Share

6

"Kayaknya kamu kok capek banget sih, emang ngapain aja seharian ini sama Adnan?"

Fathia yang sedang berleha-leha di sofa yang terletak di ruang tamu, segera membuka matanya dan ia baru menyadari bahwa sang Mamah sudah terduduk di kursi yang letaknya tak jauh dari sofa yang ia tempati.

"Cuman ngelukis aja, ngobrol-ngobrol sama adiknya, sama tante Arini, udah. Terus Adnan ngasih beberapa lukisan. Sebenernya adiknya sih yang ngasih, tapi yang lukis Adnan. Kayaknya boleh tuh mah dipajang, bagus banget lukisannya."

"Mamah jadi bingung deh sama semuanya. Yang harus bertanggung-jawab kan keluarga mereka, tapi kok malah kamu yang kelihatannya harus berusaha buat deket sama Adnan, harus mengambil keputusan menerima enggaknya. Beberapa hari ini kamu harus terus berkunjung dan 'mendekati' Adnan."

Fathia yang mendengar tutur kata sang Mamah yang terdengar serius, langsung mengubah posisinya menjadi duduk.

"Ya kan Adnan berbeda mah, tanpa aku jelasin dia seperti apa, Mamah udah tahu. Niat mereka juga baik, masih mau bertanggung-jawab atas kesalahan anak brengseknya yang entah kabur ke mana, walaupun harus ngorbanin Adnan yang sebenarnya gak tahu apa-apa. Mereka juga pasti berat buat mengorbankan Adnan, terlebih lagi mereka tahu bahwa Adnan harus mendapat perlakuan yang ekstra. Cuman ya mau gimana lagi, pilihannya cuman itu."

"Terus kenapa kamu akhirnya mau mencoba, padahal sebelumnya kamu udah keliatan stress  dengan permasalahan-permasalahan itu, tapi ternyata kamu malah menerima itu, ya walaupun pada akhirnya tetep keputusan kamu yang pegang akan berjalan ke arah mana." Ujar Anya, matanya serius menatap anak tengahnya itu. Jujur sebenarnya ia ingin mengungkapkan hal ini saat keluarga dari Andi menyarankan pertanggung-jawaban dengan orang yang berbeda, namun ya balik lagi semuanya kembali ke Fathia.

"Sampai saat ini pun jujur aku masih stress, masih berat buat menerima kalau aku memang hamil. Cuman setelah dipikir-pikir, ya buat apa aku terlalu lama mempermasalahkan itu, toh ibi juga keputusan dan kesalahan aku yang buat, jadi sudah pasti aku harus menerima. Dan untungnya orangtuaku pengertian sekali, jadi semakin membuat aku yakin, bahwa semuanya bisa diterima dan dihadapi. Jadi pada akhirnya aku mau mencoba pertanggung-jawaban yang mereka tawarkan, karena aku memikirkan masa depan anakku. Aku kan besar dari keluarga yang lengkap, ada Mamah, Papah, Abang dan Nadia, dan aku mikir anak aku harus merasakan perasaan senang seperti aku karena hadir di keluarga yang lengkap. Ya walaupun menjadi single mother juga gak papa buat aku, tapi kan aku gak tahu apakah hal tersebut akan baik atau enggak buat anakku."

Anya tersenyum mendengar jawaban dewasa dari anak tengahnya itu. Satu mingguan Fathia mencoba 'mendekati' Adnan, tetapi sepertinya pola pikir anak itu sedikit demi sedikit mulai berbeda. Semoga itu menjadi hal yang baik untuk Fathia.

"Kamu kan udah satu minggu mencoba dekat sama Adnan. Terus kamu udah bisa ngambil kesimpulan gak, untuk menerima enggaknya Adnan buat jadi suami kamu? Bukan maksud terburu-buru. Tapi kalau kelamaan juga, takut hal yang ditakutkan terjadi."

"Masih kurang tahu, cuman kayaknya aku mungkin bisa menerima dia. Beberapa hari sebelumnya, aku bahkan masih ragu sama dia, karena emang dia gak menunjukan hal apapun yang buat aku kagum sama dia, kecuali melukis. Cuman pas tadi, ada sepupunya bawa anaknya yang masih balita. Adnan ngegendong keponakannya itu, bener-bener ngemong dan ngajak main. Aku kaget ternyata ada sisi yang seperti itu di diri dia. Ya semoga nantinya keputusan aku ke dia tepat ya."

Anya beranjak dari tempatnya, mulai mendekati Fathia. Ia merentangkan tangannya, mencoba memeluk anaknya itu.

"Apapun keputusan kamu pada akhirnya, insyaallah mamah tetep dukung. Semoga ke depannya kamu bisa bahagia dengan apa yang kamu pilih."

***

Hari ini, pertama kalinya Fathia mengajak Adnan untuk keluar. Setelah satu minggu lebih berkegiatan di rumah Adnan, akhirnya hari ini ia memutuskan untuk berkegiatan di luar rumah, dan tentunya sudah atas persetujuan Tante Arini dan Om Didi.

Tapi ya tetap saja, keluar untuk melukis, sekaligus piknik di taman yang terdapat danau buatan yang cukup indah. Memang simpel dan sederhana, tapi itulah yang bisa Fathia rencanakan, supaya Adnan tertarik dan mau ikut dengannya keluar rumah.

Selain berkegiatan tentang hal yang direncanakannya, Fathia merasa hari ini saatnya ia untuk mencoba mengobrol tentang masa depan kepada Adnan. Apakah pria itu nantinya akan paham apa yang dibahas, dan apa tujuannya selama ini untuk dekat dengannya, bukan hanya sebatas teman. Pembicaraannya dengan Adnan nanti, mungkin akan jadi salah satu alasan terkuat untuk keputusan yang akan diambilnya. Fathia juga tidak bisa untuk terlalu lama mengambil keputusan.

"Nan, tolong bantuin bawa ya, ke bawah pohon di sana." Pinta Fathia saat ia membuka bagasi mobil untuk mengeluarkan perlengkapan. Ia meminta bantuan Adnan untuk membawa perlengkapan tersebut ke bawah pohon besar yang terlihat rindang, yang kebetulan tak jauh dari danau.

Adnan menganggukan kepalanya, kemudian mulai membawa peralatan yang bisa dibawanya, kakinya ia langkahkan menuju tempat yang ditunjuk Fathia tadi.

"Kamu suka gak tempatnya?" Tanya Fathia, sesaat setelah ia menyusun alas kain untuk ia dan Adnan duduk, tak lupa makanan ringan dan alat lukis sudah disusunnya rapih di atas alas kain tersebut.

"Suka, bagus banget tempatnya."

Fathia tersenyum senang saat mendengar jawaban Adnan yang terdengar riang dan excited. Kemudian Fathia hanya terdiam sembari memandangi Adnan yang tengah sibuk mempersiapkan alat lukisnya. Pria itu benar-benar tergila-gila dengan melukis sepertinya. Tak pernah ia melihat bahwa pria itu bosan dan beralih berkegiatan lain. Kemarin, dia bahkan sampai terkaget bahwa lukisan Adnan ada beberapa yang masuk ke galeri internasional, ya tentunya berkat orangtuanya, karena fokusnya pria itu hanya melukis.

"Kenapa sih suka banget sama melukis, Nan?"

Adnan menoleh ke arah Fathia, entah kenapa ia merasa agak salah tingkah saat Fathia menatapnya intens. Sejujurnya ia bingung mengapa bisa merasakan hal seperti ini. Ini hal baru untuknya, seumur hidupnya.

"Adnan gak punya alasan untuk gak suka melukis. Suka aja liat warna-warna bercampur menjadi bentuk yang Adnan mau."

Fathia menganggukan kepalanya, memahami alasan yang Adnan utarakan. Ketika Adnan kembali fokus dengan cat warna dan kanvasnya, ia lebih memilih meraih cemilan yang ada di depannya. Memakan cemilan tersebut, sembari melihat ke arah danau. Ada beberapa angsa putih yang tengah berenang bebas di sana, ada beberapa orang yang sedang bermain kano, dan angin sepoi-sepoi yang semakin memanjakannya saat ini.

Semakin lama, Fathia malah merasa mengantuk, apalagi angin sepoi-sepoi sangat mendukung rasa kantuknya. Sebenarnya beberapa hari ini, ia memang sering mengantuk ketika beraktifitas, padahal bukan aktifitas yang melelahkan.

Fathia mulai menggeser beberapa makanan, supaya ia bisa mendapat space lebih luas, kemudian mulai merebahkan tubuhnya. Ah rasanya enak sekali, tiduran seperti ini, disertai terpaan angin sepoi-sepoi yang semakin membuatnya mengantuk.

Fathia sebenernya ingin segera membahas hal yang ingin dibahasnya dengan Adnan, tetapi kantuknya tidak dapat tertahan lagi. Ah mungkin sehabis tidur, ia bisa membahasnya, semoga tidurnya tidak kebablasan.

Bersambung

(Selesai ditulis pada hari Kamis, 09 september 2021, pukul 21.16 wib).

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status