya Bram, saat ini dia sedang memangku bayi mungil tersebut."Sebenarnya aku tak tau harus memberi nama apa, makanya ku beri saja nama Putri," jawab Amara jujur. Saat dia melahirkan Putri adalah saat paling hancur baginya. Dia di kucilkan, di cemooh dan di usir dari tempatnya. Beruntung dia tak gila mendapatkan perlakuan tak baik dari warga tempat tinggalnya."Baiklah, kalau begitu aku akan memanggilnya Maura," ucap Bram.Amara hanya terdiam, dia tak ingin menanggapi ucapan Bram, saat ini hatinya tak tenang. Dia tau Bram tak mungkin datang begitu saja tanpa maksud terselubung, apalagi saat ini dia datang untuk melihat anaknya yang setahun lalu tak ingin dia akui."Rambutnya mirip rambutmu," kata Bram. Lelaki itu tersenyum melihat putri kecilnya."Iya, karena dia anakku," jawab Amara."Dia juga anakku," balas Bram."Tentu saja, apa kamu sudah lupa, kalau kamu
"Tidak, Sayang. Perkenalkan, ini Tuan Bram. Ayah Putri," ucap Amara memperkenalkan Bram kepada lelaki yang baru saja mendekati nya."Oh, perkenalkan. Saya Mario, teman dekat Amara!" Lelaki itu menekankan kata teman dekat, membuat Bram rasanya ingin meninju rahang lelaki itu.Bram mengabaikan tangan lelaki itu, dia beralih menatap Amara. "Ingat kesepakatan kita," ucapnya lalu berlalu pergi meninggalkan Amara dan Mario yang hanya bisa mematung melihat kepergian lelaki itu."Dia ternyata sangat angkuh, julukan orang-orang kepadanya sepertinya beralasan," gumam Mario, namun masih bisa di dengar oleh Amara."Dia ingin bertemu dengan Putri," ucap Amara. Mario beralih menatap Amara."Pekerjaan mu sudah selesai? Kalau begitu, ayo makan siang bersama," ajak Mario.Amara mengangguk, dia mengangkat sisa sampah yang akan di buangnya lalu mengikuti Mario yang lebih dahulu berjalan sambil mengangkat sampah-sampah yang akan di buang oleh Amara tadi.Mario adalah Supervisor di tempat kerja Amara, mer
Bram termenung, sudah dua Minggu sejak pertemuannya dengan sang ayah. Pernyataan lelaki itu membuatnya tidak bisa tenang hingga berhari-hari, dia tidak sepenuhnya menyalahkan sang ayah akan keputusan yang di ambil oleh lelaki tua tersebut."Aku harus bertindak, tidak mungkin aku merelakan semua hartaku jatuh ke tangan adik-adik ku hanya karena anak yang memang darah dagingku, lebih baik aku mengatur rencana. Amara pasti bisa ku taklukkan seperti dulu," gumam Bram pada dirinya sendiri.Dia lalu bangkit, rasa kantuk yang tadi menyerangnya kini hilang entah kemana, dia menghubungi pengacaranya, meminta lelaki itu menemuinya sekarang juga, dia ingin membahas langkah apa yang akan dia ambil untuk melindungi aset miliknya.*****Amara sedang membersihkan toilet wanita di sebuah pusat perbelanjaan ketika hapenya berdering, terlihat nama Ana, sahabat sekaligus teman tinggalnya saat ini. Ana adalah sahabat yang menemani saat Amara terpuruk, hamil, melahirkan dan sekarang dia yang membantu Ama
"Menikah! Apa Ayah sudah gila, memiliki anak saja sudah membuat hidupku seperti mendapatkan sial seumur hidup, apalagi jika aku harus menikah. Oh, tidak!" Bram menggeleng, dia tak habis pikir darimana ayahnya bisa memiliki pikiran konyol seperti itu.Pak Aldi menatap sedih ke arah Bram, dia tidak menyangka anaknya itu akan berpikir seperti itu."Kenapa kamu bisa berpikiran kalau itu sebuah kesialan?" tanya Pak Aldi, dia harus meluruskan cara berpikir anaknya yang salah."Apa yang bisa di harapkan dari pernikahan? Perceraian atau penghianatan? Aku bercermin dari pernikahan Ayah dan Mama, lalu pernikahan Ayah dan istri-istri Ayah yang lainnya, togh akhirnya Ayah sendiri juga sekarang!" Perkataan Bram yang kasar dan memohon hati pak Aldi membuat wajahnya berubah menjadi kelam, jelas sekali ada mendung bergelayut di wajah tuanya.Dia menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Dia sedang menyusun kata, agar apa yang akan di sampaikan ya tidak akan menghancurkan hati Bram untuk kesekia
"Sepertinya Ayah membagikan warisan kita sekarang." Bramasta berucap sesaat setelah dirinya masuk ke ruang kerja ayahnya. Di dalam ruangan, ternyata sudah duduk dengan santai dua orang saudara tirinya. Maria dan Alfa, keduanya sedang asyik dengan ponselnya dan hanya menoleh sekilas ketika melihat kedatangan saudaranya yang paling tua."Aku malah berpikir dia mengumpulkan kita untuk membicarakan rencana pernikahannya yang ke empat," balas Maria. Seperti mereka ketahui, Ayah mereka adalah seorang miliarder yang terkenal sangat royal dan senang bermain wanita."Aku harap, wanitanya lebih tua darimu, aku tidak bisa membayangkan memiliki ibu tiri lagi yang ternyata usianya jauh di bawah usiaku dan usiamu," sela Alfa.Bram hanya terdiam mendengar lelucon kedua adiknya itu, walaupun mereka beda ibu, tapi ayah mereka memperlakukan ketiga anaknya dengan sangat baik, walaupun dirinya telah berpisah dengan semua wanita yang pernah dia nikahi."Iya, aku harap juga demikian. Tapi, aku sedikit rag