Home / Lain / Di balik Kematian Adikku / Kesaksian Bu Salamah 2

Share

Kesaksian Bu Salamah 2

Author: Henya Firmansyah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

11.Di balik kematian adikku yang idiot

Kesaksian Bu Salamah 2

Bu Salamah meremas kain daster yang dipakainya. Aku melihat aura kecemasan di sana. Beberapa kali dia menatapku kemudian menunduk lagi.

"Katakan siapa dia, Bu. Tidak usah takut, aku akan melindungi Ibu," kataku meyakinkan.

Bu Salamah melempar pandangan ke belakang punggungku.

"Tidak ada siapa-siapa di luar, Bu,"

Aku berdiri dan berjalan ke ruang depan. Mengecek pintu dan memastikan sudah terkunci, lalu aku merapatkan semua korden jendela. Kembali aku duduk di depan Bu Salamah. Pukul sepuluh malam saat ini.

"Sudah aman, teruskan ceritanya,"

"Ibu sangat takut waktu itu, tapi Ibu berusaha untuk menajamkan pengelihatan. Ibu mengenali sosok yang berjalan cepat itu, dia adalah ..."

"Siapa, Bu?" Aku tak sabar. Perasaanku pun tak kalah tegang dengan Bu Salamah.

"P_Pak Karto,"

Meski pelan saat menyebut nama Pak Karto, tapi di telingaku cukup jelas. Tidak ada keterkejutan yang kuperlihatkan. Dari semula kasus ini bergulir, nam
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Di balik Kematian Adikku    Kebakaran

    12.Di balik kematian adikku yang idiotKebakaran "Ya, Allah!" Turun dari motor, aku berlari ke depan rumah yang hangus tak berbentuk. Puing-puing kayu yang masih menyala, sisa bara api dan asap panas yang masih mengepul masih terlihat. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Hanya tangis dan rasa sesak di dada yang kurasa saat ini. Orang-orang masih banyak berkerumun melihat sisa-sisa kebakaran. Mas Beni mendekat dan merangkulku dari belakang. Aku menoleh, mata Mas Beni memandang ke depan, pada bangunan rumah yang sudah habis tak bersisa. "Mas, di mana, Aida?!" Aku berlari memasuki rumahku. Mencari adikku itu. "Aida! Aida!" Masuk ke kamar Aida, tak kutemui siapa pun. Berlari ke kamarku juga kosong. Di mana adikku?! Aku mulai panik. "Ann, tenang, Aida ada di rumahnya Pak RT," Mas Beni tiba-tiba sudah ada di belakangku. "Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?!" Kejarku dengan banyak pertanyaan. Mas Beni tersenyum tipis. "Aida baik-baik saja,"Huh! Syukur lah. Aku baru bisa ber

  • Di balik Kematian Adikku    Hilangnya Satu Saksi

    13.Di balik kematian adikku yang idiotHilangnya satu saksi DugDugDugSuara langkah Bu Salamah memasuki dapur. Aku menahan nafas. Benakku bertanya-tanya, ada apa Bu Salamah ke mari diantar anak buah pak Karto? Langkah Bu Salamah terdengar melewati depan kamarku, selanjutnya seperti memasuki kamar sebelah, yaitu kamarnya Aida. "Tunggu sebentar, Mas," kataku pada Mas Beni. Dengan gerakan cepat dan tanpa suara, aku keluar kamar dan menyelinap masuk ke kamar Aida. Bu Salamah tampak sedang mencari sesuatu di laci meja Aida. "Bu," panggilku pelan. Perempuan itu berbalik, sedikit berjingkat karena kaget melihatku."Mbak Anna!" Seru Bu Salamah. Aku mengangguk kemudian bertanya," cari apa, Bu?" Perempuan tua itu kemudian duduk di tepi tempat tidur Aida. Aku mendekat dan duduk di sampingnya. Sejenak terdiam, tiba-tiba kudengar suara isak tangis. "Bu, kenapa menangis?" Tanyaku sembari berusaha melihat wajah Bu Salamah yang ditutupi dengan tangannya. Bu Salamah menghapus air matanya kemu

  • Di balik Kematian Adikku    Menyusun Rencana

    14.Di balik kematian adikku yang idiotMenyusun rencana "Iwan!" Aku memanggil lelaki yang sedang asyik mengobrol dengan temannya itu. Lelaki bernama Iwan itu menoleh dan memandangku. "Apa cantik?" Tanyanya. Bibirnya senyam-senyum melihatku. Genit sekali!""Kau kenal adikku?" Aku menatapnya tajam. Dahi Iwan mengerut, bola matanya bergerak kesana-kemari. "Adikmu siapa?" Kedua alis Iwan terangkat ke atas. "Ini!" Kutarik tangan Aida yang berdiri di belakangku. Bisa kulihat wajah Iwan yang terkejut saat melihat Aida. Sedangkan Aida melihat Iwan dengan kepala miring. "Aku tidak mengenal anak idiot ini!" Kata Iwan. Kulihat matanya melihat perut Aida sekilas. "Jangan hina adikku!" Mataku mendelik. Hahaha, Iwan tertawa, temannya juga ikut menertawakan Aida. Brengsek!"Memang dia idiot hahaha, lihat saja mukanya," tunjuk Iwan pada Aida. Seakan lelucon, Iwan dan teman-teman tertawa ngakak. "Ahat, akk, akut," kata Aida sembari bersembunyi di belakang punggungku. Mendadak Iwan menghentik

  • Di balik Kematian Adikku    Tenggelamkan

    15.Di balik kematian adikku yang idiotPoV AuthorTenggelamkan!Pria berbadan tegap dan gempal itu melangkah mantap memasuki rumah mewah berlantai tiga. Pria yang akrab disapa Baron itu terus melangkah melewati deretan meja kursi kayu berukir klasik yang memenuhi ruangan. Hingga sampai lah dia di depan pintu sebuah kamar. Pintu kayu jati super berpelitur mengkilap itu dia ketuk. "Masuk!"Suara berat dan serak terdengar dari dalam. Baron mengambil nafas, lalu menghembuskan kasar. Pria berbaju serba hitam itu membuka pintu dan melangkah masuk. Seorang pria tua menunggunya di dalam. Baron berdiri tegak di depan meja yang menghalangi dirinya dengan Karto Dimedjo, lelaki yang selama ini menjadikan dirinya seorang abdi dan dibalasnya dengan kesetiaan. "Apa yang kau dapat?" Karto menatap lurus Baron, orang kepercayaannya. "Gadis idiot itu ... Hamil, Pak."'Huh! Hembusan nafas berat Karto keluar. Masalah yang ditimbulkan anaknya mengusik kehormatan dirinya sebagai orang kaya, terpandang d

  • Di balik Kematian Adikku    Pengakuan si Bejad

    16.Di balik kematian adikku yang idiotPengakuan si Bejad PoV Author[Bersiap!] Pesan WA Beni kepada Riko. [Ok]Balas Riko.Beni membuntuti sepeda motor Iwan dengan jarak yang tidak mencurigakan. Rumah pacar Iwan ada di kota, jadi dia harus melewati hutan jati. Beni sedikit curiga kenapa malam Minggu jalanan tidak seramai biasanya. Karena Beni tidak mengetahui, Pak Karto memberlakukan jam malam di desa. Iwan cuek saja mau keluar, dia bebas menolak perintah ayahnya. Jalan hutan jati berkelok-kelok. Di tikungan ke tiga adalah tempat yang paling tepat untuk menjerat Iwan. Tikungan itu gelap, tak ada lampu penerangan dan rerumputan di hutannya rimbun, bisa untuk sembunyi Riko dan Bayu. Dari kejauhan sorot lampu sepeda motor sudah terlihat. Riko dan Bayu bersiap dengan jeratnya. Riko di sisi kanan jalan dan Bayu di sisi kiri jalan, berseberangan. Keduanya saling memegang ujung tali jerat. Motor Iwan semakin dekat, saat yang tepat, Riko dan Bayu bersamaan berdiri dari rimbunnya semak

  • Di balik Kematian Adikku    Selamat Jalan, Adikku

    17.Di balik kematian adikku yang idiotSelamat Jalan, AdikkuAku meraung memeluk tubuh adikku. Kupanggil nama Aida ratusan kali, berharap adikku akan membuka mata dan membalas pelukanku. Air mata mengucur deras dari kedua mata ini hingga bengkak. Dada rasanya bagai ditikam berkali-kali, sakit, sakit banget. "Aidaaaaa!!" Jeritku sekuat tenaga. Kugoyang tubuh Aida yang terkulai, "Bangun, Aida, bangun, huwaaaa," jeritku histeris. Semua orang terdiam. Kupandangi satu-satu manusia di sekelilingku. "Kalian semua pembun*h!" Jeritku. Tanganku menunjuk-nunjuk semua wajah yang tertunduk. Aku mulai kalap, kudatangi satu persatu para tetangga dan warga yang berdiri di ruang tamu rumahku, tempat jasad adikku ditaruh. Kudorong dengan tangan bahu mereka. Tak ada yang melawan, tak ada sepatah kata. Semuanya terdiam menunduk. "Anna, Anna, sudah," Bu RT memeluk tubuhku dari belakang. Kembali aku menangis meraung. Adikku meninggal!Dengan nafas yang tersengal-sengal karena tangis yang mendera, aku

  • Di balik Kematian Adikku    Babak kedua Kasus Aida

    18.Di balik kematian adikku yang idiotBabak kedua kasus Aida Seminggu lebih semenjak kematian Aida. Aku masih belum bisa melupakan. Kenangan tentang adikku hadir di setiap sudut rumah ini. "Akk, pips, pis," Bila tengah malam Aida ingin buang air kecil, dia membangunkan aku dengan bahasa itu. Mengenang Aida membuat perasaanku bagai diaduk-aduk. Kadang tersenyum, tertawa, bahkan menitikkan air mata. "Adikku, kakak kangen," gumamku lirih. Ada perih menyerta saat rasa itu datang, aku rindu Aida ....Aktivitas warga desa sudah kembali seperti semula. Tak ada yang menanyakan tentang Aida, atau bagaimana dia bisa meninggal. Seperti dikomando, semua satu kata, bila Aida meninggal karena bunuh diri. Apalah artinya Aida buat mereka? Adikku hanya lah seorang gadis berkebutuhan khusus, yang ada atau tidak ada, tidak ada artinya buat mereka. Tapi buatku, Aida adalah istimewa. Senyum aida adalah bahagiaku, tawa Aida adalah semangat hidupku. Akan kulakukan apapun untuk Aida, bahkan aku pernah

  • Di balik Kematian Adikku    Perempuan yang sama

    19.Di balik kematian adikku yang idiotPerempuan yang sama Di rumah terus ternyata membosankan. Selain selalu teringat Aida, dagangan dasterku juga tidak jalan. Sementara hidup terus berjalan, aku butuh uang untuk membiayai hidupku sendiri. Rumahku yang menyendiri dan berjauhan dengan tetangga membuatku seperti terisolasi. Mau keluar-keluar juga nggak ada motor. Sesekali jalan juga sih sama Mas Beni untuk sekedar makan di luar atau menikmati indahnya malam. Apa aku kerja lagi aja, ya? Untuk membunuh sepi. Setidaknya, aku ada kegiatan dari pada cuma tiduran dan makan terus di rumah. Tapi kerja apa? Di kotaku tidak banyak perusahaan atau industri, ini kota kecil, kebanyakan penduduknya bekerja di sawah, ladang dan kebun kopi. Kemarin aja, aku hanya menjadi staff administrasi di sebuah kantor notaris. Huh! Balik lagi ke tempat kerjaku yang dulu aja gimana? Ide bagus sih, aku sudah tahu tugasku dan juga sudah kenal baik dengan karyawan lainnya, nggak perlu adaptasi. Wajah sok galak P

Latest chapter

  • Di balik Kematian Adikku    End. Menemukan Keadilan

    32.Di balik kematian adikku yang idiotMenemukan KeadilanEnd episode Tidak seperti waktu lalu, penduduk desa sudah berubah sekarang. Persis seperti yang diceritakan Mas Beni mereka memperlakukan dan menyambut kedatanganku dengan baik. Setelah sekian lama, akhirnya aku menginjakkan kaki lagi di kampung halamanku. "Selamat datang, Anna," Begitu kata Bu RT saat menyambut kedatanganku. Bu RT tidak sendiri tapi, disertai dengan ibu-ibu yang lain. Merey memelukku satu persatu bahkan ada yang meneteskan air mata. "Kami minta maaf, Anna,""Kami sudah ikut mendzalimi anak yatim-piatu," sesal mereka. "Sekarang kami mendukungmu untuk mencari keadilan,""Betul! Kami mendukungmu melawan kebiadaban Karto dan keluarganya!" "Setuju!" Bibirku tersenyum tapi, air mata ini mengalir. Dadaku sesak tapi, bukan kesal. Aku menangis terharu. Orang-orang akhirnya menyadari, aku dan adikku adalah korban kekejaman Pak Karto. Lima tahun berlalu dan kini aku merasa punya kekuatan untuk bangkit, untuk melaw

  • Di balik Kematian Adikku    Kesaksian yang membuka kedok

    31.Di balik kematian adikku yang idiotKesaksian (PoV Author)1. Pak Kaji HasanSiang itu matahari bersinar terik, jam menunjukkan sekitar pukul dua siang. Kaji Hasan tengah berjalan di tengah kebun kopi miliknya. Meski sebagai pemilik Pak Kaji sesekali memang mengecek sendiri kebun miliknya. Bukan tanpa alasan. Khusus kebun kopi yang ini memang harus mendapat perhatian khusus karena bersebelahan dan berbatasan langsung dengan kebun kopi milik Pak Karto, yang dikenal sebagai orang yang paling licik dan kejam di desa. Sering para penggarap kebun melaporkan kehilangan buah kopi yang siap panen. Usut punya usut pencurinya adalah anak buah Pak Karto. Pasti Bossnya yang menyuruh kalau tidak mana berani mereka. Pak Kaji bukan diam saja. Beberapa kali ia juga komplain ke Pak Karto langsung tapi, jawabannya tidak memuaskan. Mau dilaporkan Polisi juga percuma, Pak Karto seperti kebal hukum. Ada oknum di kepolisian sini yang menjadi beking bisnisnya.Masalah batas tanah juga sering menjadi s

  • Di balik Kematian Adikku    Membelot

    30.Di balik kematian adikku yang idiotPoV AuthorMembelot Warga desa melawan"Kita harus melawan!""Benar!""Pak Karto sudah kelewatan menindas kita!" "Bagaimana caranya kita melawan?""Kita harus bersatu dan menyusun rencana.""Setuju!""Setuju!"Itu adalah penggalan seruan warga desa Peteng saat mengadakan rapat sembunyi-sembunyi. Para pemuka desa yang selama ini diam tiba-tiba bersuara. Mereka menginginkan perubahan, terutama menyingkirkan dominasi arogan Pak Karto. "Pertama, kita harus membebaskan warga yang terjerat praktek lintah darat Pak Karto," Beni sebagai motor penggerak sudah menyusun rencana, tinggal meng- implementasi-kan saja. "Tapi, itu butuh dana yang tidak sedikit mengingat bunga yang diterapkan Pak Karto tinggi dan mencekik," ucap salah seorang warga. "Saya sudah pikirkan, karena itu saya hadirkan Bapak Kaji Hasan di sini. Sebagai orang terpandang di desa, mungkin Pak Kaji bisa menolong para warga." Beni menoleh pada Bapaknya yang juga hadir dalam rapat desa t

  • Di balik Kematian Adikku    Bertemu

    29.Di balik kematian adikku yang idiotBertemu kembaliPoV Author on Besok sorenya Rangga dan Beni menepati janji, dengan mobil Rangga, kedua lelaki dewasa itu meluncur menuju rumah kost cewek di jalan Teratai menjemput bidadari masing-masing. Sepanjang perjalanan, Beni lebih banyak diam. Lima tahun berlalu, baru saat ini dia akan berkencan dengan perempuan, bukan kencan ding, hanya perkenalan biasa. Nervous? Pastinya. Pernah dulu saat tahun pertama Anna menghilang, Beni sempat merasa hidupnya hampa. Rasa bersalah menghantui hingga Beni menjadi lebih banyak menghabiskan waktu dengan menyendiri. Tapi, semangatnya kembali datang saat dia mendengar kalau penduduk desa mulai mengadakan perlawanan terhadap Pak Karto. Beni bertekad menyelesaikan kuliahnya kemudian menuntaskan cita-cita menjadi Aparat penegak hukum. Alhamdulillah, dia menjadi seorang perwira Polisi. "Ini kos-kosannya, kita sudah sampai," Rangga menarik tuas hand rem. Beni menatap rumah model kuno dengan cat putih dan jen

  • Di balik Kematian Adikku    Beni Selamat

    28.Di balik kematian adikku yang idiotPoV Author Beni Selamat!"Lari, Anna!" Beni terus berteriak menyuruh Anna untuk berlari dari tempat itu, sesekali dia melihat ke teman perempuannya itu. Bughh!Sebuah pukulan telak mendarat di rahang lelaki muda itu, Beni terhuyung. Tidak! Dia tidak mau menyerah meski tahu akan kalah, bagaimana pun caranya, dia harus menahan kedua orang jahat ini. "Cepat lari, Ann!" Teriaknya lagi sembari menghindar, darah segar muncrat dari mulutnya, perih terasa mengiris pipi. Dillihatnya Anna yang tampak kebingungan antara berlari dan menolongnya. Ciatt!Beni memberikan tendangan pada seseorang yang paling dekat dengannya, orang itu terhuyung mundur dua langkah, sayang datang lagi seorang lelaki berbadan besar juga. Sial! Sekarang tiga orang mengeroyok Beni. Anna memutuskan untuk berlari meninggalkan Beni. Gadis itu tahu, temannya tidak akan menang meski dia membantunya. Tatapan terakhir Anna menambah kekuatan diri Beni. Lelaki muda itu terus berkelahi m

  • Di balik Kematian Adikku    Membuka Hati

    27.Di balik kematian adikku yang idiotSaatnya membuka hati Melihat seorang berseragam Polisi tiba-tiba aku merasa emosional, dalam arti perasaanku ingin mengadu, melapor, kedzaliman yang pernah menimpa adikku. Rasanya saat ini juga aku ingin melapor pada Rangga kalau adikku yang berkebutuhan khusus telah diperko sa dan dibun uh oleh orang yang berkuasa, yang hartanya bisa melepaskan dirinya dari jeratan hukum. Rasanya ingin membuka kembali kasus Aida. Memenjarakan Karto adalah keinginanku yang nomor satu! Sayang, aku tak punya kekuatan untuk menangkis tajamnya pedang Pak Karto justru aku yang berdarah-darah terkena sabetan pedang. "Ann, sudah sampai, tuh," Vina menoleh ke belakang. Mobil merapat di pinggir jalan raya. Sengaja tidak masuk parkiran Superindu biar nggak usah muter.Ah ya! Kami sudah sampai di depan Superindu pusat perbelanjaan modern yang terbesar di kota ini. "Makasih, ya!" Ucapku sembari menutup pintu. Rangga dan Vina melambaikan tangan kemudian kembali meluncur k

  • Di balik Kematian Adikku    Pindah

    26.Di balik kematian adikku yang idiotPindah Menjalani Minggu-Minggu pertama dengan perasaan was-was. Kadang saking paniknya, aku mencurigai customer adalah mata-mata Karto, segitunya. Iya! Aku masih takut bila mereka masih mengintai, mengejar bahkan menangkapku. Seperti mengalami trauma, sering kali di malam hari aku terjaga dengan nafas tersengal dan peluh di dahi dan pelipis. Aku bermimpi dikejar banyak orang. Terkadang aku juga menangis sendirian bila teringat Aida atau Mas Beni, dua orang istimewa dalam hidupku. Adik kesayanganku dan lelaki baik yang sudah berkorban nyawa untukku. Aku mulai mengenal dan menghafal jalan di kota ini. Kusebut ini kota lewat, artinya kota yang hanya dilewati oleh mereka yang sedang dalam perjalanan jauh atau luar kota. Kebanyakan pula yang berbelanja di toko Cik Debby adalah mereka yang sedang dalam perjalanan. Mereka membeli minuman, makanan kecil, roti, atau barang lainnya. Penduduk di sini tidak banyak, mereka saling mengenal. Toko Cik Debby t

  • Di balik Kematian Adikku    Aku yang Baru

    25.Di balik kematian adikku yang idiotAku yang baru Masuk nggak,ya? Sedikit bimbang ... Huh! Menarik nafas dalam lalu membuangnya kasar, kubulatkan tekat untuk masuk menemui perempuan di dalam toko. Bismillah aja semoga lancar dan ada pekerjaan untukku. Hawa sejuk AC menerpa saat kudorong pintu kaca. Berjalan pelan aku mendekati perempuan yang duduk di balik konter mesin kasir. Perempuan berkulit putih dan berkacamata itu tidak menyadari kedatanganku, dia sedang sibuk dengan gadgetnya. "Malam, Cie," sapaku. "Aaah!" Perempuan itu menjerit tertahan, saking kagetnya dia sampai berdiri melompat dari kursi. "Mau apa, kau?!" Tanyanya curiga. Mata sipitnya melebar. Dia melihatku dari bawah sampai atas lalu melepas kacamata dari wajahnya. Tentu saja dia takut melihatku. Aku sendiri merasa penampilanku saat ini benar-benar ancur. Tiga hari tidak mandi, tidak gosok gigi, tidak ganti pakaian, rambut awut-awutan, wajah kusut, kotor, dan apa lagi, ya? Pokoknya lebih parah dari gembel. "M

  • Di balik Kematian Adikku    Kabur

    24.Di balik kematian adikku yang idiotMelarikan diri "Lepaskan, Anna!" "Mas Beni?" Kulepaskan tangannya. "Ssstt!" Mas Beni menutup mulutku. Pelan dia menutup pintu kembali. "Cepat kita pergi dari sini, Ann!" Setengah badan Mas Beni keluar, kepalanya tengak-tengok di luar kamar. "Cepat, mumpung aman!" Menarik tanganku, Mas Beni mengajakku meninggalkan kamar, lelaki itu berjalan ke sisi kiri. Sampai di sebuah teras, Mas Beni mengajakku melintasi sebuah taman. "Lewat sini, Anna, injek aja," katanya. Mengikuti Mas Beni, aku pun menginjak-injak rumput dan tanaman di taman itu. Berlari berdua sampai lah kita pada tembok tinggi samping rumah. Berjalan miring, badan kami menempel di dinding. Mas Beni berhenti lalu mengintip. "Ada apa, Mas?" Tanyaku. Mas Beni berpaling padaku," ada penjaga gerbang," jawabnya. Duh, gimana, ya?"Mas, aku mau lihat," kataku. Mas Beni bergeser, aku menjulurkan sedikit kepala agar bisa melihat situasi. Halaman parkir yang luas, taman rumput hijau dan ja

DMCA.com Protection Status