Awalnya Fathia mengira semuanya akan terasa mudah untuk mendekati Adnan, karena pria itu tertawa di pertemuan pertamanya setelah menjadi teman, tetapi ternyata ya seperti inilah ujungnya. Fathia seperti melukis sendirian, saking fokus dan diamnya pria itu saat sedang melukis.
Daripada pusing memikirkan hal tersebut, Fathia segera mengambil cat dan menuangkannya ke atas palet yang ia beli tadi. Kemudian mulai memikirkan ide, apa yang mau dilukisnya. Setelah beberapa menit, akhirnya ia memilih untuk melukis taman bunga yang ada di depannya. Taman bunga dengan berbagai jenis bunga yang indah dilihat mata. Ia mulai mengayunkan kuasnya di atas kanvas. Matanya sesekali melirik lukisan Adnan, dan dia cukup terkejut saat melihat lukisan Adnan bahkan sudah setengah jadi. Memangnya berapa lama ia diam untuk berpikir memikirkan hal apa yang ingin dilukisnya, ia rasa tidak sampai setengah jam ia berpikir, tapi pria di sampingnya itu sudah setengah jalan saja.
Fathia pun mulai terfokus untuk melukis kanvasnya, walaupun fokusnya terganggu sedikit karena sering melirik ke arah Adnan. Kalau boleh jujur, Adnan terlihat tampan sekali saat terfokus dengan lukisannya, apalagi sesekali pria itu menaikan kaca mata yang sedang dipakainya karena melorot, menambah kesan cool dari pria itu. Mungkin orang-orang di luaran sana yang hanya melihat Adnan sekilas, pasti akan mengira bahwa sosok pria yang ada di sampingnya ini adalah sosok yang sempurna. Tampang, jago melukis, tubuhnya yang tinggi dan terlihat pas, membuatnya benar-benar terlihat sempurna.
Oh ayolah, Fathia harusnya fokus untuk melukis, bukan malah kemana-mana.
Rasa-rasanya jadi kebalik ya? Adnan beserta keluarganya yang melamar, tapi malah Fathia yang harus berjuang. Mau gimana lagi, semuanya harus dijalani, untuk masa depannya, juga anaknya.
***
Fathia meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku setelah duduk tiga jam karena melukis. Ia saja kesal bukan main, dan beberapa kali menggerakan tubuhnya supaya tidak kaku. Eh ternyata seorang Adnan malah tetap diam di posisinya, hanya tangannya yang fokus bergerak untuk melukis, terlihat anteng sekali.
Adnan mulai membereskan alat lukisnya saat ia merasa lukisannya sudah selesai. Ia baru menyadari jika sedari tadi ada Fathia di sampingnya, yang juga melukis. Ia terlalu fokus dengan lukisannya dan fokus dengan menuangakan imajinasinya ke dalam lukisan.
"Bagus."
Fathia yang sedang asik meregangkan tubuhnya, langsung terdiam dan melirik ke arah sumber suara. Satu kata dari bibir Adnan, mampu menghentikan aktivitasnya. Ada apa sebenarnya dengan Fathia?
"Apanya yang bagus?"
"Lukisan kamu."
Fathia kembali mendudukan tubuhnya, kemudian ia melirik lukisan Adnan dan dirinya bergantian. Ingin rasanya ia tertawa saat Adnan berucap bahwa lukisannya bagus. Lukisan taman tapi gak jelas juntrungannya, sedangkan lukisan Adnan sebuah pemandangan yang sangat indah, yang begitu detail dan rapih.
"Tukar ya."
Belum juga Fathia selesai mencerna ucapan Adnan, pria itu malah sudah berjalan sembari membawa lukisan taman amburadul itu.
"Dek, calon ayah kamu ganteng, tapi kayak begitu tuh, sulit banget buat dipahami." Tutur Fathia, tak lupa tangannya mengelus perutnya yang masih datar. Dia sendiri bahkan tidak sadar hal yang diucapkannya.
Fathia segera berdiri sembari membawa kanvas yang sudah dilukis Adnan, kemudian mulai berjalan mengikuti jejak Adnan yang memasuki rumahnya.
"Kak, kok malah asik makan sendirian, calon istrinya gak diajak."
Fathia tersenyum kikuk saat mendengar ucapan Kalila. Kebetulan adik dari Adnan itu memang sedang berdiri di pantri dapur, tak jauh dari meja makan yang sedang ditempati Adnan.
"Kak silahkan duduk, makan dulu."
Fathia pun mendudukan tubuhnya di kursi makan yang berhadapan dengan Adnan, kemudian menyenderkan lukisan Adnan di kursi kosong yang ada di sebelah kanannya. Fathia mulai memperhatikan cara Adnan makan, agak terburu-buru dan sedikit berantakan, namun terlihat sangat menikmati. Baru saja sehari Fathia merasakan dekat dengan Adnan, rasanya lelah karena pria itu lebih banyak diam dan fokusnya, ketimbang ngobrol atau pun melakukan sesuatu yang memancing obrolan. Bagimana dengan pernikahan mereka nanti, jika seperti ini.
Fathia jadi merenung sendiri, apakah hal yang dilakukannya ini sudah benar, mencoba membuka hati dan mendekatkan diri terhadap pria yang ada di hadapannya ini. Ia mungkin memang membutuhkan Adnan untuk menjadi Ayah dari bayi yang dikandungnya, tetapi apakah mungkin bisa seorang Adnan pengidap ASD, menerima dan menyayangi bayinya nanti? Baru sehari, tapi ia sudah ragu. Padahal wajar saja ia ragu, karena baru satu hari berada di sekitar pria itu, belum ada hari-hari di mana Adnan tantrum, atau bahkan marah karena hal sepele, atau ketika pria itu berperilaku manis sekali.
Fathia baru mengenal Adnan sedikit, ia belum menjelajahi dan memahami lebih dalam Adnan yang sebenarnya seperti apa. Meskipun ini bukan kali pertamanya melihat Adnan, tetapi baru kali ini ia mencoba lebih dekat kepada pria di hadapannya ini. Pria yang terasa dekat dan mudah digapai, tetapi sebenarnya sangat sulit dan butuh pemahaman yang berbeda. Tak akan semudah ia menaklukan Andi. Tuhan, semoga keputusannya saat ini tepat. Semoga semuanya berjalan dengan lancar, walaupun hasilnya tidak akan pernah tahu seperti apa.
"Kak, malah melamun. Ayo makan, kasian dedek bayinya kelaperan."
Fathia tersadar dari lamunannya, tangannya refleks mengusap perutnya saat mendengar teguran dari Kalila. Kini gadis itu sudah berada di hadapannya juga, lebih tepatnya di samping kiri Adnan. Ia bahkan tidak menyadari sejak kapan Kalila berpindah tempat, dari Pantry ke kursi meja makan.
Fathia segera membalikan piring yang ada di depannya, kemudian mulai mengisinya dengan nasi dan lauk yang ia inginkan. Sebenarnya agak malu, tetapi tidak bisa berbohong bahwa ia lapar, apalagi saat melihat cumi asin cabe ijo yang menggoda matanya itu. Padahal sebelumnya ia jarang sekali memakan cumi, karena tidak suka akan bau amisnya yang khas, tetapi entah kenapa sekarang ia malah menginginkannya.
Fathia ingin rasanya menangis saat lidahnya bisa mencecap cumi asin cabe ijo itu, benar-benar enak dan sangat memanjakan lidahnya. Ia jadi bingung sendiri terhadap dirinya sendiri, kenapa harus merasakan perasaan terharu seperti ini, hanya karena cumi asin cabe ijo. Setelah ini, mungkin cumi asin cabe ijo akan menjadi favoritnya.
Kenikmatan Fathia sedikit ter-distract saat Kalila membawa beberapa plastik obat ke depan Adnan. Ya, pria itu sudah menyelesaikan makannya.
"Obat apa itu kal?" Tanya Fathia, jujur saja ia kepo.
"Ya obat-obatan untuk ASD nya kak. Kalau gak minum obat, emosinya akan susah terkontrol."
"Sampai umur segini masih harus minum obat, Kal?" Ucap Fathia kembali bertanya. Kemarin ia memang membaca artikel mengenai ASD, tetapi untuk masalah obat-obatan dan lainnya, Fathia tidak merasa hal tersebut ada di artikel yang ia baca. Belajarnya memang kurang jauh.
"Memang harus, kak. Mungkin seumur hidup memang harus minum obat, karena asd kan gak bisa disembuhkan dan bakal ada terus sepanjang hidup si pengidapnya." Jawab Kalila, namun mata dan tangannya fokus untuk membantu membuka kemasan-kemasan obat sang kakak.
Fathia jadi aneh sendiri saat melihat Adnan hanya diam saja, seperti tidak ada yang berbicara di ruangan ini. Apa pria itu ngeh bahwa ia membicarakan tentang asd yang diidap pria itu? Entahlah ia dibuat bingung sendiri sepanjang hari ini. Adnan kadang bisa merespon cepat apa yang diobrolkan lawan bicaranya, tapi terkadang pria itu hanya diam saja seperti tak ada orang yang bersuara dan mengajaknya mengobrol. Terkadang ia bersuara, padahal tak ada yang mengajaknya berbicara.
Bersambung
(Selesai ditulis pada hari Selasa, 07 september 2021, pukul 23.11 wib).
"Kayaknya kamu kok capek banget sih, emang ngapain aja seharian ini sama Adnan?"Fathia yang sedang berleha-leha di sofa yang terletak di ruang tamu, segera membuka matanya dan ia baru menyadari bahwa sang Mamah sudah terduduk di kursi yang letaknya tak jauh dari sofa yang ia tempati."Cuman ngelukis aja, ngobrol-ngobrol sama adiknya, sama tante Arini, udah. Terus Adnan ngasih beberapa lukisan. Sebenernya adiknya sih yang ngasih, tapi yang lukis Adnan. Kayaknya boleh tuh mah dipajang, bagus banget lukisannya.""Mamah jadi bingung deh sama semuanya. Yang harus bertanggung-jawab kan keluarga mereka, tapi kok malah kamu yang kelihatannya harus berusaha buat deket sama Adnan, harus mengambil keputusan menerima enggaknya. Beberapa hari ini kamu harus terus berkunjung dan 'mendekati' Adnan."Fathia yang mendengar tutur kata sang Mamah yang terdengar serius, langsung mengubah posisinya menjadi duduk.
Fathia kaget bukan main saat melihat wajah Adnan berada di atasnya, apalagi tatapannya yang begitu intens. Ia segera mengubah posisinya untuk menjadi duduk di sebelah pria itu. Ia jadi bingung sendiri, kenapa ia bisa tertidur di paha Adnan, padahal seingatnya ia hanya jatuh tertidur ketika Adnan sedang fokus dengan lukisannya."Kok aku bisa tidur di atas paha kamu?""Tadi Fathia keliatan gak enak tidurnya, Adnan pikir butuh bantal, jadi Adnan jadiin paha Adnan buat jadi bantal Fathia deh. Maaf ya kalau itu gak boleh."Fathia segera menggelengkan kepalanya, menyanggah pernyataan maaf dari Adnan."Enggak, gak papa kok. Malah aku yang makasih, kamu pasti pegel kan nungguin aku tidur, pasti lama deh. Oh iya, kamu udah selesai ngelukisnya?"Fathia mengikuti tatapan mata Adnan, kemudian ia baru menyadari bahwa baru sedikit goresan cat di atas kanvas, itu berarti sedari awal ia tertidur, Adnan me
Fathia menatap intens kalender yang tertempel di dinding kamarnya itu. Ia baru menyadari jika hari pernikahannya semakin mendekat, hampir satu minggu lagi. Rasanya seperti terlalu cepat waktu berlalu, dan terlalu cepat ia mengambil keputusan yang ia bicarakan dengan Adnan di Taman tempo hari. Tetapi mau bagaimana lagi, ia memang harus terpaksa untuk mengambil keputusan dengan waktu yang cepat.Ia menjadi bingung sendiri dengan takdirnya yang entah mau dibawa ke mana. Di kehidupan sebelumnya, bahkan ia tidak pernah membayangkan bahwa takdirnya berjalan ke arah yang seperti ini.Tempo hari, memang ia sudah yakin dengan keputusannya, bahwa Adnan mungkin orang yang tepat untuk menjadi sosok Ayah dari bayi yang sedang di kandungnya. Ia yakin pria itu akan menyayangi dan mencintai anaknya dengan sepenuh hati, walaupun dengan kekurangannya, hanya karena ia melihat interaksi yang selalu Adnan tunjukan ketika sedang bersama dengan anak kecil.
Fathia terdiam sebentar saat Adnan mengajaknya masuk ke rumah yang ada di hadapannya itu. Rumah yang dimaksud Adnan akan ditinggali mereka setelah menikah.Interior luarnya saja sudah cukup membuat Fathia kagum, terlihat minimalis dan sederhana namun elegannya masih dapat dilihat. Persis seperti rumah yang dahulu sering ia mimpikan untuk menjadi rumah masa depannya. Tidak terlalu mewah dan besar, tetapi menggunakan konsep industrial house."Ini kamu yang pilih sendiri atau dipilihin sama orangtua kamu?" Tanya Fathia saat langkahnya sudah dekat dengan Adnan."Adnan dikasih beberapa pilihan, terus akhirnya pilih yang ini karena suka aja."Fathia menganggukan kepalanya, tanpa meneruskan pembicaraan tersebut. Ia mulai sibuk melihat interior dalam rumahnya, yang terlihat nyaman untuk ditinggali, dan bahkan furniturenya sudah komplit. Ada juga beberapa lukisan yang sudah pasti Adnan yang melukis, karena
Hari ini adalah hari pernikahan Fathia dan Adnan, yang akan dilaksanakan di rumah mempelai pria.Saat ini, Fathia sudah didandani dan memakai gaun pernikahannya, sedang menuju ke kediaman orangtua Adnan. Yang bisa Fathia lakukan saat ini, hanya menatap jalanan yang dilaluinya dari jendela mobil, sedangkan tangannya menggenggam erat tangan sang Mamah yang kebetulan duduk di sampingnya.Yang Fathia lakukan saat ini, hanya berdoa semoga semuanya berjalan lancar. Ia hanya ingin pikirannya terfokus akan hari ini, mencoba melupakan pemikiran dan perasaan yang mengganggunya belakang ini, selama perjalanannya menuju pernikahan yang dilaksanakan hari ini."Tenang aja, jangan nervous kayak gitu. Doa dan shalawat jangan lupa diucapin terus." Ucap sang Mamah sembari mempererat genggaman tangannya, sedangkan ia hanya mengiyakan ucapan sang Mamah dengan anggukan kepalanya."Mah, tapi Adnan bakal bisa kan buat n
Fathia termenung di tempatnya saat melihat beberapa berkas pernikahan yang harus ditanda-tanganinya. Sejujurnya ia masih bingung dan tak menyangka bahwa ia sekarang benar-benar menjadi istri seorang pengidap asd yang ada di sampingnya ini. Fathia jadi bertanya-tanya sendiri mengenai takdirnya yang entah ke depannya akan berjalan ke mana. Takdirnya melangkah mengantarkan dirinya menjadi jodoh Adnan saja sudah sangat di luar dugaan, harapan dan doanya. Apakah mungkin ke depannya ia juga harus pasrah dengan berbagai keadaan yang akan menerpa? Tentu saja Tuhan tidak akan mungkin hanya memberinya ujian sampa di sini, pasti akan ada masalah dan ujian lain yang mungkin saja akan lebih susah untuk dihadapinya. Setelah di rasa semua berkas sudah Fathia tanda tangani, ia melirik pria yang berada di sampingnya, yang terlihat agak kesusahan untuk membubuhkan tanda-tangannya di berkas-berkas tersebut, bahkan sang adik mendampinginya, membimbingnya untuk bisa menanda-t
Fathia melambaikan tangannya sembari terus menyunggingkan senyumnya saat melihat Orangtua dan mertuanya berpamitan pulang.Ia kemudian mulai melangkahkan kakinya memasuki 'rumah barunya', yang hanya ada ia, Adnan, dua orang asisten rumah tangga dan satu supir yang memang dibawa dari rumah orangtua Adnan, karena mereka bertiga sudah tahu bagaimana harus memperlakukan Adnan.Waktu baru saja menunjukan pukul delapan malam lebih dua puluh lima menit, tetapi Fathia merasa tubuhnya benar-benar lelah, apalagi di bagian pinggangnya agak terasa pegal. Padahal tidak ada acara resepsi yang memakan waktu lama karena berdiri terus menerus di pelaminan, hanya menyapa saudara yang datang, makan bersama dan acara pernikahannya selesai. Tetapi entah kenapa rasa lelah di tubuhnya, seperti ia berkegiatan dengan sangat aktif, mungkin bawaan ibu hamil yang terkadang gampang lelah.Tanpa berpikir panjang, langkah kakinya ia gerakan menuju kamar
Fathia melirik meja makan yang masih penuh hidangan makanan, terlihat seperti belum ada yang menyentuhnya sama sekali. Padahal hari sudah siang, apa orang-orang di rumah ini tidak lapar. Ia bahkan sudah kelaparan, perutnya bunyi minta diisi."Bi, kok ini masih pada utuh sih? Kenapa belum pada makan?" Tanya Fathia sesaat setelah mendudukan tubuhnya di salah satu kursi meja makan. Kebetulan salah satu art nya yang bernama Tati sedang berdiri di pantry, tak jauh dari posisi meja makan."Ia non silahkan saja makan terlebih dahulu. Masih banyak pekerjaan yang bibi lakukan."Fathia hanya menganggukan kepalanya untuk menanggapi jawaban dari Tati. Ia kemudian mulai mengambil nasi dan beberapa lauk yang disukainya."Bi, Adnan di mana? Dia juga belum makan ya?" Tanya Fathia disela kegiatannya melahap makanannya."Di ruang lukisnya non. Iya Tuan belum makan, mau tawarin takut ganggu, soalnya kalau ud