Fathia mengucek matanya, mencoba membenarkan persepsi di kepalanya bahwa yang ia lihat di sebrang jalan adalah Andi, mantan pacar sekaligus kakak iparnya.
Setelah pertengkaran di kaffe, Fathia memang tidak pernah menemukan sosok Andi di manapun, termasuk di rumah orangtuanya. Walaupun sebenarnya beberapa kali ia berharap bertemu pria brengsek itu untuk sekadar melampiaskan emosi dan rasa bencinya yang belum pernah dilampiaskan sama sekali.
Senyum sinis terbit di bibir Fathia, saat melihat Andi menyebrangi jalan menuju trotoar yang sedang dipijaknya. Tak perlu bersusah payah menyebrang untuk mengejar pria itu, nyatanya semesta berpihak kepadanya tanpa diminta.
"Oh bagus ya, gak mau bertanggung-jawab tapi udah gandeng cewek baru. Kabur dan pura-pura dapat kerjaan di Singapur, uh keren banget." Tentu saja Fathia melontarkannya dengan nada yang mengejek.
"Ditinggal berapa bulan ternyata udah
Setelah sekian lama, akhirnya Fathia bisa kembali memasuki ruang lukis Adnan, karena sejujurnya ia masih agak takut kejadian Adnan marah terulang, padahal sudah dari lama ia ingin melihat karya-karya Adnan yang mungkin sudah bertambah banyak.Tak terasa sudah hampir 6 bulan Fathia menjalani rumah tangganya bersama Adnan. Jika ditanya banyak suka atau dukanya, tentu saja ia akan menjawab dengan jujur bahwa duka lebih banyak yang ia rasakan dibanding sukanya, tetapi tentu saja ia yakin semua itu adalah proses untuk hidupnya berjalan ke arah yang lebih baik, juga sebagai bentuk pendewasaan diri karena sebenarnya untuk di umur sekarang ia tidak pernah membayangkan akan jadi ibu dalam waktu dekat.Dahulu di mimpi dan targetnya, ia hanya ingin fokus kepada karirnya sebagai penulis, bermimpi salah satu novelnya bisa dijadikan series atau bahkan mungkin film, kemudian memiliki komitmen yang serius dalam pacaran tetapi tidak terpikir akan menikah di umurnya yang baru 24 T
Fathia hanya bisa terkulai lemas di ranjang rumah sakit, walaupun hatinya bahagia luar biasa. Beberapa menit yang lalu ia baru saja melahirkan putrinya secara normal, walaupun hanya ditemani Bi Tati. Ia belum sempat menghubungi orangtua juga mertuanya karena merasakan mulas dan juga sudah luar biasa panik."Selamat ya Non, non hebat sekali!"Fathia hanya menanggapinya dengan senyuman dan anggukan kecil, entah mengapa tiba-tiba saja suaranya seperti hilang entah kemana.Kemudian perhatian Fathia dan Bi Tati teralihkan saat mendengar suara sedikit ramai di dekat pintu kamar rawat inap yang Fathia tempati, disusul pintu yang terbuka."Fathia kenapa gak ngasih tahu kalau lahiran, malah bi Tati yang kasih tahu.""Maaf Mah, udah panik sama mules dan sakit, jadi gak kepikiran buat ngabarin." Ujar Fathia sembari melirik sang Mamah yang sudah berada di dekat bi Tati.
"Fathia di mana bu?""Sebentar lagi bertemu Fathia, Adnan tenang ya." Ujar Arini sembari terus menuntun Adnan untuk mengimbangi langkahnya.Mereka baru saja tiba di Rumah sakit di mana Fathia melahirkan, tetapi tetap saja wajah Adnan menampilkan ekspresi yang tidak tenang saat Fathia tidak berada dalam pandangannya.Melihat Adnan panik dan tidak tenang seperti itu, sejujurnya membuat perasaan Anita dan Didi menjadi campur aduk. Sedih dan iba karena sudah lama mereka tidak melihat ekspresi Adnan yang seperti itu, mereka jarang sekali meninggalkan Adnan saat tertidur karena pasti putranya itu akan mencari mereka. Senang karena setelah beberapa bulan mereka tidak satu rumah, secara tidak sadar Adnan mencari orang yang membuatnya aman dan nyaman, karena memang Adnan bertingkah seperti itu jika ditinggalkan orang terdekatnya."Fathia!" Dengan setengah berteriak, Adnan memanggil nama istrinya itu sesaat baru saja pintu ruang rawat dibuka ibunya. Ia segera berlari mendekati Fathia dan tak se
Adnan, ayo makan dulu.""Tidak mau, Fathia."Lagi, selalu seperti itu jawaban yang diterima Fathia ketika ia menyuruh suaminya itu untuk makan."Thalia sedang bobo, tidak boleh digendong seperti itu." Ucap Adnan saat Fathia mengambil alih Thalia yang sedari tadi hanya Adnan perhatikan."Ayo makan, Fathia dan Thalia temani." Tutur Fathia, sembari berjalan terlebih dahulu keluar dari kamar untuk turun ke lantai bawah.Tanpa jawaban dan protes, Adnan bangkit dari posisinya dan mulai berjalan membuntuti Fathia. Ia hanya bisa menurut ketika objek yang diperhatikannya diambil alih Fathia.Fathia meminta Bi Tati untuk mengalasi makanan untuk Adnan karena ia sedang menggendong Thalia."Makannya habisin, dan obatnya diminum." Perintah Fathia penuh ketegasan, padahal Adnan baru saja terduduk di kursi makan.Fathia kira Adnan bersikap ingin dekat terus dengan Thalia akan cukup untuk beberapa hari saja, ternyata setelah satu bulan pun tetap seperti itu. Kegiatan pria itu hanya memantengi Thalia,
Fathia dan Adnan baru saja tiba di rumah Orangtua Adnan. Selain untuk berkunjung, Fathia ingin menitipkan Thalia kepada ibu mertuanya karena nanti siang, ia akan mengantar Adnan untuk check up ke psikolog."Assalamu'alaikum."Baru saja Fathia dan Adnan tiba di pintu masuk untuk menuju ke dalam rumah, Kalila sudah heboh saja menghampiri mereka."Hallo ponakan aunty." Seru Kalila dengan riang dan suara yang nyaring. Ia terlalu excited untuk melihat keponakannya karena memang ia yang lebih jarang bertemu dengan Thalia dibanding kedua orangtuanya, ia masih sibuk dengan kuliahnya. Untung saja hari ini ia sedang berada di rumah."Pelankan suaranya Lila, Thalia sedang tertidur."Gerakan Kalila yang ingin meraih Thalia dari gendongan Fathia langsung terhenti mendengar ucapan Adnan yang agak tegas. Ia tentu saja sudah mengetahui betapa posesifnya Adnan selama tiga bulanan ini kepada Thalia."Maaf Bang, Lila hanya terlalu senang bertemu Thalia." Jawab Kalila sembari memundurkan tubuhnya beberap
"Setelah pulang dari psikolog kita langsung kembali ke rumah Ibu ya, Fathia. Adnan tidak mau lama-lama jauh dari Thalia."Baru saja mobil yang mereka tumpangi keluar dari halaman rumah orangtua Adnan, tetapi pria itu sudah berkata seperti itu kepada Fathia.Fathia hanya bisa menganggukan kepalanya mendengar ucapan suaminya. Ia hanya bisa mengiyakan, walaupun sebenarnya kesalnya semakin bertambah kepada Adnan, tetapi ia harus meredamnya."Sepertinya setelah pulang dari psikolog, Adnan ingin belajar cara menggendong Thalia."Fathia mengerenyitkan dahinya bingung mendengar ucapan Adnan. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba saja suaminya itu berucap demikian, padahal sebelum-sebelumnya mau dipaksa sekeras apapun untuk belajar menggendong Thalia, Adnan selalu enggan dan bahkan marah karena terus dipaksa. Entah dari mana Adnan mendapatkan wangsit sampai akhirnya berpikiran untuk mau menggendong Thalia."Kok tiba-tiba? Saat Fathia suruh, Adnan terus saja enggan dan marah kepada Fathia.
Fathia lemas bukan main mendengarnya, tetapi ia berharap Ibu mertuanya hanya lupa, walaupun perkataan Ibu mertuanya sudah meyakinkannya bahwa memang Thalia tidak ada di mana pun."Ibu lagi gak bercanda 'kan? Ini masalahnya Fathia sama Adnan lagi di kondisi yang gak baik.""Demi Allah ibu gak bercanda. Thalia beneran gak ada. Coba kamu telpon orangtua kamu atau saudara kamu mungkin tadi ke sini dan bawa Thalia tetapi lupa bilang."Fathia semakin lemas mendengarnya. Ibu mertuanya seperti menuduh Orantua dan saudaranta yang menyembunyikan Thalia walau tidak secara gamblang. Ia memahami hal tersebut keluar dari bibir ibu mertuanya karena panik, tetapi ia juga teringat bahwa ia tidak memberi kabar kepada orangtua ataupun adik kakaknya saat akan menitipkan Thalia kepada Arini, aneh bukan jika mereka tiba-tiba saja tahu Thalia berada di rumah orangtua Adnan dan berniat membawa Thalia. Ya walaupun ada kemungkinan keluarganya berkunjung ke rumahnya tanpa bilang, lalu bertanya kepada bi Tati sa
Adnan terdiam di tempatnya, ekspresi marah, takut dan bingung mulai terlihat di wajahnya. Putri semata wayangnya yang selalu ia jaga dari orang-orang, tidak terlihat pandangan matanya. Adnan melihat satu persatu orang-orang yang berada di ruangan ini, memastikan bahwa ucapan Ibunya bohong. Berharap bahwa Thalia sedang berada dalam gendongan salah satu orang yamg berada di rumah ini. Tetapi berkali-kali matanya memantau dengan jeli satu persatu orang yang berada di ruangan ini, ia tidak menemukan sosok kecil Thalia.Arini hanya bisa terduduk di lantai sembari melindungi kepalanya. Ia sudah tahu bagaimana Adnan akan mengamuk jika hal yang diharapkannya tidak sesuai."Fathia!" Beberapa orang berseru meneriakan nama Fathia saat melihat tubuh wanita itu lemas dan jatuh pingsan.Arini segera bangkit dari posisinya mendengar suara seruan orang-orang, dan mendapati Fathia sudah jatuh pingsan di lantai di temani Kalila dan Mamahnya, dan Arini tidak melihat Adnan berada di dekatnya.Matanya ber