"Kayaknya kamu kok capek banget sih, emang ngapain aja seharian ini sama Adnan?"
Fathia yang sedang berleha-leha di sofa yang terletak di ruang tamu, segera membuka matanya dan ia baru menyadari bahwa sang Mamah sudah terduduk di kursi yang letaknya tak jauh dari sofa yang ia tempati.
"Cuman ngelukis aja, ngobrol-ngobrol sama adiknya, sama tante Arini, udah. Terus Adnan ngasih beberapa lukisan. Sebenernya adiknya sih yang ngasih, tapi yang lukis Adnan. Kayaknya boleh tuh mah dipajang, bagus banget lukisannya."
"Mamah jadi bingung deh sama semuanya. Yang harus bertanggung-jawab kan keluarga mereka, tapi kok malah kamu yang kelihatannya harus berusaha buat deket sama Adnan, harus mengambil keputusan menerima enggaknya. Beberapa hari ini kamu harus terus berkunjung dan 'mendekati' Adnan."
Fathia yang mendengar tutur kata sang Mamah yang terdengar serius, langsung mengubah posisinya menjadi duduk.
"Ya kan Adnan berbeda mah, tanpa aku jelasin dia seperti apa, Mamah udah tahu. Niat mereka juga baik, masih mau bertanggung-jawab atas kesalahan anak brengseknya yang entah kabur ke mana, walaupun harus ngorbanin Adnan yang sebenarnya gak tahu apa-apa. Mereka juga pasti berat buat mengorbankan Adnan, terlebih lagi mereka tahu bahwa Adnan harus mendapat perlakuan yang ekstra. Cuman ya mau gimana lagi, pilihannya cuman itu."
"Terus kenapa kamu akhirnya mau mencoba, padahal sebelumnya kamu udah keliatan stress dengan permasalahan-permasalahan itu, tapi ternyata kamu malah menerima itu, ya walaupun pada akhirnya tetep keputusan kamu yang pegang akan berjalan ke arah mana." Ujar Anya, matanya serius menatap anak tengahnya itu. Jujur sebenarnya ia ingin mengungkapkan hal ini saat keluarga dari Andi menyarankan pertanggung-jawaban dengan orang yang berbeda, namun ya balik lagi semuanya kembali ke Fathia.
"Sampai saat ini pun jujur aku masih stress, masih berat buat menerima kalau aku memang hamil. Cuman setelah dipikir-pikir, ya buat apa aku terlalu lama mempermasalahkan itu, toh ibi juga keputusan dan kesalahan aku yang buat, jadi sudah pasti aku harus menerima. Dan untungnya orangtuaku pengertian sekali, jadi semakin membuat aku yakin, bahwa semuanya bisa diterima dan dihadapi. Jadi pada akhirnya aku mau mencoba pertanggung-jawaban yang mereka tawarkan, karena aku memikirkan masa depan anakku. Aku kan besar dari keluarga yang lengkap, ada Mamah, Papah, Abang dan Nadia, dan aku mikir anak aku harus merasakan perasaan senang seperti aku karena hadir di keluarga yang lengkap. Ya walaupun menjadi single mother juga gak papa buat aku, tapi kan aku gak tahu apakah hal tersebut akan baik atau enggak buat anakku."
Anya tersenyum mendengar jawaban dewasa dari anak tengahnya itu. Satu mingguan Fathia mencoba 'mendekati' Adnan, tetapi sepertinya pola pikir anak itu sedikit demi sedikit mulai berbeda. Semoga itu menjadi hal yang baik untuk Fathia.
"Kamu kan udah satu minggu mencoba dekat sama Adnan. Terus kamu udah bisa ngambil kesimpulan gak, untuk menerima enggaknya Adnan buat jadi suami kamu? Bukan maksud terburu-buru. Tapi kalau kelamaan juga, takut hal yang ditakutkan terjadi."
"Masih kurang tahu, cuman kayaknya aku mungkin bisa menerima dia. Beberapa hari sebelumnya, aku bahkan masih ragu sama dia, karena emang dia gak menunjukan hal apapun yang buat aku kagum sama dia, kecuali melukis. Cuman pas tadi, ada sepupunya bawa anaknya yang masih balita. Adnan ngegendong keponakannya itu, bener-bener ngemong dan ngajak main. Aku kaget ternyata ada sisi yang seperti itu di diri dia. Ya semoga nantinya keputusan aku ke dia tepat ya."
Anya beranjak dari tempatnya, mulai mendekati Fathia. Ia merentangkan tangannya, mencoba memeluk anaknya itu.
"Apapun keputusan kamu pada akhirnya, insyaallah mamah tetep dukung. Semoga ke depannya kamu bisa bahagia dengan apa yang kamu pilih."
***
Hari ini, pertama kalinya Fathia mengajak Adnan untuk keluar. Setelah satu minggu lebih berkegiatan di rumah Adnan, akhirnya hari ini ia memutuskan untuk berkegiatan di luar rumah, dan tentunya sudah atas persetujuan Tante Arini dan Om Didi.
Tapi ya tetap saja, keluar untuk melukis, sekaligus piknik di taman yang terdapat danau buatan yang cukup indah. Memang simpel dan sederhana, tapi itulah yang bisa Fathia rencanakan, supaya Adnan tertarik dan mau ikut dengannya keluar rumah.
Selain berkegiatan tentang hal yang direncanakannya, Fathia merasa hari ini saatnya ia untuk mencoba mengobrol tentang masa depan kepada Adnan. Apakah pria itu nantinya akan paham apa yang dibahas, dan apa tujuannya selama ini untuk dekat dengannya, bukan hanya sebatas teman. Pembicaraannya dengan Adnan nanti, mungkin akan jadi salah satu alasan terkuat untuk keputusan yang akan diambilnya. Fathia juga tidak bisa untuk terlalu lama mengambil keputusan.
"Nan, tolong bantuin bawa ya, ke bawah pohon di sana." Pinta Fathia saat ia membuka bagasi mobil untuk mengeluarkan perlengkapan. Ia meminta bantuan Adnan untuk membawa perlengkapan tersebut ke bawah pohon besar yang terlihat rindang, yang kebetulan tak jauh dari danau.
Adnan menganggukan kepalanya, kemudian mulai membawa peralatan yang bisa dibawanya, kakinya ia langkahkan menuju tempat yang ditunjuk Fathia tadi.
"Kamu suka gak tempatnya?" Tanya Fathia, sesaat setelah ia menyusun alas kain untuk ia dan Adnan duduk, tak lupa makanan ringan dan alat lukis sudah disusunnya rapih di atas alas kain tersebut.
"Suka, bagus banget tempatnya."
Fathia tersenyum senang saat mendengar jawaban Adnan yang terdengar riang dan excited. Kemudian Fathia hanya terdiam sembari memandangi Adnan yang tengah sibuk mempersiapkan alat lukisnya. Pria itu benar-benar tergila-gila dengan melukis sepertinya. Tak pernah ia melihat bahwa pria itu bosan dan beralih berkegiatan lain. Kemarin, dia bahkan sampai terkaget bahwa lukisan Adnan ada beberapa yang masuk ke galeri internasional, ya tentunya berkat orangtuanya, karena fokusnya pria itu hanya melukis.
"Kenapa sih suka banget sama melukis, Nan?"
Adnan menoleh ke arah Fathia, entah kenapa ia merasa agak salah tingkah saat Fathia menatapnya intens. Sejujurnya ia bingung mengapa bisa merasakan hal seperti ini. Ini hal baru untuknya, seumur hidupnya.
"Adnan gak punya alasan untuk gak suka melukis. Suka aja liat warna-warna bercampur menjadi bentuk yang Adnan mau."
Fathia menganggukan kepalanya, memahami alasan yang Adnan utarakan. Ketika Adnan kembali fokus dengan cat warna dan kanvasnya, ia lebih memilih meraih cemilan yang ada di depannya. Memakan cemilan tersebut, sembari melihat ke arah danau. Ada beberapa angsa putih yang tengah berenang bebas di sana, ada beberapa orang yang sedang bermain kano, dan angin sepoi-sepoi yang semakin memanjakannya saat ini.
Semakin lama, Fathia malah merasa mengantuk, apalagi angin sepoi-sepoi sangat mendukung rasa kantuknya. Sebenarnya beberapa hari ini, ia memang sering mengantuk ketika beraktifitas, padahal bukan aktifitas yang melelahkan.
Fathia mulai menggeser beberapa makanan, supaya ia bisa mendapat space lebih luas, kemudian mulai merebahkan tubuhnya. Ah rasanya enak sekali, tiduran seperti ini, disertai terpaan angin sepoi-sepoi yang semakin membuatnya mengantuk.
Fathia sebenernya ingin segera membahas hal yang ingin dibahasnya dengan Adnan, tetapi kantuknya tidak dapat tertahan lagi. Ah mungkin sehabis tidur, ia bisa membahasnya, semoga tidurnya tidak kebablasan.
Bersambung
(Selesai ditulis pada hari Kamis, 09 september 2021, pukul 21.16 wib).
Fathia kaget bukan main saat melihat wajah Adnan berada di atasnya, apalagi tatapannya yang begitu intens. Ia segera mengubah posisinya untuk menjadi duduk di sebelah pria itu. Ia jadi bingung sendiri, kenapa ia bisa tertidur di paha Adnan, padahal seingatnya ia hanya jatuh tertidur ketika Adnan sedang fokus dengan lukisannya."Kok aku bisa tidur di atas paha kamu?""Tadi Fathia keliatan gak enak tidurnya, Adnan pikir butuh bantal, jadi Adnan jadiin paha Adnan buat jadi bantal Fathia deh. Maaf ya kalau itu gak boleh."Fathia segera menggelengkan kepalanya, menyanggah pernyataan maaf dari Adnan."Enggak, gak papa kok. Malah aku yang makasih, kamu pasti pegel kan nungguin aku tidur, pasti lama deh. Oh iya, kamu udah selesai ngelukisnya?"Fathia mengikuti tatapan mata Adnan, kemudian ia baru menyadari bahwa baru sedikit goresan cat di atas kanvas, itu berarti sedari awal ia tertidur, Adnan me
Fathia menatap intens kalender yang tertempel di dinding kamarnya itu. Ia baru menyadari jika hari pernikahannya semakin mendekat, hampir satu minggu lagi. Rasanya seperti terlalu cepat waktu berlalu, dan terlalu cepat ia mengambil keputusan yang ia bicarakan dengan Adnan di Taman tempo hari. Tetapi mau bagaimana lagi, ia memang harus terpaksa untuk mengambil keputusan dengan waktu yang cepat.Ia menjadi bingung sendiri dengan takdirnya yang entah mau dibawa ke mana. Di kehidupan sebelumnya, bahkan ia tidak pernah membayangkan bahwa takdirnya berjalan ke arah yang seperti ini.Tempo hari, memang ia sudah yakin dengan keputusannya, bahwa Adnan mungkin orang yang tepat untuk menjadi sosok Ayah dari bayi yang sedang di kandungnya. Ia yakin pria itu akan menyayangi dan mencintai anaknya dengan sepenuh hati, walaupun dengan kekurangannya, hanya karena ia melihat interaksi yang selalu Adnan tunjukan ketika sedang bersama dengan anak kecil.
Fathia terdiam sebentar saat Adnan mengajaknya masuk ke rumah yang ada di hadapannya itu. Rumah yang dimaksud Adnan akan ditinggali mereka setelah menikah.Interior luarnya saja sudah cukup membuat Fathia kagum, terlihat minimalis dan sederhana namun elegannya masih dapat dilihat. Persis seperti rumah yang dahulu sering ia mimpikan untuk menjadi rumah masa depannya. Tidak terlalu mewah dan besar, tetapi menggunakan konsep industrial house."Ini kamu yang pilih sendiri atau dipilihin sama orangtua kamu?" Tanya Fathia saat langkahnya sudah dekat dengan Adnan."Adnan dikasih beberapa pilihan, terus akhirnya pilih yang ini karena suka aja."Fathia menganggukan kepalanya, tanpa meneruskan pembicaraan tersebut. Ia mulai sibuk melihat interior dalam rumahnya, yang terlihat nyaman untuk ditinggali, dan bahkan furniturenya sudah komplit. Ada juga beberapa lukisan yang sudah pasti Adnan yang melukis, karena
Hari ini adalah hari pernikahan Fathia dan Adnan, yang akan dilaksanakan di rumah mempelai pria.Saat ini, Fathia sudah didandani dan memakai gaun pernikahannya, sedang menuju ke kediaman orangtua Adnan. Yang bisa Fathia lakukan saat ini, hanya menatap jalanan yang dilaluinya dari jendela mobil, sedangkan tangannya menggenggam erat tangan sang Mamah yang kebetulan duduk di sampingnya.Yang Fathia lakukan saat ini, hanya berdoa semoga semuanya berjalan lancar. Ia hanya ingin pikirannya terfokus akan hari ini, mencoba melupakan pemikiran dan perasaan yang mengganggunya belakang ini, selama perjalanannya menuju pernikahan yang dilaksanakan hari ini."Tenang aja, jangan nervous kayak gitu. Doa dan shalawat jangan lupa diucapin terus." Ucap sang Mamah sembari mempererat genggaman tangannya, sedangkan ia hanya mengiyakan ucapan sang Mamah dengan anggukan kepalanya."Mah, tapi Adnan bakal bisa kan buat n
Fathia termenung di tempatnya saat melihat beberapa berkas pernikahan yang harus ditanda-tanganinya. Sejujurnya ia masih bingung dan tak menyangka bahwa ia sekarang benar-benar menjadi istri seorang pengidap asd yang ada di sampingnya ini. Fathia jadi bertanya-tanya sendiri mengenai takdirnya yang entah ke depannya akan berjalan ke mana. Takdirnya melangkah mengantarkan dirinya menjadi jodoh Adnan saja sudah sangat di luar dugaan, harapan dan doanya. Apakah mungkin ke depannya ia juga harus pasrah dengan berbagai keadaan yang akan menerpa? Tentu saja Tuhan tidak akan mungkin hanya memberinya ujian sampa di sini, pasti akan ada masalah dan ujian lain yang mungkin saja akan lebih susah untuk dihadapinya. Setelah di rasa semua berkas sudah Fathia tanda tangani, ia melirik pria yang berada di sampingnya, yang terlihat agak kesusahan untuk membubuhkan tanda-tangannya di berkas-berkas tersebut, bahkan sang adik mendampinginya, membimbingnya untuk bisa menanda-t
Fathia melambaikan tangannya sembari terus menyunggingkan senyumnya saat melihat Orangtua dan mertuanya berpamitan pulang.Ia kemudian mulai melangkahkan kakinya memasuki 'rumah barunya', yang hanya ada ia, Adnan, dua orang asisten rumah tangga dan satu supir yang memang dibawa dari rumah orangtua Adnan, karena mereka bertiga sudah tahu bagaimana harus memperlakukan Adnan.Waktu baru saja menunjukan pukul delapan malam lebih dua puluh lima menit, tetapi Fathia merasa tubuhnya benar-benar lelah, apalagi di bagian pinggangnya agak terasa pegal. Padahal tidak ada acara resepsi yang memakan waktu lama karena berdiri terus menerus di pelaminan, hanya menyapa saudara yang datang, makan bersama dan acara pernikahannya selesai. Tetapi entah kenapa rasa lelah di tubuhnya, seperti ia berkegiatan dengan sangat aktif, mungkin bawaan ibu hamil yang terkadang gampang lelah.Tanpa berpikir panjang, langkah kakinya ia gerakan menuju kamar
Fathia melirik meja makan yang masih penuh hidangan makanan, terlihat seperti belum ada yang menyentuhnya sama sekali. Padahal hari sudah siang, apa orang-orang di rumah ini tidak lapar. Ia bahkan sudah kelaparan, perutnya bunyi minta diisi."Bi, kok ini masih pada utuh sih? Kenapa belum pada makan?" Tanya Fathia sesaat setelah mendudukan tubuhnya di salah satu kursi meja makan. Kebetulan salah satu art nya yang bernama Tati sedang berdiri di pantry, tak jauh dari posisi meja makan."Ia non silahkan saja makan terlebih dahulu. Masih banyak pekerjaan yang bibi lakukan."Fathia hanya menganggukan kepalanya untuk menanggapi jawaban dari Tati. Ia kemudian mulai mengambil nasi dan beberapa lauk yang disukainya."Bi, Adnan di mana? Dia juga belum makan ya?" Tanya Fathia disela kegiatannya melahap makanannya."Di ruang lukisnya non. Iya Tuan belum makan, mau tawarin takut ganggu, soalnya kalau ud
Fathia menghembuskan nafasnya lega, akhirnya ia bisa memiliki waktu untuk membaca novel, supaya menambah referensi ide untuk cerita yang akan dibuatnya.Plot, alur cerita dan tokohnya sudah ia tulis dan deskripsikan, tetapi mungkin novel yang sekarang berada di genggamannya bisa menambah ide untuk pengembangan cerita dan karakter yang akan dibuatnya.Waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam, suasana rumah sudah hening, bahkan beberapa lampu sudah dimatikan, tetapi Fathia baru merasakan me timenya. Ya, dengan menunggu Adnan tertidur, walaupun sebenarnya bisa saja ia membaca jika Adnan tengah berkegiatan, tetapi rasanya berbeda.Tetapi bukannya ia terfokus dengan novel bacaannya, pikirannya malah memikirkan hal-hal yang selalu berputar di otaknya, hampir tiap detiknya. Ia hanya ingin berterima kasih atas dirinya, sudah bisa berjalan sejauh ini, berumah tangga dengan Adnan. Kira-kira sudah tiga bulan ia tinggal di
"Kamu maunya gimana? Proses semua kejadian ini lewat jalur hukum dan serahkan bukti-bukti ke pihak berwajib, atau mungkin ada pemikiran kamu tersendiri mau diapakan Andi? Ya meskipun dia putra Ibu, Ibu gak akan membela apapun yang kamu lakukan untuk dia sebagai hukuman atas hal yang dilakukannya."Fathia terdiam mencerna ucapan Ibu mertuanya. Walaupun matanya menatap Thalia yang tengah terlelap di ranjang rumah sakit, tetapi fokusnya terbagi. Hatinya tentu saja sakit melihat putrinya harus dirawat seperti ini, tetapi ia juga sedikit penasaran, apa alasan Andi sampai melakukan penculikan terhadap putri kandungnya sendiri. Walaupun memang sakit hatinya masih mendera karena penolakan tanggung-jawab yang pria itu berikan ketika ia baru mengetahui bahwa ia mengandung, tetapi pada kenyataannya Fathia akan tetap mempertemukan Andi dan Thalia, jika pria itu meminta izin dengan cara baik-baik. Fathia juga tidak akan melarang Thalia bertemu ayah kandungnya. Tetapi setelah kejadian ini, kemungki
Dengan berlari sekuat tenaga aku menyusuri lorong rumah sakit, untuk mencari ruangan di mana bunda berada.Hari ini aku dikabari Ayah bahwa Bunda melahirkan. Tentu saja tanpa menunda waktu, aku langsung bergegas untuk meminta izin supaya bisa menjenguk bunda, padahal aku baru saja selesai melakukan latihan. Bahkan aku baru menyadari bahwa aku masih menggunakan jersey penuh keringat dan lepek yang ku pakai saat latihan. Saking senang mendengar kabar tersebut dan buru-buru menuju ke rumah sakit, aku agak lupa untuk membersihkan tubuh dan mengganti pakaian. Agak ceroboh, Bunda pun pasti marah melihatku yang masih menggunakan jersey badminton, tapi mau bagaimana lagi karena aku sudah sampai di rumah sakit. Mungkin aku akan mengirim pesan kepada Tyla atau Tyna untuk membawa pakaian ganti untukku jika salah satu di antara mereka ada yang masih dir rumah.Aku langsung melambaikan tanganku beberapa kali saat melihat Ayah tengah berdiri di depan salah satu ruang rawat bersama Tyla dan suaminya
Ku tatap lekat foto yang terpajang rapih di samping televisi itu. Tatap matanya, senyumannya, raut wajahnya, suara lembutnya, masih melekat dengan indah di di pikiran dan hatiku hingga detik ini. Haah, rasanya aku sangat merindukan dia, untuk setiap detik waktu yang ku punya.Dengan segala keterbatasannya, dia sosok yang teramat sempurna untuk hidupku. Beberapa orang terdekatku sering kali menceritakannya. Menceritakan tentang tingkahnya, dan kisahnya.Tuhan, aku bersyukur sekali memiliki dia di dalam hidupku, sampai detik ini dan selamanya. Tuhan, terima kasih telah menghadirkan sosoknya di hidupku. Aku teramat beruntung memilikinya. Biarpun orang lain memandang sosoknya berbeda, merendahkannya, tetapi aku hanya bisa beryukur dan terus bersyukur memilikinya."Hei! Kok malah melamun sih? Kamu kangen, ya?"Aku terkesiap saat mendengar suara seseorang yang bertanya di samping tubuhku."Eh, bunda. Iya, aku kangen banget." Jawabku agak parau. Tak terasa air mataku mengalir di tengah lamun
"Kalau Adnan lelah, istirahat saja ya di kamar, nanti waktunya makan siang Fathia bangunkan."Adnan hanya menganggukan kepalanya kemudian langsung memasuki rumah.Fathia baru saja pulang ke rumah setelah mengantar Adnan ke Psikolog. Seperti dugaannya, kata Psikolog yang menangani Adnan, serious emotional distrubance atau gangguan emosi yang terjadi pada Adnan sudah mulai teratasi, walaupun katanya kadang masih sedikit mengganggu Adnan karena beberapa kali Adnan masih mengabaikan Thalia karena ada rasa trauma kehilangan. Adnan takut jika ia terlalu dekat dengan Thalia, di mana saat dia teramat sayang kepada Thalia dan ingin terus berada di dekat Thalia, Thalia kembali hilang dari jangkauan, jadi beberapa kali Adnan kadang menghindar jika ketakutan itu hinggap.Sebenarnya Fathia juga bingung kenapa Adnan bisa berpikiran sampai sejauh itu, apalagi dengan asd yang diidapnya, tapi ya mungkin memang Tuhan sudah menggariskan takdir Adnan seperti itu.Enam bulan waktu berjalan terasa lambat b
Hari demi hari fisioterapi yang dilakukan Adnan semakin menunjukan hasil, pelan tapi pasti. Adnan setidaknya sudah tidak perlu menggunakan bantuan kruk untuk berjalan, ya walaupun langkahnya masih pelan, kaku, dan sedikit pincang tetapi itu sudah menunjukan perubahan. Hanya saja pemulihannya memang sedikit lebih lambat karena Adnan mudah sekali lelah, terlihat ketara dari nafasnya dikarenakan efek pembengkakan jantungnya. Kurang lebih sudah lima bulan Adnan menjalani fisioterapi di rumah.Lima bulan ini untuk Fathia adalah lima bulan ter-hectic yang pernah dirasakan dalam hidupnya. Harus mengantar Adnan check up ke rumah sakit, konsultasi ke Psikolog, menemani suaminya itu fisioterapi, belum lagi Thalia yang semakin hari sudah semakin mengerti bahwa putrinya itu ingin selalu berada di dekatnya dan kadang menangis ketika ia harus meninggalkan Thalia bersama bi Tati karena harus mengurusi Adnan. Sejujurnya Fathia sedikit tidak terlalu memperhatikan perkembangan putrinya, padahal kalau k
Fathia hanya bisa ikut meringis saat mendengar suara ringisan Adnan yang sedang melakukan fisioterapi untuk penyembuhan tangan dan kaki kanannya.Hampir setiap hari Fathia mendatangkan fisioterapi profesional yang disarankan dokter, supaya proses penyembuhan Adnan lebih cepat. Ia juga ingin secepatnya melihat Adnan kembali melukis apapun yang diimajinasikannya.Waktu sudah berjalan hampir tiga bulan. Tangan Adnan pun sudah tidak memakai arm sling dan perkembangannya sudah lebih baik daripada kaki, hanya saja untuk membantunya berjalan Adnan masih memerlukan kruk."Tolong sudah, ini Sakit!"Fathia sedikit kaget mendengar Adnan yang meninggikan suaranya, tetapi tentu saja ia tidak boleh kalah dengan suara Adnan yang seperti itu. Dia harus terbiasa, meskipun di bulan ini sudah beberapa kali Adnan terlihat marah seperti itu, tetapi ia tetap saja masih kaget."Tidak boleh seperti itu, ini juga untuk kesembuhan Adnan. Adnan diam ya, nurut sama fisioterapisnya."Fathia menatap Adnan intens s
Fathia hanya bisa terus menyunggingkan senyumnya saat sesekali Adnan meliriknya, meskipun tatapan itu tidak berarti apapun.Adnan masih sama, diam dan tidak meminta apapun. Padahal ini sudah satu minggu Adnan berada di rumah, tetapi suaminya itu tidak menunjukan perubahan yang berarti. Tetapi setidaknya Fathia masih bisa bersyukur bahwa suaminya itu bersedia melahap makanan yang disediakannya, sehingga ia tidak perlu khawatir makanan apa yang suaminya itu inginkan. Ya walaupun masakan yang disediakan selalu makanan kesukaan Adnan yang dimasak Bi Tati, yang selang dua hari berganti karena takut bosan."Adnan kalau memang ada hal yang diinginkan, Adnan bisa ceritakan kepada Fathia ya."Seperti mengobrol dengan angin, ya itu lah obrolan satu arah yang terus dicoba Fathia meskipun tidak membuahkan hasil. Reaksi dari Adnan hanya meliriknya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain."Alhamdulillah sudah habis. Adnan tunggu sebentar ya, Fathia mau ambil minum sama obat." Izin Fathi
Alhamdulillah den Adnan pulang. Bibi khawatir---""Bi tolong bantu angkatin tas di dalam mobil ya." Sebelum Bi Tati melanjutkan ucapannya, Fathia lebih memilih memotongnya dengan meminta pertolongan.Sebenarnya ia belum menceritakan apa saja yang terjadi kepada Adnan, kecuali memberitahukan bahwa lengan bawah dan betis kanan suaminya itu mengalami patah tulang dan sudah dioperasi pemasangan pen. Fathia terlalu bingung untuk menjelaskan semuanya kepada Adnan, mungkin jika suaminya itu bertanya baru ia akan menjawabnya secara gamblang dan mudah dicerna pemikiran Adnan. Atau mungkin nanti Mertuanya bisa menjelaskan semuanya dengan cara mereka. Rumah tangganya sudah sejauh ini, tetapi Fathia masih saja sedikit bingung jika tentang menjelaskan sesuatu kepada Adnan."Adnan kamarnya pindah ke kamar tamu dulu, ya."Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir Adnan untuk menjawab perkataan Fathia.Setelah keluar dari ruang ICU dan pemulihan di ruang perawatan biasa, Fathia seperti melih
"Tadi dipindahin ke sininya jam berapa?" "Jam 10 pagi, Bu. Kata dokter Adnan sudah sadar sepenuhnya, tapi tadi dikasih obat tidur biar istirahat, karena katanya semalaman dia sadar terus." Ya, hari ini lebih tepatnya tadi pagi, Adnan dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Sudah tidak ada lagi peralatan medis yang mengelilingi Adnan, hanya tersisa jarum infus di lengan kirinya dan kanula nasal di hidungnya. Fathia bersyukur sekali Adnan akhirnya bisa keluar dari ruang ICU yang menurutnya mengerikan. Ya walaupun banyak hal yang didapat Adnan setelah kecelakaan itu, tetapi Fathia tetap bersyukur setidaknya Adnan berhasil melewati masa kritisnya. "Terima kasih sudah berjuang sejauh ini ya. Ibu bangga sekali dengan Adnan." Fathia hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Ibu mertuanya. Senyumnya semakin merekah saat ia bisa menyaksikan langsung Ibu mertuanya menghujani wajah Adnan dengan kecupan sayangnya. Hangat sekali rasanya hati Fathia melihat hal seperti itu. Tentu saja Ibu mana yang