Fathia hanya bisa terkulai lemas di ranjang rumah sakit, walaupun hatinya bahagia luar biasa. Beberapa menit yang lalu ia baru saja melahirkan putrinya secara normal, walaupun hanya ditemani Bi Tati. Ia belum sempat menghubungi orangtua juga mertuanya karena merasakan mulas dan juga sudah luar biasa panik.
"Selamat ya Non, non hebat sekali!"
Fathia hanya menanggapinya dengan senyuman dan anggukan kecil, entah mengapa tiba-tiba saja suaranya seperti hilang entah kemana.
Kemudian perhatian Fathia dan Bi Tati teralihkan saat mendengar suara sedikit ramai di dekat pintu kamar rawat inap yang Fathia tempati, disusul pintu yang terbuka.
"Fathia kenapa gak ngasih tahu kalau lahiran, malah bi Tati yang kasih tahu."
"Maaf Mah, udah panik sama mules dan sakit, jadi gak kepikiran buat ngabarin." Ujar Fathia sembari melirik sang Mamah yang sudah berada di dekat bi Tati.
"Fathia di mana bu?""Sebentar lagi bertemu Fathia, Adnan tenang ya." Ujar Arini sembari terus menuntun Adnan untuk mengimbangi langkahnya.Mereka baru saja tiba di Rumah sakit di mana Fathia melahirkan, tetapi tetap saja wajah Adnan menampilkan ekspresi yang tidak tenang saat Fathia tidak berada dalam pandangannya.Melihat Adnan panik dan tidak tenang seperti itu, sejujurnya membuat perasaan Anita dan Didi menjadi campur aduk. Sedih dan iba karena sudah lama mereka tidak melihat ekspresi Adnan yang seperti itu, mereka jarang sekali meninggalkan Adnan saat tertidur karena pasti putranya itu akan mencari mereka. Senang karena setelah beberapa bulan mereka tidak satu rumah, secara tidak sadar Adnan mencari orang yang membuatnya aman dan nyaman, karena memang Adnan bertingkah seperti itu jika ditinggalkan orang terdekatnya."Fathia!" Dengan setengah berteriak, Adnan memanggil nama istrinya itu sesaat baru saja pintu ruang rawat dibuka ibunya. Ia segera berlari mendekati Fathia dan tak se
Adnan, ayo makan dulu.""Tidak mau, Fathia."Lagi, selalu seperti itu jawaban yang diterima Fathia ketika ia menyuruh suaminya itu untuk makan."Thalia sedang bobo, tidak boleh digendong seperti itu." Ucap Adnan saat Fathia mengambil alih Thalia yang sedari tadi hanya Adnan perhatikan."Ayo makan, Fathia dan Thalia temani." Tutur Fathia, sembari berjalan terlebih dahulu keluar dari kamar untuk turun ke lantai bawah.Tanpa jawaban dan protes, Adnan bangkit dari posisinya dan mulai berjalan membuntuti Fathia. Ia hanya bisa menurut ketika objek yang diperhatikannya diambil alih Fathia.Fathia meminta Bi Tati untuk mengalasi makanan untuk Adnan karena ia sedang menggendong Thalia."Makannya habisin, dan obatnya diminum." Perintah Fathia penuh ketegasan, padahal Adnan baru saja terduduk di kursi makan.Fathia kira Adnan bersikap ingin dekat terus dengan Thalia akan cukup untuk beberapa hari saja, ternyata setelah satu bulan pun tetap seperti itu. Kegiatan pria itu hanya memantengi Thalia,
Fathia dan Adnan baru saja tiba di rumah Orangtua Adnan. Selain untuk berkunjung, Fathia ingin menitipkan Thalia kepada ibu mertuanya karena nanti siang, ia akan mengantar Adnan untuk check up ke psikolog."Assalamu'alaikum."Baru saja Fathia dan Adnan tiba di pintu masuk untuk menuju ke dalam rumah, Kalila sudah heboh saja menghampiri mereka."Hallo ponakan aunty." Seru Kalila dengan riang dan suara yang nyaring. Ia terlalu excited untuk melihat keponakannya karena memang ia yang lebih jarang bertemu dengan Thalia dibanding kedua orangtuanya, ia masih sibuk dengan kuliahnya. Untung saja hari ini ia sedang berada di rumah."Pelankan suaranya Lila, Thalia sedang tertidur."Gerakan Kalila yang ingin meraih Thalia dari gendongan Fathia langsung terhenti mendengar ucapan Adnan yang agak tegas. Ia tentu saja sudah mengetahui betapa posesifnya Adnan selama tiga bulanan ini kepada Thalia."Maaf Bang, Lila hanya terlalu senang bertemu Thalia." Jawab Kalila sembari memundurkan tubuhnya beberap
"Setelah pulang dari psikolog kita langsung kembali ke rumah Ibu ya, Fathia. Adnan tidak mau lama-lama jauh dari Thalia."Baru saja mobil yang mereka tumpangi keluar dari halaman rumah orangtua Adnan, tetapi pria itu sudah berkata seperti itu kepada Fathia.Fathia hanya bisa menganggukan kepalanya mendengar ucapan suaminya. Ia hanya bisa mengiyakan, walaupun sebenarnya kesalnya semakin bertambah kepada Adnan, tetapi ia harus meredamnya."Sepertinya setelah pulang dari psikolog, Adnan ingin belajar cara menggendong Thalia."Fathia mengerenyitkan dahinya bingung mendengar ucapan Adnan. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba saja suaminya itu berucap demikian, padahal sebelum-sebelumnya mau dipaksa sekeras apapun untuk belajar menggendong Thalia, Adnan selalu enggan dan bahkan marah karena terus dipaksa. Entah dari mana Adnan mendapatkan wangsit sampai akhirnya berpikiran untuk mau menggendong Thalia."Kok tiba-tiba? Saat Fathia suruh, Adnan terus saja enggan dan marah kepada Fathia.
Fathia lemas bukan main mendengarnya, tetapi ia berharap Ibu mertuanya hanya lupa, walaupun perkataan Ibu mertuanya sudah meyakinkannya bahwa memang Thalia tidak ada di mana pun."Ibu lagi gak bercanda 'kan? Ini masalahnya Fathia sama Adnan lagi di kondisi yang gak baik.""Demi Allah ibu gak bercanda. Thalia beneran gak ada. Coba kamu telpon orangtua kamu atau saudara kamu mungkin tadi ke sini dan bawa Thalia tetapi lupa bilang."Fathia semakin lemas mendengarnya. Ibu mertuanya seperti menuduh Orantua dan saudaranta yang menyembunyikan Thalia walau tidak secara gamblang. Ia memahami hal tersebut keluar dari bibir ibu mertuanya karena panik, tetapi ia juga teringat bahwa ia tidak memberi kabar kepada orangtua ataupun adik kakaknya saat akan menitipkan Thalia kepada Arini, aneh bukan jika mereka tiba-tiba saja tahu Thalia berada di rumah orangtua Adnan dan berniat membawa Thalia. Ya walaupun ada kemungkinan keluarganya berkunjung ke rumahnya tanpa bilang, lalu bertanya kepada bi Tati sa
Adnan terdiam di tempatnya, ekspresi marah, takut dan bingung mulai terlihat di wajahnya. Putri semata wayangnya yang selalu ia jaga dari orang-orang, tidak terlihat pandangan matanya. Adnan melihat satu persatu orang-orang yang berada di ruangan ini, memastikan bahwa ucapan Ibunya bohong. Berharap bahwa Thalia sedang berada dalam gendongan salah satu orang yamg berada di rumah ini. Tetapi berkali-kali matanya memantau dengan jeli satu persatu orang yang berada di ruangan ini, ia tidak menemukan sosok kecil Thalia.Arini hanya bisa terduduk di lantai sembari melindungi kepalanya. Ia sudah tahu bagaimana Adnan akan mengamuk jika hal yang diharapkannya tidak sesuai."Fathia!" Beberapa orang berseru meneriakan nama Fathia saat melihat tubuh wanita itu lemas dan jatuh pingsan.Arini segera bangkit dari posisinya mendengar suara seruan orang-orang, dan mendapati Fathia sudah jatuh pingsan di lantai di temani Kalila dan Mamahnya, dan Arini tidak melihat Adnan berada di dekatnya.Matanya ber
"Thalia, ini Ayah sayang. Ayah ingin menggendong Thalia."Adnan mengucek matanya beberapa kali untuk menahan tangisnya. Ia merasa harus fokus melihat setiap ruangan di rumah orangtuanya untuk menemukan Thalia. Jika ia menangis, genangan air mata hanya akan mengaburkan pandangan dan menghambat fokusnya saja."Thalia!" Seru Adnan lebih keras, tetapi Adnan rasanya tidak bisa merasakan keberadaan Thalia di setiap ruangan yang dikunjunginya.Adnan menampar pipinya kencang, berharap ini mimpi supaya ia bisa terbangun dan bisa bertemu dengan putrinya, tetapi setelah melakukan hal itu pun, tidak ada apapun yang terjadi, perih malah mulai menjalari kulit wajahnya.Adnan berlari menuju tangga, ia tidak menghiraukan Ibunya yang terus membuntutinya ke manapun. Tujuannya hanya ingin menemukan Thalia."Thalia, ini Ayah Adnan ingin bertemu. Thalia tidak boleh bersembunyi seperti itu." Tak lagi berteriak keras, kini Adnan hanya dapat bersuara lirih untuk memanggil putrinya. Suara dan tenaganya sudah
Setelah memberi penjelasan kepada pihak berwajib mengenai kronologis hilangnya Thalia dengan disertai barang bukti dari video cctv, akhirnya laporan pun diterima dan pihak berwajib siap membantu untuk mencari pelaku penculikan Thalia.Mereka pun memutuskan kembali pulang ke rumah sembari menunggu kabar selanjutnya dari pihak kepolisian dan dari beberapa orang suruhan yang dikerahkan Ardi untuk melacak keberadaan Andi."Bu Thalia gak akan kenapa-napa 'kan? Andi gak akan sejahat itu buat ngelukain darah dagingnya 'kan bu? Fathia takut Thalia kenapa-napa."Meskipun tangisnya sudah tak sederas dan sekuat tadi, tetapi Fathia tetap saja tidak dapat menghentikan laju air matanya. Rasa takut begitu menyeruak luar biasa di dalam benaknya, apalagi mengingat perlakuan terakhir Andi kepadanya terakhir kali. Bahkan pria itu meminta melenyapkan darah dagingnya supaya ia tidak perlu bertanggung-jawab atas perbuatannya, dan karena hal itu membuat Fathia semakin takut akan kondisi Thalia."Semoga Thal
"Kamu maunya gimana? Proses semua kejadian ini lewat jalur hukum dan serahkan bukti-bukti ke pihak berwajib, atau mungkin ada pemikiran kamu tersendiri mau diapakan Andi? Ya meskipun dia putra Ibu, Ibu gak akan membela apapun yang kamu lakukan untuk dia sebagai hukuman atas hal yang dilakukannya."Fathia terdiam mencerna ucapan Ibu mertuanya. Walaupun matanya menatap Thalia yang tengah terlelap di ranjang rumah sakit, tetapi fokusnya terbagi. Hatinya tentu saja sakit melihat putrinya harus dirawat seperti ini, tetapi ia juga sedikit penasaran, apa alasan Andi sampai melakukan penculikan terhadap putri kandungnya sendiri. Walaupun memang sakit hatinya masih mendera karena penolakan tanggung-jawab yang pria itu berikan ketika ia baru mengetahui bahwa ia mengandung, tetapi pada kenyataannya Fathia akan tetap mempertemukan Andi dan Thalia, jika pria itu meminta izin dengan cara baik-baik. Fathia juga tidak akan melarang Thalia bertemu ayah kandungnya. Tetapi setelah kejadian ini, kemungki
Dengan berlari sekuat tenaga aku menyusuri lorong rumah sakit, untuk mencari ruangan di mana bunda berada.Hari ini aku dikabari Ayah bahwa Bunda melahirkan. Tentu saja tanpa menunda waktu, aku langsung bergegas untuk meminta izin supaya bisa menjenguk bunda, padahal aku baru saja selesai melakukan latihan. Bahkan aku baru menyadari bahwa aku masih menggunakan jersey penuh keringat dan lepek yang ku pakai saat latihan. Saking senang mendengar kabar tersebut dan buru-buru menuju ke rumah sakit, aku agak lupa untuk membersihkan tubuh dan mengganti pakaian. Agak ceroboh, Bunda pun pasti marah melihatku yang masih menggunakan jersey badminton, tapi mau bagaimana lagi karena aku sudah sampai di rumah sakit. Mungkin aku akan mengirim pesan kepada Tyla atau Tyna untuk membawa pakaian ganti untukku jika salah satu di antara mereka ada yang masih dir rumah.Aku langsung melambaikan tanganku beberapa kali saat melihat Ayah tengah berdiri di depan salah satu ruang rawat bersama Tyla dan suaminya
Ku tatap lekat foto yang terpajang rapih di samping televisi itu. Tatap matanya, senyumannya, raut wajahnya, suara lembutnya, masih melekat dengan indah di di pikiran dan hatiku hingga detik ini. Haah, rasanya aku sangat merindukan dia, untuk setiap detik waktu yang ku punya.Dengan segala keterbatasannya, dia sosok yang teramat sempurna untuk hidupku. Beberapa orang terdekatku sering kali menceritakannya. Menceritakan tentang tingkahnya, dan kisahnya.Tuhan, aku bersyukur sekali memiliki dia di dalam hidupku, sampai detik ini dan selamanya. Tuhan, terima kasih telah menghadirkan sosoknya di hidupku. Aku teramat beruntung memilikinya. Biarpun orang lain memandang sosoknya berbeda, merendahkannya, tetapi aku hanya bisa beryukur dan terus bersyukur memilikinya."Hei! Kok malah melamun sih? Kamu kangen, ya?"Aku terkesiap saat mendengar suara seseorang yang bertanya di samping tubuhku."Eh, bunda. Iya, aku kangen banget." Jawabku agak parau. Tak terasa air mataku mengalir di tengah lamun
"Kalau Adnan lelah, istirahat saja ya di kamar, nanti waktunya makan siang Fathia bangunkan."Adnan hanya menganggukan kepalanya kemudian langsung memasuki rumah.Fathia baru saja pulang ke rumah setelah mengantar Adnan ke Psikolog. Seperti dugaannya, kata Psikolog yang menangani Adnan, serious emotional distrubance atau gangguan emosi yang terjadi pada Adnan sudah mulai teratasi, walaupun katanya kadang masih sedikit mengganggu Adnan karena beberapa kali Adnan masih mengabaikan Thalia karena ada rasa trauma kehilangan. Adnan takut jika ia terlalu dekat dengan Thalia, di mana saat dia teramat sayang kepada Thalia dan ingin terus berada di dekat Thalia, Thalia kembali hilang dari jangkauan, jadi beberapa kali Adnan kadang menghindar jika ketakutan itu hinggap.Sebenarnya Fathia juga bingung kenapa Adnan bisa berpikiran sampai sejauh itu, apalagi dengan asd yang diidapnya, tapi ya mungkin memang Tuhan sudah menggariskan takdir Adnan seperti itu.Enam bulan waktu berjalan terasa lambat b
Hari demi hari fisioterapi yang dilakukan Adnan semakin menunjukan hasil, pelan tapi pasti. Adnan setidaknya sudah tidak perlu menggunakan bantuan kruk untuk berjalan, ya walaupun langkahnya masih pelan, kaku, dan sedikit pincang tetapi itu sudah menunjukan perubahan. Hanya saja pemulihannya memang sedikit lebih lambat karena Adnan mudah sekali lelah, terlihat ketara dari nafasnya dikarenakan efek pembengkakan jantungnya. Kurang lebih sudah lima bulan Adnan menjalani fisioterapi di rumah.Lima bulan ini untuk Fathia adalah lima bulan ter-hectic yang pernah dirasakan dalam hidupnya. Harus mengantar Adnan check up ke rumah sakit, konsultasi ke Psikolog, menemani suaminya itu fisioterapi, belum lagi Thalia yang semakin hari sudah semakin mengerti bahwa putrinya itu ingin selalu berada di dekatnya dan kadang menangis ketika ia harus meninggalkan Thalia bersama bi Tati karena harus mengurusi Adnan. Sejujurnya Fathia sedikit tidak terlalu memperhatikan perkembangan putrinya, padahal kalau k
Fathia hanya bisa ikut meringis saat mendengar suara ringisan Adnan yang sedang melakukan fisioterapi untuk penyembuhan tangan dan kaki kanannya.Hampir setiap hari Fathia mendatangkan fisioterapi profesional yang disarankan dokter, supaya proses penyembuhan Adnan lebih cepat. Ia juga ingin secepatnya melihat Adnan kembali melukis apapun yang diimajinasikannya.Waktu sudah berjalan hampir tiga bulan. Tangan Adnan pun sudah tidak memakai arm sling dan perkembangannya sudah lebih baik daripada kaki, hanya saja untuk membantunya berjalan Adnan masih memerlukan kruk."Tolong sudah, ini Sakit!"Fathia sedikit kaget mendengar Adnan yang meninggikan suaranya, tetapi tentu saja ia tidak boleh kalah dengan suara Adnan yang seperti itu. Dia harus terbiasa, meskipun di bulan ini sudah beberapa kali Adnan terlihat marah seperti itu, tetapi ia tetap saja masih kaget."Tidak boleh seperti itu, ini juga untuk kesembuhan Adnan. Adnan diam ya, nurut sama fisioterapisnya."Fathia menatap Adnan intens s
Fathia hanya bisa terus menyunggingkan senyumnya saat sesekali Adnan meliriknya, meskipun tatapan itu tidak berarti apapun.Adnan masih sama, diam dan tidak meminta apapun. Padahal ini sudah satu minggu Adnan berada di rumah, tetapi suaminya itu tidak menunjukan perubahan yang berarti. Tetapi setidaknya Fathia masih bisa bersyukur bahwa suaminya itu bersedia melahap makanan yang disediakannya, sehingga ia tidak perlu khawatir makanan apa yang suaminya itu inginkan. Ya walaupun masakan yang disediakan selalu makanan kesukaan Adnan yang dimasak Bi Tati, yang selang dua hari berganti karena takut bosan."Adnan kalau memang ada hal yang diinginkan, Adnan bisa ceritakan kepada Fathia ya."Seperti mengobrol dengan angin, ya itu lah obrolan satu arah yang terus dicoba Fathia meskipun tidak membuahkan hasil. Reaksi dari Adnan hanya meliriknya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain."Alhamdulillah sudah habis. Adnan tunggu sebentar ya, Fathia mau ambil minum sama obat." Izin Fathi
Alhamdulillah den Adnan pulang. Bibi khawatir---""Bi tolong bantu angkatin tas di dalam mobil ya." Sebelum Bi Tati melanjutkan ucapannya, Fathia lebih memilih memotongnya dengan meminta pertolongan.Sebenarnya ia belum menceritakan apa saja yang terjadi kepada Adnan, kecuali memberitahukan bahwa lengan bawah dan betis kanan suaminya itu mengalami patah tulang dan sudah dioperasi pemasangan pen. Fathia terlalu bingung untuk menjelaskan semuanya kepada Adnan, mungkin jika suaminya itu bertanya baru ia akan menjawabnya secara gamblang dan mudah dicerna pemikiran Adnan. Atau mungkin nanti Mertuanya bisa menjelaskan semuanya dengan cara mereka. Rumah tangganya sudah sejauh ini, tetapi Fathia masih saja sedikit bingung jika tentang menjelaskan sesuatu kepada Adnan."Adnan kamarnya pindah ke kamar tamu dulu, ya."Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir Adnan untuk menjawab perkataan Fathia.Setelah keluar dari ruang ICU dan pemulihan di ruang perawatan biasa, Fathia seperti melih
"Tadi dipindahin ke sininya jam berapa?" "Jam 10 pagi, Bu. Kata dokter Adnan sudah sadar sepenuhnya, tapi tadi dikasih obat tidur biar istirahat, karena katanya semalaman dia sadar terus." Ya, hari ini lebih tepatnya tadi pagi, Adnan dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Sudah tidak ada lagi peralatan medis yang mengelilingi Adnan, hanya tersisa jarum infus di lengan kirinya dan kanula nasal di hidungnya. Fathia bersyukur sekali Adnan akhirnya bisa keluar dari ruang ICU yang menurutnya mengerikan. Ya walaupun banyak hal yang didapat Adnan setelah kecelakaan itu, tetapi Fathia tetap bersyukur setidaknya Adnan berhasil melewati masa kritisnya. "Terima kasih sudah berjuang sejauh ini ya. Ibu bangga sekali dengan Adnan." Fathia hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Ibu mertuanya. Senyumnya semakin merekah saat ia bisa menyaksikan langsung Ibu mertuanya menghujani wajah Adnan dengan kecupan sayangnya. Hangat sekali rasanya hati Fathia melihat hal seperti itu. Tentu saja Ibu mana yang