Fathia hanya bisa terdiam di tempatnya. Pikiran dan hatinya berkecamuk bingung memikirkan hal tersebut.
Sampai beberapa menit berlalu, keheningan melanda di ruang tamu keluarga Ardi. Mereka menunggu sedikit jawaban dari Fathia.
"Ini cukup berat untuk saya. Tetapi pada akhirnya, mungkin saya akan mencoba mendekati Adnan, sebelum akhirnya nanti saya akan memutuskan untuk menerimanya atau tidak."
Wajah-wajah tegang yang sedari tadi terpasang di wajah orang-orang yang berada di ruangan ini, akhirnya sedikit meluruh juga ketika mendengar penuturan Fathia.
Semoga saat ini, apa yang diucapkannya adalah hal yang tepat. Walaupun sepertinya Fathia harus sedikit mengikis harga dirinya, karena ia yang harus berjuang untuk mendekati Adnan.
Kenapa pada akhirnya Fathia mau untuk mencoba mendekati Adnan? Karena ia berpikir Adnan adalah pria baik, yang terlihat polos dan berbeda dari pria di luaran sana. Mungkin saja pria itu akan menjadi suami dan ayah yang baik jika diberi pengertian dan pemahaman yang sesuai untuk dia cerna. Ya kita lihat saja ke depannya, apakah Fathia mampu untuk menjadi orang terdekat Adnan, dan apakah Adnan mampu untuk mengakrabkan diri dengan 'orang asing'? Hanya Tuhan dan takdirnya, yang akan menjawab semuanya.
***
Fathia beberapa kali melirik pria yang ada di sampingnya. Matanya tak lepas menatap pria yang sedari tadi malah sibuk menatap kolam ikan yang tak jauh dari gazebo yang mereka tempati.
Fathia akui kalau soal fisik, Adnan memiliki proporsi tubuh yang cukup dan wajah yang tampan. Ia terlihat 'normal' ketika sedang diam, namun akan terlihat 'berbeda' ketika ia dipancing atau diajak berbicara.
"Kita mulai dari awal, ya. Namaku Fathia." Ucap Fathia sembari memulai pembicaraan, tak lupa dengan sodoran tangannya.
Setelah beberapa puluh detik, tak ada sahutan apapun dari Adnan. Pada akhirnya Fathia kembali menarik sodoran tangannya. Ia harus mulai membaca tentang Autis spektrum itu seperti apa, bagaimana cara pendekatan terhadap penderitanya.
Sedangkan Adnan, masih terfokus untuk melihat ikan-ikan yang berenang ke sana ke mari di kolam yang berukuran 1 x 3 meter itu. Ia memang akan terfokus kepada suatu hal yang memang menurutnya menarik, dan fokusnya tak akan bisa terganggu walaupun diganggu sedemikian rupa. Kecuali jika memang ia sudah merasa risih akan hal yang mengganggu fokusnya, ia akan kesal dan berakhir tantrum. Jadi rasanya Fathia harus mengetahui hal tersebut, supaya nantinya Adnan tidak mudah tantrum.
"Oh iya, aku denger katanya kamu jago melukis, ya. Kalau boleh aku mau dong lihat lukisan kamu, dan diajarin ngelukis, kayaknya seru deh."
Setelah berpikir, akhirnya Fathia tahu harus membicarakan apa. Setidaknya Fathia sedikit tahu bahwa pria yang ada di sampingnya ini sangat senang melukis. Di dinding rumah Adnan, banyak sekali lukisan hasil pria itu yang terpajang. Bahkan dulu Andi pernah bercerita bahwa dia iri dan kesal karena orangtuanya sangat mendukung hal yang disenangi Adnan, sampai dibuatkan ruangan khusus untuk melukis, supaya Adnan bisa fokus menekuni bakat dan kesenangannya.
"Diajarin melukis?"
Fathia sedikit menyunggingkan senyumnya saat mendengar Adnan menyahutinya, walaupun kalimat tanya. Rencananya sedikit berhasil untuk memulai pembicaraan dengan Adnan.
"Iya, Fathia mau diajarin melukis. Kata Andi, kamu jago banget melukis. Boleh ya?"
"Eum... boleh. Nanti datang saja ke rumahku, kita melukis di sana."
"Melukis itu menyenangkan ya? Sepertinya wajah kamu terlihat bahagia sekali ketika mendengar kata melukis."
Fathia semakin menyunggingkan senyumnya saat mendapati Adnan tengah menatapnya, apalagi senyum yang tersemat di bibir pria itu terlihat manis. Ah andai saja Adnan 'normal', mungkin Fathia akan mudah jatuh cinta dan mungkin malah beruntung mendapatkan pria itu. Tetapi namanya manusia, pasti memiliki kekurangan di setiap kelebihannya.
"Ya, melukis sangat-sangat menyenangkan. Besok kamu datang saja ke rumahku, kita melukis bersama."
Fathia menganggukan kepalanya, mengiyakan pernyataan Adnan.
"Baik kalau begitu. Jadi sekarang aku temanmu?" Tanya Fathia sembari menyodorkan jari kelingkingnya, berniat membuat janji dengan Adnan.
Adnan terdiam beberapa saat menatap jari kelingking Fathia. Tentu saja ia tahu Fathia bukan orang baru di hidupnya. Ia mengingat beberapa kali wanita itu pernah bertemu dengannya di rumah, walaupun tidak pernah mengobrol seperti ini. Ia berpikir sejenak, apakah ia mau menerima Fathia untuk menjadi temannya.
"Boleh deh."
***
"Adnannya ada, tante?" Tanya Fathia saat pintu yang ia ketuk terbuka.
Hari ini Fathia mencoba memulai semuanya. Ia mencoba membuka hati, dan mencoba berteman terlebih dahulu dengan Adnan. Bukan hal yang mudah memang, tetapi ia harus mencobanya, sebelum hasil akhirnya akan ia putuskan, sesuai dengan hasil akhir bagaimana hubungannya dengan Adnan nanti.
"Silahkan masuk dulu, nak. Adnan ada di studio lukisnya. Mau duduk dulu atau langsung nemuin Adnan?"
"Langsung aja tante."
Setelah dipersilahkan, Fathia mulai mengekori Arini yang membawanya mendekati ruangan yang ada di dekat tangga.
"Adnan, ada Fathia nih." Ujar Arini sembari membuka pintu ruangan tersebut, dan menampakan Adnan yang terlihat serius dengan kanvas di depannya, dan kuas cat yang dipegangnya.
Fathia terdiam sebentar di tempat ia berpijak, saat melihat lukisan-lukisan yang ada di studio Adnan, lebih mencengangkan daripada yang di pajang di dinding rumah. Ingin rasanya ia membawa pulang salah satu dari beberapa lukisan yang berjajar di lantai itu.
Fathia kemudian menatap paperbag yang dibawanya, tiba-tiba saja ia merasa minder dengan apa yang dibawanya.
Awalnya Fathia berniat membawa dua kanvas dan beberapa merek cat, mulai dari water base sampai oil base karena ia kurang mengetahui Adnan memakai cat dengan jenis apa, ternyata saat melihat isi studionya, malah dipojok ruangan sudah terdapat lemari khusus untuk persedian melukis, lengkap mulai dari Kanvas, cat dengan berbagai merek yang bahkan Fathia tidak pernah melihat sebelumnya, dan beberapa alat lainnya yang tidak bisa ia sebutkan itu apa. Jujur saja Fathia kaget melihat lengkapnya lemari itu, karena ia pun beberapa kali pernah melukis hanya untuk menghilangkan stress.
"Kamu bawa apa?"
Fathia mengerejapkan matanya, lalu menyadari bahwa Adnan yang tadi dilihatnya sedang fokus, sudah berada di hadapannya. Ia bahkan tidak menyadari bahwa Arini sudah hilang entah pergi ke mana.
"I..ini, kanvas sama cat. Tapi kayaknya cat sama peralatan lukis kamu lebih lengkap deh, salah banget ya aku bawa ginian."
Adnan terkekeh kecil melihat Fathia yang terlihat agak gugup, menurutnya, gadis itu terlihat lucu karena bertingkah demikian.
"Gak papa, makasih ya. Gimana kalau kita pakai aja buat ngelukis bareng. Di halaman belakang aja yuk ngelukisnya." Ajak Adnan dengan nada yang riang.
Tanpa menjawab, Fathia hanya bisa mengekori kemana Adnan berjalan. Ia sudah tahu sebenarnya ke tempat mana yang Adnan tuju, halaman belakang yang dilengkapi kolam renang yang cukup luas dengan taman bunga di sisi kirinya. Hah, dahulu ia sering sekali untuk duduk di pinggir kolam renang dengan kaki yang tercelup ke kolam renang, kemudian mengobrolkan hal apapun dengan Andi. Jadi flashback sendiri kan, padahal sekarang di depannya bukan lagi Andi, tetapi orang yang berbeda. Dia, Adnan.
Fathia hanya terdiam di tempatnya, memperhatikan Adnan yang sedang mempersiapkan dan merapihkan peralatan lukisnya. Pria itu memilih spot melukis di dekat taman bunga, lebih tepatnya di gazebo.
"Kamu bisa duduk di sini."
Fathia hanya menganggukan kepalanya, kemudian mulai melangkahkan kakinya untuk duduk di tempat yang Adnan tunjuk, di sebelah pria itu.
"Mana kanvas sama catnya?"
Fathia segera menyodorkan paperbag yang dibawanya. Ia hanya duduk diam sembari memperhatikan Adnan yang mulai menautkan kanvas ke penyangga lukisan, dan membuka satu persatu cat dari kemasannya, kemudian menuangkan cat tersebut ke palet.
Suasana tiba-tiba hening, tak ada lagi yang berbicara. Hanya terdengar goresan kuas yang mulai diayunkan Adnan di atas kanvas.
"Kapan-kapan, aku minta kamu buat melukis wajah aku, ya." Ujar Fathia, tangannya sembari sibuk menyiapkan alat lukis yang akan digunakannya.
Fathia menolehkan kepalanya ke arah Adnan, saat menyadari bahwa pria itu tidak menanggapi ucapannya. Yah sudahlah, ia harus sabar akan kekurangan Adnan yang satu itu, terfokus pada satu hal yang teramat menarik untuknya, sampai tidak bisa diganggu ataupun diajak ngobrol.
Awalnya Fathia mengira semuanya akan terasa mudah untuk mendekati Adnan, karena pria itu tertawa di pertemuan pertamanya setelah menjadi teman, tetapi ternyata ya seperti inilah ujungnya. Fathia seperti melukis sendirian, saking fokus dan diamnya pria itu saat sedang melukis.
Bersambung
(Selesai ditulis pada hari selasa, 07 september 2021, pukul 18.40 wib).
Awalnya Fathia mengira semuanya akan terasa mudah untuk mendekati Adnan, karena pria itu tertawa di pertemuan pertamanya setelah menjadi teman, tetapi ternyata ya seperti inilah ujungnya. Fathia seperti melukis sendirian, saking fokus dan diamnya pria itu saat sedang melukis.Daripada pusing memikirkan hal tersebut, Fathia segera mengambil cat dan menuangkannya ke atas palet yang ia beli tadi. Kemudian mulai memikirkan ide, apa yang mau dilukisnya. Setelah beberapa menit, akhirnya ia memilih untuk melukis taman bunga yang ada di depannya. Taman bunga dengan berbagai jenis bunga yang indah dilihat mata. Ia mulai mengayunkan kuasnya di atas kanvas. Matanya sesekali melirik lukisan Adnan, dan dia cukup terkejut saat melihat lukisan Adnan bahkan sudah setengah jadi. Memangnya berapa lama ia diam untuk berpikir memikirkan hal apa yang ingin dilukisnya, ia rasa tidak sampai setengah jam ia berpikir, tapi pria di sampingnya itu sudah setengah jalan saja.
"Kayaknya kamu kok capek banget sih, emang ngapain aja seharian ini sama Adnan?"Fathia yang sedang berleha-leha di sofa yang terletak di ruang tamu, segera membuka matanya dan ia baru menyadari bahwa sang Mamah sudah terduduk di kursi yang letaknya tak jauh dari sofa yang ia tempati."Cuman ngelukis aja, ngobrol-ngobrol sama adiknya, sama tante Arini, udah. Terus Adnan ngasih beberapa lukisan. Sebenernya adiknya sih yang ngasih, tapi yang lukis Adnan. Kayaknya boleh tuh mah dipajang, bagus banget lukisannya.""Mamah jadi bingung deh sama semuanya. Yang harus bertanggung-jawab kan keluarga mereka, tapi kok malah kamu yang kelihatannya harus berusaha buat deket sama Adnan, harus mengambil keputusan menerima enggaknya. Beberapa hari ini kamu harus terus berkunjung dan 'mendekati' Adnan."Fathia yang mendengar tutur kata sang Mamah yang terdengar serius, langsung mengubah posisinya menjadi duduk.
Fathia kaget bukan main saat melihat wajah Adnan berada di atasnya, apalagi tatapannya yang begitu intens. Ia segera mengubah posisinya untuk menjadi duduk di sebelah pria itu. Ia jadi bingung sendiri, kenapa ia bisa tertidur di paha Adnan, padahal seingatnya ia hanya jatuh tertidur ketika Adnan sedang fokus dengan lukisannya."Kok aku bisa tidur di atas paha kamu?""Tadi Fathia keliatan gak enak tidurnya, Adnan pikir butuh bantal, jadi Adnan jadiin paha Adnan buat jadi bantal Fathia deh. Maaf ya kalau itu gak boleh."Fathia segera menggelengkan kepalanya, menyanggah pernyataan maaf dari Adnan."Enggak, gak papa kok. Malah aku yang makasih, kamu pasti pegel kan nungguin aku tidur, pasti lama deh. Oh iya, kamu udah selesai ngelukisnya?"Fathia mengikuti tatapan mata Adnan, kemudian ia baru menyadari bahwa baru sedikit goresan cat di atas kanvas, itu berarti sedari awal ia tertidur, Adnan me
Fathia menatap intens kalender yang tertempel di dinding kamarnya itu. Ia baru menyadari jika hari pernikahannya semakin mendekat, hampir satu minggu lagi. Rasanya seperti terlalu cepat waktu berlalu, dan terlalu cepat ia mengambil keputusan yang ia bicarakan dengan Adnan di Taman tempo hari. Tetapi mau bagaimana lagi, ia memang harus terpaksa untuk mengambil keputusan dengan waktu yang cepat.Ia menjadi bingung sendiri dengan takdirnya yang entah mau dibawa ke mana. Di kehidupan sebelumnya, bahkan ia tidak pernah membayangkan bahwa takdirnya berjalan ke arah yang seperti ini.Tempo hari, memang ia sudah yakin dengan keputusannya, bahwa Adnan mungkin orang yang tepat untuk menjadi sosok Ayah dari bayi yang sedang di kandungnya. Ia yakin pria itu akan menyayangi dan mencintai anaknya dengan sepenuh hati, walaupun dengan kekurangannya, hanya karena ia melihat interaksi yang selalu Adnan tunjukan ketika sedang bersama dengan anak kecil.
Fathia terdiam sebentar saat Adnan mengajaknya masuk ke rumah yang ada di hadapannya itu. Rumah yang dimaksud Adnan akan ditinggali mereka setelah menikah.Interior luarnya saja sudah cukup membuat Fathia kagum, terlihat minimalis dan sederhana namun elegannya masih dapat dilihat. Persis seperti rumah yang dahulu sering ia mimpikan untuk menjadi rumah masa depannya. Tidak terlalu mewah dan besar, tetapi menggunakan konsep industrial house."Ini kamu yang pilih sendiri atau dipilihin sama orangtua kamu?" Tanya Fathia saat langkahnya sudah dekat dengan Adnan."Adnan dikasih beberapa pilihan, terus akhirnya pilih yang ini karena suka aja."Fathia menganggukan kepalanya, tanpa meneruskan pembicaraan tersebut. Ia mulai sibuk melihat interior dalam rumahnya, yang terlihat nyaman untuk ditinggali, dan bahkan furniturenya sudah komplit. Ada juga beberapa lukisan yang sudah pasti Adnan yang melukis, karena
Hari ini adalah hari pernikahan Fathia dan Adnan, yang akan dilaksanakan di rumah mempelai pria.Saat ini, Fathia sudah didandani dan memakai gaun pernikahannya, sedang menuju ke kediaman orangtua Adnan. Yang bisa Fathia lakukan saat ini, hanya menatap jalanan yang dilaluinya dari jendela mobil, sedangkan tangannya menggenggam erat tangan sang Mamah yang kebetulan duduk di sampingnya.Yang Fathia lakukan saat ini, hanya berdoa semoga semuanya berjalan lancar. Ia hanya ingin pikirannya terfokus akan hari ini, mencoba melupakan pemikiran dan perasaan yang mengganggunya belakang ini, selama perjalanannya menuju pernikahan yang dilaksanakan hari ini."Tenang aja, jangan nervous kayak gitu. Doa dan shalawat jangan lupa diucapin terus." Ucap sang Mamah sembari mempererat genggaman tangannya, sedangkan ia hanya mengiyakan ucapan sang Mamah dengan anggukan kepalanya."Mah, tapi Adnan bakal bisa kan buat n
Fathia termenung di tempatnya saat melihat beberapa berkas pernikahan yang harus ditanda-tanganinya. Sejujurnya ia masih bingung dan tak menyangka bahwa ia sekarang benar-benar menjadi istri seorang pengidap asd yang ada di sampingnya ini. Fathia jadi bertanya-tanya sendiri mengenai takdirnya yang entah ke depannya akan berjalan ke mana. Takdirnya melangkah mengantarkan dirinya menjadi jodoh Adnan saja sudah sangat di luar dugaan, harapan dan doanya. Apakah mungkin ke depannya ia juga harus pasrah dengan berbagai keadaan yang akan menerpa? Tentu saja Tuhan tidak akan mungkin hanya memberinya ujian sampa di sini, pasti akan ada masalah dan ujian lain yang mungkin saja akan lebih susah untuk dihadapinya. Setelah di rasa semua berkas sudah Fathia tanda tangani, ia melirik pria yang berada di sampingnya, yang terlihat agak kesusahan untuk membubuhkan tanda-tangannya di berkas-berkas tersebut, bahkan sang adik mendampinginya, membimbingnya untuk bisa menanda-t
Fathia melambaikan tangannya sembari terus menyunggingkan senyumnya saat melihat Orangtua dan mertuanya berpamitan pulang.Ia kemudian mulai melangkahkan kakinya memasuki 'rumah barunya', yang hanya ada ia, Adnan, dua orang asisten rumah tangga dan satu supir yang memang dibawa dari rumah orangtua Adnan, karena mereka bertiga sudah tahu bagaimana harus memperlakukan Adnan.Waktu baru saja menunjukan pukul delapan malam lebih dua puluh lima menit, tetapi Fathia merasa tubuhnya benar-benar lelah, apalagi di bagian pinggangnya agak terasa pegal. Padahal tidak ada acara resepsi yang memakan waktu lama karena berdiri terus menerus di pelaminan, hanya menyapa saudara yang datang, makan bersama dan acara pernikahannya selesai. Tetapi entah kenapa rasa lelah di tubuhnya, seperti ia berkegiatan dengan sangat aktif, mungkin bawaan ibu hamil yang terkadang gampang lelah.Tanpa berpikir panjang, langkah kakinya ia gerakan menuju kamar
"Kamu maunya gimana? Proses semua kejadian ini lewat jalur hukum dan serahkan bukti-bukti ke pihak berwajib, atau mungkin ada pemikiran kamu tersendiri mau diapakan Andi? Ya meskipun dia putra Ibu, Ibu gak akan membela apapun yang kamu lakukan untuk dia sebagai hukuman atas hal yang dilakukannya."Fathia terdiam mencerna ucapan Ibu mertuanya. Walaupun matanya menatap Thalia yang tengah terlelap di ranjang rumah sakit, tetapi fokusnya terbagi. Hatinya tentu saja sakit melihat putrinya harus dirawat seperti ini, tetapi ia juga sedikit penasaran, apa alasan Andi sampai melakukan penculikan terhadap putri kandungnya sendiri. Walaupun memang sakit hatinya masih mendera karena penolakan tanggung-jawab yang pria itu berikan ketika ia baru mengetahui bahwa ia mengandung, tetapi pada kenyataannya Fathia akan tetap mempertemukan Andi dan Thalia, jika pria itu meminta izin dengan cara baik-baik. Fathia juga tidak akan melarang Thalia bertemu ayah kandungnya. Tetapi setelah kejadian ini, kemungki
Dengan berlari sekuat tenaga aku menyusuri lorong rumah sakit, untuk mencari ruangan di mana bunda berada.Hari ini aku dikabari Ayah bahwa Bunda melahirkan. Tentu saja tanpa menunda waktu, aku langsung bergegas untuk meminta izin supaya bisa menjenguk bunda, padahal aku baru saja selesai melakukan latihan. Bahkan aku baru menyadari bahwa aku masih menggunakan jersey penuh keringat dan lepek yang ku pakai saat latihan. Saking senang mendengar kabar tersebut dan buru-buru menuju ke rumah sakit, aku agak lupa untuk membersihkan tubuh dan mengganti pakaian. Agak ceroboh, Bunda pun pasti marah melihatku yang masih menggunakan jersey badminton, tapi mau bagaimana lagi karena aku sudah sampai di rumah sakit. Mungkin aku akan mengirim pesan kepada Tyla atau Tyna untuk membawa pakaian ganti untukku jika salah satu di antara mereka ada yang masih dir rumah.Aku langsung melambaikan tanganku beberapa kali saat melihat Ayah tengah berdiri di depan salah satu ruang rawat bersama Tyla dan suaminya
Ku tatap lekat foto yang terpajang rapih di samping televisi itu. Tatap matanya, senyumannya, raut wajahnya, suara lembutnya, masih melekat dengan indah di di pikiran dan hatiku hingga detik ini. Haah, rasanya aku sangat merindukan dia, untuk setiap detik waktu yang ku punya.Dengan segala keterbatasannya, dia sosok yang teramat sempurna untuk hidupku. Beberapa orang terdekatku sering kali menceritakannya. Menceritakan tentang tingkahnya, dan kisahnya.Tuhan, aku bersyukur sekali memiliki dia di dalam hidupku, sampai detik ini dan selamanya. Tuhan, terima kasih telah menghadirkan sosoknya di hidupku. Aku teramat beruntung memilikinya. Biarpun orang lain memandang sosoknya berbeda, merendahkannya, tetapi aku hanya bisa beryukur dan terus bersyukur memilikinya."Hei! Kok malah melamun sih? Kamu kangen, ya?"Aku terkesiap saat mendengar suara seseorang yang bertanya di samping tubuhku."Eh, bunda. Iya, aku kangen banget." Jawabku agak parau. Tak terasa air mataku mengalir di tengah lamun
"Kalau Adnan lelah, istirahat saja ya di kamar, nanti waktunya makan siang Fathia bangunkan."Adnan hanya menganggukan kepalanya kemudian langsung memasuki rumah.Fathia baru saja pulang ke rumah setelah mengantar Adnan ke Psikolog. Seperti dugaannya, kata Psikolog yang menangani Adnan, serious emotional distrubance atau gangguan emosi yang terjadi pada Adnan sudah mulai teratasi, walaupun katanya kadang masih sedikit mengganggu Adnan karena beberapa kali Adnan masih mengabaikan Thalia karena ada rasa trauma kehilangan. Adnan takut jika ia terlalu dekat dengan Thalia, di mana saat dia teramat sayang kepada Thalia dan ingin terus berada di dekat Thalia, Thalia kembali hilang dari jangkauan, jadi beberapa kali Adnan kadang menghindar jika ketakutan itu hinggap.Sebenarnya Fathia juga bingung kenapa Adnan bisa berpikiran sampai sejauh itu, apalagi dengan asd yang diidapnya, tapi ya mungkin memang Tuhan sudah menggariskan takdir Adnan seperti itu.Enam bulan waktu berjalan terasa lambat b
Hari demi hari fisioterapi yang dilakukan Adnan semakin menunjukan hasil, pelan tapi pasti. Adnan setidaknya sudah tidak perlu menggunakan bantuan kruk untuk berjalan, ya walaupun langkahnya masih pelan, kaku, dan sedikit pincang tetapi itu sudah menunjukan perubahan. Hanya saja pemulihannya memang sedikit lebih lambat karena Adnan mudah sekali lelah, terlihat ketara dari nafasnya dikarenakan efek pembengkakan jantungnya. Kurang lebih sudah lima bulan Adnan menjalani fisioterapi di rumah.Lima bulan ini untuk Fathia adalah lima bulan ter-hectic yang pernah dirasakan dalam hidupnya. Harus mengantar Adnan check up ke rumah sakit, konsultasi ke Psikolog, menemani suaminya itu fisioterapi, belum lagi Thalia yang semakin hari sudah semakin mengerti bahwa putrinya itu ingin selalu berada di dekatnya dan kadang menangis ketika ia harus meninggalkan Thalia bersama bi Tati karena harus mengurusi Adnan. Sejujurnya Fathia sedikit tidak terlalu memperhatikan perkembangan putrinya, padahal kalau k
Fathia hanya bisa ikut meringis saat mendengar suara ringisan Adnan yang sedang melakukan fisioterapi untuk penyembuhan tangan dan kaki kanannya.Hampir setiap hari Fathia mendatangkan fisioterapi profesional yang disarankan dokter, supaya proses penyembuhan Adnan lebih cepat. Ia juga ingin secepatnya melihat Adnan kembali melukis apapun yang diimajinasikannya.Waktu sudah berjalan hampir tiga bulan. Tangan Adnan pun sudah tidak memakai arm sling dan perkembangannya sudah lebih baik daripada kaki, hanya saja untuk membantunya berjalan Adnan masih memerlukan kruk."Tolong sudah, ini Sakit!"Fathia sedikit kaget mendengar Adnan yang meninggikan suaranya, tetapi tentu saja ia tidak boleh kalah dengan suara Adnan yang seperti itu. Dia harus terbiasa, meskipun di bulan ini sudah beberapa kali Adnan terlihat marah seperti itu, tetapi ia tetap saja masih kaget."Tidak boleh seperti itu, ini juga untuk kesembuhan Adnan. Adnan diam ya, nurut sama fisioterapisnya."Fathia menatap Adnan intens s
Fathia hanya bisa terus menyunggingkan senyumnya saat sesekali Adnan meliriknya, meskipun tatapan itu tidak berarti apapun.Adnan masih sama, diam dan tidak meminta apapun. Padahal ini sudah satu minggu Adnan berada di rumah, tetapi suaminya itu tidak menunjukan perubahan yang berarti. Tetapi setidaknya Fathia masih bisa bersyukur bahwa suaminya itu bersedia melahap makanan yang disediakannya, sehingga ia tidak perlu khawatir makanan apa yang suaminya itu inginkan. Ya walaupun masakan yang disediakan selalu makanan kesukaan Adnan yang dimasak Bi Tati, yang selang dua hari berganti karena takut bosan."Adnan kalau memang ada hal yang diinginkan, Adnan bisa ceritakan kepada Fathia ya."Seperti mengobrol dengan angin, ya itu lah obrolan satu arah yang terus dicoba Fathia meskipun tidak membuahkan hasil. Reaksi dari Adnan hanya meliriknya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain."Alhamdulillah sudah habis. Adnan tunggu sebentar ya, Fathia mau ambil minum sama obat." Izin Fathi
Alhamdulillah den Adnan pulang. Bibi khawatir---""Bi tolong bantu angkatin tas di dalam mobil ya." Sebelum Bi Tati melanjutkan ucapannya, Fathia lebih memilih memotongnya dengan meminta pertolongan.Sebenarnya ia belum menceritakan apa saja yang terjadi kepada Adnan, kecuali memberitahukan bahwa lengan bawah dan betis kanan suaminya itu mengalami patah tulang dan sudah dioperasi pemasangan pen. Fathia terlalu bingung untuk menjelaskan semuanya kepada Adnan, mungkin jika suaminya itu bertanya baru ia akan menjawabnya secara gamblang dan mudah dicerna pemikiran Adnan. Atau mungkin nanti Mertuanya bisa menjelaskan semuanya dengan cara mereka. Rumah tangganya sudah sejauh ini, tetapi Fathia masih saja sedikit bingung jika tentang menjelaskan sesuatu kepada Adnan."Adnan kamarnya pindah ke kamar tamu dulu, ya."Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir Adnan untuk menjawab perkataan Fathia.Setelah keluar dari ruang ICU dan pemulihan di ruang perawatan biasa, Fathia seperti melih
"Tadi dipindahin ke sininya jam berapa?" "Jam 10 pagi, Bu. Kata dokter Adnan sudah sadar sepenuhnya, tapi tadi dikasih obat tidur biar istirahat, karena katanya semalaman dia sadar terus." Ya, hari ini lebih tepatnya tadi pagi, Adnan dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Sudah tidak ada lagi peralatan medis yang mengelilingi Adnan, hanya tersisa jarum infus di lengan kirinya dan kanula nasal di hidungnya. Fathia bersyukur sekali Adnan akhirnya bisa keluar dari ruang ICU yang menurutnya mengerikan. Ya walaupun banyak hal yang didapat Adnan setelah kecelakaan itu, tetapi Fathia tetap bersyukur setidaknya Adnan berhasil melewati masa kritisnya. "Terima kasih sudah berjuang sejauh ini ya. Ibu bangga sekali dengan Adnan." Fathia hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Ibu mertuanya. Senyumnya semakin merekah saat ia bisa menyaksikan langsung Ibu mertuanya menghujani wajah Adnan dengan kecupan sayangnya. Hangat sekali rasanya hati Fathia melihat hal seperti itu. Tentu saja Ibu mana yang