3.Di balik kematian adikku yang idiot
3. AncamanHari masih pagi, tapi aku sudah bersiap untuk ke kantor polisi. Pikirku, kalau nanti selesai buat laporan, aku mau langsung berangkat kerja. Lumayan setengah hari, dari pada bolos."Aida, kakak mau pergi, ntar langsung kerja. Kamu di rumah sama Bu Salamah," kataku pada Aida. Adikku itu tidak menggubris, dia asyik menonton televisi. Entah dia ngerti apa nggak acaranya. Mata Aida yang kocak memandang televisi, kepalanya sampai miring-miring. Dia tertawa-tawa sendiri. Terkadang bertepuk tangan meriah sambil berteriak ah uhh gitu. Aku meliriknya. Sungguh tega dan tidak punya hati orang yang telah memperkos*nya. Aida tidak mengerti apa itu diperkos*. Sekarang pun dia tidak mengerti kalau sedang berbadan dua. Miris. Tekadku sudah bulat, aku akan menyelesaikan kasus ini ke Polisi!"Assalamualaikum, Pak Bandi," ucapku saat datang ke rumah Pak RT. Pak RT yang bernama Bandi itu kebetulan sedang ada di teras rumahnya. Menggunakan HP dan minum teh."Waalaikumsalaam, Anna. Sudah siap?" Pak RT melihat jam di HP-nya. Masih sekitar jam delapan pagi."Iya, Pak ... Kalau cepat selesai, nanti saya bisa berangkat kerja,""Oh gitu ... Ya sudah, duduk dulu Anna."Setelah mempersilakan duduk, Pak RT memasuki rumahnya. Aku duduk dan menunggu di teras. Sayup-sayup tapi jelas, aku mendengar suara Pak Bandi berbicara dengan seseorang di telepon."Anaknya sudah datang, Pak.""Oh ya, bawa ke situ?"Aku menunduk melihat sepatu yang menutup kakiku. Tidak bermaksud nguping sih, lagian aku juga tidak tahu siapa anak yang dimaksud Pak RT."Ayo, Ann,"Tiba-tiba Pak Bandi muncul dari balik pintu dan mengajakku pergi. Aku berjalan di belakang Pak Bandi. Lelaki itu menaiki sepeda motor kemudian menyalakan mesinnya. Dengan isyarat mata, Pak Bandi menyuruhku naik ke boncengan.Sepeda motor mengitari jalan desa. Hamparan sawah menghijau terpampang di kanan dan kiri. Hawa segar khas pegunungan di pagi hari terasa segar. Bebas dari polusi.Beberapa orang yang berpapasan dengan kami memberikan senyuman, ada juga yang memanggil nama Pak Bandi. Mereka adalah penduduk desa kecil ini yang akan berangkat ke sawah atau ke pasar. Aku pun sesekali tersenyum.Sampai di pertigaan tugu desa, sepeda motor Pak Bandi berjalan lurus. Aku membatin, kenapa tidak belok kiri? Bukannya arah kota dan kantor polisi ke kiri? Tapi, aku diam saja tidak bertanya apapun.Sepeda motor kemudian memasuki halaman sebuah rumah besar dengan pagar bumi memutar, dengan pekarangan yang sangat sangat luas. Rumah tiga lantai ditopang dengan pilar besar-besar menjulang. Seperti rumah di sinetron.Aku turun dari motor. Tubuhku memutar melihat sekeliling. Banyak lelaki berkaos hitam-hitam berkeliaran di setiap sudut rumah ini. Mereka berwajah garang, tanpa senyum. Tiga mobil mulus berjajar di dalam garasi tanpa pintu. Bukan kah ini rumah Pak Karto?Mengekor Pak Bandi, aku memasuki rumah besar ini. Di dalam lain lagi, banyak perempuan muda yang berkeliaran di dalam rumah ini. Mereka rata-rata berwajah cantik, berkulit putih. Tapi perempuan-perempuan itu tidak sedang menganggur. Aku menghitungnya, ada delapan perempuan di sini. Masing-masing bekerja, ada yang ngepel, nyapu, membersihkan perabot, dan lain-lain. Mereka melihat kedatanganku.Sempat aku melihat ke jendela dalam rumah, di sana terlihat halaman belakang. Beberapa perempuan juga tampak di sana sedang menjemur pakaian. Kudengar, Pak Karto memiliki bisnis PJTKI, yaitu Perusahaan jasa tenaga kerja, khususnya untuk TKW. Tidak heran di rumahnya banyak perempuan. Mereka ini ditampung dulu di sini sebelum diberangkatkan ke luar negeri. Sepertinya begitu."Anna, duduk dulu situ," kata Pak RT sembari menunjuk kursi tamu yang ukurannya jumbo. Aku mengangguk."Kita tunggu Pak Karto dan Pak Kadus dulu sebelum ke kantor Polisi. Ada yang perlu dibicarakan. Kemaren tidak jadi karena adikmu nangis," kata Pak RT. Kembali kepalaku mengangguk.Tak lama, dua orang lelaki yang kami tunggu datang. Pak Kadus dan Pak Karto. Keduanya langsung duduk di kursi yang berhadapan denganku dan Pak RT. Pak Karto melihatku sekilas. Pandangannya sinis. Entah, apa itu mungkin perasaanku saja. Secara aku ini tidak mengenal Pak Karto. Hanya tahu karena dia adalah orang terkaya, berpengaruh dan berkuasa di desa ini. Kudengar, para perangkat desa pun, tunduk kepadanya."Begini Mbak Anna," Pak Kadus membuka pembicaraan. Aku menatapnya."Setelah melalui rapat desa, kami semua sepakat untuk melarang Mbak Anna melaporkan kasus ini ke Polisi," ujar Pak Kadus padaku, tapi kulihat dia sempat melirik Pak Karto yang duduk di sebelahnya.Jujur aku terkejut. Kenapa mereka membuat keputusan begitu? Bukankah seharusnya mereka sebagai petinggi desa harusnya mendukung langkahku?"K_kenapa, Pak?" Tanyaku tidak mengerti."Kami tidak ingin desa ini tercemar karena peristiwa memalukan ini, Ann," lanjut Pak kadus. Sementara, Pak Karto menatapku tajam sembari bersandar pada kursinya."Ini tidak masuk akal, Pak!" Aku menggeleng. Aku ini sedang mencari keadilan, kenapa dilarang?"Ini memang peristiwa memalukan. Memalukan sekali! Ada orang tidak waras yang tega memperkos* adik saya yang berkebutuhan khusus! Ini harus diusut, Pak!"Tidak terima rasanya hati ini. Suaraku serak karena menahan tangis. Bapak-bapak ini otaknya di mana? Tidak kah mereka iba dengan adikku? Gadis yatim piatu yang cacat mental dan sekarang lagi hamil entah anak siapa?"Begini Anna, kita tetap akan membantu mengusut peristiwa ini dengan membentuk tim desa. Tim ini akan menyelidiki siapa yang telah memperkos* adikmu," lanjut Pak Kadus.Mulutku menganga mendengar penjelasan Pak Kadus barusan. Dagelan apa pula ini? Mereka ini bukan aparat, mereka bukan penegak hukum. Untuk apa membentuk tim khusus? Ah! Sudah gila semua."Tidak bisa begitu, Pak! Ini urusan polisi. Biadab itu harus dihukum. Bila perlu hukuman mati atau kebiri!" Teriakku lantang. Aku tidak takut lagi. Demi Aida, aku akan melakukan apapun, meski berhadapan dengan Pak Kadus."Ehem!"Suara deheman berat dari Pak Karto terdengar. Pak Kadus dan Pak RT terdiam. Aku menoleh."Tolong Pak Karto, sebagai orang yang berpengaruh di desa ini, saya mohon Bapak menolong saya," ucapku terisak. Emosi di dada terasa menyesakkan."Lha ya itu tadi, kamu tidak boleh lapor polisi. Tim desa yang akan menyelidiki," sahut Pak Karto enteng. Aku terdiam. Sebuah konspirasi sedang berlangsung sepertinya."Satu desa sudah sepakat, tidak mau peristiwa ini viral. Itu akan mempermalukan desa kita yang damai ini. Nanti banyak wartawan datang. Beritanya dimuat di mana-mana. Semua orang akan menanggung malu, hanya gara-gara adikmu yang idiot itu!" Ujar Pak Karto dengan nada sinis.Kenapa malah jadi menghina adikku? Aida itu korban! Di mana keadilan kalau pejabat desa dan orang kaya bersikap seperti ini? Malangnya Aida."Kok jadi adik saya yang dianggap mempermalukan desa? Ini kebalik, Pak! Setan yang telah memperkos* adik saya itu yang biadab! Dia harus bertanggung jawab!"Hening ...Tak ada yang menyangka aku seberani ini. Aku sendiri pun tidak menyangka."Baiklah Bapak-bapak, saya akan tetap ke kantor polisi. Saya akan mencari keadilan untuk adik saya!"Berdiri, aku melangkah meninggalkan kumpulan bapak-bapak tak berguna itu. Aku akan ke kantor Polisi sendiri!"Tunggu!"Itu suara berat Pak Karto lagi. Aku menghentikan langkah, tetapi tidak menoleh."Kalau kau nekat, kau akan dapat hukuman!""Hukuman apa?!" Kuputar badanku menghadap mereka. Aku tidak takut dengan ancaman."Kau akan dikucilkan! Seluruh penduduk desa tidak akan ada yang mendukungmu!" Ujar Pak Karto sambil berdiri.Bibirku mencibir. Aku tidak percaya orang desa akan mengucilkan aku. Secara aku ini korban.Melangkah pasti, aku keluar dari rumah Pak Karto. Di luar, para centeng yang berbaju hitam-hitam mengawasiku. Sepertinya, mereka hanya menunggu perintah dari Bossnya. Aku tidak peduli! Keluar gerbang, aku berjalan cepat untuk kembali ke rumah.Bu Salamah sedang duduk di teras rumahku saat aku kembali. Dia menatapku."Di mana Aida, Bu?""Di dalam, sedang bermain karet," jawab perempuan tua itu. Aku duduk di kursi sebelah meja. Menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Pusing kepalaku. Bu Salamah masuk dan keluar lagi dengan segelas air putih."Minum dulu, Mbak Anna," ditaruhnya gelas di meja. Aku menyambarnya. Sekali teguk, tandas air dari gelas."Bagaimana tadi di kantor polisi, Mbak?" Tanya Bu Salamah. Aku terdiam, kemudian menggeleng."Nggak jadi ke sana, Bu,""Kenapa?" Alis Bu Salamah menaut, heran dia."Nggak boleh, sama Pak Kadus, sama Pak Karto!" Jawabku jengkel. Hhh, kudengar Bu Salamah menghela nafas. Aku kembali diam. Mataku menatap jalan beton di depan rumahku."Lawannya gajah, sih ..."Kudengar Bu Salamah bergumam. Bola mataku bergerak cepat ke arahnya."Maksudnya apa, Bu?" Tanyaku cepat. Lawan gajah? Artinya apa?"Ng_nggak, Mbak!" Bu Salamah menggeleng cepat, kelima jari tangannya bergerak ke kiri kanan."Tadi bilang lawan saya gajah, apa maksudnya Bu?" Mataku melebar."Ibu nggak ngomong apa-apa, kok," elaknya.Brrmmmm brrmmmmSebuah sepeda motor melintas pelan, tetapi ngegas. Aku dan Bu Salamah menyatukan pandangan pada motor itu. Dua orang berjaket hitam dengan helm cakil dan kaca riben menutup seluruh muka, menoleh ke arah kami. Siapa mereka?"Ayo masuk, Mbak!"Bu Salamah menarik lenganku dan mengajakku masuk rumah. Kedua pengendara motor tadi berlalu dari jalan depan rumahku."Siapa mereka, apa Ibu kenal?" Tanyaku."Tidak, Mbak. Tapi, sebaiknya kita masuk saja biar aman." Bu Salamah mengunci pintu, lalu berjalan masuk ke ruang tengah menghampiri Aida.Dari balik korden, aku melihat ke jalan lagi. Kenapa perasaanku tidak enak ya? Siapa pengendara motor tadi, orang baik atau orang jahat? Mencurigakan!Next4.Di balik kematian adikku yang idiotMata-mata Seperti biasa, setiap pagi aku berangkat bekerja. Setengah tujuh pagi, tukang ojek langganan yaitu Mas Beni, sudah siaga di jalan depan rumah. Mas Beni memang bukan murni tukang ojek, dia hanya narik jika dibutuhkan, karena angkutan umum di desa ini sangat jarang. Mas Beni anak orang berada, bapaknya punya sawah dan kebun yang lumayan luas. Status Mas Beni adalah mahasiswa. "Bentar, Mas," kataku pada lelaki yang usianya lebih tua satu tahun dariku itu. Mas Beni mengangguk, pria itu turun dari motor dan duduk di beton pendek jalan masuk halaman rumahku. Mas Beni sudah biasa menungguku yang sering ngaret. Sebabnya karena aku harus mengurus Aida dulu sebelum aku titipkan ke Bu Salamah. Mandiin Aida, gantiin baju sama nyiapin sarapan buat dia. Membonceng ojek Mas Beni, kami berdua tidak memakai helm hehe. Jarang ada operasi lalu lintas di jalur ini. Jarak enam kilometer ke terminal membuat kami punya waktu untuk mengobrol. "Gimana kabar
5.Di balik kematian adikku yang idiotTitik terang "Masuk, Bu!" Kuajak Bu Salamah masuk kembali ke rumahnya. Perempuan tua itu nampak ketakutan. Jujur, aku juga sempat takut tadi. Aku merasa tadi benar-benar ada orang di belakang rumah Bu Salamah. Segera kutepis pikiran buruk dari otakku. Kuanggap tadi ada kucing di sana. Meskipun aku yakin, seekor kucing tidak akan bisa menjatuhkan gentong padasan berisi air. Kembali aku duduk di depan tungku bersama Bu Salamah. Bu Salamah mulai membungkusi nasi lembek setengah matang yang dia masak tadi dengan daun pisang yang sudah dia persiapkan. Menggunakan sendok plastik, tangan kurus itu mulai menyendoki nasi kemudian dia tata melebar di atas daun pisang. Setelah itu dia tata di atasnya oseng tempe pedas, lalu dia gulung dan bungkus dengan menyematkan dua potong lidi di setiap ujungnya. Jadi lah arem-arem, makanan murah meriah yang bikin kenyang. "Besok tinggal ngukus," kata Bu Salamah sembari menata arem-arem ke dalam dandang besar yang s
6.Di balik kematian adikku yang idiotTragedi kebun kopi "Dari mana kamu tahu itu kebun kopinya Pak Karto?" Aku beneran nggak tahu itu kebonnya Pak Karto. Yang aku tahu, itu kebon punyanya banyak orang, soalnya banyak warga desa yang kerja di sana. "Keknya cuma kamu yang nggak tahu," Mas Beni tersenyum kemudian menyeruput minumannya. "Bukannya itu kebonnya banyak orang?" "Dulu ...," Mas Beni mengambil tissue kemudian mengelap bibirnya, aku bengong. Emm bibirnya seksi ternyata, upps!"Sekarang semua sertifikatnya sudah dikuasai Pak Karto.""Kok bisa, Mas?" Dahiku mengerut. "Praktek rentenir," jawab Mas Beni singkat. "Oh, gitu, ya?" Memang kejam bisnis rentenir itu. Sayang sekali, kebanyakan yang terjerat adalah orang kecil, orang miskin, dan orang dalam keadaan darurat. Mereka butuh pertolongan tapi bukan pertolongan yang akhirnya malah membawa mereka ke dalam jurang kesengsaraan yang tak berkesudahan. Hutang yang tak pernah selesai, bunga yang selalu bertambah. Menjual apapun
7.Di balik kematian adikku yang idiotKecelakaan atau sabotase?"Mas, ada penjaga!" Seruku. Mas Beni mengangguk. Matanya terlihat waspada melihat sekeliling. "Diam di sini."Mas Beni menekan punggungku agar menunduk. Rasanya sangat tegang. Kami berdua, berusaha untuk tidak membuat suara. "HEY, JAWAB!Terdengar lagi teriakan penjaga. Aku menggigit bibir, takut. KrosakKrosakSuara orang menyibakkan dedaunan! Aku semakin tegang. Terdengar pula langkah kaki mendekat. Dada ini rasanya ketar ketir. Saat suara langkah kaki semakin dekat, tiba-tiba Mas Beni menarik tanganku. "Cepat lari!" Pontang-panting aku berlari mengikuti Mas Beni. Pegangan tanganku sampai terlepas. Pokoknya aku terus berlari sekencang-kencangnya mengikuti Mas Beni di depanku. "Jangan lari, woyy!!" Astaga! Mereka mengejar, bagaimana ini? Jarakku dengan Mas Beni menjauh, aku hanya bisa melihat sosoknya saja. Dengan menyibakkan cepat dahan dan ranting yang menghalangi jalan, aku fokus berlari mengikuti Mas Beni. A
8.Di balik kematian adikku yang idiotBiang masalah"Mas, Beni!"Aku bersimpuh dan mengangkat kepala Mas Beni. Kusandarkan di kedua paha, Mas Beni masih sadar. Dia menatapku, bahkan masih tersenyum. "A_aku gapapa," katanya. Orang-orang mulai berdatangan. Mereka menyingkirkan sepeda motor dari badan bawah Mas Beni. Saat aku akan menolong Mas Beni untuk duduk, dia meringis kesakitan. "Aduuh ...." Ucapnya pelan sembari mengelus kaki kanannya. "Kenapa, Mas?" Aku panik, kuusap kaki Mas Beni. "Kakiku sakit kalau bergerak," wajah Mas Beni pucat. "Patah itu tulangnya, bawa ke rumah sakit aja!" Kata seseorang. Aku mendongak. "Ya sudah, tolong, ya, Mas," Aku berdiri, orang-orang mencegat sebuah mobil. Bersama-sama dan sangat hati-hati, orang-orang mengangkat tubuh Mas Beni dan dinaikkan ke sebuah mobil pickup. Aku tidak ikut karena menyusul di belakang mengendarai sepeda motor milik Mas Beni. "Aku nyusul, Mas!" Teriakku. Karena tidak terbiasa mengendarai sepeda motor, aku merasa kagok
9.Di balik kematian adikku yang idiotBiarkan anak itu mati "Bu Salamah, titip Aida dulu sampai aku pulang, ya?"Dengan menggendong tas mungil di punggung, aku bersiap pergi lagi. Kali ini, aku akan ke rumah sakit untuk memastikan Mas Beni baik- baik saja. "Mau ke mana, Mbak?" "Ke rumah sakit, Bu,""Ini sudah sore, Mbak, besok saja,""Nggak bisa, Bu. Saya harus melihat Mas Beni," "Nanti pulangnya susah, nggak ada angkot, Mbak," Aku diam saja tak menjawab. Selesai menali sepatu, aku melihat Bu Salamah. "Mbak ..." Panggilnya. Aku menggeleng. "Nggak bisa, Bu, aku harus ke rumah sakit sekarang!" Setelah tali sepatu beres, aku bersiap membuka pintu. "Apa benar tadi Mbak Anna ke rumah Pak Karto?" Pertanyaan Bu Salamah membuatku kaget. Dari mana dia mengetahui cerita itu?"Iya. Ibu tahu dari mana?" Jawabku berbalik badan."Beritanya sudah menyebar ke mana-mana, Mbak."Berjalan ke kursi tamu, aku duduk di salah satu kursi. Kutunda dulu perginya, aku lebih tertarik dengan berita yang
10.Di balik kematian adikku yang idiotKesaksian Bu Salamah "Maafkan Ibu, Mbak Anna. Tapi, tolong lihat keadaan Aida," Bu Salamah berjalan ke dapur meninggalkan aku yang sedang kesal. Memasuki bulan ke tiga kehamilan adikku, aku memang jarang menemuinya. Aku sibuk bekerja dan menyelidiki siapa yang tega memperkos* adikku. Pertimbangan lain adalah, kepalaku pusing tiap melihat Aida. Kasihan, bingung, kesal, marah, semuanya jadi satu. Yang paling membuatku putus asa adalah, sampai saat ini aku belum bisa berbuat apapun untuk Aida. Keadilan yang kuperjuangkan seakan membentur batu cadas, keras dan sudah dihancurkan. Niatku melapor Polisi kemarin gagal, bahkan malah membuat Mas Beni celaka. Apakah benar, keadilan hanya berpihak pada orang yang berduit saja? Hukum tumpul ke atas dan hanya tajam bagi mereka yang dijuluki wong cilik? Entahlah ...Melangkah pelan, aku memasuki kamar Aida. Gadis itu sudah tidur dengan selimut membalut tubuhnya. Tak bersuara, aku duduk di sisi ranjangnya. Ku
11.Di balik kematian adikku yang idiotKesaksian Bu Salamah 2Bu Salamah meremas kain daster yang dipakainya. Aku melihat aura kecemasan di sana. Beberapa kali dia menatapku kemudian menunduk lagi. "Katakan siapa dia, Bu. Tidak usah takut, aku akan melindungi Ibu," kataku meyakinkan.Bu Salamah melempar pandangan ke belakang punggungku. "Tidak ada siapa-siapa di luar, Bu," Aku berdiri dan berjalan ke ruang depan. Mengecek pintu dan memastikan sudah terkunci, lalu aku merapatkan semua korden jendela. Kembali aku duduk di depan Bu Salamah. Pukul sepuluh malam saat ini. "Sudah aman, teruskan ceritanya," "Ibu sangat takut waktu itu, tapi Ibu berusaha untuk menajamkan pengelihatan. Ibu mengenali sosok yang berjalan cepat itu, dia adalah ...""Siapa, Bu?" Aku tak sabar. Perasaanku pun tak kalah tegang dengan Bu Salamah. "P_Pak Karto," Meski pelan saat menyebut nama Pak Karto, tapi di telingaku cukup jelas. Tidak ada keterkejutan yang kuperlihatkan. Dari semula kasus ini bergulir, nam
32.Di balik kematian adikku yang idiotMenemukan KeadilanEnd episode Tidak seperti waktu lalu, penduduk desa sudah berubah sekarang. Persis seperti yang diceritakan Mas Beni mereka memperlakukan dan menyambut kedatanganku dengan baik. Setelah sekian lama, akhirnya aku menginjakkan kaki lagi di kampung halamanku. "Selamat datang, Anna," Begitu kata Bu RT saat menyambut kedatanganku. Bu RT tidak sendiri tapi, disertai dengan ibu-ibu yang lain. Merey memelukku satu persatu bahkan ada yang meneteskan air mata. "Kami minta maaf, Anna,""Kami sudah ikut mendzalimi anak yatim-piatu," sesal mereka. "Sekarang kami mendukungmu untuk mencari keadilan,""Betul! Kami mendukungmu melawan kebiadaban Karto dan keluarganya!" "Setuju!" Bibirku tersenyum tapi, air mata ini mengalir. Dadaku sesak tapi, bukan kesal. Aku menangis terharu. Orang-orang akhirnya menyadari, aku dan adikku adalah korban kekejaman Pak Karto. Lima tahun berlalu dan kini aku merasa punya kekuatan untuk bangkit, untuk melaw
31.Di balik kematian adikku yang idiotKesaksian (PoV Author)1. Pak Kaji HasanSiang itu matahari bersinar terik, jam menunjukkan sekitar pukul dua siang. Kaji Hasan tengah berjalan di tengah kebun kopi miliknya. Meski sebagai pemilik Pak Kaji sesekali memang mengecek sendiri kebun miliknya. Bukan tanpa alasan. Khusus kebun kopi yang ini memang harus mendapat perhatian khusus karena bersebelahan dan berbatasan langsung dengan kebun kopi milik Pak Karto, yang dikenal sebagai orang yang paling licik dan kejam di desa. Sering para penggarap kebun melaporkan kehilangan buah kopi yang siap panen. Usut punya usut pencurinya adalah anak buah Pak Karto. Pasti Bossnya yang menyuruh kalau tidak mana berani mereka. Pak Kaji bukan diam saja. Beberapa kali ia juga komplain ke Pak Karto langsung tapi, jawabannya tidak memuaskan. Mau dilaporkan Polisi juga percuma, Pak Karto seperti kebal hukum. Ada oknum di kepolisian sini yang menjadi beking bisnisnya.Masalah batas tanah juga sering menjadi s
30.Di balik kematian adikku yang idiotPoV AuthorMembelot Warga desa melawan"Kita harus melawan!""Benar!""Pak Karto sudah kelewatan menindas kita!" "Bagaimana caranya kita melawan?""Kita harus bersatu dan menyusun rencana.""Setuju!""Setuju!"Itu adalah penggalan seruan warga desa Peteng saat mengadakan rapat sembunyi-sembunyi. Para pemuka desa yang selama ini diam tiba-tiba bersuara. Mereka menginginkan perubahan, terutama menyingkirkan dominasi arogan Pak Karto. "Pertama, kita harus membebaskan warga yang terjerat praktek lintah darat Pak Karto," Beni sebagai motor penggerak sudah menyusun rencana, tinggal meng- implementasi-kan saja. "Tapi, itu butuh dana yang tidak sedikit mengingat bunga yang diterapkan Pak Karto tinggi dan mencekik," ucap salah seorang warga. "Saya sudah pikirkan, karena itu saya hadirkan Bapak Kaji Hasan di sini. Sebagai orang terpandang di desa, mungkin Pak Kaji bisa menolong para warga." Beni menoleh pada Bapaknya yang juga hadir dalam rapat desa t
29.Di balik kematian adikku yang idiotBertemu kembaliPoV Author on Besok sorenya Rangga dan Beni menepati janji, dengan mobil Rangga, kedua lelaki dewasa itu meluncur menuju rumah kost cewek di jalan Teratai menjemput bidadari masing-masing. Sepanjang perjalanan, Beni lebih banyak diam. Lima tahun berlalu, baru saat ini dia akan berkencan dengan perempuan, bukan kencan ding, hanya perkenalan biasa. Nervous? Pastinya. Pernah dulu saat tahun pertama Anna menghilang, Beni sempat merasa hidupnya hampa. Rasa bersalah menghantui hingga Beni menjadi lebih banyak menghabiskan waktu dengan menyendiri. Tapi, semangatnya kembali datang saat dia mendengar kalau penduduk desa mulai mengadakan perlawanan terhadap Pak Karto. Beni bertekad menyelesaikan kuliahnya kemudian menuntaskan cita-cita menjadi Aparat penegak hukum. Alhamdulillah, dia menjadi seorang perwira Polisi. "Ini kos-kosannya, kita sudah sampai," Rangga menarik tuas hand rem. Beni menatap rumah model kuno dengan cat putih dan jen
28.Di balik kematian adikku yang idiotPoV Author Beni Selamat!"Lari, Anna!" Beni terus berteriak menyuruh Anna untuk berlari dari tempat itu, sesekali dia melihat ke teman perempuannya itu. Bughh!Sebuah pukulan telak mendarat di rahang lelaki muda itu, Beni terhuyung. Tidak! Dia tidak mau menyerah meski tahu akan kalah, bagaimana pun caranya, dia harus menahan kedua orang jahat ini. "Cepat lari, Ann!" Teriaknya lagi sembari menghindar, darah segar muncrat dari mulutnya, perih terasa mengiris pipi. Dillihatnya Anna yang tampak kebingungan antara berlari dan menolongnya. Ciatt!Beni memberikan tendangan pada seseorang yang paling dekat dengannya, orang itu terhuyung mundur dua langkah, sayang datang lagi seorang lelaki berbadan besar juga. Sial! Sekarang tiga orang mengeroyok Beni. Anna memutuskan untuk berlari meninggalkan Beni. Gadis itu tahu, temannya tidak akan menang meski dia membantunya. Tatapan terakhir Anna menambah kekuatan diri Beni. Lelaki muda itu terus berkelahi m
27.Di balik kematian adikku yang idiotSaatnya membuka hati Melihat seorang berseragam Polisi tiba-tiba aku merasa emosional, dalam arti perasaanku ingin mengadu, melapor, kedzaliman yang pernah menimpa adikku. Rasanya saat ini juga aku ingin melapor pada Rangga kalau adikku yang berkebutuhan khusus telah diperko sa dan dibun uh oleh orang yang berkuasa, yang hartanya bisa melepaskan dirinya dari jeratan hukum. Rasanya ingin membuka kembali kasus Aida. Memenjarakan Karto adalah keinginanku yang nomor satu! Sayang, aku tak punya kekuatan untuk menangkis tajamnya pedang Pak Karto justru aku yang berdarah-darah terkena sabetan pedang. "Ann, sudah sampai, tuh," Vina menoleh ke belakang. Mobil merapat di pinggir jalan raya. Sengaja tidak masuk parkiran Superindu biar nggak usah muter.Ah ya! Kami sudah sampai di depan Superindu pusat perbelanjaan modern yang terbesar di kota ini. "Makasih, ya!" Ucapku sembari menutup pintu. Rangga dan Vina melambaikan tangan kemudian kembali meluncur k
26.Di balik kematian adikku yang idiotPindah Menjalani Minggu-Minggu pertama dengan perasaan was-was. Kadang saking paniknya, aku mencurigai customer adalah mata-mata Karto, segitunya. Iya! Aku masih takut bila mereka masih mengintai, mengejar bahkan menangkapku. Seperti mengalami trauma, sering kali di malam hari aku terjaga dengan nafas tersengal dan peluh di dahi dan pelipis. Aku bermimpi dikejar banyak orang. Terkadang aku juga menangis sendirian bila teringat Aida atau Mas Beni, dua orang istimewa dalam hidupku. Adik kesayanganku dan lelaki baik yang sudah berkorban nyawa untukku. Aku mulai mengenal dan menghafal jalan di kota ini. Kusebut ini kota lewat, artinya kota yang hanya dilewati oleh mereka yang sedang dalam perjalanan jauh atau luar kota. Kebanyakan pula yang berbelanja di toko Cik Debby adalah mereka yang sedang dalam perjalanan. Mereka membeli minuman, makanan kecil, roti, atau barang lainnya. Penduduk di sini tidak banyak, mereka saling mengenal. Toko Cik Debby t
25.Di balik kematian adikku yang idiotAku yang baru Masuk nggak,ya? Sedikit bimbang ... Huh! Menarik nafas dalam lalu membuangnya kasar, kubulatkan tekat untuk masuk menemui perempuan di dalam toko. Bismillah aja semoga lancar dan ada pekerjaan untukku. Hawa sejuk AC menerpa saat kudorong pintu kaca. Berjalan pelan aku mendekati perempuan yang duduk di balik konter mesin kasir. Perempuan berkulit putih dan berkacamata itu tidak menyadari kedatanganku, dia sedang sibuk dengan gadgetnya. "Malam, Cie," sapaku. "Aaah!" Perempuan itu menjerit tertahan, saking kagetnya dia sampai berdiri melompat dari kursi. "Mau apa, kau?!" Tanyanya curiga. Mata sipitnya melebar. Dia melihatku dari bawah sampai atas lalu melepas kacamata dari wajahnya. Tentu saja dia takut melihatku. Aku sendiri merasa penampilanku saat ini benar-benar ancur. Tiga hari tidak mandi, tidak gosok gigi, tidak ganti pakaian, rambut awut-awutan, wajah kusut, kotor, dan apa lagi, ya? Pokoknya lebih parah dari gembel. "M
24.Di balik kematian adikku yang idiotMelarikan diri "Lepaskan, Anna!" "Mas Beni?" Kulepaskan tangannya. "Ssstt!" Mas Beni menutup mulutku. Pelan dia menutup pintu kembali. "Cepat kita pergi dari sini, Ann!" Setengah badan Mas Beni keluar, kepalanya tengak-tengok di luar kamar. "Cepat, mumpung aman!" Menarik tanganku, Mas Beni mengajakku meninggalkan kamar, lelaki itu berjalan ke sisi kiri. Sampai di sebuah teras, Mas Beni mengajakku melintasi sebuah taman. "Lewat sini, Anna, injek aja," katanya. Mengikuti Mas Beni, aku pun menginjak-injak rumput dan tanaman di taman itu. Berlari berdua sampai lah kita pada tembok tinggi samping rumah. Berjalan miring, badan kami menempel di dinding. Mas Beni berhenti lalu mengintip. "Ada apa, Mas?" Tanyaku. Mas Beni berpaling padaku," ada penjaga gerbang," jawabnya. Duh, gimana, ya?"Mas, aku mau lihat," kataku. Mas Beni bergeser, aku menjulurkan sedikit kepala agar bisa melihat situasi. Halaman parkir yang luas, taman rumput hijau dan ja