Bram termenung, sudah dua Minggu sejak pertemuannya dengan sang ayah. Pernyataan lelaki itu membuatnya tidak bisa tenang hingga berhari-hari, dia tidak sepenuhnya menyalahkan sang ayah akan keputusan yang di ambil oleh lelaki tua tersebut.
"Aku harus bertindak, tidak mungkin aku merelakan semua hartaku jatuh ke tangan adik-adik ku hanya karena anak yang memang darah dagingku, lebih baik aku mengatur rencana. Amara pasti bisa ku taklukkan seperti dulu," gumam Bram pada dirinya sendiri.Dia lalu bangkit, rasa kantuk yang tadi menyerangnya kini hilang entah kemana, dia menghubungi pengacaranya, meminta lelaki itu menemuinya sekarang juga, dia ingin membahas langkah apa yang akan dia ambil untuk melindungi aset miliknya.*****Amara sedang membersihkan toilet wanita di sebuah pusat perbelanjaan ketika hapenya berdering, terlihat nama Ana, sahabat sekaligus teman tinggalnya saat ini.Ana adalah sahabat yang menemani saat Amara terpuruk, hamil, melahirkan dan sekarang dia yang membantu Amara menjaga putrinya ketika dia sedang bekerja seperti sekarang ini."Halo," ucap Amara ketika dia sudah mengangkat telpon, dia sedikit deg-degan, karena tak biasanya Ana menelponnya di waktu dia bekerja."Ra, ada yang mencarimu, dia ingin bertemu kamu dan juga Putri," ucap Ana dengan sedikit berbisik.Jantung Amara bertalu-talu, dadanya tiba-tiba berdetak lebih kencang. "Katakan aku dan Putri sedang tak ada di rumah," jawab Amara dengan gugup."Aku tak mungkin mengatakan itu, dia melihatku bermain dengan Putri di depan rumah saat mobil mereka berhenti, tolonglah cepat pulang, aku takut, sejak tadi dia menggedor-gedor pintu." Suara Ana semakin lirih, bahkan dia sepertinya sedang menahan tangis.Tak berpikir dua kali, Amara segera membuang perlengkapan mengepelnya, lalu berlalu meninggalkan toilet tersebut."Ra, mau kemana? Kerjaan Lo belum beres!" Susan berteriak memanggil Amara."San, titip selesaikan, nanti aku traktir makan!" Amara balik berteriak, dia terus berlari pikirannya sekarang tertuju ke rumah kontrakan yang jaraknya tak terlalu jauh dari tempatnya kerja.Amara melajukan motornya dengan kecepatan penuh, dia tak perduli umpatan dan makian dari pengendara lain ketika dengan brutalnya dia melewati lampu merah atau menyalip mobil yang akan berbelok. Amara tak peduli pada keselamatannya, dia hanya peduli pada keselamatan anaknya yang masih berumur satu tahun.Dua puluh menit kemudian, Amara memarkir motornya di halaman, dia segera menghampiri dua orang yang sedang berdiri menunggu di depan pintu. Dari pakaiannya Amara sudah bisa menebak siapa orang tersebut."Ada apa kalian kemari lagi?" tanpa basa basi Amara bertanya kepada kedua orang tersebut.Lelaki berstelan jas tersebut menoleh, dia membuka kacamata hitamnya dan menyerahkan selembar surat kepada Amara. Wanita itu tak mengambil surat tersebut, dalam hati dia takut kalau-kalau surat tersebut adalah surat untuk mengambil Putri darinya."Pergi kalian, bukankah kalian sudah berjany untuk tak mengganggu ku lagi?" tanya Amara, dia menepis kasar tangan lelaki yang bernama Reno, dia adalah orang kepercayaan Bram."Kami cuma datang menyampaikan surat ini, kalau tak ada balasan dari Anda,maka jangan salahkan kami kalau Tuan Bram akan datang sendiri kemari," ucap Reno, dia kembali menyodorkan surat tersebut.Tanpa ragi Amara mengambil surat tersebut dan langsung merobeknya. "Ini jawaban ku untuk tuan kalian, pulanglah dan mengadu sekehendak hati kalian!"Amara mendorong tubuh Reno hingga lelaki itu bergeser, tak berniat menyakiti Amara, keduanya lalu meninggalkan tempat itu tanpa berpamitan. Pintu terbuka, Ana keluar dengan menggendong Putri yang tertidur di bahunya."Kalian tidak apa-apa?" tanya Amara, dia mengambil alih Putri dalam gendongan Ana."Tidak, ada apa mereka datang kemari?" tanya Ana penasaran."Entahlah, aku tidak tau dan tak ingin tau, sebaiknya besok-besok kalian ikut saja aku ke tempat kerja, kalian bisa berkeliling saat aku bekerja. Aku tidak akan tenang meninggalkan mu disini berdua saja, sepertinya kita juga harus mencari rumah kontrakan baru," ucap Amara panjang lebar.Ana menyetujui keputusan Amara, dia juga takut kalau sewaktu-waktu kedua lelaki itu akan kembali lagi. Keduanya lalu memutuskan masuk kedalam rumah, Amara memutuskan tak kembali ke tempat kerja, dia takut mereka akan kembali lagi.*****Bugh!Amara jatuh dia menabrak seseorang dan tempat sampah yang dia bawa terjatuh, sampah yang baru saja dia kumpulkan berserakan. Mata wanita itu tertuju pada sepasang sepatu pantofel berwarna hitam mengkilat berada di depannya, matanya menelusuri sepatu tersebut, hingga matanya tertuju kepada wajah yang selama ini ingin di hindarinya."Maaf, saya mau lewat," ucap Amara, dia berusaha tak mengenali lelaki itu."Aku ingin bicara," ucap Bram. Dia menatap Amara yang masih menunduk."Tidak ada yang perlu di bicarakan," jawab Amara singkat, dia kembali berjongkok, berniat memasukkan kembali semua sampah ke dalam tong yang tadi di bawanya.Belum sampai tangan Amara memungut sampah-sampah tersebut, lengannya sudah di tarik kembali oleh Bram. "Apa susahnya berbicara denganku dan untuk apa kamu memungut sampah itu?" Terdengar suara Bram yang menahan marah."Maaf, saya sedang bekerja, Anda menganggu saya, tolong pergilah, saya tidak mau pekerjaan saya hilang gara-gara menghabiskan waktu berbicara dengan Anda."Bram mengepalkan tangan, dia ingin sekali memarahi Amara saat itu juga, namun dia masih waras. Dia sedang berada di tempat umum dan tak mungkin mengundang perhatian khalayak ramai."Aku ingin bertemu anakku," ucap Bram langsung.Amara mematung, bahkan napasnya seolah berhenti, tenggorokannya tiba-tiba kering, inilah hal yang selama ini dia takutkan, kedatangan lelaki tak bertanggungjawab yang akan memisahkan dirinya dan Putri, buah hatinya."Bukankah Anda tau sendiri, kalau kita terikat perjanjian, Anda tidak berniat melanggar perjanjian itu, kan?" Amara bertanya, dia berusaha menghilangkan rasa takut di hatinya."Aku tau, tapi apa salah kalau aku ingin bertemu dengan anakku sendiri?" tanya Bram.Amara tersenyum mengejek, seandainya ini bukan di tempat umum, mungkin dia sudah tertawa sambil berguling di lantai, karena merasa lucu dengan ucapan Bram."Bertemu anak? Sejak kapan kamu mengakui anakmu?" Pertanyaan Amara seolah batu yang menghantam kesabaran Bram, dia mencengkram lengan wanita itu dengan kuat."Sebaiknya kamu tentukan waktu agar aku bisa bertemu dengan anakku dan waktu untuk kita bersua membicarakan masa depannya, kalau tidak maka jangan salahkan aku kalau aku harus menggunakan kekerasan untuk mengambilnya secara paksa dari dirimu!" Ancaman Bram berhasil membuat tubuh Amara bergetar, tak bisa dia pungkiri ancaman Bram sangat menakutkan.Bram adalah orang yang memiliki segalanya, jika hanya mengambil Putri dari tangannya, tentu dia tak harus bersusah payah."Baiklah, datanglah ke rumah ku hari Minggu ini," ucap Amara akhirnya, dia tak mau semakin membuat Bram marah."Jam berapa?" tanya Bram, wajahnya masih terlihat datar."Jam 10 pagi."Belum sempat Bram membalas ucapan Amara, seorang lelaki tiba-tiba saja mendekati keduanya, dia merangkul bahu Amara di depan Bram."Sayang, ada apa?" tanya lelaki itu membuat wajah Bram berubah menjadi memerah."Tidak, Sayang. Perkenalkan, ini Tuan Bram. Ayah Putri," ucap Amara memperkenalkan Bram kepada lelaki yang baru saja mendekati nya."Oh, perkenalkan. Saya Mario, teman dekat Amara!" Lelaki itu menekankan kata teman dekat, membuat Bram rasanya ingin meninju rahang lelaki itu.Bram mengabaikan tangan lelaki itu, dia beralih menatap Amara. "Ingat kesepakatan kita," ucapnya lalu berlalu pergi meninggalkan Amara dan Mario yang hanya bisa mematung melihat kepergian lelaki itu."Dia ternyata sangat angkuh, julukan orang-orang kepadanya sepertinya beralasan," gumam Mario, namun masih bisa di dengar oleh Amara."Dia ingin bertemu dengan Putri," ucap Amara. Mario beralih menatap Amara."Pekerjaan mu sudah selesai? Kalau begitu, ayo makan siang bersama," ajak Mario.Amara mengangguk, dia mengangkat sisa sampah yang akan di buangnya lalu mengikuti Mario yang lebih dahulu berjalan sambil mengangkat sampah-sampah yang akan di buang oleh Amara tadi.Mario adalah Supervisor di tempat kerja Amara, mer
Hari yang di tunggu Bram datang juga, hari di mana janji untuk bertemu dengan Putri anaknya."Kenapa kamu memberi nama Putri?" tanya Bram, saat ini dia sedang memangku bayi mungil tersebut."Sebenarnya aku tak tau harus memberi nama apa, makanya ku beri saja nama Putri," jawab Amara jujur. Saat dia melahirkan Putri adalah saat paling hancur baginya. Dia di kucilkan, di cemooh dan di usir dari tempatnya. Beruntung dia tak gila mendapatkan perlakuan tak baik dari warga tempat tinggalnya."Baiklah, kalau begitu aku akan memanggilnya Maura," ucap Bram.Amara hanya terdiam, dia tak ingin menanggapi ucapan Bram, saat ini hatinya tak tenang. Dia tau Bram tak mungkin datang begitu saja tanpa maksud terselubung, apalagi saat ini dia datang untuk melihat anaknya yang setahun lalu tak ingin dia akui."Rambutnya mirip rambutmu," kata Bram. Lelaki itu tersenyum melihat putri kecilnya."Iya, karena dia anakku," jawab Amara."Dia juga anakku," balas Bram."Tentu saja, apa kamu sudah lupa, kalau kamu
"Sepertinya Ayah membagikan warisan kita sekarang." Bramasta berucap sesaat setelah dirinya masuk ke ruang kerja ayahnya. Di dalam ruangan, ternyata sudah duduk dengan santai dua orang saudara tirinya. Maria dan Alfa, keduanya sedang asyik dengan ponselnya dan hanya menoleh sekilas ketika melihat kedatangan saudaranya yang paling tua."Aku malah berpikir dia mengumpulkan kita untuk membicarakan rencana pernikahannya yang ke empat," balas Maria. Seperti mereka ketahui, Ayah mereka adalah seorang miliarder yang terkenal sangat royal dan senang bermain wanita."Aku harap, wanitanya lebih tua darimu, aku tidak bisa membayangkan memiliki ibu tiri lagi yang ternyata usianya jauh di bawah usiaku dan usiamu," sela Alfa.Bram hanya terdiam mendengar lelucon kedua adiknya itu, walaupun mereka beda ibu, tapi ayah mereka memperlakukan ketiga anaknya dengan sangat baik, walaupun dirinya telah berpisah dengan semua wanita yang pernah dia nikahi."Iya, aku harap juga demikian. Tapi, aku sedikit rag
"Menikah! Apa Ayah sudah gila, memiliki anak saja sudah membuat hidupku seperti mendapatkan sial seumur hidup, apalagi jika aku harus menikah. Oh, tidak!" Bram menggeleng, dia tak habis pikir darimana ayahnya bisa memiliki pikiran konyol seperti itu.Pak Aldi menatap sedih ke arah Bram, dia tidak menyangka anaknya itu akan berpikir seperti itu."Kenapa kamu bisa berpikiran kalau itu sebuah kesialan?" tanya Pak Aldi, dia harus meluruskan cara berpikir anaknya yang salah."Apa yang bisa di harapkan dari pernikahan? Perceraian atau penghianatan? Aku bercermin dari pernikahan Ayah dan Mama, lalu pernikahan Ayah dan istri-istri Ayah yang lainnya, togh akhirnya Ayah sendiri juga sekarang!" Perkataan Bram yang kasar dan memohon hati pak Aldi membuat wajahnya berubah menjadi kelam, jelas sekali ada mendung bergelayut di wajah tuanya.Dia menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Dia sedang menyusun kata, agar apa yang akan di sampaikan ya tidak akan menghancurkan hati Bram untuk kesekia
Hari yang di tunggu Bram datang juga, hari di mana janji untuk bertemu dengan Putri anaknya."Kenapa kamu memberi nama Putri?" tanya Bram, saat ini dia sedang memangku bayi mungil tersebut."Sebenarnya aku tak tau harus memberi nama apa, makanya ku beri saja nama Putri," jawab Amara jujur. Saat dia melahirkan Putri adalah saat paling hancur baginya. Dia di kucilkan, di cemooh dan di usir dari tempatnya. Beruntung dia tak gila mendapatkan perlakuan tak baik dari warga tempat tinggalnya."Baiklah, kalau begitu aku akan memanggilnya Maura," ucap Bram.Amara hanya terdiam, dia tak ingin menanggapi ucapan Bram, saat ini hatinya tak tenang. Dia tau Bram tak mungkin datang begitu saja tanpa maksud terselubung, apalagi saat ini dia datang untuk melihat anaknya yang setahun lalu tak ingin dia akui."Rambutnya mirip rambutmu," kata Bram. Lelaki itu tersenyum melihat putri kecilnya."Iya, karena dia anakku," jawab Amara."Dia juga anakku," balas Bram."Tentu saja, apa kamu sudah lupa, kalau kamu
"Tidak, Sayang. Perkenalkan, ini Tuan Bram. Ayah Putri," ucap Amara memperkenalkan Bram kepada lelaki yang baru saja mendekati nya."Oh, perkenalkan. Saya Mario, teman dekat Amara!" Lelaki itu menekankan kata teman dekat, membuat Bram rasanya ingin meninju rahang lelaki itu.Bram mengabaikan tangan lelaki itu, dia beralih menatap Amara. "Ingat kesepakatan kita," ucapnya lalu berlalu pergi meninggalkan Amara dan Mario yang hanya bisa mematung melihat kepergian lelaki itu."Dia ternyata sangat angkuh, julukan orang-orang kepadanya sepertinya beralasan," gumam Mario, namun masih bisa di dengar oleh Amara."Dia ingin bertemu dengan Putri," ucap Amara. Mario beralih menatap Amara."Pekerjaan mu sudah selesai? Kalau begitu, ayo makan siang bersama," ajak Mario.Amara mengangguk, dia mengangkat sisa sampah yang akan di buangnya lalu mengikuti Mario yang lebih dahulu berjalan sambil mengangkat sampah-sampah yang akan di buang oleh Amara tadi.Mario adalah Supervisor di tempat kerja Amara, mer
Bram termenung, sudah dua Minggu sejak pertemuannya dengan sang ayah. Pernyataan lelaki itu membuatnya tidak bisa tenang hingga berhari-hari, dia tidak sepenuhnya menyalahkan sang ayah akan keputusan yang di ambil oleh lelaki tua tersebut."Aku harus bertindak, tidak mungkin aku merelakan semua hartaku jatuh ke tangan adik-adik ku hanya karena anak yang memang darah dagingku, lebih baik aku mengatur rencana. Amara pasti bisa ku taklukkan seperti dulu," gumam Bram pada dirinya sendiri.Dia lalu bangkit, rasa kantuk yang tadi menyerangnya kini hilang entah kemana, dia menghubungi pengacaranya, meminta lelaki itu menemuinya sekarang juga, dia ingin membahas langkah apa yang akan dia ambil untuk melindungi aset miliknya.*****Amara sedang membersihkan toilet wanita di sebuah pusat perbelanjaan ketika hapenya berdering, terlihat nama Ana, sahabat sekaligus teman tinggalnya saat ini. Ana adalah sahabat yang menemani saat Amara terpuruk, hamil, melahirkan dan sekarang dia yang membantu Ama
"Menikah! Apa Ayah sudah gila, memiliki anak saja sudah membuat hidupku seperti mendapatkan sial seumur hidup, apalagi jika aku harus menikah. Oh, tidak!" Bram menggeleng, dia tak habis pikir darimana ayahnya bisa memiliki pikiran konyol seperti itu.Pak Aldi menatap sedih ke arah Bram, dia tidak menyangka anaknya itu akan berpikir seperti itu."Kenapa kamu bisa berpikiran kalau itu sebuah kesialan?" tanya Pak Aldi, dia harus meluruskan cara berpikir anaknya yang salah."Apa yang bisa di harapkan dari pernikahan? Perceraian atau penghianatan? Aku bercermin dari pernikahan Ayah dan Mama, lalu pernikahan Ayah dan istri-istri Ayah yang lainnya, togh akhirnya Ayah sendiri juga sekarang!" Perkataan Bram yang kasar dan memohon hati pak Aldi membuat wajahnya berubah menjadi kelam, jelas sekali ada mendung bergelayut di wajah tuanya.Dia menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Dia sedang menyusun kata, agar apa yang akan di sampaikan ya tidak akan menghancurkan hati Bram untuk kesekia
"Sepertinya Ayah membagikan warisan kita sekarang." Bramasta berucap sesaat setelah dirinya masuk ke ruang kerja ayahnya. Di dalam ruangan, ternyata sudah duduk dengan santai dua orang saudara tirinya. Maria dan Alfa, keduanya sedang asyik dengan ponselnya dan hanya menoleh sekilas ketika melihat kedatangan saudaranya yang paling tua."Aku malah berpikir dia mengumpulkan kita untuk membicarakan rencana pernikahannya yang ke empat," balas Maria. Seperti mereka ketahui, Ayah mereka adalah seorang miliarder yang terkenal sangat royal dan senang bermain wanita."Aku harap, wanitanya lebih tua darimu, aku tidak bisa membayangkan memiliki ibu tiri lagi yang ternyata usianya jauh di bawah usiaku dan usiamu," sela Alfa.Bram hanya terdiam mendengar lelucon kedua adiknya itu, walaupun mereka beda ibu, tapi ayah mereka memperlakukan ketiga anaknya dengan sangat baik, walaupun dirinya telah berpisah dengan semua wanita yang pernah dia nikahi."Iya, aku harap juga demikian. Tapi, aku sedikit rag