Setelah mencoba menenangkan sang istri, Didi mulai menghampiri Adnan yang ternyata sedari tadi sedang memperhatikannya.
"Adnan, ayah boleh meminta sesuatu sama Adnan?"
Adnan bingung mendengar permintaan sang Ayah yang tiba-tiba, namun yang bisa ia lakukan hanya menganggukan kepalanya.
"Ayah minta untuk Adnan menikah, boleh?"
"Menikah itu seperti apa, Yah?"
"Menikah itu mempersatukan dua orang yang berbeda, seperti ayah dan Ibu. Adnan mau 'kan seperti Ayah dan Ibu? Memiliki anak juga nanti?"
Rasanya Adnan masih agak bingung dengan penjelasan sang Ayah, tetapi ia mulai berpikir bahwa mungkin dengan menikah, ia bisa bahagia seperti yang Ayah dan Ibunya selalu tunjukan di depannya.
"Menikah, seperti Ayah dan Ibu. Jika Adnan seperti Ayah, lalu sosok 'ibu' nya siapa Yah?"
"Nanti kita ketemu sama dia. Ayah tahu Adnan anak baik, pasti mau menuruti permintaan Ayah. Terima kasih, ya."
Adnan menganggukan kepalanya, kemudian menyunggingkan senyum manisnya.
Ah, rasanya hati Arini sakit melihat senyum manis yang polos anak tengahnya itu. Menurutnya, tentu saja pemikiran Adnan soal pernikahan hanya terfokus dan melihat pada dirinya dan sang suami yang memang selalu memperlihatkan kebahagian di depan Adnan. Padahal, lika-liku rumah tangganya sampai di titik ini juga tidak gampang, bukan hanya terfokus pada kebahagian saja. Ditambah membesarkan anak, tentu hal tersebut tidak mudah dijalani. Ia hanya berharap Tuhan memperlancar semua jalannya jika memang ini keputusan terbaik, meskipun sebenarnya hatinya tetap terasa enggan untuk menyetujui pemikiran sang suami.
"Bu, kenapa harus kak Adnan yang bertanggung-jawab? Kasian kak Adnan harus menanggung hal yang bukan kesalahannya."
Arini terdiam beberapa saat, mendengar bisikan sang bungsu di telinganya. Ia bahkan tidak menyadari bahwa Kalila sudah berada di dekatnya.
"Ibu juga sebenarnya berat untuk menyetujui keputusan Ayahmu, Kal. Tetapi mau gimana lagi, kita harus bertanggung-jawab terhadap kesalahan kakakmu. Apalagi Ibu perempuan, kamu perempuan, pasti rasanya sakit dan berat di posisi Fathia saat ini, apalagi Andi tidak mau bertanggung-jawab dan malah kabur."
Kalila hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan gusar saat mendengar penuturan sang Ibu. Ingin rasanya ia mengeluarkan semua pemikirannya, namun rasanya keputusan tersebut memang hal yang cukup tepat meskipun mengorbankan kakak keduanya, mengorbankan seluruh kehidupan Adnan. Menikah dan memiliki anak, tentu saja akan dihadapi dan dirasakan kakak keduanya itu, selama seumur hidupnya.
"Keputusan ini sudah tepat. Besok atau mungkin lusa, kita ke rumah Ardi dan Anya untuk mendiskusikan semuanya. Nanti ayah tanya ke mereka, kapan memiliki waktu kosong untuk bertemu lagi."
Keheningan seketika melanda mereka semua, setelah ucapan final yang dituturkan sang kepala keluarga. Semuanya terdiam dengan pemikiran masing-masing, dan perasaan yang berbeda-beda.
***
Fathia sebenarnya agak enggan ketika orangtuanya, terutama sang mamah, menyarankannya untuk tinggal bersama neneknya di desa kecil yang berada di Sumedang, sampai ia melahirkan.
Alasannya karena pertama, dia kurang begitu dekat dengan sang nenek. Kedua, seumur hidupnya, dia berkunjung ke rumah sang nenek bisa dihitung pakai jari, saking jarangnya, orangtuanya juga lebih sering berkunjung ke sana tanpa mengajak anak-anaknya. Ketiga, neneknya tentu sudah tua meskipun kelihatannya masih sehat dan kuat jalan, takutnya ia merepotkan sang nenek di sana, apalagi kata orang, ibu hamil memiliki tingkat sensitivitas dan mood-swing yang tinggi. Keempat, pasti nanti akan ada keluarga dari Mamahnya yang berkunjung ke sana dan berujung mengetahui dirinya hamil, dan pasti hal tersebut akan ramai dibicarakan keluarga besar, ia malas mendengar cibiran dari keluarga sang Mamah nantinya, ya meskipun hal tersebut memang pantas di dapatkan karena kesalahannya.
Semuanya terasa serba salah untuk Fathia. Padahal kesalahannya ini dilakukan berdua, tetapi pada akhirnya ia malah menanggung semuanya sendirian. Tetapi untungnya Mamah dan Papahnya memiliki pemikiran terbuka, tidak mengusir dan mencaci anaknya yang hamil di luar nikah. Ia malah mendapatkan support yang luar biasa dari kedua orangtuanya dan kedua adiknya, ya walaupun Rio agak sedikit berbeda, ia masih terlihat kesal dan kecewa.
"Dek, tetap kuat untuk kita, ya. Kita bisa bersama melewati semua ini kok, sampai nanti kita bertemu. See you."
Fathia baru saja akan merebahkan tubuhnya di kasur, namun suara ketukan di pintu kamarnya membuat ia mengurungkan niat.
"Thia, boleh keluar sebentar?"
Ah, sang mamah ternyata.
Fathia pun segera membuka pintu kamarnya, dan di sana sudah ada sang Mamah bersama Nadia.
"Ada apa, mah?"
"Boleh ke ruang tamu sebentar? Ada orangtua Andi."
Sebenarnya Fathia sudah malas bertemu dengan orang-orang yang ada kaitannya dengan Andi, tapi ya mau gimana lagi, sang mamah yang meminta untuk menemui mereka.
Saat sampai di ruang tamu, ternyata keluarga Andi sudah dijamu oleh orangtuanya. Tapi yang membuat Fathia bingung, kenapa Tante Arini dan om Didi, datang bareng Adnan ya?
Fathia tentu tahu Adnan seperti apa, begitupun dengan kekurangannya. Saat Andi masih bersamanya, dia sering menceritakan adiknya yang katanya 'cacat' itu. Dia sering kali mencaci-maki sang adik di depannya, karena orangtuanya benar-benar ekstra dalam menjaga dan mendidik Adnan.
Ini masalahnya dengan Andi, untuk apa Adnan ikut ke rumahnya, pemikiran pria itu pasti tidak akan mengerti tentang permasalahan ini.
"Nah, Fathia kan sudah di sini. Silahkan bicarakan langsung, Pak, Bu, hal yang tadi bapa bicarakan kepada saya dan istri."
Fathia menatap bingung orang-orang yang ada di ruangan ini. Pembicaraan seperti apa sebenarnya, yang telah disampaikan dari pihak mereka?
"Nak Fathia, kita tahu anak kita bersalah dan seharusnya tanggung-jawab, tetapi sampai saat ini kami belum menemukan Andi, bahkan kabarnya pun kami tidak tahu. Tetapi kami juga tidak mau untuk lepas tangan begitu saja terhadap kesalahan anak saya. Insyaallah kami akan tetap bertanggung-jawab. Saya tahu, pasti berat sekali untuk nak Fathia menjalani semua ini sekarang. Akhirnya, setelah berdiskusi panjang dan agak cukup berat juga untuk kami, Adnan yang akan menggantikan Andi untuk bertanggung-jawab. Adnan yang akan menikahi kamu untuk menggantikan Andi, sebelum semuanya terlambat dan perutmu semakin membesar."
Fathia shock bukan main mendengar penuturan dari Didi. Tak pernah terpikir bahwa keluarga mereka ternyata bisa berpikiran untuk mengorbankan anak keduanya, yang bahkan mereka tahu sendiri bahwa Adnan berbeda. Fathia sangsi anak itu bisa bertindak selayaknya suami dan ayah.
Adnan memang lebih tua satu tahu daripada Fathia, tetapi pemikiran anak itu mungkin lebih lambat daripada anak normal seusianya. Ia tentu saja sudah tahu bahwa pria yang berada di hadapannya sekarang, yang sedari tadi hanya diam, mengidap Autis spektrum disorder (ASD). Meskipun ia bukan pemerhati hal tersebut, tetapi ia sedikit paham mengenai kepribadian seseorang yang mengidap autis. Apalagi dahulu ia pernah mendapati Adnan 'tantrum', ketika waktu itu sedang bersama Andi di taman rumah mereka.
"Fathia, kami menunggu jawabanmu."
Fathia mengerejapkan matanya beberapa kali, saat mendengar ujaran dari Arini.
Jujur Fathia bingung dihadapkan pilihan seperti ini. Ia tidak pernah berpikiran untuk sampai di titik ini. Ingin menolak, tapi ia berpikir bahwa anaknya butuh sosok ayah. Ingin mengiyakan, tapi pernikahannya pasti tidak akan berjalan sebagaimana mestinya pernikahan di luaran sana. Yang ada, mungkin ia yang malah harus repot mengurusi Adnan.
"Jujur saja saya bingung. Saya tahu kondisi Adnan seperti apa. Jika saya mengiyakan, apakah bisa pernikahan saya dengannya akan berjalan dengan semestinya? Apakah dia bisa menjadi sosok ayah untuk anak saya nantinya? Jujur saya agak ragu untuk mempercayai rencana ini. Jika pun menolak, saya harus jujur kalau bayi saya juga butuh sosok ayah yang menantikan kelahirannya. Saya takut anak saya diejek oleh orang-orang di masa depannya, karena tidak memiliki ayah dan terlahir di luar pernikahan."
Semuanya hening menyimak ucapan Fathia. Ucapan Fathia memang ada benarnya, tapi mau gimana lagi, semuanya memang benar-benar serba salah.
"Sekarang begini saja. Mungkin nak Fathia bisa mencoba mendekatkan diri kepada Adnan beberapa minggu atau bulan sebelum nanti akhirnya memutuskan untuk menerima Adnan atau tidak. Setidaknya kami juga berusaha dan menawarkan solusi terhadap permasalahan ini. Diterima atau tidaknya, semua kembali kepada nak Fathia. Adnan agak sulit terbuka terhadap orang baru atau bukan orang terdekatnya, meskipun dia kenal. Jadi bagaimana?"
Fathia menarik nafasnya perlahan, dan menghembuskannya agak gusar. Saat ini ia benar-benar bingung. Matanya beberapa kali melirik kedua orangtuanya juga Nadia, bermaksud memberi kode bahwa ia ingin meminta pendapat dari keluarganya.
"Kalau mamah sih kembali ke kamu, ya. Seenggaknya keluarga Pak Didi sudah menawarkan itikad baiknya. Kalau kamu butuh sedikit waktu untuk memikirkan hal ini, ya boleh, tetapi mungkin jangan terlalu lama."
Fathia hanya bisa terdiam di tempatnya. Pikiran dan hatinya berkecamuk bingung memikirkan hal tersebut.
Sampai beberapa menit berlalu, keheningan melanda di ruang tamu keluarga Ardi. Mereka menunggu sedikit jawaban dari Fathia.
"Ini cukup berat untuk saya. Tetapi pada akhirnya, mungkin saya akan mencoba mendekati Adnan, sebelum akhirnya nanti saya akan memutuskan untuk menerimanya atau tidak."
Bersambung
(Selesai ditulis pada hari selasa, 07 september 2021, pukul 11.53 wib).
Fathia hanya bisa terdiam di tempatnya. Pikiran dan hatinya berkecamuk bingung memikirkan hal tersebut.Sampai beberapa menit berlalu, keheningan melanda di ruang tamu keluarga Ardi. Mereka menunggu sedikit jawaban dari Fathia."Ini cukup berat untuk saya. Tetapi pada akhirnya, mungkin saya akan mencoba mendekati Adnan, sebelum akhirnya nanti saya akan memutuskan untuk menerimanya atau tidak."Wajah-wajah tegang yang sedari tadi terpasang di wajah orang-orang yang berada di ruangan ini, akhirnya sedikit meluruh juga ketika mendengar penuturan Fathia.Semoga saat ini, apa yang diucapkannya adalah hal yang tepat. Walaupun sepertinya Fathia harus sedikit mengikis harga dirinya, karena ia yang harus berjuang untuk mendekati Adnan.Kenapa pada akhirnya Fathia mau untuk mencoba mendekati Adnan? Karena ia berpikir Adnan adalah pria baik, yang terlihat polos dan berbeda dari pria di luaran sana. M
Awalnya Fathia mengira semuanya akan terasa mudah untuk mendekati Adnan, karena pria itu tertawa di pertemuan pertamanya setelah menjadi teman, tetapi ternyata ya seperti inilah ujungnya. Fathia seperti melukis sendirian, saking fokus dan diamnya pria itu saat sedang melukis.Daripada pusing memikirkan hal tersebut, Fathia segera mengambil cat dan menuangkannya ke atas palet yang ia beli tadi. Kemudian mulai memikirkan ide, apa yang mau dilukisnya. Setelah beberapa menit, akhirnya ia memilih untuk melukis taman bunga yang ada di depannya. Taman bunga dengan berbagai jenis bunga yang indah dilihat mata. Ia mulai mengayunkan kuasnya di atas kanvas. Matanya sesekali melirik lukisan Adnan, dan dia cukup terkejut saat melihat lukisan Adnan bahkan sudah setengah jadi. Memangnya berapa lama ia diam untuk berpikir memikirkan hal apa yang ingin dilukisnya, ia rasa tidak sampai setengah jam ia berpikir, tapi pria di sampingnya itu sudah setengah jalan saja.
"Kayaknya kamu kok capek banget sih, emang ngapain aja seharian ini sama Adnan?"Fathia yang sedang berleha-leha di sofa yang terletak di ruang tamu, segera membuka matanya dan ia baru menyadari bahwa sang Mamah sudah terduduk di kursi yang letaknya tak jauh dari sofa yang ia tempati."Cuman ngelukis aja, ngobrol-ngobrol sama adiknya, sama tante Arini, udah. Terus Adnan ngasih beberapa lukisan. Sebenernya adiknya sih yang ngasih, tapi yang lukis Adnan. Kayaknya boleh tuh mah dipajang, bagus banget lukisannya.""Mamah jadi bingung deh sama semuanya. Yang harus bertanggung-jawab kan keluarga mereka, tapi kok malah kamu yang kelihatannya harus berusaha buat deket sama Adnan, harus mengambil keputusan menerima enggaknya. Beberapa hari ini kamu harus terus berkunjung dan 'mendekati' Adnan."Fathia yang mendengar tutur kata sang Mamah yang terdengar serius, langsung mengubah posisinya menjadi duduk.
Fathia kaget bukan main saat melihat wajah Adnan berada di atasnya, apalagi tatapannya yang begitu intens. Ia segera mengubah posisinya untuk menjadi duduk di sebelah pria itu. Ia jadi bingung sendiri, kenapa ia bisa tertidur di paha Adnan, padahal seingatnya ia hanya jatuh tertidur ketika Adnan sedang fokus dengan lukisannya."Kok aku bisa tidur di atas paha kamu?""Tadi Fathia keliatan gak enak tidurnya, Adnan pikir butuh bantal, jadi Adnan jadiin paha Adnan buat jadi bantal Fathia deh. Maaf ya kalau itu gak boleh."Fathia segera menggelengkan kepalanya, menyanggah pernyataan maaf dari Adnan."Enggak, gak papa kok. Malah aku yang makasih, kamu pasti pegel kan nungguin aku tidur, pasti lama deh. Oh iya, kamu udah selesai ngelukisnya?"Fathia mengikuti tatapan mata Adnan, kemudian ia baru menyadari bahwa baru sedikit goresan cat di atas kanvas, itu berarti sedari awal ia tertidur, Adnan me
Fathia menatap intens kalender yang tertempel di dinding kamarnya itu. Ia baru menyadari jika hari pernikahannya semakin mendekat, hampir satu minggu lagi. Rasanya seperti terlalu cepat waktu berlalu, dan terlalu cepat ia mengambil keputusan yang ia bicarakan dengan Adnan di Taman tempo hari. Tetapi mau bagaimana lagi, ia memang harus terpaksa untuk mengambil keputusan dengan waktu yang cepat.Ia menjadi bingung sendiri dengan takdirnya yang entah mau dibawa ke mana. Di kehidupan sebelumnya, bahkan ia tidak pernah membayangkan bahwa takdirnya berjalan ke arah yang seperti ini.Tempo hari, memang ia sudah yakin dengan keputusannya, bahwa Adnan mungkin orang yang tepat untuk menjadi sosok Ayah dari bayi yang sedang di kandungnya. Ia yakin pria itu akan menyayangi dan mencintai anaknya dengan sepenuh hati, walaupun dengan kekurangannya, hanya karena ia melihat interaksi yang selalu Adnan tunjukan ketika sedang bersama dengan anak kecil.
Fathia terdiam sebentar saat Adnan mengajaknya masuk ke rumah yang ada di hadapannya itu. Rumah yang dimaksud Adnan akan ditinggali mereka setelah menikah.Interior luarnya saja sudah cukup membuat Fathia kagum, terlihat minimalis dan sederhana namun elegannya masih dapat dilihat. Persis seperti rumah yang dahulu sering ia mimpikan untuk menjadi rumah masa depannya. Tidak terlalu mewah dan besar, tetapi menggunakan konsep industrial house."Ini kamu yang pilih sendiri atau dipilihin sama orangtua kamu?" Tanya Fathia saat langkahnya sudah dekat dengan Adnan."Adnan dikasih beberapa pilihan, terus akhirnya pilih yang ini karena suka aja."Fathia menganggukan kepalanya, tanpa meneruskan pembicaraan tersebut. Ia mulai sibuk melihat interior dalam rumahnya, yang terlihat nyaman untuk ditinggali, dan bahkan furniturenya sudah komplit. Ada juga beberapa lukisan yang sudah pasti Adnan yang melukis, karena
Hari ini adalah hari pernikahan Fathia dan Adnan, yang akan dilaksanakan di rumah mempelai pria.Saat ini, Fathia sudah didandani dan memakai gaun pernikahannya, sedang menuju ke kediaman orangtua Adnan. Yang bisa Fathia lakukan saat ini, hanya menatap jalanan yang dilaluinya dari jendela mobil, sedangkan tangannya menggenggam erat tangan sang Mamah yang kebetulan duduk di sampingnya.Yang Fathia lakukan saat ini, hanya berdoa semoga semuanya berjalan lancar. Ia hanya ingin pikirannya terfokus akan hari ini, mencoba melupakan pemikiran dan perasaan yang mengganggunya belakang ini, selama perjalanannya menuju pernikahan yang dilaksanakan hari ini."Tenang aja, jangan nervous kayak gitu. Doa dan shalawat jangan lupa diucapin terus." Ucap sang Mamah sembari mempererat genggaman tangannya, sedangkan ia hanya mengiyakan ucapan sang Mamah dengan anggukan kepalanya."Mah, tapi Adnan bakal bisa kan buat n
Fathia termenung di tempatnya saat melihat beberapa berkas pernikahan yang harus ditanda-tanganinya. Sejujurnya ia masih bingung dan tak menyangka bahwa ia sekarang benar-benar menjadi istri seorang pengidap asd yang ada di sampingnya ini. Fathia jadi bertanya-tanya sendiri mengenai takdirnya yang entah ke depannya akan berjalan ke mana. Takdirnya melangkah mengantarkan dirinya menjadi jodoh Adnan saja sudah sangat di luar dugaan, harapan dan doanya. Apakah mungkin ke depannya ia juga harus pasrah dengan berbagai keadaan yang akan menerpa? Tentu saja Tuhan tidak akan mungkin hanya memberinya ujian sampa di sini, pasti akan ada masalah dan ujian lain yang mungkin saja akan lebih susah untuk dihadapinya. Setelah di rasa semua berkas sudah Fathia tanda tangani, ia melirik pria yang berada di sampingnya, yang terlihat agak kesusahan untuk membubuhkan tanda-tangannya di berkas-berkas tersebut, bahkan sang adik mendampinginya, membimbingnya untuk bisa menanda-t